REVIEW
BOOK
“PERANG
SUCI (DARI PERANG SALIB HINGGA PERANG TELUK)”
oleh,
Karen Armstrong
PENGANTAR
DAN PENDAHULUAN
Karen Armstrong membuka
pengantar buku ini dengan sebuah peristiwa mutakhir yaitu “Black September”. Menurut Karen, Peristiwa “Black September” merupakan era baru Perang Suci dalam dunia modern.
Dengan peristiwa ini, Amerika sebagai Negara adidaya menyatakan perang terhadap
terorisme yang diidentikkan dengan para ekstrimis Islam. Amerika mulai
menginvasi Negara-negara Muslim di Timur tengah dengan alasan mencari pelaku
terorisme internasional. Jika kita runut lagi pada peristiwa abad pertengahan,
infasi Amerika terhadap Negara-negara Timur tengah ini seperti sebuah Perang
Salib era modern. Terlebih dengan zionisme Israel atas bangsa Palestina yang
semakin menjadi-jadi saat ini.
Konflik penjang antara
Amerika dengan Negara-negara dunia Arab adalah kelanjutan perang Salib abad
pertengahan antara Kristen dan pihak Muslim. Sedangkan kolonisasi bangsa Israel
terhadap bangsa Palestina sebagai kelanjutan perang suci antara Yahudi dan
Islam. Karen menjelaskan, agama seperti sebuah candu yang dapat mengobarkan
semangat perang. Gong perdamaian dunia yang telah dipukulkan seakan tidak
berguna lagi jika terompet jihad melawan kaum kafir telah dikumandangkan oleh pemuka
agama.
Karen menjelaskan,
sebelum tentara Salib tiba di Yerussalem pada Juli 1099 dan membantai 40.000
orang Yahudi dan Islam secara biadab, para pemeluk ketiga agama tersebut telah
hidup damai dibawah naungan hukum Islam selama 460 tahun. Sejak peristiwa
penyerangan tentara Salib ini, ketiga agama tidak lagi dapat hidup tenang dan
selalu waspada akan adanya kemungkinan perang berikutnya. Dan benar saja,
serangan tentara Salib kepada umat Yahudi dan Muslim merupakan sebuah awal yang
berakhir hingga Mehmed II menaklukkan kekaisaran Byzantium timur. Setelah
kekalahan pada abad pertengahan atas kaum Muslim ini, peradaban Kristen mulai
membentuk sebuah identitas baru sebagai bangsa Barat yang lebih sekuler.
Pada pendahuluan buku
ini, Karen memaparkan sekilas mengenai perjalanan semasa kecilnya yang selalu
dihiasi dongeng-dongeng seputar perang Salib. Sebagai seorang yang hidup dalam
dunia katholik, kita dapat ketahui bahwa yang digambarkan mengenai perang Salib
pada masa Karen kecil adalah sebuah kisah pembelaan tentara Tuhan terhadap kaum
kafir yang terdiri dari pasukan Muslim. Karen menyatakan, gambaran
berlebih-lebihan ini selalu membuatnya merenung dan mencari tahu kebenaran
dibalik peristiwa perang Salib abad pertengahan. Pada akhirnya Karen meneliti
mengenai peristiwa abad pertengahan ini di sebuah Negara yang menjadi konflik
panjang antara ketiga agama, yaitu di Israel.
Setelah meneliti umat
beragama yang ada di Israel, Karen menyaksikan ketiga umat beragama dengan
khusuknya menjalankan ibadahnya masing-masing. Yerussalem, sebagai kota suci
ketiga agama besar di dunia menjadi begitu menentramkan hati. Israel dengan
tembok ratapannya sebagai titik terakhir kuil kuno orang Yahudi. Kota ini
dianggap memiliki peninggalan bersejarah dari Haikal Sulaiman, seorang raja
keturunan Israel yang termahsyur. Selain itu, bagi umat Kristen, kota ini
dianggap suci karena pada kota inilah Yesus Kristus, anak tuhan yang menebuskan
dosa seluruh umat manusia dilahirkan dan disalib. Selain itu, Karen juga tidak
melupakan sebuah umat yang khusuk menjalankan ibadah di sebuah masjid berkubah
batu diatas tembok ratapan. Inilah umat Islam yang menganggap bahwa Yerussalem
merupakan kota suci ketiga, karena pada kota ini terjadi sebuah peristiwa Isra
mi’raj Nabi Muhammad.
Dalam buku ini, Karen
tidak akan mendalami aspek-aspek persenjataan dan ekonomis atau militer dari
perang suci baik di abad pertengahan maupun modern. Sebagai seseorang yang
terdidik dalam ruang lingkup sastra dan teologi, buku ini menjadi berbeda dari
buku-buku sejarah lainnya. Dengan didikan kuat pada persoalan teologi Kristen,
Karen merasa kesulitan menerjemahkan karyanya ini ke dalam umat agama Yahudi
dan Islam. Karen berusaha seobjektif mungkin dan mencari kebenaran atau fakta
dibalik peristiwa perang Salib dengan sebuah visi tiga misi yang akan
dijelaskan pada bab terakhir buku ini.
BAGIAN
PERTAMA
PENGEMBARAAN
MENUJU JATI DIRI BARU
I
Pada
Mulanya Mengapa Ada Perang Suci?
Pada tanggal 25 November
1095, di Konsili Clermont, Paus Urban II menyatakan Perang Salib pertama di
depan kerumunan para pendeta, ksatria, dan orang-orang miskin. Perang Salib ini
ditujukan untuk menyerang sebuah bangsa yang dianggap terkutuk dan antikristus
yaitu bangsa Saldjuk Turki. Paus menggambarkan bangsa Turki sebagai bangsa
barbar yang baru masuk Islam namun telah mencaplok negeri-negeri kekuasaan
Kristen di Anatolia. Pemusnahan terhadap bangsa Saldjuk Turki ini dianggap
sebagai sebuah kewajiban besar untuk menyelamatkan agama Tuhan.
Perang suci muncul dari
dorongan yang mendalam dan bersifat inheren dalam tradisi monotheisme.
Sebagaimana telah diketahui, tradisi monotheisme berawal dari agama Yahudi.
Palestina (Al Quds) sebagai daerah yang sangat penting bagi umat ini. Daerah
ini merupakan sebuah daerah bersejarah yang konon dijanjikan Tuhan kepada
bangsa ini melalui Musa. Palestina dianggap sebagai tanah suci yang dijanjikan
Tuhan setelah mereka mengalami penyiksaan besar oleh Firaun di Mesir. Musa
menyelamatkan mereka dari kekejaman raja Mesir ini dan menyebrangi Reed Sea
(Bukan Red sea seperti persangkaan kita selama ini). Atas pertolongan Tuhan,
umat ini berhasil selamat dari kejaran Firaun untuk menuju sebuah daerah yang
dijanjikan Tuhan. Tuhan menjanjikan tanah ini dengan syarat mereka tetap
berpegang teguh pada ajaran agama dan mengesakan Tuhan selalu.
Setelah mereka berhasil
menyebrangi Reed sea dengan selamat dan menenggelamkan Fir’aun beserta bala
tentaranya, Musa sebagai pemimpin rombongan para budak yang dibebaskan ini berusaha
mengantarkan mereka pada tanah yang dijanjikan. Namun, sebelum sampai di Tanah
yang dijanjikan tersebut, Musa telah meninggal dunia dan perjalanan tetap
dilanjutkan dengan dipimpin oleh Yoshua. Ternyata selama perjalanan sebelum
Musa meninggal dunia, bangsa Yahudi mengingkari janjiinya untuk mengesakan
Tuhan. Mereka mulai kembali pada agama nenek moyangnya yaitu tradisi pagan.
Mereka kembali menyembah berbagai Dewa yang terwujud dalam berbagai benda-benda
keramat. Dengan mereka kembali menyembah berhala dan mengingkari janjinya pada
Tuhan, pada akhirnya mereka tersesat dalam perjalanan selama 40 tahun.
Dikala eksodus
besar-besaran bangsa Israel ke tanah yang dijanjikan Tuhan tersebut, terselip
sebuah doktrin agama yang mengharuskan melawan orang dan kaum yang berusaha
menghalangi jalan mereka. Sebagai umat yang terpilih dihadapan Tuhan, kaum
Yahudi diharuskan menghabisi umat lain yang bertentangan dengan umat terpilih
itu. Berdasarkan doktrin Yahudi, Musa mendapat sepuluh perintah Tuhan yang
salah satu ayatnya menjelaskan perintah untuk melenyapkan mereka (umat selain
umat terpilih yang menghalangi jalan Yahudi menuju Kanaan atau Palestina).
Selain itu, doktrin lainnya menyatakan “Yahweh, Tuhan kalian, telah menyerahkan
mereka kepadamu, sehingga mereka memukul mereka kalah, maka haruslah kamu
menumpas mereka sama sekali. Janganlah engkau mengadakan perjanjian dengan
mereka, dan janganlah engkau mengasihani mereka” (Keluaran).
Doktrin ini sangat
mempengaruhi watak Yahudi hingga saat ini, yaitu berusaha menumpas setiap orang
maupun kelompok yang manghalangi perjalanan mereka menuju Kana’an. Selama
merebut dan mempertahankan wilayah Kanaan, Yahudi membantai tanpa ampun Suku
Het, Suku Girgasi, suku Amori, suku Kanaan, suku Feris, suku Hewi, dan suku
Yebus. Pada masa Daud, suku Yebus dikalahkan dan Yerussalem berhasil direbut
oleh orang-orang Israel. Namun pada masa
Daud, Kuil tidak dibangun. Dan baru dibangun pada masa raja Sulaiman, anak Daud
kuil ini dibangun. Kuil ini pada awalnya dibangun sebagai tempat penyembahan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa. Tetapi seperti pada saat Musa masih hidup, kaum Yahudi
mengkhianati Tuhan yang Esa dan kembali kepada ajaran paganisme
Akibat upaya
penggabungan ajaran Yahudi dengan tradisi pagan ini, pada akhirnya Tuhanpun
marah dan kerajaan Israel menjadi terpecah belah. Pada masa itu, terjadi
peristiwa yang cukup besar kerena suku-suku utara memisahkan diri dari
raja-raja di Selatan Yerussalem. Akhirnya, pada tahun 722 SM, terjadi sebuah
bencana besar. Kerajaan Israel yang berada di selatan Yerussalem berhasil ditakhlukan
oleh Raja Tiglath-Pileser III dari Assyria. Sepuluh suku dibagian utara diusir,
dipaksa untuk bergabung, dan dengan dasar agama dimusnahkan. Kesepuluh suku itu
selamanya lenyap dari sejarah.
Kerajaan Yehuda yang
terkejut akan peristiwa ini dan mereka yang ketakutan pada akhirnya berusaha
mencari jalan lain untuk mendapat keselamatan dengan mencampurkan ajaran
sentral Yahudi dengan suku penyerangnya. Hal ini sekali lagi membawa kepada
kemarahan Tuhan. Akhirnya beberapa sekte yang tidak setuju dengan upaya
sinkretisme ini melakukan sebuah Reformasi kembali kepada agama Ibrahim yaitu
Reformasi Yosiah. Doktrin sentral agama Yahudi lebih menjurus ke arah batiniah.
Kaum Yahudi harus menebus dosanya kepada Tuhan menjadi orang miskin bukan hanya
sekedar berziarah ke kuil. Umat terpilih Tuhan ini kembali terasing dan
diramalkan akan dapat terus bertahan dalam pengasingan jika mereka tetap setia
kepada Taurat. Bencana besar yang telah diramalkan pun terjadi, pada tahun 589
SM Babilonia berhasil menaklukkan kerajaan Israel Raya dan bangsa Yahudi diusir
secara paksa dari tanah yang dijanjikan Tuhan.
Bangsa Yahudi yang
hidup dalam pengasingan selalu mempercayai bahwa mereka akan kembali pada tanah
yang dijanjikan Tuhan tersebut. Mereka beranggapan akan kembali ke Sion,
Babilonia (Yerussalem). Pada suatu saat nanti, aka nada sebuah kemenangan besar
yang membawa mereka kembali kesana. Lalu, pada tahun 538 SM, Raja Persia
berhasil menaklukan Babilonia, dan member izin agar bangsa Yahudi kembali ke
Sion. Pada masa ini, seorang raja yang bernama Y\unus memerintahkan agar umat
Yahudi bertaubat kepad aTuhan. Namun bukan orang Yahudi namanya jika tidak
mengingkari janji. Akhirnya mereka kembali mengkhianati Tuhan, dan pada abad ke
70 M, Romawi berhasil menaklukan Yerussalem kembali.
Romawi berhasil
menjadikan Yerussalem sebagai sebuah kota pagan. Mereka membakar kuil
peninggalan Sulaiman dan membentuk sebuah kota yang disebut Aelia. Para Rabi Yahudi
kemudian menyusun kembali Talmud. Golongan lain yang tidak mau menyerah pada Romawi
akhirnya memaksa 960 lelaki, perempuan, dan anak-anak untuk bunuh diri pada
tahun 73 M. Sebelum peristiwa ini terjadi, Yesus Kristus telah mengajak mereka
bertaubat. Tetapi mereka mengelak dan menolaknya dan menganggap Yesus Kristus
bukanlah seorang Messiah yang mereka yakini akan membawa mereka pada tanah yang
dijanjikan Tuhan.
Keyakinan bahwa seorang
Messiah telah lahir pertama kali diyakini oleh seorang Yahudi yang bernama
Paulus. Paulus menerjemahkan sebuah agama baru diluar agama Yahudi yaitu agama
Kristen. Agama Kristen yang dibawa oleh Paulus adalah sebuah agama damai yang
dicontohkan oleh Yesus Kristus. Meskipun begitu, Paulus tetap menggabungkan
ajaran sentral Yahudi dengan ajaran Yesus Kristus. Dalam doktrin Kristen
digambarkan akan ada seorang anti-Kristus yang akan mengancam eksistensi umat
manusia didunia. Dan hingga saat ini, umat Kristen menganggap anti-Kristus
tersebut berasal dari kaum Muslim atau Yahudi.
BAGIAN KEDUA
PERANG SUCI
1096
-1146
Perang
Salib Menjadi Perang Suci dan Mengilhami Jihad Baru
Pada bulan September 1096, Pangeran Bohemund dari Taranto menyaksikan
pasukan tentara Salib
Normandia berbaris menuju pelabuhan Brindisi untuk berlayar ke timur. Beberapa minggu kemudian Bohemund dan
keponakannya, Tancred,
belayar menuju konstantinopel dengan sepasukan bersenjata lengkap dan terlatih.
Perang salib adalah sebuah jalan yang nyata bagi Bohemund untuk mendapatkan
sebuah kerajaan timur. Bagi Bohemund, sebagaimana bagi kebanyakan tentara salib
pertama, motif–motif sekuler dan religius bisa hidup berdampingan dengan mudah,
dan memang perang salib pertama, dapat berhasil hanya karena gabungan dari
kesalehan yang kuat dan akal sehat praktis yang baik.
Pandangan Bohemund
tentang perang suci bukan seperto visi reformasi Cluny seperti paus urban, tapi
mengacu pada The Song of Roland. Dalam perang salib, kaum Frank menemukan jalan
terbaik untuk menggabungkan cinta mereka pada Tuhan dengan cinta mereka kepada
perang. Ribuan dari mereka akan dengan rela bertempur demi masuk surga dan
mencapai kesyahidan. Yang jelas Tancred
memandang perang salib sebagai jawaban bagi kegelisahannya yang panjang.
Penulis biografi Tancred menuturkan bahwa begitu Tancred mendengar tentang
perang salib, seluruh energi terlepas dan semua keraguan terjawab dalam sesuatu
yang memuncak sebagai peralihan religius dari hidupnya.
Para tentara salib yang
kaya merasakan bahwa kewajiban merekalah untuk menolong para ksatria yang lebih
miskin, dan semua orang merasa wajib bersedekah bagi para peziarah yang miskin.
Dalam hal ini, perang salib memang mengekspresikan visi reformasi Cluny mengenai ziarah,
dimana si kaya dan si miskin hidup dalam sebuah komunitas bersama dan tempat
para ksatria–kristen yang telah menjadi lebih baik memerhatikan kaum miskin dan
kaum lemah.
Godfrey dari Bouillon,
yang pasukannya merupakan rombongan pertama yang meninggalkan Eropa pada bulan
Agustus 1096, telah menjual perkebunannya untuk Rosay dan stenay di Meuse. Ia
kemudian menjadi pemimpin pertama orang–orang kristen di Yerusalem dan merasa
bahwa ia merupakan perwujudan dari cita–cita perang salib pertama. Godfrey
memiliki alasan praktis untuk ikut dalam perang salib, dia tidak memiliki masa
depan di barat. Namun, ia juga orang yang sangat saleh dan hidup sangat hemat
dan sederhana yang menunjukkan bahwa ia memang telah menyerap nilai yang
disusun Cluny mengenai kemiskinan suci. Pada Godfrey, sang pahlawan perang
salib, kita juga melihat campuran antara motif ekonomi dan ideologi.
Saudaranya, Baldwin,
amat berbeda dan jelas–jelas berpandangan sekuler. Baldwin sebetulnya diarahkan
untuk mengabdi pada gereja dan karena itu tidak mewarisi satu pun perkebunan
keluarganya. Tapi ia kemudian terbukti tidak cocok hidup sebagai seorang
gerejawan dan kembali ketempat tinggalnya.
Selama perang salib, Baldwin terbukti amat terampil dan lihai sebagai
prajurit maupun politisi. Dialah yang terutama bertanggung jawab mengantarkan
kerajaan kristen Yerusalem menjadi diakui di Timur Tengah. Robert dari
normandia, anak tertua dari william sang penakluk, adalah seorang yang amat
saleh dan benar–benar termotivasi oleh
seruan Urban. Ia seorang tentara salib yang pasti akan menyerahkan semua yang
ia punya untuk mengikuti kristus dalam perang salib.
Raymund dari St. Gilles
juga seorang pendukung reformasi Cluny. Raymund adalah bangsawan pertama yang
menawarkan diri untuk ikut ekspedisi. Raymund betul–betul terilhami oleh motif–motif
religius. Para tentara salib amat bersemangat, tetapi mereka belum menciptakan
sebuah ideologi perang salib yang jelas
dan dapat dianut oleh seluruh pasukan. Di Konstatinopel,
para tentara salib memasuki dunia yang berbeda. Mereka menatap takjub pada
istana–istana, gereja–gereja dan taman–taman, karena waktu itu belum ada hal –
hal yang secanggih dan semaju itu di Eropa.
Kaum Frank yang suka
berperang tidak dapat memahami suatu masyarakat yang berpikir bahwa perang
amatlah tidak sesuai dengan ajaran kristen, dan memilih untuk membuat berbagai
perjanjian dengan kaum Muslim
serta mencari penyelesaian diplomatik ketimbang menumpahkan darah yang dirasa
tidak perlu.
Sebagian alasan Urban
dalam menyerukan perang Salib
adalah untuk memulihkan keretakan yang
tumbuh di antara gereja–gereja timur dan menghancurkan setiap harapan bertemunya
kembali kedua kelompok itu. Orang–orang
Eropa telah lama
membenci kaum Yunani
dari kejauhan, tetapi ketika para tentara salib itu betul–betul dihadapkan pada
kemegahan Konstantinopel dan
keagungan budayanya yang maju, mereka merasa inferior dan ini membuat mereka
bersikap defensif dan mencari gara–gara. Selama upacara pengambilan sumpah,
salah satu ksatria duduk di singgasana Alexius dan menolak untuk pindah ketika
sang kaisar masuk ruangan, sampai
Baldwin dengan kasar memarahi ksatria itu. Alexinus kemudian mengajak ksatria
kurang ajar itu berbicara dengan santun walau juga angkuh, dan membiarkan
ksatria kurang ajar itu menyombongkan kehebatannya dalam sebuah pertempuran.
Kaisar kemudian dengan kalem menasehatinya untuk tidak mencoba berbagai taktik
yang baru saja disombongkan itu kepada orang Turki jika sang ksatria tidak ingin babak
belur. Bagi orang–orang Byzantium, kaum frank itu selalu tampak bodoh dan tak
beradab dalam bergaul, sedang kaum Frank
sendiri sungguh tidak menyukai ketergantungan mereka pada Alexius dan lebih
tidak suka lagi pada penguasannya atas situasi yang membuat mereka sulit
bergerak dengan leluasa.
Pada bulan mei 1097, para
tentara salib dan tentara Byzantium
mengepung ibukota Seldjuk di Nicea. Alexius
mungkin sadar bahwa sultan Kilij
arslan 1 sedang berada
jauh di perbatasan dan itu menjadi saat yang tepat untuk menyerang. Kilij
Arslan telah mendengar tentang para tentara Salib,
tapi ia tidak menggapnya serius.
Perang salib menjadi
kronik teror dan penderitaan. Tentara Turki
menghancurkan daerah–daerah pedesaan agar para tentara Salib daerah–daerah pedesaan
tak dapat menemukan makanan, sehingga orang–orang dan binatang mulai berjatuhan
mati bagaikan lalat. Sebagaimana biasa, para peziarah miskin mengalami penderitaan
lebih banyak, dan sepenuhnya bergantung pada sedekah–sedekah para ksatria dan
prajurit yang juga mengalami pemiskinan yang dramatis. Dengan matinya kuda–kuda,
semakin banyak ksatria yang kemampuan tempurnya menjadi menurun, karena tanpa
kuda mereka tidak akan mampu mengerjakan fungsi militer mereka, yang lainnya bertahan
dengan menunggang lembu, kamis, dan domba, serta menggunakan anjing sebagai
pengangkut.
Pada masa Charlemagne, kaum Frank mulai melihat diri
mereka sendiri sebagai orang–orang pilihan Tuhan
baru. Saat itu, dengan penyelamatan yang mereka alami di Dorylaeum, perlahan
membuat mereka berpandangan bahwa mereka juga bertanggung jawab atas panggilan
untuk mengabdi pada Tuhan
yang sebelumnya telah gagal diemban oleh kaum yahudi. Perlahan pula para
tentara Salib saling menyatu dan
bersama memandang diri mereka sendiri sebagai satu umat, bersamaan dengan
perjuangan mereka melewati daerah pedesaan yang terpencil itu.
Perang suci kaum Yahudi dan Kristen cenderung mengikuti
pola yang amat serupa. Banyak zionis religius yang memandang konflik masa kini
sebagai perang suci melawan Islam.
Dan berpikir dan berperilaku
amat serupa dengan para tentara Salib.
Jika perang saling menyumbang andil pada konflik hari ini dengan menghasilkan
sikap anti semitisme di Eropa, maka ia juga membantu terbentuknya zionisme
religius yang mengemuka kembali secara amat kuat dan agresif di masa kini. Salah
satu pelajaran dari perang Salib
pertama adalah bahwa agama tampaknya efektif ketika semua yang lainnya telah
gagal. Tanpa iman keagamaan, tentara Salib
pasti tidak akan dapat bertahan dalam perjalanan traumatis mereka dan juga tidak
akan dapat mengalahkan orang–orang Turki.
Walaupun kaum Muslim
jauh lebih lambat dalam mencari solusi, jihad pada akhirnya terbukti jauh lebih
efektif dalam mengusir kaum Frank
itu, daripada perang yang murni sekuler. Dalam konflik masa kini, baik kaum
yahudi dan kaum Muslim
telah berpaling kepada perang suci karena mereka memandang tak ada lagi solusi
yang lain. Di masa kita sendiri, agama terbukti menjadi kekuatan yang amat
sukses. Tapi agama juga memiliki bahaya besarnya sendiri dan dapat menghasilkan
kegagalan yang sama besarnya dengan keberhasilannya yang menakjubkan. Cerita
perang Salib Kedua akan memberi kita
sebuah indikasi jelas akan kekuatan yang berbeda dan kelemahan dari perang suci
kaum kristen (dan dengan itu, nantinya juga kelemahan perang suci kaum yahudi)
dan jihad baru kaum Muslim.
1146
– 1148
ST.
Bernand dan Perang Salib Paling Religius
Pada tanggal 31 Maret 1146, Bernand,
kepala biara dari Cklairvaux, berpidato kepada sejumlah besar baron Prancis di
Vezelay dan meyakinkan mereka bahwa kejatuhan Edessa bukanlah suatu bencana, tetapi
bagian dari rencana Tuhan.
Tuhan bahkan membiarkan atau menyebabkan Zangi dapat menaklukan Edesa untuk
memberi kesempatan yang mengejutkan kepada kaum kristen. Tuhan akan bersama
umat-Nya dalam perang Salib mereka yang baru,
yang akan menjadi pengungkapan cinta ilahiah dan salah satu kejadian yang
paling penting dalam sejarah penyelamatan. Bernand mungkin paling berkuasa di
Eropa pada masa itu. Raja Perancis
berada dibawah pengaruhnya dan Paus
sendiri anggota dari ordo religius yang dipimpinnya. Ia memperlihatkan pamor
kekuasannya yang kuat karena kefasihannya yang karismatik.
Selama beberapa minggu berikutnya
Bernand berkeliling Perancis
untuk mengkhotbahkan perang Salib.
Seketika itu juga para barin, ksatria, dan peziarah miskin meninggalkan semua
kegiatannya dan mengikuti tentara raja yang akan melakukan perang Salib. Seakan seluruh Perancis melakukan mobilisasi untuk perang
suci dalam cara yang sama dengan ketergesaan mereka dahulu menyambut seruan Paus Urban di tahun 1095.
Tapi ada perbedaan besar antara keduanya. Pandangan Bernand yang rapsodik dan
mistis tentang perang Salib
amatlah berbeda dengan pandangan paus urban berdasarkan cita–cita reformasi
Cluny dan dipenuhi kesadaran tentang pembebasan tanah suci. Bernand diilhami
oleh kepercayaan
baru dalam perang suci kristen, yang kini disebarkan oleh kaum mapan Eropa, dan
membawa keyakinan itu
ketitik bagian akhir. Kesalehan mistisnya itu akan membuat perang suci kali ini
sebagai perang
yang paling religius di antara perang Salib
lainnya. Terminologi tradisional yang menyebutkan bahwa ada delapan kali perang
suci dalam pengertian tertentu akan menyesatkan, tetapi acuan tersebut masih
mengungkapkan kebenaran yang bermakna penting.
Bernard memiliki banyak
gagasan ideal tentang tentara Salib
pertama. Seperti Urban,
ia mendesak para ksatria agar berhenti saling membunuh satu sama lain dan bergabung untuk melawan Islam. Penolakan Bernard
terhadap kaum Muslim
bukan berdasarkan pada kebencian apapun atas Islam sebagai agama, tapi lebih pada kaum
Muslim sebagai ancaman
bagi tanah suci dan karena itu juga ancaman bagi seluruh dunia.
Tentara Salib pertama adalah
sebuah organisasi kolektif yang amat besar, tapi
Bernard secara khusus
mengkhotbahkan perang Salib
kedua sebagai sebagai undangan ilahiah dari Tuhan
kepada masing–masing individu peserta perang Salib.
Di Inggris, pada saat
penaklukan Normandia, seorang pendeta dari biara Sherborne, yang biasa dikenal
sebagai Stephen Harding tiba–tiba
mencampakkan kehidupannya di biara karena alasan yang tidak jelas dan selama
bertahun–tahun mengembara tanpa lelah ke seluruh Eropa. Dia menjalani pencarian
spirit dalam spiritual yang bersifat
pribadi. Akhirnya ia bergabung dengan sebuah biara baru di Molesmes sekitar tahun
1091. Dibawah kepemimpinan kepala biaranya yang mengagumkan, Robert Molesmes terlibat dalam
sebuah perdebatan sengit di antara kalangan biara. Kebanyakan pendeta ingin bertahan
pada tradisi Cluny, dan ini mengganggu para pendeta itu. Sebagian lain ingin mengesampingkan ordo
pendukung reformasi Cluny yang telah terelaborasi itu dan ingin kembali
keakar–akar tradisi ordo Benediktin
serta akar–akar agama kristen.
Perang Salib pertama adalah proyek
paling dramatis dari proyek–proyek agresif tersebut. Tapi disitu juga terdapat
rasa percaya diri spiritual. Biara–biara tua menjadi benteng benteng, mengusir
berbagai kuasa jahat dan menjaga ketertiban lama. Dalam biara–biara pelopor
dari ordo biarawan putih, para pendeta terlibat dalam perjuangan dan pencarian
spiritual. Perbedaannya, kaum elit ordo biarawan putih bertempur di tataran
duniawi, masing–masing saling membutuhkan, sebagai jiwa dan raga dalam sebuah
entitas.
Menjelang perang Salib, Bernard telah
mendepak akal sehat yang mengejawantah dalam pribadi seorang sarjana dan
gerejawan hebat, Peter
Abelard. Aberald adalah
seorang saingan Bernard untuk kepemimpinan angkatan muda di Eropa. Dia adalah
seorang filsuf dan ahli logika.
Pada akhir Mei 1147, Conrad dan pasukan
besarnya meninggalkan Jerman
dan memulai perjalanan melalui Eropa
timur menuju Konstatinopel.
Pada tanggal 8 Juni,
tentara Perancis berangkat. Tidak
seperti Onrad Louis yang mengambil Salib atas inisiatifnya
sendiri. Pada tanggal 19 Maret
1148, raja Louis
dan tentaranya tiba di pelabuhan St. Simon.
BAGIAN
KETIGA
PERANG
SALIB DAN IDENTITAS KAUM BARAT
1199-1221
Perang
Salib Melawan Orang Kristen Dan Perdamaian Kristen Baru
Tesis utama buku ini
adalah bahwa ada keterkaitan erat antara perang Salib di abad pertengahan di
tanah suci dengan konflik antara orang-orang Arab dan kaum Yahudi di timur
tengah. Mereka memandang Tentara Salib sebagai para imperialis barat dan kaum
zionis sebagai Tentara Salib baru atau juga sebagai alat imperialisme Barat.
Pertempuran Hittin antara orang Kristen dari kerajaan Yerusalem dan Saladin
telah menjadi sesuatu yang amat penting bagi kaum Yahudi maupun orang Arab.
Orang Arab tentu saja memandang pertempuran ini sebagai sebuah penyemangat,
sebaliknya sebagian orang Israel begitu asyik, bersemangat dan terus tercerai
berai, persis seperti kaum Kristen di kerajaan Yerusalem.
Sebelum Paus Urban II
menyerukan perang Salib pertama di Konsili Clermont pada tahun 1095, terdapat
suasana yang relatif rukun antara umat Yahudi, Kristen dan Islam. Tapi
segalanya berubah ketika tentara Salib menanggapi Paus Urban dan berbaris ke
arah timur untuk membebaskan makam suci Kristus di Yerussalem. Pada awal
perjalanan mereka, tentara Salib pertama membatai komunitas Yahudi. Di akhir
perjalanan, mereka membantai para penduduk Muslim di Yerussalem, orang Kristen
barat tidak lagi menganggap kaum Yahudi dan Muslim sebagai manusia biasa.
Mereka menganggap kedua kaum itu monster kejam dan membangkang, setiap kali
sebuah perang Salib di serukan melawan kaum Muslim, selalu pecah kerusuhan
anti-semitisme di eropa. Tanpa anti-semitisme barat, tak mungkin ada sebuah Negara
Yahudi di timur tengah saat ini.
Kekalahan kaum Kristen
di tangan Saladin benar-benar menjadi bencana besar. Kekalahan itu bukan hanya
sekedar bencana militer dan politis. Kekalahan itu membangkitkan berbagai
keraguan menakutkan dan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab, mengapa Tuhan
membiarkan musuh-musuh-Nya menang? Bahkan yang lebih mengerikan adalah
hilangnya Yerussalem yang bukan kota biasa, tetapi pusat kesucian dan kekuatan
spiritual. Pada tahun 1190, harapan-harapan melambung tinggi kembali ketika
perang Salib ketiga di mulai dengan berlayarnya orang-orang Eropa ke timur
tengah untuk memerangi Saladin. Tapi mesti di ingat juga bahwa di timur,
antusiasme terhadap perang suci telah memudar di kedua belah pihak. Bencana Hittin
memberikan pelajaran amat penting kepada kaum Frank di palestina. Mereka
menyadari bahwa meskipun terlambat bahwa ekstremisme religius mereka sendiri
bertanggung jawab atas kekalahan mereka. Kini mereka amat cemas dan takut
membuat kaum Muslimin marah , karena mereka tahu betul bahwa mereka tidak akan
mampu bertahan akan serangan baru kaum Muslimin. Di pihak kaum Muslimpun,
antusiasme terhadap jihad tidak berlanjut lagi setelah Saladin wafat pada tahun
1193.
Salah satu fantasi yang
di ciptakan kaum Kristen tentang Islam pada saat perang Salib adalah bahwa Islam
agama penuh kekerasan dan tidak toleran. Ini sungguh keliru. Jihad waktu itu
adalah praktik yang telah terlupakan dan hanya bangkit kembali sebagai
tanggapan bagi inisiatif praktik perang Salib dari barat.
Pada tahun 1199, sebuah
kelompok Baron dari Prancis dan Flanders memutuskan untuk memimpin perang Salib
keempat. Mereka merasa bahwa perang Salib ketiga, yang di pimpin oleh tiga
penguasa terbesar eropa Richard Si Hati Singa, Philip Augustus dari Prancis,
dan kaisar Federick Barbarossa terlalu bersifat duniawi.
Pada bulan juni 1202,
tentara Salib berkumpul di Vanesia, tetapi sayangnya jumlah mereka hanya
separuh dari yang diharapkan. Lagi pula, hanya dua pertiga saja jumlah uang
yang terkumpul dari jumlah hutang mereka kepada Dandolo. Ketika Dandolo
mengetahui mereka tidak mampu membayar penuh, ia segera mengambil kekuasaan
penuh atas mereka. Dandolo ingin agar tentara Salib merebut Zara untuknya
dengan tentara besar mereka. Ternyata sebagian besar dari tentara Salib itu
merasa jijik terhadap gagasan untuk menyerang sebuah kota Kristen yang tak
bersalah dan mereka yang merasa jijik itu meninggalkan tentara Salib.
Revolusi ini merupakan tantangan
nyata kepada tentara Salib. Untuk beberapa waktu, Dandolo mencoba membujuk
mereka bahwa satu-satunya cara untuk keluar dari benang kusut ini adalah
melancarkan serangan besar ke kota. Perang Salib keempat menjadi perang suci
melawan kaum Kristen ortodoks Yunani, yang menjadi “musuh” resmi-barat yang
pertama sejak masa Charlemagne sebelumnya.
Tentara Salib menyerang
kota itu pada tanggal 6 april. Pada mulanya orang-orang Yunani melawan
sekuat-kuatnya. Tapi moral dan semangat mereka merosot akibat bertahun-tahun
menghadapi revolusi internal dalam kekaisaran mereka. Kini orang-orang Yunani
yang bertekuk lutut dan terhina itu tentu akan mempercepat peralihan iman
mereka. Kini akan ada sebuah dunia Kristen baru yang bersatu.
Tentara Salib yang kini
ingin membagi wilayah-wilayah baru mereka di antara mereka sendiri menjadi tanah-tanah
kaum Feodal yang menguntungkan, mengacu pada model di Eropa. Mereka ingin menikmati
semua harta benda yang mereka curi dan membawa pulang relic-relik itu untuk
rekan-rekan Kristen mereka yang akan berterima kasih, yang secara spiritual
akan di perkaya oleh keberadaan mereka yang kuat. Perang Salib keempat adalah
sebuah kepalsuan dan kejahatan, yang sepenuhnya menampik semua idealisme lama.
Para pemimpin mereka ingin kembali kepada jiwa dan semangat perang Salib
pertama, tetapi nyatanya mereka mengabaikan tujuan paling penting dari Paus Urban
ketika ia menyerukan ekspedisi pertama. Pada tahun 1261, orang-orang Yunani
berhasil memerangi orang-orang latin, mengusir mereka keluar, dan kembali
mengembalikan kaisar Yunani ke tahta Byzantium.
Sejak pertengahan abad
ke 27, kaum misionaris telah berkeliling dari Eropa timur dan mendakwahkan
agama Kristen dengan format yang berbeda kepada orang barat. Yang mereka klaim
sebagai agama sejati Yesus. Segera saja berkembanglah sebuah gereja saingan
disana, yang terus menerus menarik banyak pemeluk baru. Kaum Kristen baru itu
menyebut diri mereka sendiri sebagai kaum Cathari atau golongan murni.
Satu-satunya sumber pengetahuan kita tentang mereka adalah berbagai tulisan
Polemis dari musuh Katolik mereka yang mungkin mendistorsi ajaran-ajaran mereka
yang sebenarnya.
Kaum Cathari
menghabiskan hidup mereka dengan mencoba untuk menyucikan diri dari dunia
material dan mencari dunia spiritual. Ada dua tingkatan dalam gereja Cathari.
Pertama, ada kaum elit yang menerima sakramen dan disebut kaum sempurna.
Tingkatan kedua, para pengikut, yang merupakan mayoritas pemeluk ajaran ini.
Mereka bersembahyang bersama kaum sempurna dalam sebuah liturgi pertobatan dan
hidup berdasarkan aturan-aturan moral dari greja Cathari, menyiapkan diri
menghadapi kematian dan pemurnian terakhir.
Gereja Cathari dan Katolik
sebenarnya amatlah mirip. Kaum Katolik juga meyakini adanya perang antara Tuhan
dengan roh jahat yang amat kuat, yang mereka sebut setan atau iblis. Keduanya
menampik dunia, daging, atau tubuh, sebagaimana kaum Cathari. Gereja katolik
mungkin saja mengkhotbahkan bahwa pernikahan itu sesuatu yang suci, tapi
kebanyakan kaum Katolik merasa bahwa seks itu jahat, apapun dogmanya. Namun,
yang sangat penting untuk di ungkap di sini, kaum Cathari menentang seluruh
etos perang Salib agama Kristen, kaum Cathari tidak percaya bahwa Yesus telah
meninggal di tiang Salib. Kaum Cathari adalah kaum yang pecinta damai yang
tegas dan anti kekerasan, mereka juga masyarakat yang amat toleran.
Kaum Cathari bukanlah satu-satunya
kaum bidah di Eropa. Di Prancis utara ada sebuah gerakan serupa yang bertujuan
untuk kembali ke prinsip-prinsip dasar Kristen dan menolak gereja Paus Innocent-III
yang kaya dan berkuasa. Bahaya khusus dari Catharisme adalah bahwa, tidak
seperti “kaum bidah” daerah utara ini, kaum Cathari punya uskup dan pejabat
keuskupan mereka sendiri. Agama mereka tak terbatas pada orang-orang miskin dan
kalangan masyarakat pinggiran, tetapi telah memasuki banyak keluarga dan rumah
kalangan terhormat di daerah selatan dan bahkan diterima dan di hormati oleh
para bangsawan Katolik.
Innocent mencoba untuk
melawannya dengan mengirimkan jemaat ordo biarawan putih untuk berdakwah
melawan kaum bidah. Tetapi jemaat ordo biarawan putih ini telah berubah sejak
masa kejayaan mereka pada St. Bernard. Mereka telah meninggalkan kesederhanaan
mereka yang dulu, sehingga mereka menjadi amat kaya dan kini menyerupai dengan
kaum mapan. Orang-orang si selatan, betul-betul tidak terkesan dengan berpikir
bahwa kaum Cathari jauh lebih sesuai dengan Kristus.
Seorang Spanyol muda
bernama Dominic Guzman baru saja mendirikan ordo untuk melawan bidah dengan
damai, kaum dominikan adalah rahib jenis baru yang menyebut diri mereka sebagai
Friar. Pada abad ke-13, kaum Dominika menunjukan sebuah hasrat baru untuk
mencontoh kehidupan kristus dengan lebih dekat dan sebenarnya daripada yang
telah di lakukan oleh para pendukung reformasi Cluny. Hasrat inilah yang juga
telah menarik minat banyak orang saat itu kepada kaum Waldensia, kelompok orang
miskin dari lyon, serta kaum Cathari. Hanya saja sedikit kaum Cathari yang mau
pindah kembali kepada ortodoksi, dan bidah itu terus saja meluas.
Innocent merasa bahwa
kini tak ada solusi lain dari msalah ini kecuali pedang. Pada tanggal 17
November 1207, ia menyurati raja Philip Augustus, mendesaknya untuk membawa
sebuah pasukan untuk memerangi kaum bidah di daerah Languedoc, dengan
menawarkan imbalan istimewa. Untuk pertama kalinya di Eropa, seorang Paus
menyeru kaum Kristen untuk membunuh kaum Kristen lainnya.
Pada tahun 1209, perang
Salib telah siap. Philip Augustus, yang sedang mengalami kesulitan tidak dapat
memimpin perang Salib. Maka Arnauld Amalric, pemimpin biara dari Citeaux,
mengendarai kuda sebagai kepala pasukan besar tentara Salib. Pada tanggal 22 Juli,
tentara mengepung kota Beziers dan mempertunjukan tekad maut dari tentara Salib
baru ini, yang bersiap untuk memusnahkan bahaya orang selatan ini sekejam saat mereka
akan menghancurkan kaum Muslim dan Yahudi. Setiap penduduk kota itu di bantai,
terror yang muncul dari pembantaian ini berarti bahwa kemudian tentara Salib
tidak menjumpai perlawanan lebih jauh hingga mereka mencapai Carcassonne di
bulan Agustus, untuk menyelamatkan rakyatnya, pangeran Raymund-Roger
menyerahkan diri kepada tentara Salib. Pada bulan November, Raymund-Roger
meninggal di penjara.
Simon kemudian
melanjutkan perang Salib, menguasai pusat-pusat kaum Cathari satu demi satu,
membakar kaum bidah, dan mengganti aristokrasi selatan dengan kebangsawanan
utara. Simon menjadi salah satu tuan tanah terkaya dan paling berkuasa di
Prancis selama perang Salib. Tapi sungguh keliru jika kita memandangnya sebagai
seorang tentara Salib sekuler, yang memanfaatkan perang Salib untuk meraih
ambisi duniawi sendiri.
Selama tahun-tahun ini,
sebuah kelas baru muncul. Banyak keluarga yang terdiri atas lelaki, perempuan,
dan anak-anak terpaksa hidup berkelana dan meminta-minta di lingkungan
pinggiran masyarakat. Sering kali mereka tertarik pada sekte-sekte bidah baru
yang menekankan pada nilai kemiskinan suci; merekalah yang benar-benar meniru
kristus, bukan para rahib kaya dan kaum rohaniawan dari gereja Innocent. Dari
titik ini, berbagai sekte menjamur di seluruh Eropa, yang sering memjadi amat
agresif melawan pihak mapan yang mengabaikan segenap penderitaan mereka.
Gerombolan miskin pengelana ini sering disebut
Pueri (anak-anak) dalam semangat yang mirip dengan para budak hitam yang sering
disebut “boy” oleh kaum putih Afrika selatan. Pada tahun 1212, kaum Puer Prancis
yang masih muda, Stephen, memperoleh penampakan Yesus, yang muncul di
hadapannya dengan menyamar sebagai seorang penziarah miskin yang meminta-minta
roti. Ia memberi Stephen sepucuk surat untuk Philip Augustus, yang di dalamnya
Yesus membela persoalan kaum miskin. Tiba-tiba bangkit semangat dan gairah
baru. Pada sekitar waktu yang sama, sebuah gerakan serupa tumbuh secara spontan
di Jerman, di pimpin oleh seorang Puer bernama Nicholas. Di masing-masing
negeri, sekitar 30.000 Pueri mengadakan sebuah prosesi massif, memanggul Salib
kayu yang besar dan menggelandang berjalan kaki melintasi daerah pedalaman dan
melalui kota-kota dan desa-desa. Namun, berbagai perjalanan suci ini bukanlah
sebuah langkah awal untuk sebuah perang suci. Pada akhir musim panas, kaum Puer
bubar secara damai dan tampak lenyap dari sejarah.
Pada bulan September
1211, para bangsawan Jerman, dipimpin oleh Philip Augustus, mencabut posisi
kaisar yang telah dikucilkan gereja itu serta memilih Frederick untuk
menggantikannya. Pada bulan Desember 1212, ia di nobatkan sebagai Raja Jerman
di Mainz. Rakyat Jerman meyakini dirinya sebagai seorang pilihan Tuhan. Segera
setelah ia menerima tanda kebesaran kekaisaran dari uskup agung, kaisar
Frederick II tiba-tiba dan secara mengejutkan mengambil Salib. Namun, nyatanya
lebih sulit mengumpulkan kekuatan untuk perang Salib kelima daripada yang di
duga setiap orang. Tapi ia cukup percaya diri bahwa ia akan sukses. Ia bahkan
menulis surat kepada al-Adil untuk mengingatkan serangannya yang akan tiba dan
menasihati al-Adil untuk menyerahkan Yerussalem secara damai.
Kaum Frank tidak
menginginkan perang Salib, katanya pada Paus. Mereka telah jemu membahayakan
keamanan Negara kecil mereka dan takut bahwa perang suci itu akan menghancurkan
kesepakatan-kesepakatan dagang yang baik dengan kaum Muslim saat itu. Kaum Muslim
juga sedang menikmati perdagangan baru dengan kaum barat. Gairah mereka
terhadap jihad telah mati dengan wajar setelah kematian Saladin pada tahun
1193. Al-Adil tidak punya hasrat untuk menyerukan perang suci, walaupun ia
dipanas-panasi oleh sebagian kecil pejabat militernya.
Pada tahun 1218, ada
tiga armada dari Fisia, Prancis dan Inggris, yang tiba di Acre dan mengutuskan
untuk membangkitkan kembali rencana lama untuk menaklukan Mesir. Pada bulan Mei,
mereka berlayar ke Damietta ini cukup mengejutkan kaum Muslim disana. Bahkan
pada bulan Agustus mereka berhasil merebut kota itu. Rasa terkejut akibat
kehilangan kota Damietta itu terlalu berat bagi sultan yang telah tua itu, yang
kemudian wafat beberapa jam sesudahnya karena serangan jantung. Untuk mencegah
pertikaian mengenai pewarisan tahta, sultan telah mengatur bahwa kekaisaran
Ayyubiyah yang didirikan Saladin akan dibagi-bagi di antara tiga putranya yang
tertua: al-Kamil mengambil Mesir, al-Asyraf mengambil jazirah dan al-Mu’azam
akan mengambil Damaskus dan Yerusalem.
Pada bulan Februari
tentara Salib berhasil menduduki kota al-Adilya. Kaum Muslimin kini semakin
putus asa. Al-Mu’azam mulai membongkar benteng Yerusalem dan benteng-benteng
lain di Palestina, kalau-kalau ia di paksa untuk menyerahkan kota itu kepada
kaum Kristen. Tapi dalam kenyataanya, semangat tempur di kamp-kamp Kristen
telah amat rendah.
Perang Salib kelima
terus berlanjut dan al-Kamil bersiap untuk membuat perjanjian damai. Pada tahun
itu, Mesir di ancam oleh kelaparan. Pada Oktober, sultan mengirimkan dua
tawanan perang oleh Frank kepada Pelagius dengan membawa sebuah tawaran yang
luar biasa murah hati: jika tentara Salib mau meninggalkan Mesir, ia akan
mengembalikan Yerusalem, semua Palestina tengah dan Galilea. Al-Kamil memandang
Yerusalem sepenuhnya dalam kerangka politik, bukan sebagai buah kota suci.
Tentu saja Raja John dari Acre mendesak Pelagius untuk menerima perjanjian ini.
Tetapi sama wajarnya juga bila Pelagius menolak. Tidak mungkin terjadi kaum
Kristen berdamai dengan kaum sesat. Ordo-ordo militer saat itu juga setuju
dengan Pelagius demi alasan strategis: benteng-benteng di Yerusalem dan Galilea
telah di bongkar dan akan mustahil bagi kaum Kristen untuk menjaga kedua kota
itu begitu tentara Salib pergi. Perang suci terus berlanjut dan Pelagius
menanti kedatangan kaisar Federick dengan penuh percaya diri.
Tapi sang kaisar tidak
pernah datang. Para tentara Salib yang jemu mulai kembali pulang. Pada bulan
Februari 1220, John dan tentaranya kembali ke Acre dan hingga akhir tahun itu
menahan serangan sultan al-Mu’azam ke kerajaan Kristen: perang Salib baru telah
mengakhiri kehidupan bersama penuh kedamaian antara kaum Muslim dan kaum
Kristen di timur tengah. Pada bulan Juli 1221, Pelagius tidak dapat menunggu
kedatangan Federick lebih lama lagi dan merencanakan sebuah serangan ke Kairo.
Raja John tiba dengan pasukan dari Acre dengan penuh ketidakyakinan, tetapi
tidak ingin di anggap pengecut. Pada tanggal 12 Juli, tentara Salib berangkat
dengan 630 kapal, 5.000 ksatria, 4000 pemanah, dan 40.000 tentara infantry.
Tapi kini al-Kamil amat percaya diri. Kedua saudaranya telah mengirimkan
tentara untuk membantunya, dan mereka menghadang jalur mundur tentara Salib ke
Damietta ketika ia menyaksikan tentara Salib semakin mendekati Kairo, sultan
al-Kamil tersenyum sendiri, nyaris tidak percaya pada keberuntungannya.
Orang-orang barat itu tidak menyadari bahwa air sungai nil sedang pasang. Pada
pertengahan bulan Agustus, tanah di sekitar nil begitu lembab dan licin
sehingga tentara Salib harus menunda serangan maju mereka dan akhirnya mundur.
Segera setelah langkah mundur itu dimulai, para prajurit Muslim menghancurkan
dan pasukan-pasukan mereka bergerak memotong jalan keluar dan hanya dalam
beberapa jam tentara Kristen secara memalukan telah terpenjara di sebuah pulau
lumpur. Pelagius harus mengajukan tawaran perdamaian untuk menyelamatkan
tentaranya dari pemusnahan, dan tentu saja pada saat itu persyaratan al-Kamil
tidak cukup untuk bermurah hati daripada sebelumnya. Tentara Salib harus
menandatangani gencatan senjata salama delapan tahun dan segera meninggalkan Mesir.
Sebagai imbalannya, mereka di perbolehkan berlayar pulang tanpa di ganggu.
Perang Salib kelima
telah menjadi sebuah kegagalan yang amat hina dan kemungkinan untuk menaklukan
Yerusalem tampak lebih jauh lagi dari jangkauan mereka daripada tiga puluh
tahun sebelumnya.
Tapi lepas dari model
baru perang Salib ini, gagasan lama tentang operasi perang Salib sama sekalli
tidak mati. Tiga perang Salib terakhir di abad ke-13 kembali ke cita-cita lama
pemulihan gereja suci. Namun, kita juga melihat bahwa karena perubahan besar di
timur tengah, perang Salib jenis lama tidak dapat lagi terlaksana. Perang Salib
terakhir ke tanah suci ini sebenarnya memberi tahu kita lebih banyak tentang Eropa
dan juga tentang moralitas perang Salib. Apakah dunia Kristen akan mengabdikan
diri pada semangat perang Salib atau akan mengadopsi sikap yang lebih terbuka
dan merangkuh kaum Muslim dan kaum Yahudi?
1220-1291
Akhir
Perang Salib?
Ketika pasukan perang
Salib ke enam mulai berkumpul di Italia selatan pada bulan Agustus 1227, ada
seseorang lelaki di Eropa, seorang Kristen yang penuh komitmen tetapi juga
fasih berbicara dalam bahasa Arab, bersurat-suratan dengan sarjana Muslim. Ia
berbicara dalam Sembilan bahas dan menulis dalam tujuh bahasa. Orang awam yang
satu ini amat tertarik mempelajari bidang matematika, ilmu hukum, filsafat, dan
sejarah alam. Ketika kebanyakan kaum Kristen di dorong untuk menerima
“kebenaran” secara buta, ia tidak pernah berhenti mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang sulit dan mengganggu. Namun, orang ini bukanlah
seorang intelektual eksentrik yang tidak jelas. Ia adalah Federick II, bocah
dari Apulia, yang menjadi kaisar romawi suci dari barat dan penguasa Silsilia
dan Jerman. Orang-orang sezamannya, yang di cengangkan oleh orang ini segera
setelah ia muncul di panggung internasional, Stupor Mundi, keajaiban dunia.
Pada Federick seluruh harapan Eropa di pusatkan pada tahun 1227. Ketika
akhirnya ia memenuhi sumpahnya untuk bergabung dalam perang Salib dan berangkat
ke timur untuk memenangkan kembali Yerusalem dari sahabatnya, sultan al-Kamil.
Beberapa orang
memandang bakat bahasanya yang luar biasa sebagai tanda dari ilham roh kudus,
tapi yang lain memandang bahwa bakat ini seperti tanda setan yang menimbulkan
kekacauan bahasa pada menara babel. Berbagai kisah tidak menyenangkan beredar
mengenai prilaku Federick yang tidak hanya tidak sesuai dengan ajaran Kristen,
tetapi juga terlihat tidak manusiawi. Konon pernah dalam suatu peristiwa ia
berdebat dengan seorang pendeta mengenai keabadian jiwa. Untuk membuktikan
argumennya, ia memasukan salah seorang murid sang pendeta kedalam sebuah tong
dan memaku tong itu, ketika si murid malang itu mati, Federick menunjukan bahwa
jiwanya juga pasti mati, karena tidak mungkin jiwanya lari dari tong itu.
Beberapa hal penting tentang Federick. Pertama, ia lelaki yang dapat
memunculkan kisah-kisah semacam ini karena ia membuyarkan asumsi-asumsi
mendasar orang kebanyakan dan terlihat berperilaku begitu lepas dan tidak
peduli pada aturan-aturan umum. Kedua, walaupun Federick sering di puji, tentu
atas dasar alasan yang cukup tepat, tapi kenyataanya ia begitu ceroboh dan
sarjana amatir. Ketiga, Federick siap mengeksploitasi siapapun.
Selama lima puluh tahun
terakhir, kaum Kristen Eropa telah diperintahkan oleh gereja untuk tidak
melakukan hubungan apapun dengan kaum Muslimin atau Yahudi, dua korban perang
Salib. Tetapi Federick di besarkan di dunia Medeterania, tempat berkembangnya
sikap yang amat berlainan dengan eropa Kristen. Federick di besarkan di
Sisilia, di tempat kaum orang Muslim, orang Normandia, dan orang Jerman hidup
damai berdampingan. Federick tumbuh dewasa dalam atmosfer cosmopolitan, yang
menjadikanya mustahil untuk percaya hanya pada satu sudut pandang saja. Kebanyakan
anak-anak bangsawan di Eropa akan mendapatkan pendidikan monastic yang ketat,
tapi Federick di biarkan belajar sendiri. Federick selalu meyakini bahwa pada
akhirnya Kristen adalah agama yang benar, tapi itu tidak berarti Federick
membenci orang Muslim atau orang-orang Byzantium atau menganggap mereka sebagai
kaum kafir atau bid’ah.
Federick telah membuat
berbagai persiapan untuk perang Salibnya selama beberapa waktu. Perang Salib Federick
yang dilakukan oleh para kesatria Teutonis, akan menjadi perang Salib kaisar
dan bukan perang Salib ke pausan. Tahun sebelumya Federick membuat sebuah
langkah lain yang tentu saja menggetarkan Eropa yang sedang diliputi gairah
untuk bergabung dalam perang Salib. Ia menikahi putri Yolanda, pewaris tahta
Acre dan Yerusalem. Nasib gadis enam belas tahun yang malang ini memperlihatkan
kekejaman Federick yang dingin. Pada malam penikahan, Federick meniduri sepupu
Yolanda dan pada akhirnya mengirimkan Yolanda ke Palerno, tempat ia
menghabiskan hidupnya yang merana jauh rumahnya di timur, hingga pada 25 November
1228 ia melahirkan seorang putra, Conrad, yang menjadi pewaris sah tahta Yerusalem
dan menjadi cahaya kehidupan bagi ayahnya. Setelah menunaikan tugasnya, Yolanda
wafat enam hari setelah melahirkan.
Selama perang Salib ke
lima, sultan al-Kamil mendengar banyak pembicaraan mengenai seorang kaisar kuat
dari barat yang dalam waktu singkat akan tiba di Mesir. Ia mulai
bersurat-suratan dengan Federick. Pada tahun 1227, sang sultan mengusulkan agar
Federick berangkat ke timur. Ia baru saja bertengkar dengan saudaranya,
al-Muazam, penguasa Damaskus dan Yerusalem, dan berkata pada Federick bahwa ia
akan amat senang membantu Federick menaklukan Yerusalem dan merebutnya dari saudaranya.
Ini kabar baik bagi Federick, yang baru saja di ancam oleh Georgy untuk di
kucilkan jika gagal memenuhi sumpahnya untuk bergabung dalam perang Salib. Penaklukan
Yerusalem akan murni sebagai formalitas, pikirnya, penobatan tahta sebagai raja
Yerusalem akan memberinya gengsi di barat dan akan meningkatkan posisinya dalam
melawan Paus.
Tentara Salib berlayar
dengan 3.000 ksatria dan 10.000 peziarah. Tapi cuaca panas dan jumlah peserta
rombongan Salib yang begitu banyak menyebabkan menyebarnya penyakit malaria.
Federick sendiri menjadi sakit dan di paksa untuk berhenti di Otranto,
sementara tentara Salib lainnya berlayar ke Acre tanpa dirinya.
Ketika Federick sakit,
al-Muazam wafat, meninggalkan Damaskus kepada putranya yang masih amat muda dan
tidak berpengalaman, al-Nashir. Kini tampaknya al-Kamil mampu menaklukan
seluruh Palestina dan Suriah tanpa membuat perjanjian yang tidak popular dengan
mengembalikan al-Qudus kepada kaum Kristen. Tetapi al-Kamil seorang lelaki
terhormat dan terus merasa berkewajiban untuk menepati janjinya pada Federick
jika ia memang mampu.
Perjanjian itu pastilah
merupakan salah satu pencapaian diplomatis yang luar biasa sepanjang waktu. Tanpa
sekalipun memerangi kaum Muslimin, Federick berhasil merebut kembali Yerusalem.
Dengan cara bekerja sama dalam kesepakatan damai, ia berhasil mencapai sebuah
hasil yang tidak dapat di capai oleh tentara Salib barat ketika mereka
berkekuatan luar biasa.
Al-Kamil mengalami
kesulitan yang lebih besar. Segera setelah perjanjian itu diumumkan, kata ibn
Washil, “negeri-negeri Islam tersapu oleh sebuah badai yang luar biasa.”
Orang-orang membanjiri jalanan di Baghdad, Mosul, dan Aleppo, dan pada berbagai
pertemuan di masjid-masjid, al-Kamil dikutuk sebagai penghianat Islam. Tetapi Federick
tidak merasa terganggu oleh ratapan-ratapan ini, Federick bergerak ke Yerusalem
untuk penobatannya, ia langsung naik ke altar, mengambil mahkota dan memasangkannya
ke kepalannya sendiri. Setelah penobatan, Federick pergi ke bukit kuil untuk
mengunjungi tempat-tempat suci kaum Muslimin. Ketika ia melihat pendeta
memasuki masjid dengan memegang perjanjian baru, Federick memukulinnya:” demi Tuhan,
jika salah satu dari kalian berani masuk kesini lagi tanpa izin, aku akan
mencungkil matanya!”.
Perjanjian-perjanjian
damai yang ia buat membangkitkan sauvinisme-religius-lama yang telah membantu
kehancuran kerajaan Yerusalem pada tahun 1187. Namun demikian, Federick tidak
di tolak oleh semua orang di Eropa, meskipun ia tetaplah seoerang yang
controversial hingga ia wafat pada tahun 1250 pada usia 57 tahun. Gairah yang
di ilhamkan oleh Federicck berarti bahwa walaupun ia tidak dapat memenuhi
satupun harapan ini, segera setelah kematiannya pada tahun 1250, timbul sebuah
kepercayaan bahwa ia akan kembali dan menyelamatkan dunia. Ia akan menjadi
seorang messiah Kristen, yang akan bertempur atas nama kaum miskin,
menjugkalkan orang-orang berkuasa dari tahta mereka dan menumbangkan Paus serta
para gerejawan kaya yang akan menjadi aib dunia Kristen, karena mereka menindas
kaum miskin Kristen. Ia menunjukan bahwa mungkin saja untuk hidup dan
menghormati kaum Muslim. Harus di akui bahwa ia bersedia mengeksploitasi kaum Muslim
jika memang menguntungkan baginya. Tapi pada waktu itu kebanyakan orang telah
kukuh berkomitmen untuk membenci kaum Muslim maupun kaum Yahudi.
Pada tahun-tahun
sesudah kematian Federick, para pendukungnya menjadi kaum bid’ah dan pemberontak.
Sementara itu, para musuh Federick menjadi kaum mapan. Sikap tidak toleran
terhadap kaum Muslim menjadi sebuah kebiasaan yang mustahil di tiadakan di Eropa.
Lebih banyak lagi sarjana yang menulis tentang Islam dan Nabi Muhammad selama
abad ke -13 yang membawa kebencian ini ke Eropa. Para sarjana Kristen tidak
dapat memahami bagaimana Muhammad dapat mendorong ketaatan yang setia di dunia Arab
begitu rupa, dan arena itu para sarjana menampilkannya sebagai seorang penipu
atau tukang sihir yang mahir, yang menampilkan “mukjizat” palsu sehingga
memukau orang-orang Arab yang berpikiran sederhana. Para sarjana abad ke -13
betul-betul tidak mampu memandang Islam diluar konteks Kristen barat. Mereka
masih meyakini, misalnya, bahwa Muhammad itu seorang bid’ah Kristen yang
membentuk sebuah sekte-Kristen baru.
Pada saat yang
bersamaan, kebencian orang-orang Eropa terhadap kaum Yahudi selama abad ke-13
mengalami perkembangan baru. Pada tahun 1243, di dekat Berlin, kaum Yahudi
untuk pertama kalinya di tuduh mencuri ekaristi dari gereja-gereja dan
meremukan biscuit hingga hancur. Tak ada yang mampu berfikir rasional bahwa,
karena kaum Yahudi jelas tidak mempercayai bahwa Yesus hadir dalam ekaristi,
tentu mereka tidak terlalu tertarik untuk mendobrak masuk ke dalam gereja dan
menodai roti perjamuan kudus yang telah di berkati.
Raja Louis IX tidak
lebih berbeda dari Federick. Oleh kebanyakan orang Eropa ia di angggap sebagai
model sempurna raja Kristen dan sebuah contoh mengenai teladan kaum Kristen
pada abad ke -13. Louis di anggap sebagai seorang santo oleh anggapan masyarakat
umum dan di kanonisasi oleh greja mapan yang resmi. Walaupun ia sering
berperilaku kejam, berpikiran sempit, dan kerdil, ia masih di sebut sebagai
“St. Louis “. Jika Federick menampilkan dirinya sebagai seorang penguasa yang
kaya dan eksotis, Louis menampilkan kehidupan yang jauh lebih sederhana. Yang
paling spektakuler dari pencapaian seni bangunanya adalah La Sainte Chapelle di
istana kerajaanya yang megah, yang mulai ia bangun di awal tahun 1240-an. Bahwa
kuil itu dibangun untuk mengagungkan kesucian Tuhan. Tapi kita harus ingat
bahwa itu merupakan salah satu karya dari perang Salib. Tanpa pertumpahan
darah, kekerasan dan penghancuran, yang terjadi dalam perang Salib, kapel itu
tidak akan pernah di bangun.
Pada tahun 1244, dunia
Kristen mendengar kabar menakutkan bahwa kaum Kristen telah kehilangan kerajaan
Yerusalem sekali lagi. Dinasti Turki Khwarazmi telah di usir dari Asia tengah
oleh gerombolan tentara Mongol, dan tiba-tiba berperilaku kejam dan tak
terkendali, kabur ke arah barat untuk pergi sejauh mungkin dari kaum Mongol
yang sangat mengerikan, sambil menghancurkan kota-kota dalam kepanikan mereka.
Hilangnya Yerusalem adalah sebuah trauma dan ancaman yang lazim bagi keutuhan
dunia Kristen. Pada tahun itu, Louis jatuh sakit di Paris.
Harapan menyingsing
kembali dan tiga saudara Louis serta kebanyakan kaum bangsawan juga mengambil Salib.
Dengan seorang santo yang telah disahkan gereja sebagai kepala tentara Tuhan,
terasa bahwa perang Salib ketujuh tidak mungkin gagal. Louis ingin menjadikan
perang Salib kembali pada prinsip-prinsip fundamentalnya. Pastinya tidak ada
perjanjian dengan kaum kafir dan tentaranya akan sesaleh perang salib pertama.Louis
kembali ke semangat perang Salib pertama, yang berdoa seakan semua persoalan
tergantung pada Tuhan, tapi bertempur dan berencana dengan seluruh
keahlian-manusiawi yang dapat mereka kerahkan.
Pada bulan Mei, tentara
Louis yang modern dan terbekalli dengan baik berlayar dari Siprus ke Demiette
di Mesir. Ia tiba di Mesir dengan momen yang sangat menguntungkan. Sultan
sedang di ambang kematian dan putranya serta pewarisnya, Turanshah, sedang
berada jauh dari jazirah. Karena itu, ada peluang yang amat baik bagi
terjadinya sebuah revolusi di istana. Kaum Muslim kekurangan rasa percaya diri
dalam periode yang buruk ini, sehingga para warga dan pasukan langsung kabur
dari Damietta. Dengan demikian, tentara Salib dapat menduduki kota itu tanpa
pertempuran sedikitpun. Sultan yang sedang diambang kematian memberi tawaran
yang sama seperti tawaran ayahnya, Al-Kamil, tiga puluh tahun sebelumnya: ia
akan mengembalikan Yerusalem kepada kaum Kristen jika Louis mau meninggalkan
Mesir. Tentu saja Louis menolak perjanjian dengan kaum kafir dan dengan penuh
percaya diri menunggu air sungai Nil surut untuk melanjutkan oprasi perangnya.
Situasi terjepit yang
baru dirasakan ini menumbuhkan tekad yang kuat, cara berfikir yang realistis,
dan keliahaian politis dikalangan kaum Muslim, yang pada akhirnya akan terbukti
unggul melampaui tindakan kepahlawanan perang Salib yang lumayan ketinggalan
zaman. Kaum Muslim menyiapkan diri untuk pertempuran yang akan menjelang.
Ketika sultan akhirnya meninggal tiga hari kemudian, sultan Shazar al-Dur
bertindak dengan tangkas dan efisien dengan merahasiakan kematian sultan. Pada
malam tanggal 8 Februari 1250, tentara Salib berhasil menyebrangi kanal yang
memisahkan mereka dari perkemahan Mesir, melakukan serangan mendadak dan
membuat musuh kocar-kacir. Louis dan tentara utama berhasil menahan kaum Muslim
dan bertahan dibekas perkemahan tentara Mesir. Namun, mereka tidak cukup kuat
untuk merebut kota yang telah dilengkapi dengan mesin perang yang jauh lebih
baik dari yang mereka miliki. Tentara Salib menetap hingga delapan minggu di
luar Mansurah. Pada tanggal 11 Februari, kaum Muslim menyerang perkemahan itu
dan menjatuhkan banyak korban. Turanshah tiba dan tidak terjadi refolusi di
istana. Armada Mesir memotong suplai makanan dan kelaparan menghantui
perkemahan yang dengan segera disusul dengan wabah penyakit. Ekspedisi yang
begitu megah itu kemudian menjelma menjadi sebuah mimpi buruk.
Setelah Louis
menghadapi kenyataan yang sedemikian rupa, ia akhirnya menawarkan perundingan
dengan sultan Turanshah. Tapi terlambat, karna orang Mesir sangat tahu bahwa
posisi Louis sedang berada diujung tanduk. Keadaan menjadi tanpa harapan. Pada
awal April, Louis dan para pejabatnya memutuskan untuk mundur. Dimata John dari
Joinville, kaum Muslim terlihat menjadi manusia biasa. Ia mengenang kebaikan
seorang prajurit Muslim tua yang biasa menggendong tentara Salib yang sakit ke
kakus di punggungnya setiap hari.
Pada akhirnya,
syarat-syarat pun disepakati: istri Louis, ratu Margareth dan para ksatria kuil
berhasil mengumpulkan jutaan besant untuk pembebasan raja dan sebagian besar
tawanan. Pada tanggal 6 Mei, Damietta diserahkan kembali kepada kaum Muslim dan
tentara Salib yang sakit dan kelelahan dilayarkan kembali ke Acre. Selama dua
tahun kemudian, Louis dan sejumlah Baron dari Prancis bertahan ditanah suci,
membangun dan memperbaiki benteng-benteng. Perang Salib para insinyur berakhir
sebagai sebuah proyek pembangunan. Kekalahan mutlak pada perang Salib ketujuh
memperjelas bagi banyak orang betapa mustahil menaklukan Yerusalem dari Islam
dan perang Salib semestinya ditinggalkan: setelah tahun 1250, perang Salib
baginya terlihat sebagai sebuah tindakan yang tidak berguna dan hanya seperti
melakukan keasyikan yang tak bermanfaat.
Setelah kaum Mongol
menaklukan Gaza, mereka tentu saja mengincar Mesir. Seorang utusan menghadap sultan Mamluk untuk membawa
perintah agar menyerah. Setelah utusan itu selesai berbicara, sultan begitu
saja memenggal kepada utusan tersebut. Kini muncul sebuah sikap kasar baru pada
jiwa kaum Muslim pada bulan Juli 1260, Qutuz menyerbu Palestina, karena
menyadaari bahwa inilah kesempatan terakhir bagi Islam. Pada saat itu beberapa
baron di Acre, mekiupun tidak demikaian dengan para baron di Antiokhia, menjadi
sadar sepenuhnya akan kebrutalan-kaum Mongol yang biadab. Walaupun mereka tidak
mau bertempur bersama tentara Muslim, mereka setuju untuk tidak menyerang kaum
Mamluk. Ketika sebuah revolusi pecah di Damaskus pada akhir bulan Agustus,
Qutuz punya waktu untuk menempatkan pasukannya dengan amat hati-hati di Ain
jalut di Galilea. Pada tanggal 3 September, kedua tentara itu betemu. Dengan sebuah
taktik jebakan yang brilian, kaum Mamluk mengalahkan dan membantai seluruh
tentara Mongol. Pertempuran ini, yang sebenarnya telah mengubah sejarah, menandai
berakhirnya supermasi kaum Mongol. Sungguh kekalahan yang ironis bagi harapan
Louis. Bukannya kaum Mongol yang menyelamatkan kaum Kristen dari ancaman Islam,
justru kaum Muslimlah yang menyelamatkan dunia Kristen dari kaum Mongol.
Bukannya kaum Mongol beralih menjadi agama Kristen, mereka akhirnya menetap di
Persia dan Palestina serta menjadi pemeluk Islam.
Hanya dua bulan setelah
kemenangan besar di Ain Jalut, Baibars, pahlawan pertempuran Mansurah, membunuh
qutuz dan menjadi sultan Malmuk. Ini benar-benar Islam yang baru. Trauma pada
tahun-tahun terakhir sebelum kejadian itu telah menghasilkan sebuah kekejaman
yang dingin dan tekad yang nekat untuk bertahan hidup. Itulah perang Salib
terakhir. Kegagalan kaum Kristen ini kemudian mengantarkan munculnya pertanyaan
tentang integritas iman Kristiani. Apakah Tuhan telah meninggalkna umat
pilihan-Nya? Apa makna keberhasilan baru kaum Muslim itu? Namun, pada akhirnya
kaum Kristen ditimur lah yang terbukti menjadi musuh terburuk mereka di Suriah.
Tapi, ketika Baibars wafat, sultan Qalaur, penerusnya, terlihat ingin
menjalankan kemauannya sendiri dengan bersahabat dengan kaum Frank. Pada tahun
1183, ia mamperbaharui perjanjian yang telah ia buat anatara Baibars dan kaum
Frank, Acre, Athlit, dan Sidon hidup damai dengan para tetangga kaum Muslim
mereka.
Sultan mendesak kaum Muslim
memanfaatkan Acre sebagai pelabuhan dagang. Kota itu tak pernah begitu sibuknya
dan bahkan begitu makmurnya tapi ada sebuah partai agresif yang berfaham
Sauvinisme religius. Mereka mendesak raja Hendry agar meminta Paus untuk sekali
lagi melakukan perang Salib. Pada tahun 1290, sebuah armada perang Salib dari
Italia berlayar menuju pelabuhan Acre. Tentara Salib itu dibekali perbekalan
yang dipenuhi minuman beralkohol. Pada saat itu Acre telah dikuasai oleh
kegilaan perang Salib dan menolak untuk melakukan perdamaian apapun. Tentara Muslim
meninggalkan Kairo pada tanggal 4 November 1290. Namun, keesokan harinya Qalaun
yang telah berusia 77 tahun wafat dan digantikan oleh anaknya Al-Asyraf Khalil.
Pada bulan Maret 1291, tentara itu berangkat kembali dan kali ini mencapai
Acre. Akhirnya pada tanggal 17 Juni kaum Muslimin menerobos kota. Sekali lagi
kaum Kristen berjumpa dengan sikap permusuhan kaum Muslim yang tak kenal
kompromi. Para tawanan yang menyerah dengan niat baik dengan tanpa ampun
dipenggal. Para lelaki semuanya dibunuh, membunuh bayi-bayi yang digendong ibu
mereka dan membantai perempuan hamil. Para sejarahwan Muslim kontemporer
memandang adanya sebuah lingkaran setan dari semua kejadian ini. Kaum Muslim
menaklukan Acre dari kaum Kristen pada 17 Djumadil akhir.
Inilah mungkin akibat
paling tragis dari perang Salib. Kekerasan tentara Salib pada tahun 1099 telah
membuat negeri dunia Muslim di timur dekat. Kini di Acre, kaum Kristen
mengalami kekejaman kaum Muslim yang baru yang telah mereka tanamkan diwilayah
itu. Dalam pandangan ini, serbuan kaum Muslim ke Palestina bukianlah sebuah
lingkaran mekanis, tetapi hanya masalah sebab akibat. Kaum Frank itu ingin
mengusir kaum Muslim dari kota-kota mereka dan menaklukkan negeri mereka.
Karena itu, kaum Muslim harus menyerang kembali hingga keadaan yang
membahayakan itu lenyap.
Petualangan perang Salib
yang dahsyat telah usai. Impian tersebut memakan waktu amat lama untuk menemui
kematiannya. Selama hampir dua ratus tahun, saat barat menemukan jiwanya,
perang Salib tetap menjadi gairah utama. Jutaan kaum Yahudi, Kristen, dan
Muslim tewas dalam berbagai perang suci biadab ini. Tentara Salib telah
membantai dan mengusir kaum Yahudi dan kaum Muslim dari rumah mereka, tapi pada
akhirnya meraka terusir akibat fanatisme mereka sendiri. Kaum Muslim kini
menguasai seluruh timur dekat dan wilayah penting Anatolia.
1300 Hingga Kini
Tentara Salib Baru di Barat
Pada tahun 1483, Ferdinand dan Isabella memproklamasikan Inkuisisi Nasional Spanyol untuk memburu kaum Yahudi bawah tanah. Para inkuisitor dari kaum Dominikan dan Fransiskan mengumpulkan para tersangka di antara para marrano, menyiksa mereka dan memaksa mereka untuk mengakui kesetiaan mereka pada agama Yahudi dan untuk melaporkan kaum Yahudi bawah tanah yang lain. Tahun 1492 sering dianggap sebagai titik peralihan simbolis sebagai awal mula zaman modern. Pada tahun itu, di Spanyol terjadi peristiwa yang sangat penting. Pada bulan Januari Raja Ferdinand dan Ratu Isabela akhirnya memenangkan perang-penaklukan-kembali kaum Kristen, ketika mereka menaklukan kerajaan Muslim di Granada, benteng kuat terakhir Islam di Eropa.
Hari ini orang-orang Arab merasakan penyesalan ganda atas periode Utsmani, yang mereka pandang sebagai masa kegelapan. Pertama, Imperium Utsmani adalah sebuah otokrasi-militer yang memiliki sistem-sosial-feodal yang membusuk. Kekuatan awalnya secara tak terhindarkan membuka jalan bagi sebuah keruntuhan yang lama dan menyakitkan, dan orang-orang Arab juga ikut runtuh di dalamnya. Kedua, ketika Imperium itu akhirnya tumbang pada tahun 1918, orang-orang Arab lantas berada di bawah kekuasaan barat non-Islam. Ini bukan perebutan kekuasaan yang tiba-tiba.
Pengucilan dan pengusiran kaum Yahudi Spanyol tentu saja mendorong tumbuhnya semangat separatis di kalangan mereka. Kita telah melihat bahwa penderitaan dan tekanan yang harus ditanggung kaum Yahudi selama periode perang Salib telah mengantarkan sebagian mereka pada bagian cara penyelesaian kaum zionis. Selama abad ke-13 ratusan orang melakukan aliyah ke Palestina. Tapi lenyapnya Spanyol telah membawa pada perkembangan yang berbeda yang sangat penting dalam kisah kita: muncul suatu antusiasme baru dan popular tehadap mistisisme dan ideologi Kabala.
Selama abad ke-16, kaum Yahudi dan orang-orang Arab dalam cara yang amat berbeda sama-sama menolak rasionalisme intelektual yang sebelumnya telah menjadi ciri kaum Yahudi dan tradisi Islam. Pada abad ke-17 kita menemukan seorang misionaris Katolik, M. Febvre, yang menggambarkan kaum Muslim sebagai kaum “Protestan umat Muhammad” yang memercayai justifikasi hal ini berdasarkan kepercayaan yang ia percayai.
Zaman akal di abad ke-18 memberi jalan bagi sebuah kebangkitan kembali agama Kristen yang kuat dan fundamentalis di abad ke-19. Secara serupa, sekularis abad ke-20 telah memberi jalan bagi semangat-semangat yang terbaru sekali.
Kenyataan bahwa tempat tersuci di dunia Kristen itu menjadi tempat ketegangan sengit antara Kristen barat dan timur adalah sebuah indikasi bahwa irasionalitas dan kebencian perang Salib betul-betul belum lenyap.
Ketika presiden Jimmy Carter, perdana menteri Menachem Begin, dan Presiden Anwar Sadat menandatangani perjanjian Camp David pada tahun 1979, banyak dari kita berpikir dengan lega bahwa masalah Arab-Israel mungkin dapat diatasi. Kini kita menyadari betapa salahnya kita. Presiden Carter kehilangan jabatannya karena ia tak dapat memaksa rezim Ayatulloh Khomeini untuk mengembalikan parasandera Amerika. Presiden Anwar Sadat dibunuh oleh para ekstrimis Muslim di negerinya sendiri, terutama karena perjanjian Camp David. Menachem Begin, yang seorang religius, dikutuk oleh kaum Yahudi religius dan sekuler di Israel karena menyerahkan kembali semenanjung Sinai ke Mesir. Masalah ini tidak dapat diselesaikan dengan perjanjian-perjanjian territorial biasa. Terlalu banyak perasaan-religius-mendalam dan terlibat dan emosi-emosi ini membuat gagasan mengenai kehidupan bersama dalam sebuah negeri menjadi mustahil.
Agama Kristen yang berperang Salib berkembang sebagai sebuah tanggapan atas sebuah periode-panjang abad-kegelapan yang penuh kehinaan dan ketikberdayaan. Perang Salib adalah sebuah langkah-penyimpanan-baru, sama sekali tak ada hubungannya dengan agama Yesus yang cinta damai. Tapi perang Salib bagi orang-orang Eropa telah memberikan sebuah ideologi yang dapat memulihkan kehormatan diri diri mereka serta mengantarkan Barat menjadi Adidaya di dunia. Revolusi Iran dengan kebenciannya terhadap dunia barat, lahir dari kehinaan dan ketakberdayaan selama periode kolonial, ketika Inggris dan Amerika dirasa telah memeras rakyat Iran dan mendukung rezim tiran Syah.
Kaum Yahudi dan orang-orang Arab memiliki masalah-masalah sendiri diantara mereka masing-masing. Keduanya harus melintasi jalan panjang sebelum solusi damai menjadi sebuah kemungkinan.