ANALISIS
TEORI SOSIOLOGI: TINJAUAN FENOMENA BUDAYA POPULER KOREA SELATAN (HALLYU)
TERHADAP KEBUDAYAAN INDONESIA
MAKALAH
Diajukan sebagai syarat
ketuntasan Mata Kuliah Teori Sosiologi
oleh,
Nama : Anita
Semester : IV – A
NIM : 1110015000015
PRODI
SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI JURUSAN P.IPS
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Landasan Teori
Hallyu,
merupakan nama lain dari kebudayaan Korea Selatan yang saat ini sedang menjadi trandmark
remaja di Indonesia. Fenomena kecanduan budaya Korea ini berawal dari akibat
yang ditimbulkan oleh kemajuan arus
teknologi, informasi dan komunikasi
yang semakin cepat menyebar
di seluruh dunia. Awal mula masuknya budaya populer Korea Selatan ke Indonesia khususnya,
dan Asia secara umumnya dimulai sejak adanya serial televisi yang mampu
menggantikan sinetron kejar tayang (stripping) di negara-negara Asia
termasuk Indonesia. Dengan cerita yang sangat ringan dan menghibur namun tetap
elegan, menjadi daya tarik
tersendiri bagi perkembangan
serial televisi Korea Selatan di Negara-negara kawasan Asia. Sebagai contoh
perkembangan awal masuknya serial televisi Korea Selatan di Indonesia adalah
dengan tayangnya serial televisi berjudul “Endless Love”. Sebuah kisah yang sangat
mengharu biru dan romantis, begitupun dengan tayangnya “Winter Sonata” sebagai kelanjutannya.
Dua serial popular itulah yang mengawali
pesatnya pertumbuhan serial televisi Korea Selatan di Indonesia.
Setelah
suksesnya kisah mengharu biru “Endless
Love”
dan “Winter Sonata”, stasiun televisi yang
melihat pasar luar biasa segera meneruskan pemutaran serial televisi dari Korea
Selatan. Selanjutnya mereka mulai memperkenalkan unsur klasik kebudayaan Korea dalam serial
televisi berjudul “Jang – Geum” (Jewel
in The Palace) yang memperjuangkan hidup seorang dokter perempuan pertama
di Korea Selatan. Hal tersebut menarik minat tersendiri karena tidak lain para
penggiat serial Korea adalah berasal dari golongan wanita baik dewasa maupun
remaja. Setelah itu stasiun televisi melanjutkan penayangan serial Korea yang
semakin digemari tersebut dengan kisah yang menghibur dan terkesan bercampur unsur
komedi seperti Full House, Princess
Hours, dan lain – lainnya.
Seiring
dengan semakin tingginya rating acara televisi serial Korea ini, media cetak
mulai berinisiatif memperkenalkan para bintang atau pemerannya. Mulailah media
massa berlomba-lomba setiap minggunya menyajikan sebuah poster dari aktor dan
aktris serial televisi Korea. Poster ini disajikan sebagai bonus terbitnya
tabloid mingguan yang membahas kehidupan pribadi para artis tersebut. Berbagai
tabloid ini sangat laris mengingat antusiasme besar para remaja Indonesia
terhadap idola barunya yang berparas tampan dan cantik. Secara perlahan namun pasti mereka mulai
melakukan imitasi dengan meniru gaya berpakaian maupun model rambut mereka
(biasa disebut
K-Style). Imitasi berlebihan ini diperlihatkan dengan menjadikan “Negara Gingseng” tersebut sebagai trendsetter
mode pakaian dan penampilan remaja Indonesia. Bukan hanya dari segi penampilan
saja, remaja Indonesia-pun mulai meniru tingkah laku dan kuliner dari Negara
ini.
Tanpa
henti, budaya populer Korea terus menyerang
eksistensi kebudayaan Indonesia. Pertunjukan boyband (Korean pop) yang
diiringi dengan pertunjukan tarian mulai menghiasi dunia maya. Arus globalisasi
yang sangat pekat membuat perkembangan budaya populer ini menjadi sangat
cepat membudaya layaknya jamur di
musim hujan. Di samping
kecemasan para remaja akan hilangnya sosok idola dari negeri sendiri, membuat mereka dengan
mudah menerima unsur asing tersebut. Dengan melihat peluang berhasilnya boyband
yang sangat besar,
pada akhirnya remaja Indonesia mulai meniru aksi dan kreasi para
boyband asal Korea. Bukan hanya dalam hal penampilan, mereka juga
berlomba-lomba menyerupai kepribadian para idolanya. Lalu, Mengapa penjajahan
budaya ini dapat terjadi? Dan akibat apa yang ditimbulkan fenomena ini?
Bagaimana sosiologi yang mengkaji fakta sosial dalam masyarakat menanggapi hal ini?
Jawabannya insya Allah
akan terjawab dalam makalah ini.
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah penulis kemukakan,
maka perumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Apakah definisi
kebudayaan menurut para ahli beserta unsur-unsurnya?
2.
Apakah definisi Budaya Populer?
3.
Bagaimana perkembangan
Budaya Populer Korea Selatan di negaranya dan Negara-negara kawasan Asia?
4.
Bagaimana respon remaja
dari infiltrasi seluruh unsur budaya Korea terhadap Negara-negara di kawasan
Asia khususnya Indonesia?
5.
Bagaimana teori
sosiologi-ekonomi melihat fenomena ini?
6.
Bagaimana teori
sosiologi modern, post-modern dalam menanggapi fenomena ini?
7.
Bagaimana cara
menghadapi serangan Globalisasi dalam Negara Indonesia?
8.
Bagaimana solusi singkat dari permasalahan
budaya ini?
C.
Tujuan Penulisan
Berdasarkan
perumusan masalah yang telah penulis kemukakan, maka tujuan penulis menulis makalah
ini adalah sebagai berikut :
1.
Mengetahui definisi
kebudayaan menurut para ahli beserta unsur-unsurnya.
2.
Mengetahui definisi
Budaya Populer.
3. Mengetahui bagaimana
perkembangan Budaya Populer Korea Selatan di negaranya dan Negara-negara
kawasan Asia.
4.
Mengetahui bagaimana
respon remaja dari infiltrasi seluruh unsur budaya Korea terhadap Negara-negara
di kawasan Asia khususnya Indonesia.
5.
Mengetahui bagaimana
teori sosiologi-ekonomi melihat fenomena ini.
6.
Mengetahui bagaimana
teori sosiologi modern, post-modern dalam menanggapi fenomena ini.
7.
Mengetahui bagaimana cara
menghadapi serangan Globalisasi dalam Negara Indonesia.
8.
Mengetahui bagaimana solusi
singkat dari permasalahan budaya ini.
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
Definisi Budaya Populer
Untuk membahas pengertian
“Budaya Populer” ada baiknya
kita pahami dulu tentang kata “budaya”, dan “pop”. Selanjutnya untuk
mendefinisikan budaya pop kita perlu mengkombinasikan dua istilah yaitu
”budaya” dan ”populer”.
Secara
antropologi,
istilah Kebudayaan dan Kultur
berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi
yang berarti “budi” atau “akal”. Kebudayaan sendiri
dapat diartikan sebagai
hal-hal yang bersangkutan dengan akal.[1]
Menurut Achmad Fedyani Saifuddin, arti
kebudayaan yaitu
totalitas fikiran, kemampuan, dan objek yang dimiliki bersama oleh suatu
komunitas atau masyarakat.[2]
Menurut Rusmin
Tumanggor, kebudayaan adalah ide berupa model-model pengetahuan yang dijadikan
landasan atau acuan oleh seseorang sebagai anggota masyarakat melakukan
aktivitas sosial, menciptakan materi kebudayaan dalam unsur agama universal:
agama, ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, organisasi sosial, bahasa dan
komunikasi, serta kesenian.[3]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah hasil cipta, rasa,
dan karsa masyarakat yang terwujud dalam bentuk kebendaan maupun yang abstrak.
Sedangkan kata
”pop” diambil dari kata ”populer”. Terhadap istilah ini Williams memberikan
empat makna yakni: (1) banyak disukai orang; (2) jenis kerja rendahan;
(3) karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang; (4) budaya yang
memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri. Kemudian untuk
mendefinisikan budaya pop kita perlu mengkombinasikan dua istilah yaitu
”budaya” dan ”populer”.[4]
Ada satu titik
awal pertama yang menyatakan bahwa budaya pop itu memang budaya yang menyenangkan
atau banyak disukai orang. Kedua, untuk mendefinisikan budaya pop
adalah dengan mempertimbangkan budaya tertinggal (rendah).
Budaya pop menurut definisi ini merupakan kategori residual untuk mengakomodasi
praktik budaya yang tidak memenuhi persyaratan budaya tinggi. Dengan kata lain
budaya pop didefinisikan sebagai budaya ”substandar”. Yang diuji oleh budaya
pop meliputi seperangkat pertimbangan nilai teks atau praktik budayanya.
Ketiga,
mendefinisikan budaya pop sebagai ”budaya massa”. Definisi tersebut sangat
tergantung pada definisi sebelumnya. Mereka menyatakan budaya pop adalah
”budaya massa” dengan tujuan menegaskan bahwa budaya massa secara komersial
tidak bisa diharapkan. Ia diproduksi massa untuk konsumsi massa. Audiensnya
adalah sosok-sosok konsumen yang tidak memilih. Budaya itu sendiri dianggap
hanya sekedar rumusan, manipulatif (misalnya, politik kanan/kiri yang
tergantung pada siapa yang menganalisisnya).
Budaya ini dikonsumsi oleh tanpa dipikirkan panjang.[5]
Definisi
keempat, menyatakan
bahwa budaya pop adalah budaya yang berasal dari ”rakyat”. Ia mengangkat
masalah ini melalui pendekatan yang beranggapan bahwa budaya pop adalah sesuatu
yang diterapkan pada ”rakyat” dari atas. Budaya pop adalah budaya otentik
”rakyat”. Budaya pop seperti halnya budaya daerah merupakan dari rakyat untuk
rakyat. Definisi pop dalam hal ini seringkali dikait-kaitkan dengan konsep
romantisme budaya kelas buruh yang kemudian ditafsirkan sebagai sumber utama
protes simbolik dalam kapitalisme kontemporer.
Definisi kelima, budaya
pop berasal dari analisis politik tokoh Marxis Italia, Antonio Gramsci,
khususnya tentang pengembangan konsep hegemoninya. Gramsci menggunakan istilah
”hegemoni” untuk mengacu pada cara di mana kelompok dominan dalam suatu
masyarakat mendapatkan dukungan dari kelompok sub-ordinasi melalui proses ”kepemimpinan”
intelektual dan moral.
B.
Situasi Budaya Populer Korea di
Negerinya Sendiri
Selama
hampir 50 tahun sejak Korea lepas dari pendudukan Jepang, pemerintah Korea menerapkan larangan masuknya
budaya Jepang. Impor
musik dan film Jepang atau apa pun yang berbau budaya Jepang telah lama
mengalami kesulitan. Hal
ini disebabkan masih adanya rasa sentimen atas 35 tahun penjajahan Jepang di
Korea di awal abad ke-20. Namun, pada tahun 1998 pemerintah Korea Selatan mencabut
larangan itu dan mulailah dengan apa yang disebut dengan maraknya pengaruh
Jepang di Korea. Perlu juga diketahui bahwa walaupun selama masa larangan
masuknya budaya Jepang ke Korea diberlakukan, tidak sedikit masyarakat Korea
yang tetap bisa menerima dan menikmati berbagai produk budaya Jepang. Melihat kenyataan ini, Korea bisa
dianggap ‘tertinggal’ dalam hal terkena pengaruh Jepang pada tahun 90-an, karena negara-negara Asia lain
termasuk Indonesia telah lama terbiasa atau terkena budaya populer atau modern Jepang,
baik lewat film, musik, maupun kartun.
Sejak dicabutnya larangan itu,
situasi budaya populer Korea (dalam hal ini musik, film, fashion, dan lain sebagainya) mulai terpengaruh lagi oleh Jepang. Kaum muda Korea menggandrungi apa pun yang berbau Jepang. Penjualan lagu-lagu Jepang,
bahkan mengalahkan penjualan kaset dari penyanyi dalam negerinya. Film-film Jepang juga mulai mendapat hati
di kalangan masyarakat Korea. Game-game
dari Jepang pun juga mulai mendapatkan tempat di hati para remaja Korea. Yang
menarik adalah apa yang mulai disukai oleh para remaja Korea itu adalah sesuatu
yang masih banyak dibenci oleh kaum tua, yang masih teringat
pahitnya larangan menggunakan bahasa Korea dan hal-hal yang berbau Korea saat
pendudukan Jepang dulu.[6]
C.
Efek Modernitas
Kontemporer
Berdasarkan hal
ini maka untuk mencari teori sosiologi yang terkait dengan permasalahan ini adalah
dengan menganalisisnya dari teori yang dikemukakan oleh para sosiolog klasik. Menurut
Simmel, ada tiga pandangan tentang modernitas, yaitu; pertama adalah modernitas
memberi keuntungan bagi umat manusia,
terutama fakta melalui modernisasi,
manusia mampu mengungkapkan potensi yang belum terungkapkan, tersembunyi, dan
yang tertekan dalam masyakat pra-modern.
Kedua, Simmel menguraikan besarnya pengaruh uang dalam masyarakat modern.
Ketiga, Simmel memusatkan pada upaya menjelaskan akibat merugikan dari uang
terhadap modernitas, terutama alienasi dalam “tragedi kultur”.[7]
Hampir dapat dipastikan bahwa pemusatan modernisme adalah permasalahan mengenai
uang.
Dalam hal ini,
fenomena budaya populer
Korea yang melanda Indonesia seperti sebuah serangan “juggernaut” panser
raksasa yang tak terkendali. Seperti yang dijelaskan Mestrovic dalam teori
Anthony Giddens.
“Modernisasi seperti sebuah “juggernaut”
(panser raksasa) yang telah melaju hingga tahap tertentu bisa dikendalikan,
tetapi juga terancam akan lepas kendali hingga menyebabkan dirinya
hancur-lebur. Panser raksasa ini akan menghancurkan orang yang menentangnya dan
meski kadang-kadang menempuh jalur yang teratur, namun ia juga sewaktu-waktu
dapat berbelok ke arah yang tak terbayangkan sebelumnya.”[8]
Modernitas dalam bentuk panser raksasa ini sangat
dinamis. Selalu berubah arah dengan sangat cepat dan menyebabkan tidak ada
suatu unsur yang dapat menghindar dari serangan panser ini. Budaya populer Korea Selatan yang sedang
sedang menjangkiti remaja Indonesia merupakan suatu keniscayaan akibat keberlangsungan
era modernisasi.
Di samping itu, Giddens
mendefinisikan modernitas yang dilihat dari sudut empat institusi mendasar. Pertama
adalah kapitalisme yang ditandai oleh produksi komoditi, pemilikan pribadi atas
modal, tenaga kerja tanpa properti, dan sistem kelas yang berasal dari sistem
tersebut. Kedua adalah industrialisme
yang melibatkan penggunaan sumber daya alam dan mesin untuk memproduksi serta mempengaruhi sederetan
lingkungan lain seperti transportasi, dan komunikasi. Ketiga adalah
pengawasan dalam bidang politik. Dan keempat adalah kekuatan militer
atau pengendalian atas alat-alat kekerasan, termasuk industrialisasi peralatan
perang.[9]
Kenyataannya, keempat institusi mendasar ini mampu menjadikan
Budaya populer Korea Selatan berkembang dengan sangat pesat. Dengan sokongan
penuh para kapitalis pemilik modal serta Negara, menjadikan konsekuensi logis dari berkembangnya
kebudayaan ini ke seluruh penjuru Asia. Hal ini secara otomatis mengakibatkan kemajuan
pesat pula pada perekonomian Korea Selatan. Gelombang infiltrasi budaya ini tidak
terlepas dari dukungan pemerintah Korea Selatan. Sejak 20 tahun lalu,
rancangan Korea di masa depan agar mendunia dilakukan dengan mengandalkan
budaya yang mereka miliki sebagai senjata. Di tingkat kebijakan publik, untuk
memajukan pasar musiknya di tingkat global, Korea Selatan mengambil kebijakan anti barat.
Pemerintah melarang musik asing dan dikembangkanlah musik yang harus
mencerminkan identitas nasional.[10]
Kim Dae Jung pada saat menjabat presiden Korea
Selatan tahun 1998 yang lalu mengatakan bahwa salah satu tujuan
pemerintahannya adalah meningkatkan ekspor budaya Korea. Korea harus bisa
menjadi suatu negara yang tidak hanya bisa mengekspor hasil industri
manufakturnya, namun juga harus bisa memberikan sesuatu yang lain kepada dunia,
yaitu melalui produk budaya.
Kecerdasan para kapitalis serta dukungan pemerintah Korea Selatan pada
akhirnya menimbulkan apa yang dinamakan dunia modern sebagai “keterasingan
pengalaman”. Keterasingan ini membawa negara yang
termodern-kan pada masa-masa kehilangan identitas Negara secara laten. Dalam
hal ini Giddens menyebutnya sebagai kultur beresiko. Ini bukan berarti bahwa
kehidupan sosial kini lebih berbahaya daripada dahulu. Modernitas mengurangi
resiko menyeluruh bidang dan gaya hidup tertentu, tetapi dalam waktu tertentu
memperkenalkan parameter resiko baru yang sebagian besar atau seluruhnya tidak
dikenal di era sebelumnya.[11]
Akhirnya apa
yang benar bagi kelas sosial dalam dunia modern seperti saat ini adalah
berkaitan dengan Bangsa. Artinya, hingga taraf yang memungkinkan resiko, terpusat di Bangsa
yang miskin,
sedangkan bangsa yang kaya (negeri para kapitalis) mampu menyingkirkan resiko
sejauh mungkin. Bangsa kaya mendapat keuntungan dari resiko yang mereka
ciptakan sendiri. Di sisi
lain, Negara miskin yang
termodernisasikan tidak mampu berbuat banyak karena pada kenyataannya,
seringkali rakyatnyalah yang menjadi korban dalam resiko itu, dan mulai
merefleksikan resiko modernitas itu terhadap Bangsanya.[12]
D.
Mc-Donaldisasi sebagai
Konsekuensi Modernitas
Mc-donaldisasi pada dasarnya memberikan
sasaran perhatian yang hanya tertuju pada rasionalitas formal dan pada fakta
bahwa restoran cepat saji (fast food) mencerminkan paradigma masa kini
dalam rasionalitas formal.[13]
Ada empat komponen rasionalitas formal: efisiensi, kemampuan untuk diprediksi (predictability),
lebih memperhatikan kuantitas ketimbang kualitas, dan penggantian teknologi non-manusia untuk teknologi
manusia. Bentuk rasionalitas inilah yang cenderung menyebabkan
ketidakrasionalan dari sesuatu yang rasional.[14]
Alat konsumsi baru
yang modern dalam pengertiannya adalah bahwa sebagian besar alat-alat itu
inovasi baru yang muncul dan berkembang pada paruh akhir abad ke-20. Seperti
McDonald, alat-alat itu sebagian besar inovasi Amerika yang bukan hanya
mentransformasikan konsumsi di Amerika Serikat, tetapi juga diekspor secara
agresif ke sebagian besar belahan dunia lain di mana alat konsumsi itu bahkan
berdampak lebih besar dari konsumsi.[15]
Mc-Donaldisasi
yang dilakukan oleh Amerika pada akhirnya memberi gambaran penuh bahwa sistem ini
dapat diberlangsungkan oleh Negara-negara lainnya, termasuk Korea Selatan. Efek
domino yang ditimbulkan dari perkembangan Budaya populer Korea menempatkan
Korea Selatan sebagai Negara kapitalis dengan pengaruh kebudayaan ketiga di
seluruh dunia setelah Amerika Serikat dan Jepang.
Perkembangan industri
Korea Selatan yang mengiringi perkembangan mode, sebagai kelanjutan dari
Mc-Donaldisasi yaitu sesuatu yang digemari membawa masyarakat pada suatu
kondisi dimana fakta sosial yang mereka hadapi adalah mode berbusana dan
berpenampilan mengikuti secara sadar bintang Korea. Dalam hal ini, mode
berbusana mereka tidak lagi memperhatikan sisi kualitas dan mementingkan efisiensi
tak logis. Tanpa memperhatikan cocok atau tidaknya mode tersebut, tanpa ampun
mereka mencoba mengikuti tren tersebut tanpa memperhatikan penilaian dari orang
lain terhadapnya. Efek ketidakrasionalan yang ditimbulkan tidak membuat mereka
terhenti dalam mengkonsumsi barang-barang tersebut malah semakin berkonformitas
pada fakta sosial tersebut.
E.
Holocaust (Pemusnahan
Budaya)
Secara ekstrim Bauman menggambarkan
paradigma modern ini seperti Holocaust, penghancuran sistematis orang Yahudi
oleh Nazi. Holocaust adalah produk modernitas dan bukan akibat kerusakan
modernitas seperti pendapat kebanyakan orang. Holocaust bukanlah akibat
irasionalitas atau akibat kebiadaban pra-modern,
tetapi lebih merupakan produk birokrasi rasional yang modern. Bukanlah orang
gila yang menciptakan dan mengelola Holocaust itu melainkan birokrat yang
sangat rasional dan sangat normal.[16]
Seperti segala
sesuatu lainnya yang dilakukan secara modern-rasional, terencana, informasi
ilmiah, manajemen keahlian secara efisien, terkoordinasi. Holocaust
mempermalukan modernitas dan menempatkannya setara dengan situasi pra-modern, menampakkannya
setara dengan perilaku primitif, boros, dan tidak efektif. Holocaust merupakan
sebuah pemusnahan masal yang terencana dengan baik. Sama seperti usaha
pemusnahan masal kerelatifan budaya akibat terjangan arus modernisasi.
Menurut Habernas,
masyarakat rasional akan menjadi masyarakat dimana sistem dan kehidupan dunia
akan menjadi rasional menurut caranya sendiri, mengikuti logikanya sendiri.
Sistem menjadi dominan menjadi dan menjajah kehidupan-dominan. Dengan kata
lain, menurut Habernas dan maupun kebanyakan teoritisi klasik, “hallmark
modernitas” adalah penjajahan kehidupan dunia oleh sistem.[17]
Menurut Habernas, upaya pemiskinan ini tidak harus diatasi dengan penggantian
atau penghancuran sistem, melainkan mencari pengendali dan sensor dalam
menghadapi reailitas ini. Persekutuan penuh antara rasionalitas sistem dan
rasionalitas kehidupan-dunia itulah yang merupakan penyelesaian proyek
modernitas.
Castells
memeriksa kemunculan masyarakat, kultur, dan ekonomi yang baru dari sudut
pandang revolusi teknologi informasi (televisi, computer, dan sebagainya), yang
dimulai di Amerika pada 1970-an. Revolusi ini pada gilirannya mengakibatkan
restrukturisasi fundamental terhadap sistem kapitalis yang dimulai pada 1980-an
dan memunculkan apa yang oleh Castells disebut dengan “kapitalisme
informasional”. Yang juga muncul adalah “masyarakat informasional”. Keduanya
berdasarkan pada “informasionalisme” (sebuah mode perkembangan dimana sumber
utama produktifitas adalah kapasitas kualitatif untuk mengoptimalkan kombinasi
dan penggunaan faktor-faktor produksi berbasis pengetahuan dan informasi).[18]
Pergerakan ini
menghasilkan apa yang dimaksud Marx dengan perjuangan kelas. Harapan menentang
penyebaran kapitalisme informasional dan problem yang diakibatkannya (eksploitasi,
eksklusi, ancaman terhadap diri, dan identitas) bukanlah kelas pekerja, tetapi
gerakan sosial yang berbeda yang terutama berdasarkan identitas.
Di jantung analisis
Castells adalah apa yang dia namakan paradigma teknologi informasi dengan lima
karakteristik dasar. Pertama, ini adalah teknologi yang bereaksi berdasarkan
informasi. Kedua, karena informasi merupakan bagian dari aktivitas manusia.
Ketiga, semua sistem yang menggunakan teknologi informasi didefinisikan oleh
logika jaringan yang membuatnya dapat mempengaruhi berbagai proses dan
organisasi. Keempat, teknologi baru sangat fleksibel, membuatnya dapat beradaptasi
dan berubah secara konstan. Terakhir, teknologi spesifik yang diasosiasikan
dengan informasi berpadu dengan sistem yang terintegrasi.[19]
Pada tingkat
rendah, kapitalisme global ala neo-liberal membentuk gaya hidup baru manusia
yang diciptakan melalui trend. Kombinasi antara media massa, citra,
dan belanja secara bersamaan membentuk gaya hidup konsumerisme.[20]
Konsumsi dalam masyarakat global kini bukan lagi berurusan dengan nilai guna (use
value), namun selalu berkaitan dengan gaya hidup. Hal belanja misalnya,
lebih didorong untuk memenuhi hasrat daripada memenuhi kebutuhan, yang
disuburkan melalui image dan diprovokasi melalui iklan.[21]
Sesungguhnya,
setidaknya saat ini, jaringan membuat kapitalisme mengglobal untuk pertama
kalinya, dan terorganisir berdasarkan aliran keuangan global. Negara semakin
tak berdaya dengan serangan globalisasi ini dan semakin tergantung dengan pasar
kapital global. Kekuatan Negara digrogoti oleh komunikasi global yang mengalir
bebas keluar masuk tiap Negara. Dilema yang harus dihadapi oleh Negara adalah
jika Negara menerapkan konstituensinya, ia akan menjadi kurang efektif dalam
sistem global, namun jika Negara memfokuskan pada sistem global, ia akan gagal
mempresentasikan konstituensinya secara memadai.
F.
Globalisasi
Globalisasi
dapat dianalisa secara kultural, ekonomi, politik, dan atau institusional.
Dalam masalah globalisasi kultur seperti dalam kasus ini dapat dilihat sebagai
ekspansi transnasional dari kode dan praktik bersama (homogenitas), atau
sebagai proses dimana banyak input kultural lokal dan global saling
berinteraksi untuk menciptakan keterpaduan yang mengarah pada pencangkokan
kultur (heterogenitas). Tren menuju homogenitas seringkali diasosiasikan dengan
imperialisme kultural atau dengan kata lain, bertambahnya pengaruh
internasional terhadap kultur tertentu.[22].
Dalam
hal ini dapat kita analisa secara mendalam bahwa proses masuk secara cepat dan
tanpa terkendalinya Hallyu (kebudayaan Korea) ke Indonesia merupakan sebuah kondisi
imperialisme budaya yang sangat mengkhawatirkan. Dengan kata lain jika fenomena
ini dibiarkan tidak ayal akan menyebabkan beberapa tahun ke depannya, Indonesia kehilangan
identitas dan tidak lagi mengenal ciri khas budayanya. Keadaan itu akan berganti
dengan sebuah kebudayaan baru yang merupakan perpaduan dari berbagai kebudayaan
berbeda menjadi satu (homogen). Dalam hal ini Robertson menyebutnya sebagai
budaya global baru yaitu “Glocal”. Yaitu dimana dunia
global berinteraksi dengan budaya lokal untuk menghasilkan sesuatu yang
berbeda.
Tekadang sikap etnosentris dalam memandang kebudayaan harus
dijadikan hal yang lumrah, mengingat hal
ini merupakan jalan terakhir dalam upaya mempertahankan unsur kebudayaan suatu
daerah berikut pandangan hidupnya. Dikarenakan gencarnya arus globalisasi yang
tidak terbendung dan konsep “relativisme kebudayaan” menjadikan sikap etnosentris
hilang dari bangsa ini. Ketidakpercayaan terhadap kebudayaan negeri sendiri
menjadi penyebab fundamental. Meluasnya pengaruh globalisasi memang sudah tidak
dapat terbendung lagi mengingat kita telah memasuki suatu era tanpa adanya
batas ruang dan waktu. Informasi datang dan pergi silih berganti dengan sangat
cepat berikut komponen-komponen pengiringnya.
Pada masa sekarang ini, globalisasi lebih terasa daripada
Amerikanisasi, karena aliran informasi dan media tidak lagi dimonopoli Amerika
Serikat. Saat ini, semua negara di dunia dapat berpartisipasi dalam memasarkan
informasi. Walaupun pada kenyataannya Amerika Serikat dan negara barat lainnya
tetap mendominasi aliran informasi. Globalisasi kepemilikan media yang muncul
jelas memperlihatkan praktik imperialisme budaya yang tinggi pula.[23]
Dengan munculnya
wacana cultural imperialism sebagaimana diungkapkan oleh Tomlinson,
sudah selayaknya kewaspadaan terhadap imperialisme budaya ini semakin
meningkat. Apalagi tesis pokok dari kajian ini, antara lain mengatakan bahwa: semakin
kuatnya penetrasi dan hegemoni budaya masyarakat negara maju terhadap budaya masyarakat yang sedang
berkembang atau dunia ketiga, maka hal ini notabenenya adalah merupakan keberhasilan
kapitalisme global. Artinya proses-proses globalisasi pada kenyataannya telah
memperkokoh hegemoni kalangan kapitalis yang kemudian rupanya mengusung
pola-pola ekonomi neo-liberalisme yang berujung pada sub-ordinasi,
eksploitasi, kemiskinan dan alienasi pada masyarakat dunia berkembang.
G.
Peran Media
Massa
Budaya
populer dan ekonomi adalah dua hal yang tidak dapat terpisahkan. Bila budaya
populer memiliki nama lain tren, maka ekonomi atau nilai komersial adalah
kendaraan yang digunakan budaya tersebut untuk menjadi besar. Budaya popular
dibesarkan salah satunya oleh media massa, khususnya televisi. Khalayak yang
memiliki dan menonton televisi hampir pasti dapat dipastikan mengetahui apa
yang dianggap tren pada masa tersebut, karena televisi dapat menampilkan tren
itu secara repetitif, melalui program re-run atau spin-off. [24]
Peran media massa dalam kehidupan sosial, terutama dalam
masyarakat modern tidak ada yang dapat membantahnya. Menurut McQuail setidaknya ada enam perspektif dalam hal melihat peran media. Pertama,
melihat media massa sebagai window on
event and experience. Media dipandang sebagai jendela yang memungkinkan
khalayak melihat apa yang sedang terjadi di luar sana. Atau media merupakan
sarana belajar untuk mengetahui berbagai peristiwa. Kedua, media juga
sering dianggap sebagai a mirror of event in society and the world, implying
a faithful reflection. Cermin berbagai peristiwa yang ada di
masyarakat dan dunia, yang merefleksikan apa adanya.
Ketiga,
memandang media massa sebagai filter,
atau gatekeeper yang menyeleksi berbagai hal untuk diberi
perhatian atau tidak. Media
senantiasa memilih issue, informasi atau bentuk content yang lain
berdasar standar para pengelolanya. Keempat, media massa acapkali
pula dipandang sebagai guide, penunjuk jalan atau interpreter,
yang menerjemahkan dan menunjukkan arah atas berbagai ketidakpastian, atau
alternatif yang beragam. Kelima, melihat media massa sebagai
forum untuk mempresentasikan berbagai informasi dan ide-ide kepada khalayak,
sehingga memungkin terjadinya tanggapan dan umpan balik. Keenam, media
massa sebagai interlocutor, yang tidak hanya sekadar
tempat berlalu lalangnya informasi, tetapi juga partner komunikasi yang
memungkinkan terjadinya komunikasi
interaktif.[25]
Merebaknya Hallyu
di negara-negara Asia Timur dan beberapa negara Asia Tenggara telah menunjukkan
adanya aliran budaya dari Korea ke negara-negara tetangganya. Terlepas dari
dampak panjang yang akan terus berlanjut, Hallyu
memang suatu fenomena tersendiri dalam dunia industri hiburan modern Korea.
Dalam situasi dunia pada saat pertukaran informasi terjadi hampir tanpa
halangan apa pun, Korea telah menjejakkan pengaruhnya di kawasan Asia.
Meluasnya Hallyu
ini, sekali lagi, tidak bisa dilepaskan dari peran media massa yang secara
sadar maupun tidak telah membantu terjadinya aliran budaya ini. Bahkan, bisa
dikatakan bahwa dengan media massa-lah Hallyu
memasuki semua sudut negara-negara Asia. Perubahan
yang dialami oleh industri budaya pop Korea, baik produk budaya televisi, film,
maupun industri rekaman merupakan suatu fenomena yang menarik untuk dikaji.
Sebagai sebuah negara yang banyak diperhitungkan kiprahnya di kawasan Asia,
Korea tidak bisa begitu saja dilihat sebelah mata. Banyak hal yang bisa
dipelajari dari fenomena itu, terutama bagaimana semua pihak di dalam negeri
bersatu padu membuat fenomena tiba-tiba itu menjadi suatu komoditas yang
berharga bagi bangsa.[26]
H.
Solusi
Alternatif
Barat, bukan
menunjukkan geografis, tapi peradaban. Korea, meski secara geografis berada di
Timur, tapi budaya dan gaya hidup orang-orangnya meniru Barat. Maka, budaya
mereka dapat disebut budaya Barat. Menurut Dr. Adian Husaini, maraknya idolasisasi
terhadap hiburan import (dalam hal ini Korea), merupakan sebuah bukti
bahwa betapa kuat arus globalisasi dalam bidang hiburan, yang mana globalisasi
mengarah pada “imperialisme Budaya” Barat terhadap budaya lain.
Sebagaimana lontaran Gramsci yang terkenal dengan teori hegemoninya
mengatakan bahwa untuk melepaskan diri dari cengkeraman budaya asing,
diperlukan partisipasi keikutsertaan para intelektual organik kaum inteletual
yang harus menyadarkan masyarakat, terutama generasi muda, bukan kaum
inteletual tradisional yang justru lebih melegitimasikan budaya-budaya asing
tersebut.[27]
Namun tentu saja hal ini tidak semudah membalikkan telapak tangan, jika kaum
intelektual organik tersebut lemah modal. Kaum intelektual organik ini
jumlahnya lebih sedikit, sehingga menyerahkan beban untuk menjaga generasi
penerus dari pengaruh negatif globalisasi kepada mereka tentu kurang
bijaksana.
Setidaknya jalan alternatif yang perlu untuk segera disosialisasikan adalah
gerakan media literacy (melek media) untuk dapat menangkal pengaruh
buruk globalisasi media. Hal ini penting karena
akan mendorong individu untuk secara aktif menafsirkan pesan dan menguatkan
individu dalam menghadapi atau mengakses media. Positif atau negatif dampak
dari globalisasi salah satunya ditentukan oleh sikap kita dalam menggunakan media
tadi. Oleh karena itu, dibutuhkan konsep melek media, agar kita dapat melihat
mana yang baik dan mana yang buruk dari isi yang dibawa media sehingga kita
tidak terseret dalam arus globalisasi.
Meninggalkan
sikap etnosentris “kolot” dalam memandang kebudayaan menjadikan suatu
kebudayaan akan sangat rapuh mudah terpengaruh oleh kebudayaan lainnya. Sebagai
seorang yang cerdas, kita harus mampu menimbang sisi baik dan buruk dari
kebudayaan asing yang menerobos arus kebudayaan Indonesia. Bersikap selektif
adalah jalan terbaik dalam menghadapi gencarnya arus modernisasi. Selektif
dalam memilih dan menerka unsur manakah yang akan dipertahankan dan yang akan
diambil dari kebudayaan lain. Namun tetap menjadikan kebudayaan dibawah
kedudukan syariat sebagai pandangan alam rakyat Indonesia yang sebagian besar
adalah seorang pemeluk Islam yang taat.
Selain itu, dunia hiburan kita masih belum
maksimal menjadi soft power baru dalam pergaulan negara-negara di
dunia, selama
kita masih mengecap budaya latah dan menjadi imitasi hasil infiltrasi negara
lain. Mengikuti penambang lain yang sudah lebih dahulu mengenal medan merupakan
perkara logis. Tidak salah jika kaum muda Indonesia berkeinginan fokus pada hal
yang serupa dengan boyband asal korea. Pertama, dari sisi konten industri
musik harus mampu menawarkan bagian tangible produk musiknya seperti
gaya ketimuran yang patut kita bawa ke kancah internasional. Kedua,
sisi konteks menawarkan nilai pada para penikmat produk budaya Indonesia.
Penyelenggaraan festival Indonesia di beberapa negara dengan menyajikan
pertunjukan seni budaya, kuliner, serta berbagai produk/barang Indonesia yang
dijual dapat membangun komunitas penikmat budaya Indonesia yang loyal. Ketiga,
sisi infrastruktur
menunjuk pada kapabilitas sumber daya manusianya.[28]
Masalah ini tidak lain karena hilangnya adab
dalm generasi muda. Menurut Prof. Wan Mohd. Nor, jika adab hilang pada
diri seseorang, maka akan mengakibatkan kezaliman, kebodohan dan menuruti hawa
nafsu yang merusak. Manusia dikatakan zalim, jika – misalnya – meletakkan
sesuatu tidak pada tempatnya. Maka, dengan pemahaman seperti itu, seorang
Muslim yang beradab pasti lebih mencintai dan mengidolakan Nabi Muhammad saw
ketimbang manusia mana pun. Manusia Muslim yang beradab juga akan menghormati
sahabat-sahabat nabi dan keluarganya. Begitu juga seorang muslim yang beradab
akan lebih menghormati ulama pewaris nabi, ketimbang penguasa yang zalim.
Salah satu adab penting yang harus dimiliki seorang Muslim adalah adab terhadap
ilmu. Saeorang yang beradab, menurut SM Naquib al-Attas, seorang beradab
haruslah mengenal derajat ilmu, mana ilmu yang wajib ‘ain (wajib dimiliki
oleh setiap muslim) dan mana yang wajib kifayah (wajib dimiliki sebagian
Muslim).[29]
Islam memandang kedudukan ilmu sangatlah
penting, sebagai jalan mengenal Allah dan beribadah kepada-Nya. Ilmu juga
satu-satunya jalan meraih adab. Orang yang berilmu (ulama) adalah pewaris nabi.
Karena itu, dalam Bidayatul Hidayah, Imam Al-Ghazali mengingatkan, orang yang
mecari ilmu dengan niat yang salah, untuk mencari keuntungan duniawi dan pujian
manusia, sama saja dengan menghancurkan agama. Dalam kitabnya, Adabul ‘Alim
wal-Muta’allim, KH Hasyim Asy’ari juga mengutip hadits Rasulullah saw:
“Barangsiapa mencari ilmu bukan karena Allah atau ia mengharapkan selain
keridhaan Allah Ta’ala, maka bersiaplah dia mendapatkan tempat di neraka.”[30]
Karena begitu mulianya kedudukan ilmu dalam
Islam, maka seorang yang beradab tidak akan menyia-nyiakan umurnya untuk
menjauhi ilmu, atau mengejar ilmu yang tidak bermanfaat, atau salah niat dalam
meraih ilmu. Sebab, akibatnya sangat fatal. Ia tidak akan pernah mengenal
Allah, tidak akan pernah meraih kebahagiaan sejati. Sebab, dengan mengenal dan
berzikir kepada Allah, maka hati akan menjadi tenang.
I.
Solusi
Fundamental
Menanamkan
adab sedari dini kepada generasi memang merupakan upaya yang sangat cerdas. Namun
tetaplah dalam keadaan sistem Kapitalistik ini menanamkan adab akan sangat
sulit dilakukan. Ketergantungan budaya yang
Negara-negara dunia ketiga alami hanyalah sebuah paradoks dari penerapan sistem
kapitalistik. Oleh karena itu,
diperlukan upaya yang lebih dalam lagi yakni dengan mengubah sistem
kapitalistik ini menjadi sistem berdasarkan syariat Islam yang telah terbukti
mampu mengatasi berbagai permasalahan dalam seluruh aspek kehidupan termasuk
pendidikan adab pada generasi muda.
Hal ini
akan dengan mudah dilakukan karena ada dukungan dari sebuah sistem termasuk
penguasa sebagai pemegang kebijakan publik. Sistem ini telah terbukti berhasil
membawa Islam kepada kejayaan selama kurang lebih 13 abad. Bukan bermaksud
dalam upaya mengenang kegemilangan tersebut. Namun ini adalah upaya
rekonstruksi menuju suatu keadaan yang adil tanpa adanya ketimpangan di dalam
seluruh aspek kehidupan.
BAB III
KESIMPULAN
Hallyu,
merupakan nama lain dari kebudayaan Korea Selatan yang saat ini sedang menjadi trandmark
remaja di Indonesia. Fenomena kecanduan budaya Korea ini berawal dari akibat
yang ditimbulkan kemajuan
arus teknologi, informasi dan komunikasi yang semakin
cepat di seluruh dunia. Awal mula masuknya budaya populer Korea Selatan ke
Indonesia khususnya, dan Asia secara umumnya dimulai sejak adanya serial
televisi yang mampu menggantikan sinetron kejar tayang (stripping) di
negara-negara Asia termasuk Indonesia.
Budaya pop itu
merupakan budaya yang menyenangkan atau banyak disukai orang. Budaya populer
dan ekonomi adalah dua hal yang tidak dapat terpisahkan. Bila budaya populer
memiliki nama lain tren, maka ekonomi atau nilai komersial adalah kendaraan
yang digunakan budaya tersebut untuk menjadi besar. Budaya popular dibesarkan
salah satunya oleh media massa, khususnya televisi. Khalayak yang memiliki dan
menonton televisi hampir pasti dapat dipastikan mengetahui apa yang dianggap
tren pada masa tersebut, karena televisi dapat menampilkan tren itu secara
repetitif, melalui program re-run atau spin-off.
Sebagaimana lontaran Gramsci yang terkenal dengan teori hegemoninya
mengatakan bahwa untuk melepaskan diri dari cengkeraman budaya asing,
diperlukan partisipasi keikutsertaan para intelektual organik kaum inteletual
yang harus menyadarkan masyarakat, terutama generasi muda, bukan kaum
inteletual tradisional yang justru lebih melegitimasikan budaya-budaya asing
tersebut.[31]
Namun tentu saja hal ini tidak semudah membalikkan telapak tangan, jika kaum
intelektual organik tersebut lemah modal. Kaum intelektual organik ini
jumlahnya lebih sedikit, sehingga menyerahkan beban untuk menjaga generasi
penerus dari pengaruh negatif globalisasi kepada mereka tentu sangat tidak
bijaksana.
Setidaknya jalan alternatif yang perlu untuk segera disosialisasikan adalah
gerakan media literacy (melek media) untuk dapat menangkal pengaruh
buruk globalisasi media. Hal ini penting karena
akan mendorong individu untuk secara aktif menafsirkan pesan dan menguatkan
individu dalam menghadapi atau mengakses media. Positif atau negatif dampak
dari globalisasi salah satunya ditentukan oleh sikap kita dalam menggunakan
media tadi. Oleh karena itu, dibutuhkan konsep melek media, agar kita dapat
melihat mana yang baik dan mana yang buruk dari isi yang dibawa media sehingga
kita tidak terseret dalam arus globalisasi.
Masalah
ini tidak lain karena hilangnya adab dalm generasi muda. Menurut Prof. Wan
Mohd. Nor, jika adab hilang pada diri seseorang, maka akan mengakibatkan
kezaliman, kebodohan dan menuruti hawa nafsu yang merusak. Manusia dikatakan
zalim, jika – misalnya – meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya.
Menanamkan
adab sedari dini kepada generasi memang merupakan upaya yang sangat cerdas. Namun
tetaplah dalam keadaan sistem Kapitalistik ini menanamkan adab akan sangat
sulit dilakukan. Ketergantungan budaya yang
Negara-negara dunia ketiga alami hanyalah sebuah paradoks dari penerapan sistem
kapitalistik. Oleh karena itu,
diperlukan upaya yang lebih dalam lagi yakni dengan mengubah sistem
kapitalistik ini menjadi sistem berdasarkan syariat Islam yang telah terbukti
mampu mengatasi berbagai permasalahan dalam seluruh aspek kehidupan termasuk
pendidikan adab pada generasi muda.
Hal ini
akan dengan mudah dilakukan karena ada dukungan dari sebuah sistem termasuk
penguasa sebagai pemegang kebijakan publik. Sistem ini telah terbukti berhasil
membawa Islam kepada kejayaan selama kurang lebih 13 abad. Bukan bermaksud
dalam upaya mengenang kegemilangan tersebut. Namun ini adalah upaya
rekonstruksi menuju suatu keadaan yang adil tanpa adanya ketimpangan di dalam
seluruh aspek kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA
Beals,
L Ralph dkk. 1971. An Introduction to Anthropology. New York: Maxmilian
Publishing.
Bocock, Robert. 2007. Hegemoni.
Terj. Ikramullah Mahyuddin. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra.
Husaini, Adian. 2006. Wajah peradaban
Barat. Jakarta: Gema Insani Pers.
Koentjaraningrat. 2002. Pengantar
Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Morley, David. 2006. Globalisation
and Cultural Imperialism Reconsidered: Old Question in New Guide dalam
James Curran and David Morley (ed.). Media and Cultural Theory. New
York: Routledge.
Ritzer, George dan Douglass J Goodman.
2010. Teori Sosiologi Modern. Terj. Tri Wibowo Budi Santoso. Jakarta:
Kencana
Saifuddin, Achmad Fedyani. 2006. Antropologi
Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Jakarta: Kencana.
Soekanto, Soerjono. 2002. Sosiologi
Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.
Tumanggor, Rusmin, dkk. 2010. Ilmu
Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana.
http://adibsusilasiraj.blogspot.com/2012/04/budaya-populer-defisit-nalar-surplus.html
http://sosbud.kompasiana.com/2012/04/09/demam-k-pop-keberhasilan-pemerintah-korea-selatan-membangun-perekonomian-lewat-seni/
http://id-id.facebook.com/note.php?note_id=232051820188144
http://sosiologibudaya.wordpress.com/2012/04/25/budaya-populer/
[1] Koentjaraningrat,
Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), Hlm. 181.
[2] Achmad Fedyani
Saifuddin, Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis mengenai Paradigma,
(Jakarta: Kencana, 2006), Hlm. 419.
[3] Rusmin Tumanggor,
Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Kencana, 2010). Hlm. 21.
[4] Williams, Raymond,
(1983) Keyword, London: Fontana
[5] Williams, Raymond,
Keyword, (London: Fontana, 1983), Hlm. 90.
[6]
Koreana: Korean Art and Culture www.kf.or.kr/koreana/14_2/main/content1.html.
artikel ini diakses pada tanggal 29 April 2012.
[7] Lihat George Ritzer,
Douglas. J Goodman, Teori Sosiologi Modern, Terj. Alimandan, (Jakarta, Kencana:
2010), Hlm. 551.
[8] George Ritzer,
Douglas. J Goodman, Teori Sosiologi Modern, Terj. Alimandan, (Jakarta, Kencana:
2010), Hlm. 553.
[9] George Ritzer,
Douglas. J Goodman, Teori Sosiologi Modern, Terj. Alimandan, (Jakarta, Kencana:
2010), Hlm. 555.
[10] Tiyas Nur Hayani. http://www.solopos.com/2012/kolom/hallyu-menantang-indonesia-177477. Artikel ini diakses pada tanggal 29 April
2012.
[11] George Ritzer,
Douglas. J Goodman, Teori Sosiologi Modern, Terj. Alimandan, (Jakarta, Kencana:
2010), Hlm. 561.
[12] George Ritzer,
Douglas. J Goodman, Teori Sosiologi Modern, Terj. Alimandan, (Jakarta, Kencana:
2010), Hlm. 563.
[13] George Ritzer,
Douglas. J Goodman, Teori Sosiologi Modern, Terj. Alimandan, (Jakarta, Kencana:
2010), Hlm. 565.
[14] George Ritzer,
Douglas. J Goodman, Teori Sosiologi Modern, Terj. Alimandan, (Jakarta, Kencana:
2010), Hlm. 565.
[15] George Ritzer,
Douglas. J Goodman, Teori Sosiologi Modern, Terj. Alimandan, (Jakarta, Kencana:
2010), Hlm. 570.
[16] George Ritzer,
Douglas. J Goodman, Teori Sosiologi Modern, Terj. Alimandan, (Jakarta, Kencana:
2010), Hlm. 573.
[17] George Ritzer,
Douglas. J Goodman, Teori Sosiologi Modern, Terj. Alimandan, (Jakarta, Kencana:
2010), Hlm. 580.
[18] George Ritzer,
Douglas. J Goodman, Teori Sosiologi Modern, Terj. Alimandan, (Jakarta, Kencana:
2010), Hlm. 555
[19] George Ritzer,
Douglas. J Goodman, Teori Sosiologi Modern, Terj. Alimandan, (Jakarta, Kencana:
2010), Hlm. 583, 584.
[20] Konsumerisme
adalah kecenderungan orang untuk mengidentifikasi dirinya dengan produk
atau jasa yang mereka konsumsi, khususnya mereka dengan nama-nama merek
komersial dan daya tarik meningkatkan status,
[21] Azmi, Dyah Arie, Ilyas dan Indra
http://sosiologibudaya.wordpress.com/2012/04/25/budaya-populer/. Artikel ini dakses pada tanggal 29 April
2012.
[22] George Ritzer,
Douglas. J Goodman, Teori Sosiologi Modern, Terj. Alimandan, (Jakarta, Kencana:
2010), Hlm. 588.
[23]
David Morley. Globalisation and Cultural Imperialism
Reconsidered: Old Question in New Guide dalam James Curran and David Morley
(ed.). Media and Cultural Theory. (New York, Routledge:
2006). Hlm.
[24] Titi
Nur Vidyarini, Budaya Populer dalam Kemasan Televisi,
[25] Widodo Muktiyo.
[26]Suray
Agung Nugroho, Hallyu ‘gelombang korea’ di asia dan indonesia: trend
merebaknya budaya pop korea
[27]
Robert Bocock. Hegemoni. Terj. Ikramullah Mahyuddin. (2007,
Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra),
Hlm. 39 dan 40.
[28] Tiyas Nur Hayani. http://www.solopos.com/2012/kolom/hallyu-menantang-indonesia-177477. Artikel ini diakses
pada tanggal 29 April 2012.
[29] http://insistnet.com/index.php?option=com_content&task=view&id=60&Itemid=26. Artikel ini diakses
pada tanggal 1 mei 2012.
[30] http://insistnet.com/index.php?option=com_content&task=view&id=60&Itemid=26. Artikel ini diakses
pada tanggal 1 mei 2012.
[31]
Robert Bocock. Hegemoni. Terj. Ikramullah Mahyuddin. (2007,
Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra),
Hlm. 39 dan 40.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar