Sabtu, 05 Mei 2012

makalah untuk UTS teori sosiologi (April 2012)


ANALISIS TEORI SOSIOLOGI: TINJAUAN FENOMENA BUDAYA POPULER KOREA SELATAN (HALLYU) TERHADAP KEBUDAYAAN INDONESIA


MAKALAH



Diajukan sebagai syarat ketuntasan Mata Kuliah Teori Sosiologi


oleh,
Nama                  : Anita
Semester             : IV – A
NIM                   : 1110015000015



PRODI SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI JURUSAN P.IPS
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2012

BAB I
PENDAHULUAN

A.          Landasan Teori
Hallyu, merupakan nama lain dari kebudayaan Korea Selatan yang saat ini sedang menjadi trandmark remaja di Indonesia. Fenomena kecanduan budaya Korea ini berawal dari akibat yang ditimbulkan oleh kemajuan arus teknologi, informasi dan komunikasi yang semakin cepat menyebar di seluruh dunia. Awal mula masuknya budaya populer Korea Selatan ke Indonesia khususnya, dan Asia secara umumnya dimulai sejak adanya serial televisi yang mampu menggantikan sinetron kejar tayang (stripping) di negara-negara Asia termasuk Indonesia. Dengan cerita yang sangat ringan dan menghibur namun tetap elegan, menjadi daya tarik tersendiri bagi perkembangan serial televisi Korea Selatan di Negara-negara kawasan Asia. Sebagai contoh perkembangan awal masuknya serial televisi Korea Selatan di Indonesia adalah dengan tayangnya serial televisi berjudul Endless Love. Sebuah kisah yang sangat mengharu biru dan romantis, begitupun dengan tayangnya Winter Sonata sebagai kelanjutannya. Dua serial popular itulah yang mengawali pesatnya pertumbuhan serial televisi Korea Selatan di Indonesia.
Setelah suksesnya kisah mengharu biru Endless Love dan Winter Sonata, stasiun televisi yang melihat pasar luar biasa segera meneruskan pemutaran serial televisi dari Korea Selatan. Selanjutnya mereka mulai memperkenalkan unsur klasik kebudayaan Korea dalam serial televisi berjudul Jang Geum (Jewel in The Palace) yang memperjuangkan hidup seorang dokter perempuan pertama di Korea Selatan. Hal tersebut menarik minat tersendiri karena tidak lain para penggiat serial Korea adalah berasal dari golongan wanita baik dewasa maupun remaja. Setelah itu stasiun televisi melanjutkan penayangan serial Korea yang semakin digemari tersebut dengan kisah yang menghibur dan terkesan bercampur unsur komedi seperti Full House, Princess Hours, dan lain lainnya.
Seiring dengan semakin tingginya rating acara televisi serial Korea ini, media cetak mulai berinisiatif memperkenalkan para bintang atau pemerannya. Mulailah media massa berlomba-lomba setiap minggunya menyajikan sebuah poster dari aktor dan aktris serial televisi Korea. Poster ini disajikan sebagai bonus terbitnya tabloid mingguan yang membahas kehidupan pribadi para artis tersebut. Berbagai tabloid ini sangat laris mengingat antusiasme besar para remaja Indonesia terhadap idola barunya yang berparas tampan dan cantik. Secara perlahan namun pasti mereka mulai melakukan imitasi dengan meniru gaya berpakaian maupun model rambut mereka (biasa disebut K-Style). Imitasi berlebihan ini diperlihatkan dengan menjadikan Negara Gingseng” tersebut sebagai trendsetter mode pakaian dan penampilan remaja Indonesia. Bukan hanya dari segi penampilan saja, remaja Indonesia-pun mulai meniru tingkah laku dan kuliner dari Negara ini.
Tanpa henti, budaya populer Korea terus menyerang eksistensi kebudayaan Indonesia. Pertunjukan boyband (Korean pop) yang diiringi dengan pertunjukan tarian mulai menghiasi dunia maya. Arus globalisasi yang sangat pekat membuat perkembangan budaya populer ini menjadi sangat cepat membudaya layaknya jamur di musim hujan. Di samping kecemasan para remaja akan hilangnya sosok idola dari negeri sendiri, membuat mereka dengan mudah menerima unsur asing tersebut. Dengan melihat peluang berhasilnya boyband yang sangat besar, pada akhirnya remaja Indonesia mulai meniru aksi dan kreasi para boyband asal Korea. Bukan hanya dalam hal penampilan, mereka juga berlomba-lomba menyerupai kepribadian para idolanya. Lalu, Mengapa penjajahan budaya ini dapat terjadi? Dan akibat apa yang ditimbulkan fenomena ini? Bagaimana sosiologi yang mengkaji fakta sosial dalam masyarakat menanggapi hal ini? Jawabannya insya Allah akan terjawab dalam makalah ini.

B.           Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis kemukakan, maka perumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.            Apakah definisi kebudayaan menurut para ahli beserta unsur-unsurnya?
2.            Apakah definisi Budaya Populer?
3.            Bagaimana perkembangan Budaya Populer Korea Selatan di negaranya dan Negara-negara kawasan Asia?
4.            Bagaimana respon remaja dari infiltrasi seluruh unsur budaya Korea terhadap Negara-negara di kawasan Asia khususnya Indonesia?
5.            Bagaimana teori sosiologi-ekonomi melihat fenomena ini?
6.            Bagaimana teori sosiologi modern, post-modern dalam menanggapi fenomena ini?
7.            Bagaimana cara menghadapi serangan Globalisasi dalam Negara Indonesia?
8.             Bagaimana solusi singkat dari permasalahan budaya ini?

C.          Tujuan Penulisan
Berdasarkan perumusan masalah yang telah penulis kemukakan, maka tujuan penulis menulis makalah ini adalah sebagai berikut :
1.            Mengetahui definisi kebudayaan menurut para ahli beserta unsur-unsurnya.
2.            Mengetahui definisi Budaya Populer.
3.        Mengetahui bagaimana perkembangan Budaya Populer Korea Selatan di negaranya dan Negara-negara kawasan Asia.
4.            Mengetahui bagaimana respon remaja dari infiltrasi seluruh unsur budaya Korea terhadap Negara-negara di kawasan Asia khususnya Indonesia.
5.            Mengetahui bagaimana teori sosiologi-ekonomi melihat fenomena ini.
6.            Mengetahui bagaimana teori sosiologi modern, post-modern dalam menanggapi fenomena ini.
7.            Mengetahui bagaimana cara menghadapi serangan Globalisasi dalam Negara Indonesia.
8.            Mengetahui bagaimana solusi singkat dari permasalahan budaya ini.


BAB II
LANDASAN TEORI

A.          Definisi Budaya Populer
Untuk membahas pengertian “Budaya Populer” ada baiknya kita pahami dulu tentang kata “budaya”, dan “pop”. Selanjutnya untuk mendefinisikan budaya pop kita perlu mengkombinasikan dua istilah yaitu ”budaya” dan ”populer”.
Secara antropologi, istilah Kebudayaan dan Kultur berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Kebudayaan sendiri dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal.[1] Menurut Achmad Fedyani Saifuddin, arti kebudayaan yaitu totalitas fikiran, kemampuan, dan objek yang dimiliki bersama oleh suatu komunitas atau masyarakat.[2]
Menurut Rusmin Tumanggor, kebudayaan adalah ide berupa model-model pengetahuan yang dijadikan landasan atau acuan oleh seseorang sebagai anggota masyarakat melakukan aktivitas sosial, menciptakan materi kebudayaan dalam unsur agama universal: agama, ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi, serta kesenian.[3] Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah hasil cipta, rasa, dan karsa masyarakat yang terwujud dalam bentuk kebendaan maupun yang abstrak.
Sedangkan kata ”pop” diambil dari kata ”populer”. Terhadap istilah ini Williams memberikan empat makna yakni: (1) banyak disukai orang; (2) jenis kerja rendahan; (3) karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang; (4) budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri. Kemudian untuk mendefinisikan budaya pop kita perlu mengkombinasikan dua istilah yaitu ”budaya” dan ”populer”.[4]
Ada satu titik awal pertama yang menyatakan bahwa budaya pop itu memang budaya yang menyenangkan atau banyak disukai orang. Kedua, untuk mendefinisikan budaya pop adalah dengan mempertimbangkan budaya tertinggal (rendah). Budaya pop menurut definisi ini merupakan kategori residual untuk mengakomodasi praktik budaya yang tidak memenuhi persyaratan budaya tinggi. Dengan kata lain budaya pop didefinisikan sebagai budaya ”substandar”. Yang diuji oleh budaya pop meliputi seperangkat pertimbangan nilai teks atau praktik budayanya.
Ketiga, mendefinisikan budaya pop sebagai ”budaya massa”. Definisi tersebut sangat tergantung pada definisi sebelumnya. Mereka menyatakan budaya pop adalah ”budaya massa” dengan tujuan menegaskan bahwa budaya massa secara komersial tidak bisa diharapkan. Ia diproduksi massa untuk konsumsi massa. Audiensnya adalah sosok-sosok konsumen yang tidak memilih. Budaya itu sendiri dianggap hanya sekedar rumusan, manipulatif (misalnya, politik kanan/kiri yang tergantung pada siapa yang menganalisisnya). Budaya ini dikonsumsi oleh tanpa dipikirkan panjang.[5]
Definisi keempat, menyatakan bahwa budaya pop adalah budaya yang berasal dari ”rakyat”. Ia mengangkat masalah ini melalui pendekatan yang beranggapan bahwa budaya pop adalah sesuatu yang diterapkan pada ”rakyat” dari atas. Budaya pop adalah budaya otentik ”rakyat”. Budaya pop seperti halnya budaya daerah merupakan dari rakyat untuk rakyat. Definisi pop dalam hal ini seringkali dikait-kaitkan dengan konsep romantisme budaya kelas buruh yang kemudian ditafsirkan sebagai sumber utama protes simbolik dalam kapitalisme kontemporer.
Definisi kelima, budaya pop berasal dari analisis politik tokoh Marxis Italia, Antonio Gramsci, khususnya tentang pengembangan konsep hegemoninya. Gramsci menggunakan istilah ”hegemoni” untuk mengacu pada cara di mana kelompok dominan dalam suatu masyarakat mendapatkan dukungan dari kelompok sub-ordinasi melalui proses ”kepemimpinan” intelektual dan moral.

B.           Situasi Budaya Populer Korea di Negerinya Sendiri
Selama hampir 50 tahun sejak Korea lepas dari pendudukan Jepang,  pemerintah Korea menerapkan larangan masuknya budaya Jepang. Impor musik dan film Jepang atau apa pun yang berbau budaya Jepang telah lama mengalami kesulitan. Hal ini disebabkan masih adanya rasa sentimen atas 35 tahun penjajahan Jepang di Korea di awal abad ke-20. Namun, pada tahun 1998 pemerintah Korea Selatan mencabut larangan itu dan mulailah dengan apa yang disebut dengan maraknya pengaruh Jepang di Korea. Perlu juga diketahui bahwa walaupun selama masa larangan masuknya budaya Jepang ke Korea diberlakukan, tidak sedikit masyarakat Korea yang tetap bisa menerima dan menikmati berbagai produk budaya Jepang. Melihat kenyataan ini, Korea bisa dianggap ‘tertinggal’ dalam hal terkena pengaruh Jepang pada tahun 90-an, karena negara-negara Asia lain termasuk Indonesia telah lama terbiasa atau terkena budaya populer atau modern Jepang, baik lewat film, musik, maupun kartun.
Sejak dicabutnya larangan itu, situasi budaya populer Korea (dalam hal ini musik, film, fashion, dan lain sebagainya) mulai terpengaruh lagi oleh Jepang. Kaum muda Korea menggandrungi apa pun yang berbau Jepang. Penjualan lagu-lagu Jepang, bahkan mengalahkan penjualan kaset dari penyanyi dalam negerinya. Film-film Jepang juga mulai mendapat hati di kalangan masyarakat Korea. Game-game dari Jepang pun juga mulai mendapatkan tempat di hati para remaja Korea. Yang menarik adalah apa yang mulai disukai oleh para remaja Korea itu adalah sesuatu yang masih banyak dibenci oleh kaum tua, yang masih teringat pahitnya larangan menggunakan bahasa Korea dan hal-hal yang berbau Korea saat pendudukan Jepang dulu.[6]

C.          Efek Modernitas Kontemporer
Berdasarkan hal ini maka untuk mencari teori sosiologi yang terkait dengan permasalahan ini adalah dengan menganalisisnya dari teori yang dikemukakan oleh para sosiolog klasik. Menurut Simmel, ada tiga pandangan tentang modernitas, yaitu; pertama adalah modernitas memberi keuntungan bagi umat manusia, terutama fakta melalui modernisasi, manusia mampu mengungkapkan potensi yang belum terungkapkan, tersembunyi, dan yang tertekan dalam masyakat pra-modern. Kedua, Simmel menguraikan besarnya pengaruh uang dalam masyarakat modern. Ketiga, Simmel memusatkan pada upaya menjelaskan akibat merugikan dari uang terhadap modernitas, terutama alienasi dalam “tragedi kultur”.[7] Hampir dapat dipastikan bahwa pemusatan modernisme adalah permasalahan mengenai uang.
Dalam hal ini, fenomena budaya populer Korea yang melanda Indonesia seperti sebuah serangan “juggernaut” panser raksasa yang tak terkendali. Seperti yang dijelaskan Mestrovic dalam teori Anthony Giddens.
Modernisasi seperti sebuah “juggernaut” (panser raksasa) yang telah melaju hingga tahap tertentu bisa dikendalikan, tetapi juga terancam akan lepas kendali hingga menyebabkan dirinya hancur-lebur. Panser raksasa ini akan menghancurkan orang yang menentangnya dan meski kadang-kadang menempuh jalur yang teratur, namun ia juga sewaktu-waktu dapat berbelok ke arah yang tak terbayangkan sebelumnya.[8]
Modernitas dalam bentuk panser raksasa ini sangat dinamis. Selalu berubah arah dengan sangat cepat dan menyebabkan tidak ada suatu unsur yang dapat menghindar dari serangan panser ini. Budaya populer Korea Selatan yang sedang sedang menjangkiti remaja Indonesia merupakan suatu keniscayaan akibat keberlangsungan era modernisasi.
Di samping itu, Giddens mendefinisikan modernitas yang dilihat dari sudut empat institusi mendasar. Pertama adalah kapitalisme yang ditandai oleh produksi komoditi, pemilikan pribadi atas modal, tenaga kerja tanpa properti, dan sistem kelas yang berasal dari sistem tersebut. Kedua adalah industrialisme yang melibatkan penggunaan sumber daya alam dan mesin untuk memproduksi serta mempengaruhi sederetan lingkungan lain seperti transportasi, dan komunikasi. Ketiga adalah pengawasan dalam bidang politik. Dan keempat adalah kekuatan militer atau pengendalian atas alat-alat kekerasan, termasuk industrialisasi peralatan perang.[9]
Kenyataannya, keempat institusi mendasar ini mampu menjadikan Budaya populer Korea Selatan berkembang dengan sangat pesat. Dengan sokongan penuh para kapitalis pemilik modal serta Negara, menjadikan konsekuensi logis dari berkembangnya kebudayaan ini ke seluruh penjuru Asia. Hal ini secara otomatis mengakibatkan kemajuan pesat pula pada perekonomian Korea Selatan. Gelombang infiltrasi budaya ini tidak terlepas dari  dukungan pemerintah Korea Selatan. Sejak 20 tahun lalu, rancangan Korea di masa depan agar mendunia dilakukan dengan mengandalkan budaya yang mereka miliki sebagai senjata. Di tingkat kebijakan publik, untuk memajukan pasar musiknya di tingkat global, Korea Selatan mengambil kebijakan anti barat. Pemerintah melarang musik asing dan dikembangkanlah musik yang harus mencerminkan identitas nasional.[10]
Kim Dae Jung pada saat menjabat presiden Korea Selatan tahun 1998 yang la­lu mengatakan bahwa salah satu tujuan pemerintahannya adalah meningkatkan eks­por budaya Korea. Korea harus bisa menjadi suatu negara yang tidak hanya bisa meng­eks­por hasil industri manufakturnya, namun juga harus bisa memberikan sesuatu yang lain kepada dunia, yaitu melalui produk budaya.
Kecerdasan para kapitalis serta dukungan pemerintah Korea Selatan pada akhirnya menimbulkan apa yang dinamakan dunia modern sebagai “keterasingan pengalaman”. Keterasingan ini membawa negara yang termodern-kan pada masa-masa kehilangan identitas Negara secara laten. Dalam hal ini Giddens menyebutnya sebagai kultur beresiko. Ini bukan berarti bahwa kehidupan sosial kini lebih berbahaya daripada dahulu. Modernitas mengurangi resiko menyeluruh bidang dan gaya hidup tertentu, tetapi dalam waktu tertentu memperkenalkan parameter resiko baru yang sebagian besar atau seluruhnya tidak dikenal di era sebelumnya.[11]
Akhirnya apa yang benar bagi kelas sosial dalam dunia modern seperti saat ini adalah berkaitan dengan Bangsa. Artinya, hingga taraf yang memungkinkan resiko, terpusat di Bangsa yang miskin, sedangkan bangsa yang kaya (negeri para kapitalis) mampu menyingkirkan resiko sejauh mungkin. Bangsa kaya mendapat keuntungan dari resiko yang mereka ciptakan sendiri. Di sisi lain, Negara miskin yang termodernisasikan tidak mampu berbuat banyak karena pada kenyataannya, seringkali rakyatnyalah yang menjadi korban dalam resiko itu, dan mulai merefleksikan resiko modernitas itu terhadap Bangsanya.[12]

D.          Mc-Donaldisasi sebagai Konsekuensi Modernitas
Mc-donaldisasi pada dasarnya memberikan sasaran perhatian yang hanya tertuju pada rasionalitas formal dan pada fakta bahwa restoran cepat saji (fast food) mencerminkan paradigma masa kini dalam rasionalitas formal.[13] Ada empat komponen rasionalitas formal: efisiensi, kemampuan untuk diprediksi (predictability), lebih memperhatikan kuantitas ketimbang kualitas, dan penggantian teknologi non-manusia untuk teknologi manusia. Bentuk rasionalitas inilah yang cenderung menyebabkan ketidakrasionalan dari sesuatu yang rasional.[14]
Alat konsumsi baru yang modern dalam pengertiannya adalah bahwa sebagian besar alat-alat itu inovasi baru yang muncul dan berkembang pada paruh akhir abad ke-20. Seperti McDonald, alat-alat itu sebagian besar inovasi Amerika yang bukan hanya mentransformasikan konsumsi di Amerika Serikat, tetapi juga diekspor secara agresif ke sebagian besar belahan dunia lain di mana alat konsumsi itu bahkan berdampak lebih besar dari konsumsi.[15]
Mc-Donaldisasi yang dilakukan oleh Amerika pada akhirnya memberi gambaran penuh bahwa sistem ini dapat diberlangsungkan oleh Negara-negara lainnya, termasuk Korea Selatan. Efek domino yang ditimbulkan dari perkembangan Budaya populer Korea menempatkan Korea Selatan sebagai Negara kapitalis dengan pengaruh kebudayaan ketiga di seluruh dunia setelah Amerika Serikat dan Jepang.
Perkembangan industri Korea Selatan yang mengiringi perkembangan mode, sebagai kelanjutan dari Mc-Donaldisasi yaitu sesuatu yang digemari membawa masyarakat pada suatu kondisi dimana fakta sosial yang mereka hadapi adalah mode berbusana dan berpenampilan mengikuti secara sadar bintang Korea. Dalam hal ini, mode berbusana mereka tidak lagi memperhatikan sisi kualitas dan mementingkan efisiensi tak logis. Tanpa memperhatikan cocok atau tidaknya mode tersebut, tanpa ampun mereka mencoba mengikuti tren tersebut tanpa memperhatikan penilaian dari orang lain terhadapnya. Efek ketidakrasionalan yang ditimbulkan tidak membuat mereka terhenti dalam mengkonsumsi barang-barang tersebut malah semakin berkonformitas pada fakta sosial tersebut.

E.           Holocaust (Pemusnahan Budaya)
Secara ekstrim Bauman menggambarkan paradigma modern ini seperti Holocaust, penghancuran sistematis orang Yahudi oleh Nazi. Holocaust adalah produk modernitas dan bukan akibat kerusakan modernitas seperti pendapat kebanyakan orang. Holocaust bukanlah akibat irasionalitas atau akibat kebiadaban pra-modern, tetapi lebih merupakan produk birokrasi rasional yang modern. Bukanlah orang gila yang menciptakan dan mengelola Holocaust itu melainkan birokrat yang sangat rasional dan sangat normal.[16]
Seperti segala sesuatu lainnya yang dilakukan secara modern-rasional, terencana, informasi ilmiah, manajemen keahlian secara efisien, terkoordinasi. Holocaust mempermalukan modernitas dan menempatkannya setara dengan situasi pra-modern, menampakkannya setara dengan perilaku primitif, boros, dan tidak efektif. Holocaust merupakan sebuah pemusnahan masal yang terencana dengan baik. Sama seperti usaha pemusnahan masal kerelatifan budaya akibat terjangan arus modernisasi.
Menurut Habernas, masyarakat rasional akan menjadi masyarakat dimana sistem dan kehidupan dunia akan menjadi rasional menurut caranya sendiri, mengikuti logikanya sendiri. Sistem menjadi dominan menjadi dan menjajah kehidupan-dominan. Dengan kata lain, menurut Habernas dan maupun kebanyakan teoritisi klasik, “hallmark modernitas” adalah penjajahan kehidupan dunia oleh sistem.[17] Menurut Habernas, upaya pemiskinan ini tidak harus diatasi dengan penggantian atau penghancuran sistem, melainkan mencari pengendali dan sensor dalam menghadapi reailitas ini. Persekutuan penuh antara rasionalitas sistem dan rasionalitas kehidupan-dunia itulah yang merupakan penyelesaian proyek modernitas.
Castells memeriksa kemunculan masyarakat, kultur, dan ekonomi yang baru dari sudut pandang revolusi teknologi informasi (televisi, computer, dan sebagainya), yang dimulai di Amerika pada 1970-an. Revolusi ini pada gilirannya mengakibatkan restrukturisasi fundamental terhadap sistem kapitalis yang dimulai pada 1980-an dan memunculkan apa yang oleh Castells disebut dengan “kapitalisme informasional”. Yang juga muncul adalah “masyarakat informasional”. Keduanya berdasarkan pada “informasionalisme” (sebuah mode perkembangan dimana sumber utama produktifitas adalah kapasitas kualitatif untuk mengoptimalkan kombinasi dan penggunaan faktor-faktor produksi berbasis pengetahuan dan informasi).[18]
Pergerakan ini menghasilkan apa yang dimaksud Marx dengan perjuangan kelas. Harapan menentang penyebaran kapitalisme informasional dan problem yang diakibatkannya (eksploitasi, eksklusi, ancaman terhadap diri, dan identitas) bukanlah kelas pekerja, tetapi gerakan sosial yang berbeda yang terutama berdasarkan identitas.
Di jantung analisis Castells adalah apa yang dia namakan paradigma teknologi informasi dengan lima karakteristik dasar. Pertama, ini adalah teknologi yang bereaksi berdasarkan informasi. Kedua, karena informasi merupakan bagian dari aktivitas manusia. Ketiga, semua sistem yang menggunakan teknologi informasi didefinisikan oleh logika jaringan yang membuatnya dapat mempengaruhi berbagai proses dan organisasi. Keempat, teknologi baru sangat fleksibel, membuatnya dapat beradaptasi dan berubah secara konstan. Terakhir, teknologi spesifik yang diasosiasikan dengan informasi berpadu dengan sistem yang terintegrasi.[19]
Pada tingkat rendah, kapitalisme global ala neo-liberal membentuk gaya hidup baru manusia yang diciptakan melalui trend. Kombinasi antara media massa, citra, dan belanja secara bersamaan membentuk gaya hidup konsumerisme.[20] Konsumsi dalam masyarakat global kini bukan lagi berurusan dengan nilai guna (use value), namun selalu berkaitan dengan gaya hidup. Hal belanja misalnya, lebih didorong untuk memenuhi hasrat daripada memenuhi kebutuhan, yang disuburkan melalui image dan diprovokasi melalui iklan.[21]
Sesungguhnya, setidaknya saat ini, jaringan membuat kapitalisme mengglobal untuk pertama kalinya, dan terorganisir berdasarkan aliran keuangan global. Negara semakin tak berdaya dengan serangan globalisasi ini dan semakin tergantung dengan pasar kapital global. Kekuatan Negara digrogoti oleh komunikasi global yang mengalir bebas keluar masuk tiap Negara. Dilema yang harus dihadapi oleh Negara adalah jika Negara menerapkan konstituensinya, ia akan menjadi kurang efektif dalam sistem global, namun jika Negara memfokuskan pada sistem global, ia akan gagal mempresentasikan konstituensinya secara memadai.

F.           Globalisasi
Globalisasi dapat dianalisa secara kultural, ekonomi, politik, dan atau institusional. Dalam masalah globalisasi kultur seperti dalam kasus ini dapat dilihat sebagai ekspansi transnasional dari kode dan praktik bersama (homogenitas), atau sebagai proses dimana banyak input kultural lokal dan global saling berinteraksi untuk menciptakan keterpaduan yang mengarah pada pencangkokan kultur (heterogenitas). Tren menuju homogenitas seringkali diasosiasikan dengan imperialisme kultural atau dengan kata lain, bertambahnya pengaruh internasional terhadap kultur tertentu.[22].
Dalam hal ini dapat kita analisa secara mendalam bahwa proses masuk secara cepat dan tanpa terkendalinya Hallyu (kebudayaan Korea) ke Indonesia merupakan sebuah kondisi imperialisme budaya yang sangat mengkhawatirkan. Dengan kata lain jika fenomena ini dibiarkan tidak ayal akan menyebabkan beberapa tahun ke depannya, Indonesia kehilangan identitas dan tidak lagi mengenal ciri khas budayanya. Keadaan itu akan berganti dengan sebuah kebudayaan baru yang merupakan perpaduan dari berbagai kebudayaan berbeda menjadi satu (homogen). Dalam hal ini Robertson menyebutnya sebagai budaya global baru yaitu Glocal. Yaitu dimana dunia global berinteraksi dengan budaya lokal untuk menghasilkan sesuatu yang berbeda.
Tekadang sikap etnosentris dalam memandang kebudayaan harus dijadikan  hal yang lumrah, mengingat hal ini merupakan jalan terakhir dalam upaya mempertahankan unsur kebudayaan suatu daerah berikut pandangan hidupnya. Dikarenakan gencarnya arus globalisasi yang tidak terbendung dan konsep “relativisme kebudayaan” menjadikan sikap etnosentris hilang dari bangsa ini. Ketidakpercayaan terhadap kebudayaan negeri sendiri menjadi penyebab fundamental. Meluasnya pengaruh globalisasi memang sudah tidak dapat terbendung lagi mengingat kita telah memasuki suatu era tanpa adanya batas ruang dan waktu. Informasi datang dan pergi silih berganti dengan sangat cepat berikut komponen-komponen pengiringnya.
Pada masa sekarang ini, globalisasi lebih terasa daripada Amerikanisasi, karena aliran informasi dan media tidak lagi dimonopoli Amerika Serikat. Saat ini, semua negara di dunia dapat berpartisipasi dalam memasarkan informasi. Walaupun pada kenyataannya Amerika Serikat dan negara barat lainnya tetap mendominasi aliran informasi. Globalisasi kepemilikan media yang muncul jelas memperlihatkan praktik imperialisme budaya yang tinggi pula.[23]
Dengan munculnya wacana cultural imperialism sebagaimana diungkapkan oleh Tomlinson, sudah selayaknya kewaspadaan terhadap imperialisme budaya ini semakin meningkat. Apalagi tesis pokok dari kajian ini, antara lain mengatakan bahwa: semakin kuatnya penetrasi dan hegemoni budaya masyarakat negara maju  terhadap budaya masyarakat yang sedang berkembang atau dunia ketiga, maka hal ini notabenenya adalah merupakan keberhasilan kapitalisme global. Artinya proses-proses globalisasi pada kenyataannya telah memperkokoh hegemoni kalangan kapitalis yang kemudian rupanya mengusung pola-pola ekonomi neo-liberalisme yang berujung pada sub-ordinasi, eksploitasi, kemiskinan dan alienasi pada masyarakat dunia berkembang.

G.          Peran Media Massa
Budaya populer dan ekonomi adalah dua hal yang tidak dapat terpisahkan. Bila budaya populer memiliki nama lain tren, maka ekonomi atau nilai komersial adalah kendaraan yang digunakan budaya tersebut untuk menjadi besar. Budaya popular dibesarkan salah satunya oleh media massa, khususnya televisi. Khalayak yang memiliki dan menonton televisi hampir pasti dapat dipastikan mengetahui apa yang dianggap tren pada masa tersebut, karena televisi dapat menampilkan tren itu secara repetitif, melalui program re-run atau spin-off. [24]
Peran media massa dalam kehidupan sosial, terutama dalam masyarakat modern tidak ada yang dapat membantahnya. Menurut McQuail setidaknya ada enam perspektif dalam hal melihat peran media. Pertama, melihat media massa sebagai window on event and experience. Media dipandang sebagai jendela yang memungkinkan khalayak melihat apa yang sedang terjadi di luar sana. Atau media merupakan sarana belajar untuk mengetahui berbagai peristiwa. Kedua, media juga sering dianggap sebagai a mirror of event in society and the world, implying a faithful reflection. Cermin berbagai peristiwa yang ada di masyarakat dan dunia, yang merefleksikan apa adanya.
Ketiga, memandang media massa sebagai filter, atau gatekeeper yang menyeleksi berbagai hal untuk diberi perhatian atau tidak. Media senantiasa memilih issue, informasi atau bentuk content yang lain berdasar standar para pengelolanya. Keempat, media massa acapkali pula dipandang sebagai guide, penunjuk jalan atau interpreter, yang menerjemahkan dan menunjukkan arah atas berbagai ketidakpastian, atau alternatif yang beragam. Kelima, melihat media massa sebagai forum untuk mempresentasikan berbagai informasi dan ide-ide kepada khalayak, sehingga memungkin terjadinya tanggapan dan umpan balik. Keenam, media massa sebagai interlocutor, yang tidak hanya sekadar tempat berlalu lalangnya informasi, tetapi juga partner komunikasi yang memungkinkan terjadinya  komunikasi interaktif.[25]
Merebaknya Hallyu di negara-negara Asia Timur dan beberapa negara Asia Tenggara telah menunjukkan adanya aliran budaya dari Korea ke negara-negara tetang­ganya. Terlepas dari dampak panjang yang akan terus berlanjut, Hallyu memang suatu fenomena tersendiri dalam dunia industri hiburan modern Korea. Dalam situasi dunia pada saat pertukaran informasi terjadi hampir tanpa halangan apa pun, Korea telah menjejakkan pengaruhnya di kawasan Asia. 
Meluasnya Hallyu ini, sekali lagi, tidak bisa dilepaskan dari peran media massa yang secara sadar maupun tidak telah membantu terjadinya aliran budaya ini. Bahkan, bisa dikatakan bahwa dengan media massa-lah Hallyu memasuki semua sudut negara-negara Asia. Perubahan yang dialami oleh industri budaya pop Korea, baik produk budaya televisi, film, maupun industri rekaman merupakan suatu fenomena yang menarik untuk dikaji. Sebagai sebuah negara yang banyak diperhitungkan kiprahnya di kawasan Asia, Korea tidak bisa begitu saja dilihat sebelah mata. Banyak hal yang bisa dipelajari dari fenomena itu, terutama bagaimana semua pihak di dalam negeri bersatu padu membuat fenomena tiba-tiba itu menjadi suatu komoditas yang berharga bagi bangsa.[26]

H.          Solusi Alternatif
Barat, bukan menunjukkan geografis, tapi peradaban. Korea, meski secara geografis berada di Timur, tapi budaya dan gaya hidup orang-orangnya meniru Barat. Maka, budaya mereka dapat disebut budaya Barat. Menurut Dr. Adian Husaini, maraknya idolasisasi terhadap hiburan import (dalam hal ini Korea), merupakan sebuah bukti bahwa betapa kuat arus globalisasi dalam bidang hiburan, yang mana globalisasi mengarah pada “imperialisme Budaya” Barat terhadap budaya lain.
Sebagaimana lontaran Gramsci yang terkenal dengan teori hegemoninya mengatakan bahwa untuk melepaskan diri dari cengkeraman budaya asing, diperlukan partisipasi keikutsertaan para intelektual organik kaum inteletual yang harus menyadarkan masyarakat, terutama generasi muda, bukan kaum inteletual tradisional yang justru lebih melegitimasikan budaya-budaya asing tersebut.[27] Namun tentu saja hal ini tidak semudah membalikkan telapak tangan, jika kaum intelektual organik tersebut lemah modal. Kaum intelektual organik ini jumlahnya lebih sedikit, sehingga menyerahkan beban untuk menjaga generasi penerus dari pengaruh negatif globalisasi kepada mereka tentu kurang bijaksana. 
Setidaknya jalan alternatif yang perlu untuk segera disosialisasikan adalah gerakan media literacy (melek media) untuk dapat menangkal pengaruh buruk globalisasi media. Hal ini penting karena akan mendorong individu untuk secara aktif menafsirkan pesan dan menguatkan individu dalam menghadapi atau mengakses media. Positif atau negatif dampak dari globalisasi salah satunya ditentukan oleh sikap kita dalam menggunakan media tadi. Oleh karena itu, dibutuhkan konsep melek media, agar kita dapat melihat mana yang baik dan mana yang buruk dari isi yang dibawa media sehingga kita tidak terseret dalam arus globalisasi.
Meninggalkan sikap etnosentris “kolot” dalam memandang kebudayaan menjadikan suatu kebudayaan akan sangat rapuh mudah terpengaruh oleh kebudayaan lainnya. Sebagai seorang yang cerdas, kita harus mampu menimbang sisi baik dan buruk dari kebudayaan asing yang menerobos arus kebudayaan Indonesia. Bersikap selektif adalah jalan terbaik dalam menghadapi gencarnya arus modernisasi. Selektif dalam memilih dan menerka unsur manakah yang akan dipertahankan dan yang akan diambil dari kebudayaan lain. Namun tetap menjadikan kebudayaan dibawah kedudukan syariat sebagai pandangan alam rakyat Indonesia yang sebagian besar adalah seorang pemeluk Islam yang taat.
Selain itu, dunia hiburan kita masih belum maksimal menjadi soft power baru dalam pergaulan negara-negara di dunia, selama kita masih mengecap budaya latah dan menjadi imitasi hasil infiltrasi negara lain. Mengikuti penambang lain yang sudah lebih dahulu mengenal medan merupakan perkara logis. Tidak salah jika kaum muda Indonesia berkeinginan fokus pada hal yang serupa dengan boyband asal korea. Pertama, dari sisi konten industri musik harus mampu menawarkan bagian tangible produk musiknya seperti gaya ketimuran yang patut kita bawa ke kancah internasional. Kedua, sisi konteks menawarkan nilai pada para penikmat produk budaya Indonesia. Penyelenggaraan festival Indonesia di beberapa negara dengan menyajikan pertunjukan seni budaya, kuliner, serta berbagai produk/barang Indonesia yang dijual dapat membangun komunitas penikmat budaya Indonesia yang loyal. Ketiga, sisi infrastruktur menunjuk pada kapabilitas sumber daya manusianya.[28]
Masalah ini tidak lain karena hilangnya adab dalm generasi muda. Menurut Prof. Wan Mohd. Nor, jika adab hilang pada diri seseorang, maka akan mengakibatkan kezaliman, kebodohan dan menuruti hawa nafsu yang merusak. Manusia dikatakan zalim, jika – misalnya – meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Maka, dengan pemahaman seperti itu, seorang Muslim yang beradab pasti lebih mencintai dan mengidolakan Nabi Muhammad saw ketimbang manusia mana pun. Manusia Muslim yang beradab juga akan menghormati sahabat-sahabat nabi dan keluarganya. Begitu juga seorang muslim yang beradab akan lebih menghormati ulama pewaris nabi, ketimbang penguasa yang zalim.  Salah satu adab penting yang harus dimiliki seorang Muslim adalah adab terhadap ilmu. Saeorang yang beradab, menurut SM Naquib al-Attas, seorang beradab haruslah  mengenal derajat ilmu, mana ilmu yang wajib ‘ain (wajib dimiliki oleh setiap muslim) dan mana yang wajib kifayah (wajib dimiliki sebagian Muslim).[29]
Islam memandang kedudukan ilmu sangatlah penting, sebagai jalan mengenal Allah dan beribadah kepada-Nya. Ilmu juga satu-satunya jalan meraih adab. Orang yang berilmu (ulama) adalah pewaris nabi. Karena itu, dalam Bidayatul Hidayah, Imam Al-Ghazali mengingatkan, orang yang mecari ilmu dengan niat yang salah, untuk mencari keuntungan duniawi dan pujian manusia, sama saja dengan menghancurkan agama. Dalam kitabnya, Adabul ‘Alim wal-Muta’allim, KH Hasyim Asy’ari juga mengutip hadits Rasulullah saw: “Barangsiapa mencari ilmu bukan karena Allah atau ia mengharapkan selain keridhaan Allah Ta’ala, maka bersiaplah dia mendapatkan tempat di neraka.”[30]
Karena begitu mulianya kedudukan ilmu dalam Islam, maka seorang yang beradab tidak akan menyia-nyiakan umurnya untuk menjauhi ilmu, atau mengejar ilmu yang tidak bermanfaat, atau salah niat dalam meraih ilmu. Sebab, akibatnya sangat fatal. Ia tidak akan pernah mengenal Allah, tidak akan pernah meraih kebahagiaan sejati. Sebab, dengan mengenal dan berzikir kepada Allah, maka hati akan menjadi tenang.

I.              Solusi Fundamental
Menanamkan adab sedari dini kepada generasi memang merupakan upaya yang sangat cerdas. Namun tetaplah dalam keadaan sistem Kapitalistik ini menanamkan adab akan sangat sulit dilakukan. Ketergantungan budaya yang Negara-negara dunia ketiga alami hanyalah sebuah paradoks dari penerapan sistem kapitalistik. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang lebih dalam lagi yakni dengan mengubah sistem kapitalistik ini menjadi sistem berdasarkan syariat Islam yang telah terbukti mampu mengatasi berbagai permasalahan dalam seluruh aspek kehidupan termasuk pendidikan adab pada generasi muda.
Hal ini akan dengan mudah dilakukan karena ada dukungan dari sebuah sistem termasuk penguasa sebagai pemegang kebijakan publik. Sistem ini telah terbukti berhasil membawa Islam kepada kejayaan selama kurang lebih 13 abad. Bukan bermaksud dalam upaya mengenang kegemilangan tersebut. Namun ini adalah upaya rekonstruksi menuju suatu keadaan yang adil tanpa adanya ketimpangan di dalam seluruh aspek kehidupan.

BAB III
KESIMPULAN

Hallyu, merupakan nama lain dari kebudayaan Korea Selatan yang saat ini sedang menjadi trandmark remaja di Indonesia. Fenomena kecanduan budaya Korea ini berawal dari akibat yang ditimbulkan kemajuan arus teknologi, informasi dan komunikasi yang semakin cepat di seluruh dunia. Awal mula masuknya budaya populer Korea Selatan ke Indonesia khususnya, dan Asia secara umumnya dimulai sejak adanya serial televisi yang mampu menggantikan sinetron kejar tayang (stripping) di negara-negara Asia termasuk Indonesia.
Budaya pop itu merupakan budaya yang menyenangkan atau banyak disukai orang. Budaya populer dan ekonomi adalah dua hal yang tidak dapat terpisahkan. Bila budaya populer memiliki nama lain tren, maka ekonomi atau nilai komersial adalah kendaraan yang digunakan budaya tersebut untuk menjadi besar. Budaya popular dibesarkan salah satunya oleh media massa, khususnya televisi. Khalayak yang memiliki dan menonton televisi hampir pasti dapat dipastikan mengetahui apa yang dianggap tren pada masa tersebut, karena televisi dapat menampilkan tren itu secara repetitif, melalui program re-run atau spin-off.
Sebagaimana lontaran Gramsci yang terkenal dengan teori hegemoninya mengatakan bahwa untuk melepaskan diri dari cengkeraman budaya asing, diperlukan partisipasi keikutsertaan para intelektual organik kaum inteletual yang harus menyadarkan masyarakat, terutama generasi muda, bukan kaum inteletual tradisional yang justru lebih melegitimasikan budaya-budaya asing tersebut.[31] Namun tentu saja hal ini tidak semudah membalikkan telapak tangan, jika kaum intelektual organik tersebut lemah modal. Kaum intelektual organik ini jumlahnya lebih sedikit, sehingga menyerahkan beban untuk menjaga generasi penerus dari pengaruh negatif globalisasi kepada mereka tentu sangat tidak bijaksana. 
Setidaknya jalan alternatif yang perlu untuk segera disosialisasikan adalah gerakan media literacy (melek media) untuk dapat menangkal pengaruh buruk globalisasi media. Hal ini penting karena akan mendorong individu untuk secara aktif menafsirkan pesan dan menguatkan individu dalam menghadapi atau mengakses media. Positif atau negatif dampak dari globalisasi salah satunya ditentukan oleh sikap kita dalam menggunakan media tadi. Oleh karena itu, dibutuhkan konsep melek media, agar kita dapat melihat mana yang baik dan mana yang buruk dari isi yang dibawa media sehingga kita tidak terseret dalam arus globalisasi.
Masalah ini tidak lain karena hilangnya adab dalm generasi muda. Menurut Prof. Wan Mohd. Nor, jika adab hilang pada diri seseorang, maka akan mengakibatkan kezaliman, kebodohan dan menuruti hawa nafsu yang merusak. Manusia dikatakan zalim, jika – misalnya – meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya.
Menanamkan adab sedari dini kepada generasi memang merupakan upaya yang sangat cerdas. Namun tetaplah dalam keadaan sistem Kapitalistik ini menanamkan adab akan sangat sulit dilakukan. Ketergantungan budaya yang Negara-negara dunia ketiga alami hanyalah sebuah paradoks dari penerapan sistem kapitalistik. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang lebih dalam lagi yakni dengan mengubah sistem kapitalistik ini menjadi sistem berdasarkan syariat Islam yang telah terbukti mampu mengatasi berbagai permasalahan dalam seluruh aspek kehidupan termasuk pendidikan adab pada generasi muda.
Hal ini akan dengan mudah dilakukan karena ada dukungan dari sebuah sistem termasuk penguasa sebagai pemegang kebijakan publik. Sistem ini telah terbukti berhasil membawa Islam kepada kejayaan selama kurang lebih 13 abad. Bukan bermaksud dalam upaya mengenang kegemilangan tersebut. Namun ini adalah upaya rekonstruksi menuju suatu keadaan yang adil tanpa adanya ketimpangan di dalam seluruh aspek kehidupan.

DAFTAR PUSTAKA

Beals, L Ralph dkk. 1971. An Introduction to Anthropology. New York: Maxmilian Publishing.
Bocock, Robert. 2007. Hegemoni. Terj. Ikramullah Mahyuddin. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra.
Husaini, Adian. 2006. Wajah peradaban Barat. Jakarta: Gema Insani Pers.
Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Morley, David. 2006. Globalisation and Cultural Imperialism Reconsidered: Old Question in New Guide dalam James Curran and David Morley (ed.). Media and Cultural Theory. New York: Routledge. 
Ritzer, George dan Douglass J Goodman. 2010. Teori Sosiologi Modern. Terj. Tri Wibowo Budi Santoso. Jakarta: Kencana
Saifuddin, Achmad Fedyani. 2006. Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Jakarta: Kencana.
Soekanto, Soerjono. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.
Tumanggor, Rusmin, dkk. 2010. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana.
http://adibsusilasiraj.blogspot.com/2012/04/budaya-populer-defisit-nalar-surplus.html
http://sosbud.kompasiana.com/2012/04/09/demam-k-pop-keberhasilan-pemerintah-korea-selatan-membangun-perekonomian-lewat-seni/
http://id-id.facebook.com/note.php?note_id=232051820188144
http://sosiologibudaya.wordpress.com/2012/04/25/budaya-populer/





[1] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), Hlm. 181.
[2] Achmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis mengenai Paradigma, (Jakarta: Kencana, 2006), Hlm. 419.
[3] Rusmin Tumanggor, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Kencana, 2010). Hlm. 21.
[4] Williams, Raymond, (1983) Keyword, London: Fontana
[5] Williams, Raymond, Keyword, (London: Fontana, 1983), Hlm. 90.
[6] Koreana: Korean Art and Culture www.kf.or.kr/koreana/14_2/main/content1.html. artikel ini diakses pada tanggal 29 April 2012.
[7] Lihat George Ritzer, Douglas. J Goodman, Teori Sosiologi Modern, Terj. Alimandan, (Jakarta, Kencana: 2010), Hlm. 551.
[8] George Ritzer, Douglas. J Goodman, Teori Sosiologi Modern, Terj. Alimandan, (Jakarta, Kencana: 2010), Hlm. 553.
[9] George Ritzer, Douglas. J Goodman, Teori Sosiologi Modern, Terj. Alimandan, (Jakarta, Kencana: 2010), Hlm. 555.
[10] Tiyas Nur Hayani.  http://www.solopos.com/2012/kolom/hallyu-menantang-indonesia-177477. Artikel ini diakses pada tanggal 29 April 2012.
[11] George Ritzer, Douglas. J Goodman, Teori Sosiologi Modern, Terj. Alimandan, (Jakarta, Kencana: 2010), Hlm. 561.
[12] George Ritzer, Douglas. J Goodman, Teori Sosiologi Modern, Terj. Alimandan, (Jakarta, Kencana: 2010), Hlm. 563.
[13] George Ritzer, Douglas. J Goodman, Teori Sosiologi Modern, Terj. Alimandan, (Jakarta, Kencana: 2010), Hlm. 565.
[14] George Ritzer, Douglas. J Goodman, Teori Sosiologi Modern, Terj. Alimandan, (Jakarta, Kencana: 2010), Hlm. 565.
[15] George Ritzer, Douglas. J Goodman, Teori Sosiologi Modern, Terj. Alimandan, (Jakarta, Kencana: 2010), Hlm. 570.
[16] George Ritzer, Douglas. J Goodman, Teori Sosiologi Modern, Terj. Alimandan, (Jakarta, Kencana: 2010), Hlm. 573.
[17] George Ritzer, Douglas. J Goodman, Teori Sosiologi Modern, Terj. Alimandan, (Jakarta, Kencana: 2010), Hlm. 580.
[18] George Ritzer, Douglas. J Goodman, Teori Sosiologi Modern, Terj. Alimandan, (Jakarta, Kencana: 2010), Hlm. 555
[19] George Ritzer, Douglas. J Goodman, Teori Sosiologi Modern, Terj. Alimandan, (Jakarta, Kencana: 2010), Hlm. 583, 584.
[20] Konsumerisme adalah kecenderungan orang untuk mengidentifikasi dirinya dengan produk atau jasa yang mereka konsumsi, khususnya mereka dengan nama-nama merek komersial dan daya tarik meningkatkan status,
[21] Azmi, Dyah Arie, Ilyas dan Indra http://sosiologibudaya.wordpress.com/2012/04/25/budaya-populer/. Artikel ini dakses pada tanggal 29 April 2012.
[22] George Ritzer, Douglas. J Goodman, Teori Sosiologi Modern, Terj. Alimandan, (Jakarta, Kencana: 2010), Hlm. 588.
[23] David Morley. Globalisation and Cultural Imperialism Reconsidered: Old Question in New Guide dalam James Curran and David Morley (ed.). Media and Cultural Theory. (New York, Routledge: 2006). Hlm.   
[24] Titi Nur Vidyarini, Budaya Populer dalam Kemasan Televisi,
[25] Widodo Muktiyo.
[26]Suray Agung Nugroho, Hallyu  ‘gelombang korea’ di asia dan indonesia: trend merebaknya budaya pop korea
[27] Robert Bocock. Hegemoni. Terj. Ikramullah Mahyuddin. (2007, Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra), Hlm. 39 dan 40.
[28] Tiyas Nur Hayani.  http://www.solopos.com/2012/kolom/hallyu-menantang-indonesia-177477. Artikel ini diakses pada tanggal 29 April 2012.
[31] Robert Bocock. Hegemoni. Terj. Ikramullah Mahyuddin. (2007, Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra), Hlm. 39 dan 40.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar