Sabtu, 05 Mei 2012

Teori Sosiologi (April 2012)


KRITIK ATAS TEORI POSITIVISTIK AUGUSTE COMTE


MAKALAH




Diajukan sebagai syarat ketuntasan Mata Kuliah Teori Sosiologi



Disusun oleh,
Anita                              (1110015000015)



PRODI SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI JURUSAN P.IPS
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2012


BAB I
PENDAHULUAN
A.          Latar Belakang
Masa Auguste Comte dijadikan sebagai patokan karena Comte adalah orang yang pertama kali memakai istilah atau pengertian sosiologi.[1] Sosiologi dapatlah dikatakan merupakan suatu ilmu pengetahuan yang relatif muda usianya karena baru mengalami perkembangan pesat di dunia Barat sejak masa Comte tersebut. Akan tetapi, dilain pihak, fikiran-fikiran terhadap masyarakat telah dimulai jauh sebelum masa Comte. Pemikiran dan perhatian intelektual terhadap masalah-masalah serta isu-isu yang berkembang dengan sosiologi sudah lama berkembang sebelum sosiologi itu lahir menjadi suatu disiplin ilmu.[2] Diantara pemikir-pemikir itu adalah Plato, Aristoteles, Ibnu Khaldun, dan lain sebagainya pada masa Renaissance.[3]
Auguste Comte juga merupakan orang yang pertama membedakan antara ruang lingkup sosiologi dari ruang lingkup dan isi ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Dia menyusun suatu sistematika dari filsafat sejarah dalam kerangka tahap-tahap pemikiran yang berbeda-beda. Menurut Comte, ada tiga tahap perkembangan intelektual manusia, yang masing-masing merupakan perkembangan dari tahap sebelumnya.[4] Bagi Comte sosiologi merupakan ilmu pengetahuan kemasyarakatan umum yang merupakan hasil terakhir dari perkembangan ilmu pengetahuan.[5] http://cintasejarahislam.blogspot.com
Berdasarkan latar belakang singkat berikut ini, penulis akan mencoba memaparkan dan memberi kemudahan dalam memahami pemikiran Auguste Comte yang sangat berpengaruh dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Sebagaimana diketahui, Auguste merupakan pelopor penyelidikan ilmiah terhadap masyarakat yang dianggap sebagai suatu hal yang tidak mungkin. Meskipun berbagai teori yang dikemukakan Comte telah banyak yang mengkritik, namun pada kenyataannya teori-teori Comte masih digunakan hingga saat ini oleh para penerusnya.

B.           Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis kemukakan diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1.    Bagaimana riwayat hidup Auguste Comte sehingga dapat melahirkan berbagai teori dalam imu pengetahuan?
2.            Apa sajakah teori-teori yang dikemukakan Auguste Comte dalam buku-bukunya?
3.            Apakah ada dampak dari kehidupan pribadi Auguste Comte terhadap karya-karyanya?
4.            Bagaimana penjelasan mengenai teori-teori Auguste Comte secara singkat?
5.            Apakah dampak dari pemikiran-pemikiran Auguste Comte pada masanya dan pada saat ini?
6.            Bagaimana kritik terhadap teori-teori Auguste Comte dan siapa saja yang mengemukakannya?

C.          Tujuan Penulisan
Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan penulis menulis makalah ini adalah sebagai berikut.
1.    Mengetahui riwayat hidup Auguste Comte sehingga dapat melahirkan berbagai teori dalam imu pengetahuan.
2.            Mengetahui apa saja teori-teori yang dikemukakan Auguste Comte dalam berbagai bukunya.
3.            Mengetahui dampak dari kehidupan pribadi Auguste Comte terhadap karya-karyanya.
4.            Mengetahui penjelasan mengenai teori-teori Auguste Comte secara singkat.
5.            Mengetahui dampak dari pemikiran-pemikiran Auguste Comte pada masanya dan sosiologi saat ini.
6.            Mengetahui dan menjelaskan bantahan-bantahan terhadap teori-teori Auguste Comte dan siapa saja yang mengemukakannya.


BAB II
LANDASAN TEORI

A.     Riwayat Hidup
Auguste Comte lahir di Mountpelier, Perancis 19 Januari 1798, keluarganya beragama Katolik dan berdarah bangsawan, tetapi Comte tidak memperlihatkan loyalitasnya. Ayahnya menjadi seorang pegawai kerajaan, tepatnya sebagai pegawai lokal kantor pajak dan sekaligus menjadi seorang penganut agama Katolik yang taat. Dengan latar belakang yang seperti ini, tidak mengherankan jika ayah Comte bekerja keras untuk menjadikan Comte sebagai pegawai kerajaan dan juga sebagai penganut agama Katolik yang taat. Namun demikian, Comte ternyata tidak bersedia mewujudkan cita-cita ayahnya. Sebagai seorang yang berpikiran bebas dan memiliki kemampuan untuk memikirkan dirinya sendiri, Comte lebih suka memilih jalan hidupnya sendiri. Di usia yang ke-13, ia menjadi seorang republikan yang militan dan skeptis[6] terhadap ajaran-ajaran agama katolik. 
Comte mendapat pendidikan lokal dari sebuah sekolah di daerah asalnya, Mountpelier. Di sini ia sangat berbakat di bidang Matematika. Oleh karena itu, usai menyelesaikan sekolahnya, Comte pindah ke Paris untuk mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru di Ecole Polytechnique, sebuah politeknik yang sangat bergengsi pada masa itu. Comte berhasil lolos dalam seleksi dan diterima sebagai mahasiswa di Ecole Polytechnique. Hal ini terjadi saat Comte berumur 16 tahun. Di Politeknik ini, Comte menekuni Matematika dan Fisika, dan tergolong sebagai mahasiswa yang cerdas dan berbakat. Comte cukup lama hidup di Paris dan ia pun mengalami suasana pergolakan sosial, intelektual dan politik.
Comte tidak mendapat ijazah Perguruan Tinggi karena sikap-sikapnya sendiri yang amat kritis dan sering mengajukan petisi terhadap para gurunya ketika mereka melakukan kesalahan. Disamping itu, Comte juga memimpin gerakan-gerakan revolusioner di lingkungan sekolahnya. Pada tahun 1816, sekolah ini direstorasi, dan tidak mentolelir sikap-sikap yang revolusioner. Oleh karena itu, di tahun itu juga, Ecole Polytechnique ditutup karena dianggap mengembangkan sikap-sikap yang revolusioner. Dampaknya, Comte dan teman-temannya dipulangkan tanpa pernah mendapat ijazah.
Comte memulai karirnya dengan memberikan les dalam bidang Matematika. Meskipun ia sudah memperoleh pendidikan Matematika, tetapi sebenarnya perhatian utamanya adalah terhadap masalah-masalah kemanusiaan dan sosial. Tahun 1817, Auguste Comte menjadi sekretaris (dan menjadi anak angkat) Saint Simon.[7] Mereka bekerja sama selama beberapa tahun dan Comte menyatakan utang budinya kepada Saint Simon “Aku secara intelektual sangat berhutang budi kepada Saint Simon. Ia memberikan dorongan sangat besar kepadaku dalam studi Filsafat yang memungkinkan diriku menciptakan pemikiran Filsafatku sendiri dan yang akan aku ikuti tanpa ragu selama hidupku”.
Tahun 1824 keduanya bersengketa karena Comte yakin Saint Simon menghapus namanya dari salah satu karya sumbangannya, sehingga tahun 1852 Comte berkata tentang Saint Simon: “Aku tak berhutang apapun pada tokoh terkemuka itu”. Auguste Comte kemudian kehilangan pekerjaan, ia berusaha melamar satu posisi di universitas, tetapi sekolah politeknik tidak mau memberi jabatan kepada mantan mahasiswanya yang terlalu memberontak.
Tahun 1826 Comte membuat sebuah catatan yang kemudian menjadi bahan kuliah (ceramah) umum sebanyak 70 kali tentang pemikiran filsafatnya. Kuliah itu dilakukan di rumahnya sendiri. Pada masa inilah Comte menikahi Caroline Massin, seorang mantan pelacur yang telah dikenalnya sejak lama. Tetapi perkawinan ini berujung buruk. Beberapa kali Caroline berusaha kabur dari rumah hendak menjual diri lagi. Krisis yang dialami pasangan ini menyebabkan Comte mengalami gangguan saraf dan mental, hingga tahun 1827 ia mencoba bunuh diri dengan mencebur ke sungai Saine, tetapi ia selamat.
Setelah mampu mengatasi beban kehidupannya, Comte bekerja keras untuk menyelesaikan karya besarnya Le Cour de Philosiphie Positive (Kuliah Filsafat Positif). Buku ini terdiri dari 6 jilid dan ditulis selama 12 tahun (1830-1842). Dalam karya ini Comte melukiskan sosiologi sebagai ultimate science.[8] Pada tahun 1844, Comte bertemu dengan seorang perempuan bernama Clothilde de Vaux dan mereka saling jatuh cinta. Sayangnya, cinta mereka tidak dapat bersatu dalam pernikahan karena Clothilde de Vaux menderita penyakit TBC. Perjumpaan dengan wanita itu, berdampak besar bagi karya Comte berikutnya, yaitu Systeme de Politique Positive. Dalam karya ini, Comte tidak hanya mengungkapkan mengenai pelaksanaan praktis dari sistem filsafat yang telah dikemukakannya didalam Le Cour de Philosiphie Positive, tetapi juga mengungkapkan kekuatan cinta dalam masyarakat.
Diberikannya tempat untuk cinta dalam masyarakat, sesungguhnya merupakan bentuk penghargaan Comte akan cinta yang terjalin antara dirinya dengan Clothilde de Vaux. Comte akhirnya mendapat sejumlah besar pengikut di Perancis dan beberapa negara lainnya. Comte meninggal 5 September 1857.

B.           Pemikiran Auguste Comte
1.            Hukum Tiga Tahap Auguste Comte
Pada pertengahan abad ke-19 Auguste Comte telah membayangkan kebangunan ilmu dan keruntuhan agama, dan ia Comte percaya bahwa menurut logika sekular perkembangan filsafat dan ilmu Barat, masyarakat berevolusi dan berkembang dari tingkat primitif ke tingkat modern.[9] Comte termasuk pemikir yang digolongkan dalam positivisme yang memegang teguh bahwa strategi pembaharuan termasuk dalam masyarakat itu dipercaya dapat dilakukan berdasarkan hukum alam. Masyarakat positivis percaya bahwa hukum-hukum alam yang mengendalikan manusia dan gejala sosial dapat digunakan sebagai dasar untuk mengadakan pembaharuan sosial dan politik untuk menyelaraskan institusi-institusi masyarakat dengan hukum-hukum itu.
Comte juga melihat bahwa masyarakat sebagai suatu keseluruhan organik yang kenyataannya lebih dari sekedar jumlah bagian-bagian yang saling tergantung. Dan untuk mengerti kenyataan ini harus dilakukan suatu metode penelitian empiris, yang dapat meyakinkan kita bahwa masyarakat merupakan suatu bagian dari alam seperti halnya gejala fisik.[10] Menurut Comte perubahan tidaklah harus dibuat melalui revolusi karena akibat-akibatnya sangatlah fatal. Sebaiknya perubahan dapat terjadi melalui proses evolusi dengan hasil yang lebih baik.[11]
Untuk itu Comte mengajukan tiga metode penelitian empiris yang biasa juga dilakukan oleh bidang-bidang fisika dan biologi, yaitu pengamatan, dimana dalam metode ini peneliti mengadakan suatu pengamatan fakta dan mencatatnya dan tentunya tidak semua fakta dicatat, hanya yang dianggap penting saja. Metode kedua yaitu Eksperimen, metode ini biasa dilakukan secara terlibat ataupun tidak dan metode ini memang sulit untuk dilakukan. Metode ketiga yaitu perbandingan, tentunya metode ini memperbandingkan suatu keadaan dengan keadaan lainnya.[12]
Dengan menggunakan metode-metode diatas, Comte berusaha merumuskan perkembangan masyarakat yang bersifat evolusioner menjadi tiga kelompok, yaitu pertama, Tahap Teologi atau fiktif, yaitu suatu tahap dimana manusia menafsirkan gejala-gejala disekelilingnya secara Teologis, yaitu dengan kekuatan-kekuatan yang dikendalikan roh dewa-dewa atau Tuhan Yang Maha Kuasa. Penafsiran ini penting bagi manusia untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang memusuhinya dan untuk melindungi dirinya dari faktor-faktor yang tidak terduga sebelumnya.[13]
Tahap ini merupakan periode paling lama dalam sejarah manusia. Berakhir kira-kira hingga abad ke 14.[14] Dalam periode ini di bagi lagi ke dalam 3 sub periode yakni Fetitisme, yaitu bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi kepercayaan bahwa semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri. Politheisme, muncul adanya anggapan bahwa kekuatan-kekuatan yang mengatur kehidupannya atau gejala alam. Monotheisme, yaitu kepercayaan kepada dewa mulai digantikan dengan yang tunggal, dan puncaknya ditunjukkan adanya katolikisme.[15]
Kedua, Tahap Metafisik. Menurut Comte, dilihat dari aspek perkembangannya, metafisika adalah transisi dari theologi ke ilmu pengetahuan.[16] Pada tahap ini manusia menganggap bahwa dalam setiap gejala terdapat kekuatan-kekuatan atau inti tertentu yang pada akhirnya akan dapat diungkapkan. Pada tahap ini manusia masih terikat cita-cita tanpa verivikasi karena adanya kepercayaan bahwa setiap cita-cita terkait pada suatu realitas tertentu dan tidak ada usaha untuk menemukan hukum-hukum alam yang seragam.hal yang terakhir inilah yang merupakan tugas ilmu pengetahuan positif, yang merupakan tahap ketiga atau tahap terakhir dari perkembangan manusia.[17] 
Ketiga, Tahap Positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir, tetapi sekali lagi pengetahuan itu sifatnya sementara dan tidak mutlak, disini menunjukkan bahwa semangat positivisme yang selalu terbuka ecara terus menerus terhadap data baru yang terus mengalami pembaharuan dan menunjukkan dinamika yang tinggi. Analisa rasional mengenai data empiris akhirnya akan memungkinkan manusia untuk memperoleh hukum-hukum yang bersifat uniformitas. Dengan hukum ketiga tahap itu, Comte menekankan pentingnya peranan intelek dalam menemukan hukum-hukum positif yang mengatur kehidupan masyarakat.[18]
Gagasan tentang ketiga tahap tersebut, walaupun merupakan suatu fiksi memberikan penerangan terhadap manusia, serta secara psikologis merupakan suatu perkembangan yang penting. Ketiga tahap tersebut dapat memenuhi fikiran manusia pada saat yang bersamaan di mana kadang-kadang timbul pertentangan-pertentangan. Pertentangan-pertentangan tersebut seringkali tidak disadari manusia sehingga timbul ketidakserasian. Selanjutnya mengaitkan industrialisasi dengan tahap ketiga perkembangan pemikiran manusia. Secara logis, maka dalam masa industri tersebut akan terjadi perdamaian yang kekal. Itulah asumsi Comte, karena tahap-tahap sebelumnya ditandai dengan adanya masa perbudakan dan militerisme yang penuh dengan pertikaian.[19] Apakah sebenarnya yang dimaksud Comte dengan ilmu pengetahuan positif, dan dimanakah letak sosiologisnya?[20]
Menurut Comte, suatu ilmu pengetahuan bersifat posifif, apabila ilmu pengetahuan tersebut memusatkan perhatian terhadap gejala-gejala yang nyata dan kongkret, tanpa ada halangan dari pertimbangan-pertimbangan lainnya. Dengan demikian, ada kemungkinan untuk memberikan penilaian terhadap pelbagai cabang ilmu pengetahuan dengan jalan mengukur isinya yang positif, serta sampai sejauh mana ilmu tadi dapat mengungkapkan kebenaran yang positif. Hirearki atau tingkatan ilmu-ilmu pengetahuan menurut tingkat pengurangan generalitas dan penambahan kompleksitasnya adalah:
a.             Matematika;
b.            Astronomi;
c.             Fisika;
d.            Ilmu kimia;
e.             Biologi; dan
f.             Sosiologi
Hal yang menonjol dari sistematika Comte adalah penilaiannya terhadap sosiologi, yang merupakan ilmu pengetahuan yang paling kompleks, dan merupakan suatu ilmu pengetahuan yang akan berkembang dengan pesat sekali. Sosiologi merupakan studi positif tentang hukum-hukum dasar dari gejala sosial. Comte kemudian membedakan antara sosiologi statis dengan sosiologi dinamis.[21]
Sosiologi statis memusatkan perhatian pada hukum-hukum statis yang menjadi dasar dari adanya masyarakat. Studi ini merupakan semacam anatomi sosial yang mempelajari aksi-aksi dan reaksi timbal balik dari sistem-sistem sosial. Cita-cita dasar yang menjadi latar belakang sosiologi statis adalah bahwa semua gejala sosial saling berkaitan, yang berarti percuma untuk mempelajari salah satu gejala sosial secara tersendiri. Unit sosial yang penting bukanlah individu, tetapi keluarga yang bagian-bagiannya terikat oleh simpati. Agar suatu masyarakat berkembang, simpati harus diganti kooperasi yang akan hanya mungkin ada apabila terdapat pembagian kerja.
Sosiologi dinamis merupakan teori tentang perkembangan dalam arti pembangunan. Ilmu pengetahuan ini menggambarkan cara-cara pokok dalam mana perkembangan manusia terjadi dari tingkat intelegensia yang rendah ke tingkat yang lebih tinggi. Dengan demikian dinamika menyangkut masyarakat-masyarakat untuk menunjukkan adanya perkembangan. Comte yakin bahwa masyarakat akan berkembang menuju suatu kesempurnaan. Walaupun demikian, Comte sebenarnya lebih mementingkan perubahan-perubahan atau perkembangan dalam cita-cita daripada bentuk. Akan tetapi, dia tidak menyadari betapa perubahan cita-cita akan mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan bentuk pula.[22]

2.            Konteks Sosial dan Lingkungan Intelektual
Untuk memahami pikiran Auguste Comte, kita harus mengaitkan dia dengan faktor lingkungan kebudayaan dan lingkungan intelektual Perancis. Comte hidup pada masa revolusi Perancis yang telah menimbulkan perubahan yang sangat besar pada semua aspek kehidupan masyarakat Perancis. Revolusi ini telah melahirkan dua sikap yang saling berlawanan yaitu sikap optimis akan masa depan yang lebih baik dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan sebaliknya sikap konservatif atau skeptis terhadap perubahan yang menimbulkan anarki dan sikap individualis.
Lingkungan intelektual Perancis diwarnai oleh dua kelompok intelektual yaitu para peminat filsafat sejarah yang memberi bentuk pada gagasan tentang kemajuan dan para penulis yang lebih berminat kepada masalah-masalah penataan masyarakat.Para peminat filsafat sejarah menaruh perhatian besar pada pertanyaan-pertanyaan mengenai apakah sejarah memiliki tujuan, apakah dalam proses historis diungkapkan suatu rencana yang dapat diketahui karena Wahyu atau akal pikiran manusia, apakah sejarah memiliki makna atau hanyalah merupakan serangkaian kejadian yang kebetulan. Beberapa tokoh dapat disebut dari Fontenelle, Abbe de St Pierre, Bossuet, Voltaire, Turgot, dan Condorcet. Para peminat masalah-masalah penataan masyarakat menaruh perhatian pada masalah integrasi dan ketidaksamaan. Tokoh-tokohnya antara lain Montesquieu, Rosseau, De Bonald.
Dua tokoh filsuf sejarah yang mempengaruhi Comte adalah Turgot dan Condorcet. Turgot merumuskan dua hukum yang berkaitan dengan kemajuan. Yang pertama berisi dalil bahwa setiap langkah berarti percepatan. Yang kedua adalah hukum tiga tahap perkembangan intelektual : Pertama ; Orang pertama menemukan sebab-sebab adanya gejala-gejala dijelaskan  dalam kegiatan makhluk-makhluk rohaniah. Kedua ; Gejala-gejala dijelaskan dengan bantuan abstraksi dan pada tahap ketiga orang menggunakan Matematika dan eksperimen. Menurut Condorcet, studi sejarah memiliki dua tujuan, yakni pertama: adanya keyakinan bahwa sejarah dapat diramalkan asal saja hukum-hukumnya dapat diketahui (yang diperlukan Newton adalah sejarah). Tujuan kedua adalah untuk menggantikan harapan masa depan yang ditentukan oleh Wahyu dengan harapan masa depan yang bersifat sekuler.[23]
Menurut Condorcet ada tiga tahap perkembangan manusia yaitu membongkar perbedaan antar negara, perkembangan persamaan negara, dan ketiga kemajuan manusia sesungguhnya. Dan Condorcet juga mengemukakan bahwa belajar sejarah itu dapat melalui pengalaman masa lalu, pengamatan pada kemajuan ilmu-ilmu pengetahuan peradaban manusia dan menganalisa kemajuan pemahaman manusia terhadap alamnya.[24]

3.            Agama Humanitas
Ada sebuah hal yang menarik dari gagasan Comte terhadap prospek agama dalam sebuah evolusi pemikiran manusia. Agama merupakan dasar untuk “konsesus universal” dalam masyarakat, dan juga mendorong identifikasi emosional individu dan meningkatkan altruisme.[25] Tetapi kalau dilihat dari perspektif ilmiah (positif). Melihat sebuah problematika yang dihadapi, menuai sebuah tanda tanya yang cukup rumit, yaitu bagaimana keteraturan sosial itu dapat dipertahankan dalam masyarakat positif di masa yang akan datang, dengan satu dasar tradisi pokok mengenai keteraturan sosial yang digali oleh positivisme.
Dengan agak sederhana Comte mengemukakan gagasan untuk mengatasi masalah ini dalam tahap kedua karirnya, dengan mendirikan agama baru agama humanitas dan mengangkat dirinya sebagai imam agung. Hal tersebut reaksi dari sebuah aspek yang meliputi suatu analisa objektifnya mengenai sumber-sumber stabilitas dalam masyarakat; fase kedua ini meliputi usaha meningkatnya keteraturan sosial dengan agama humanitas sebagai cita-cita normatifnya, ini merupakan pokok permasalahan utama dalam bukunya yang berjudul “System of Positive Politics”. Walau demikian ada banyak ahli yang mengkritik gagasannya ini. Salah satunya mengatakan bahwa Comte sudah gila ketika dia memulai karyanya ini.[26]
Mungkin karena disebabkan oleh perubahan sikap dalam emosi Comte yang dianggap sangat merugikan mutu karya intelektualnya. Dalam menggambarkan System of Positive Politics, Cooser menulis “pada halaman-halamannya; Comte sekarang mengagungkan emosi lebih daripada intelek, perasaan melebihi akal budi; terus-menerus mengemukakan kekuasaan yang menyembuhkan dari kehangatan wanita untuk humanitas yang terlalu lama didominasi oleh kekerasan intelek pria. Di samping itu, Manuel dengan terang-terangan mempertentangkan kedua bukunya dengan mengatakan “antara Course dan System de Politique Positive, Comte keluar dari kesengsaraan yang mendalam ke suatu cinta yang mistik yang demikian menguasai sehingga murid-muridnya sendiri cemas dan orang luar mencemoohnya.
Agama humanitas Comte merupakan suatu gagasan utopis[27] untuk mereorganisasi masyarakat secara sempurna. Sosiologi akan jadi ratu ilmu pengetahuan (seperti teologi di abad-abad pertengahan); hal ini memungkinkan suatu penjelasan tentang kemajuan pengetahuan manusia secara komprehensif dan mengenai hukum-hukum keteraturan dan kemajuan sosial. Gagasan Comte mengenai suatu masyarakat positivis dibawah bimbingan moralitas agama humanitas semakin terperinci. Ditandai dengan bentuk sebuah kalender baru yang disusun dengan hari-hari tertentu untuk menghormati ilmuwan-ilmuwan besar dan lain yang sudah berjasa dan bekerja demi kemanusiaan. Disamping itu akan ada ritus dan doa yang disusun untuk menyalurkan hasrat-hasrat individu dan memasukannya ke dalam the great being of humanity. Ada juga kultus terhadap kewanitaan dengan dirayakannya perasaan altruistik wanita. Comte sendiri sebagai imam agungnya berlutut di depan altarnya sendiri (sebuah kursi mewah) sambil memegang seikat rambut kepala Clothide de Vaux, dan dia mengusulkan supaya kuburnya merupakan tempat ziarah.
Apapun kekurangan dan ekses gagasan Comte yang terperinci itu mereorganisasi masyarakat dan mendirikan agama baru, masalah yang dia hadapi sungguh penting, baik menurut titik pandang intelektual maupun moral. Masalah inipun merupakan dilema bertahun-tahun lamanya antara akal budi lawan emosi, pemahaman intelektual lawan tanggung jawab moral, keteraturan lawan kemajuan. Walaupun banyak pertanyaan yang menyertainya, tidak mungkin kita dapat meninjaunya dari suatu perspektif ilmiah (positif) saja, masalah-masalah itu tentunya dapat dibicarakan menurut perspektif humanistik. Ahli ilmu sosial sekarang yang berpegang pada cita-cita suatu ilmu sosial yang bersifat objektif, analitis, didasarkan pada data empiris, ditunjuk dan diilhami oleh nilai-nilai moral humanistik, setia pada impian “bapak sosiologi” itu.[28]

4.            Kebudayaan Materiil Vs Non Materiil
Comte merasa bahwa perubahan dalam kebudayaan non materil merupakan kunci untuk memahami dinamika perubahan sosial. Sebagai alternatifnya adalah penekanan pada perubahan-perubahan dalam kebudayaan materil, seperti perkembangan teknologi atau industri sebagai aspek yang penting dalam perubahan sosial budaya. Hal ini dinyatakan dalam pandangan Ogburn bahwa kebiasaan-kebiasaan dan pola-pola normatif masyarakat tertinggal di belakang perubahan dalam bidang teknologi.
Tekanan pada tingkat budaya kenyataan sosial yang dirintis oleh Comte, tidak dapat bertahan begitu sosiologi berkembang. Sehingga kita dapat melihat bahwa masalah perubahan budaya pada akhirnya jauh lebih kompleks daripada model-model perubahan budaya yang ditawarkan oleh Comte atau ahli sosial lainnya.[29]
Auguste Comte adalah manusia yang berjalan di tengah-tengah antara ideologi yang berkembang (progressive VS konservatif), berada pada ruang abu-abu (keilmiahan ilmu pengetahuan). Comte memberikan sumbangsih cukup besar untuk manusia walaupun, ilmu pengetahuan yang dibangun merupakan ide generatif dan ide produktifnya. Comte turut mengembangkan kebudayaan dan menuliskan bahwa: “ Sebagai anak kita menjadi seorang teolog, sebagai remaja kita menjadi ahli metafisika dan sebagai manusia dewasa kita menjadi ahli ilmu alam”.[30]

5.      Keteraturan Sosial
Comte mengatakan bahwa di setiap tahapan tentunya akan selalu terjadi suatu konsesus yang mengarah pada keteraturan sosial, dimana dalam konsesus itu terjadi  suatu kesepakatan pandangan dan kepercayaan bersama, dengan kata lain suatu masyarakat dikatakan telah melampaui suatu tahap perkembangan diatas apabila seluruh anggotanya telah melakukan hal yang sama sesuai dengan kesepakatan yang ada, suatu kekuatan yang dominan yang menguasai masyarakat yang mengarahkan masyarakat untuk melakukan konsesus demi tercapainya sustu keteraturan sosial.[31] Sebagai makhluk sosial kita tentunya menginginkan kondisi sosial teratur dimana hubungan antar masyarakat berjalan secara dinamis dan seimbang. Dalam sosiologi istilah yang dipakai ialah keteraturan sosial. Keteraturan Sosial adalah suatu kondisi dimana hubungan sosial berjalan secara tertib dan teratur mnurut nilai-nilai dan norma sosial yang berlaku dalam masyarakat.
Analisis Comte mengenai keteraturan sosial dapat dibagi dalam dua fase. Pertama, usaha untuk menjelaskan keteraturan sosial secara empiris dengan menggunakan metode positif. Kedua, usaha untuk meningkatkan keteraturan sosial sebagai suatu cita-cita yang normatif dengan menggunakan metode-metode yang bukan tidak sesuai dengan positivisme, tetapi yang menyangkut perasaan juga intelek. Menurut comte, individu dipengaruhi dan dibentuk oleh lingkungan sosial, sehingga satuan masyarakat asasi adalah bukan individu-individu, melainkan keluarga. Dalam keluargalah individu diperkenalkan kepada masyarakat.
Keteraturan sosial juga bergantung pada pembagian pekerjaan dan kerja sama ekonomi. Individu menjalankan kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan individunya. Akan tetapi begitu pembagian pekerjaan muncul, partisipasi individu dalam kegiatan ekonomi menghasilkan kerja sama, kesadaran akan saling ketergantungan dan muncul ikatan-ikatan sosial baru. Pembagian pekerjaan meningkat bersama industrialisasi, dan bertambahnya spesialisasi yang berhubungan dengan itu mendorong individualisme, sekaligus meningkatkan derajat saling ketergantungan. Jadi, keteraturan yang stabil dalam suatu masyarakat kompleks, berbeda dengan masyarakat primitif yang berstruktur longgar dan berdiri sendiri, berstandar pada saling ketergantungan itu yang perkembangannya dibantu oleh pembagian pekerjaan yang sangat tinggi.
Menurut Comte, ilmu pengetahuan bersifat positif apabila ilmu pengetahuan tersebut memusatkan perhatian pada gejala-gejala yang nyata dan konkret, tanpa ada halangan dari pertimbangan-pertimbangan lainnya. Dengan demikian, ada kemungkinan untuk memberikan penilaian terhadap berbagai cabang ilmu pengetahuan dengan jalan mengukur isinya yang positif, serta sampai sejauh mana ilmu tersebut dapat mengungkapkan kebenaran yang positif. Asumsi-asumsi ilmu pengetahuan positiv itu sendiri, antara lain: Pertama, ilmu pengetahuan harus bersifat obyektif (bebas nilai dan netral) seorang ilmuwan tidak boleh dipengaruhi oleh emosionalitasnya dalam melakukan observasi terhadap obyek yang sedang diteliti. Kedua, ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan hal-hal yang berulang kali. Ketiga, ilmu pengetahuan menyoroti tentang fenomena atau kejadian alam dari mutualisma simbiosis dan antar relasinya dengan fenomena yang lain.

BAB III
ANALISIS KRITIS TERHADAP PEMIKIRAN AUGUSTE COMTE

A.           Kritik terhadap Latar Belakang Keluarganya dan Pengaruh terhadap Berbagai Teorinya
Berdasarkan latar belakang kehidupannya, kita dapat melihat bahwa ada pengaruh besar pemikirasn Comte terhadap teori-teorinya. Comte lahir dan besar dalam lingkungan katolik dengan doktrin yang sangat kuat. Sebagai seorang pemikir, dia menemukan ketidaksesuaian antara dorma gereja dengan ilmu pengetahuan. Seperti ilmuwan-ilmuwan lainnya pada masa Renaissance, Comte melihat ada kesalahan fatal gereja dalam memandang ilmu pengetahuan. Oleh karena itu pada akhirnya dia menulis teori tiga tahap intelektual manusia. Rasa marahnya terhadap dogma yang berkembang pada agama katolik membuatnya memikirkan bahwa masa dominasi gereja yang kolot sudah tidak sesuai lagi dengan zaman. Sesuai dengan teori asal mula agama yang menyatakan bahwa agama selalu berevolusi, dia meyakini bahwa pada akhirnya masa-masa kelak agama itu akan segera berakhir dengan suatu kondisi dalam masyarakat bahwa dogma akan tergantikan dengan ilmu pengetahuan.
Secara garis besarnya pemikiran Comte terkait dengan permasalahan berikut.
1.            Revolusi Perancis dengan segala aliran pikiran yang berkembang pada masa itu. Comte tidaklah dapat dipahami tanpa latar belakang revolusi perancis dan juga Restorasi Dinasti Bourbon di Perancis yaitu pada masa timbulnya krisis sosial yang maha hebat dimasa itu. Sebagai seorang ahli pikir, Comte berusaha untuk memahami krisis yang sedang terjadi tersebut. ia berpendapat bahwa manusia tidaklah dapat keluar dari krisis sosial yang terjadi itu tanpa melalui pedoman–pedoman berpikir yang bersifat scientific. Maka revolusi itu merupakan stimulus bagi pikiran Comte sendiri,
2.            Sumber lain yang menjadi latar belakang pemikiran Comte adalah filsafat sosial yang berkembang di Perancis pada abad ke-18. Khususnya filsafat yang dikembangkan oleh para penganut paham encyclopedist ini, terutama dasar–dasar pikirannya, sekalipun kelak ia mengambil posisi tersendiri setelah keluar dari aliran ini.
3.            Sumber lainnya adalah aliran reaksioner dari para ahli pikir Thoecratic terutama yang bernama De Maistre dan De Bonald. Aliran reaksioner dalam pemikiran Katolik Roma adalah aliran yang menganggap bahwa abad pertengahan kekuasaan gereja sangat besar, adalah periode organis, yaitu suatu periode yang secara paling baik dapat memecahkan berbagai masalah–masalah sosial. Aliran ini menentang pendapat para ahli yang menganggap bahwa abad pertengahan adalah abad di mana terjadinya stagmasi didalam ilmu pengetahuan, karena kekuasaan gereja yang demikian besar di segala lapangan kehidupan.
4.                       Sumber terakhir yang melatarbelakangi pemikiran Comte adalah lahirnya aliran yang dikembangkan oleh para pemikir sosialistik, terutama yang diprakarsai oleh Saint Simont. Comte telah membangun hubungan yang sangat erat dengan Saint Simont dan juga dengan para ahli pikir sosialis Prancis lainnya. Comte di suatu pihak akan membangun pengetahuan sosial dan dipihak lain akan membangun kehidupan ilmu pengetahuan sosial yang bersifat scientific.
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, sangatlah jelas jika Comte berpendapat bahwa zaman positif hegemoni agama akan diganti dengan hegemoni ilmu pengetahuan. Pada kenyataannya hanyalah agama yang bersifat kesejarahan yang dapat melebur dengan zaman. Dengan doktrin yang sangat kuat dan tidak dapat bertahan dari kemajuan ilmu pengetahuan, maka agama itupun pada akhirnya larut dengan peradaban baru yang menggerusnya.
Problem Teologis Kristen, problem teks Bible, dan juga pengalaman Barat yang Traumatis terhadap hegemoni gereja selama ratusan tahun telah membentuk sikap Traumatis mereka terhadap Kristen. Cara pandang terhadap agama yang lahir dari peradaban Barat adalah konsep yang traumatis terhadap agama. Dari sinilah muncul paham sekularisasi yang meskipun tidak membunuh agama, tetapi menempatkan agama pada pojok kehidupan yang sempit. Agama ditempatkan dalam wilayah personal dan membatasia wilayah kekuasaan mereka.
Tak hanya itu, mereka juga mereka juga melakukan proses liberalisasi dan dekonstruksi besar-besaran terhadap berbagai doktrin Kristen. Dalam bidang sisial politik mereka lahirkan konsep sekularisme yang menemukan aplikasi penting pasca Revolusi Perancis, 1789. Pada akhirnya mereka mengembangkan Teologi Inklusif dan Pluralis yang menolah klaim Kristen sebagai satu-satunya agama yang benar. Dalam bidang organisasi keagamaan, mereka menghantam konsep “formal religion” dan menggambarkan konsep agama sebagai aktivitas. Dalam bidang kajian kitab suci, mereka mengembangkan “hermeneutika” yang mendekonstruksi konsep Bible dan mengembangkan metode kritik sejarah terhadap teks Bible.[32]
Untuk agama humanitas yang dibentuk Comte tidak mengagungkan sang pencipta akan tetapi mengagungkan manusia sebagai “Tuhan”. Sesuai dengan latar belakangnya dan kejadian-kejadian yang pernah dilaluinya tidak mengherankan jika pada akhirnya Auguste Comte memilih jalan menjadi seorang atheis. Secara tidak langsung gagasan yang dituangkanya dalam buku-bukunya berusaha menafikkan Tuhan dalam arti sesungguhnya (dalam wahyu) bukan dalam konsep agama kesejarahan.
Filsafat positivis Comte jelas-jelas telah mengalami kehancuran. Pada kenyataannya sekarang, ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah tidak mampu menjawab pertanyaan mengenai sesuatu yang abstrak. Jika memang pada akhirnya manusia berevolusi menjadi manusia yang dewasa dengan meninggalkan sisi theologis dan metafisik menjadi positive, Mengapa hingga saat ini masih banyak orang-orang yang mengaku berfikir secara ilmiah dan sekular tetap mampercayai sesuatu yang abstrak yang tidak dapat terjangkau oleh alat indera?
Jawaban ini jelaslah tidak dapat dijawab oleh mereka, orang-orang yang menyatakan era theology dan metafisika telah mati. Jika memang ilmu pengetahuan harus bertumpu kepada sesuatu yang empiric (terindera), matematika sebagai pondasi science pun harus diruntuhkan. Sebagaimana kita tahu, matematika yang terdiri dari angka-angka tidak dapat terindera. Dan jelaslah jika hal tersebut bukan merupakan bagian dari science, maka pondasi kokoh dari science pun akan meruntuhkan science itu sendiri.
Permasalahan yang dihadapi Katholik selama berabad-abad memberikan perubahan besar manusia terhadap sejarah Barat. Kita dapat mengetahui mengenai fenomena Kristen yang terbaratkan, yang melebur dengan peradaban Barat itu sendiri. Dogma yang ada pada katholik jelas-jelas tidak berkesusaian lagi dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Bahkan akibat ikut campurnya gereja dalam permasalahan ilmu pengetahuan tidak akan memberiken pencerahan dalam peradaban.
Perombakan besar-besaran terhadap dogma Kristen nyatanya tidak sesuai dengan Islam yang notabene bukanlah sebagai agama sejarah, namun merupakan agama wahyu yang dari awal berdiri hingga saat ini telah mencapai kematangan serta tidak ada perubahan dan perdebatan dalam ajaran-ajaran intinya. Sebagaimana diketahui, dogma Kristen yang selalu berubah-ubah mengikuti perkembangan zaman hanya membuat agama tersebut melepaskan diri dari ajaran aslinya. Tidak mengherankan jika pada akhirnya teori positivistik ini sesuai dengan peradaban Kristen.


BAB IV
PENUTUP

A.          Kesimpulan
Auguste Comte lahir di Mountpelier, Perancis 19 Januari 1798, keluarganya beragama Katolik dan berdarah bangsawan, tetapi Comte tidak memperlihatkan loyalitasnya. Ayahnya menjadi seorang pegawai kerajaan, tepatnya sebagai pegawai lokal kantor pajak dan sekaligus menjadi seorang penganut agama Katolik yang taat. Dengan latar belakang yang seperti ini, tidak mengherankan jika ayah Comte bekerja keras untuk menjadikan Comte sebagai pegawai kerajaan dan juga sebagai penganut agama Katolik yang taat. Namun demikian, Comte ternyata tidak bersedia mewujudkan cita-cita ayahnya. Sebagai seorang yang berpikiran bebas dan memiliki kemampuan untuk memikirkan dirinya sendiri, Comte lebih suka memilih jalan hidupnya sendiri.
Auguste Comte membagi sosiologi menjadi dua bagian yaitu Social Statics dan Social Dynamic. Social statics dimaksudkannya sebagai suatu study tentang hukum– hukum aksi dan reaksi antara bagian– bagian dari suatu sistem sosial. Social statics merupakan bagian yang paling elementer dari ilmu sosiologi, tetapi dia bukanlah bagian yang paling penting dari study mengenai sosiologi, karena pada dasarnya social statics merupakan hasil dari suatu pertumbuhan.
Bagian yang paling penting dari sosiologi menurut Auguste Comte adalah apa yang disebutnya dengan social dynamic, yang didefinisikannya sebagai teori tentang perkembangan dan kemajuan masyarakat. Karena social dynamic merupakan study tentang sejarah yang akan menghilangkan filsafat yang spekulatif tentang sejarah itu sendiri.
Pembagian sosiologi kedalam dua bagian ini bukan berarti akan memisahkannya satu sama lain. Bila social statics merupakan suatu study tentang masyarakat yang saling berhubungan dan akan menghasilkan pendekatan yang paling elementer terhadap sosiologi, tetapi study tentang hubungan–hubungan sosial yang terjadi antara bagian–bagian itu tidak akan pernah dapat dipelajari tanpa memahaminya sebagai hasil dari suatu perkembangan. oleh karena itu, Comte berpendapat bahwa tidaklah akan dapat diperoleh, suatu pemahaman yang layak dari suatu masalah sosial tanpa mengguanakan pendekatan social dynamic atau pendekatan historis.
Comte merupakan figur sentral dalam sejarah pemikiran sosial. Dia merupakan pelopor dari suatu ilmu pengetahuan yang kelak tumbuh menjadi demikian penting dan sangat dibutuhkan. Ajaran Comte tentang pentingnya suatu pemahaman terhadap kenyatan–kenyataan objective yang bersifat positive, tidak pelak lagi merupakan dasar dari perkembangan ilmu pengetahuan. Tetapi sebagaimana halnya dengan para pioner lainnya, Comte tidaklah terlepas dari berbagai kekurangannya. Pertama, kita dapat mencatat tentang kekurangannya ini, sekalipun dia membela sosiologi yang dibangunnya itu sebagai suatu ilmu pengetahuan positif, tetapi pada kenyataannya dia tetap meletakakan sebagai bagian dari filsafat sosial. Namun sekalipun demikian, sosiologi telah berhutang budi sangat besar kepada Comte, yang menunjuk pentingnya penggunaan suatu metode ilmiah yang bersifat induktif didalam sosiologi.

DAFTAR PUSTAKA
 silahkan masukkan kutipan http://cintasejarahislam.blogspot.com
Al-Attas Syed Naquib. 1981. Islam dan Sekularisme. Bandung: Pustaka Salman ITB.
An-Nabhani Taqiyuddin. 2008. Hakekat Berfikir. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.
Arif Syamsuddin. 2008. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran. Jakarta: Gema Insani.
Husaini Adian. 2006. Wajah Peradaban Barat (dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal). Jakarta: Gema Insani.
Ritzer George dan Douglas J Goodman. 2010. Teori Sosiologi Modern. Terj. Alimandan. Jakarta: Prenada Media.
Soekanto Soerjono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Supardan Dadang. 2009. Pengantar Ilmu Sosial, Jakarta: Bumi Aksara.
Zarkasy Hamid Fahmi, dkk. 2010. Membangun Peradaban dengan Ilmu. Depok: Kalam Indonesia.

http://ferryroen.wordpress.com/2011/08/30/auguste-comte-kemajuan-budaya/





[1] Erikson mengakui Comte menciptakan nama Sosiologi namun ia menentang pendapat orang yang menyatakan Comte sebagai “nenek moyang” sosiologi modern. Erikson menganggap orang-orang seperti Adam Smith, atau para moralis Skotlandia, merupakan sumber sebenarnya dari Sosiologi modern. Melalui perkembangan Sosiologi selama berabad-abad lamanya, penulis lebih menyetujui seorang ilmuwan Muslim dari Tunisia sebagai pelopor Sosiologi modern. Karyanya yang berjudul Muqaddimah merupakan sebuah karya besar yang menjadi rujukan para ilmuwan Barat. Namun sebagaimana diketahui, banyak karya-karya ilmuwan Muslim yang dihancurkan oleh peradaban Barat dan diakui sebagai karya mereka.
[2] Pendapat ini dikemukakan oleh Becker pada tahun 1932. Dikutip dari buku Pengantar Ilmu Sosial karya Dr. Dadang Suparlan, M.Pd.
[3] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada: 2006),. Hlm. 27, 28.
[4] Auguste Comte, The Positive Philosophy, diterjemahkan dan diringkas oleh H. Martineau, (London: George Bell dan Sons, 1896).
[5] Dadang Supardan, Pengantar Ilmu Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara: 2009),. Hlm. 103.
[6] Menurut kamus besar bahasa indonesia skep-tis yaitu kurang percaya, ragu-ragu (terhadap keberhasilan ajaran dsb): contohnya; penderitaan dan pengalaman menjadikan orang bersifat sinis dan skeptis. Sedangkan skeptis-isme adalah aliran (paham) yang memandang sesuatu selalu tidak pasti (meragukan, mencurigakan) contohnya; kesulitan itu telah banyak menimbulkan skeptis-isme terhadap kesanggupan dalam menanggapi gejolak hubungan internasional. Jadi secara umum skeptis-isme adalah ketidakpercayaan atau keraguan seseorang tentang sesuatu yang belum tentu kebenarannya.
[7] Saint Simon merupakan seorang filsuf yang sama dengan Comte mangembangkan filsafat positivistik.
[8] Ultimate Science merupakan ilmu yang utama. Sosiologi dianggap sebagai perkembangan terakhir dari ilmu pengetahuan.
[9] Syed Muhammad  Naquib Al Attas, Islam dan Sekularisme, (Bandung: Perpustakaan Salman ITB: 1981), Hlm. 2.
[10] http://ferryroen.wordpress.com/2011/08/30/auguste-comte-kemajuan-budaya/
[11] Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Prestasi Pustakarya: 2007), Hlm. 25.
[12] http://ferryroen.wordpress.com/2011/08/30/auguste-comte-kemajuan-budaya/
[13] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada: 2006),. Hlm. 30.
[14] http://ferryroen.wordpress.com/2011/08/30/auguste-comte-kemajuan-budaya/
[15] http://ferryroen.wordpress.com/2011/08/30/auguste-comte-kemajuan-budaya/
[16] Syed Muhammad  Naquib Al Attas, Islam dan Sekularisme, (Bandung: Perpustakaan Salman ITB: 1981), Hlm. 2.
[17] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada: 2006),. Hlm. 30.
[18] Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Prestasi Pustakarya: 2007),. Hlm. 26.
[19] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada: 2006),. Hlm. 30, 31,.
[20] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada: 2006),. Hlm. 31,.
[21] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada: 2006),. Hlm. 31.
[22] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada: 2006),. Hlm. 31, 32.
[23] Istilah sekular, dari kata latin Saeculum, mempunyai arti dua konotasi waktu dan lokasi. Waktu menunjuk kepada pengertian sekarang atau kini dan lokasi menunjuk kepada pengertian dunia atau duniawi. Jadi saeculum berarti zaman ini atau masa kini yang menunjuk pada peristiwa-peristiwa dimasa kini. Sedangkan sekularisasi didefinisikan sebagai pembebasan manusia pertama-tama dari agama dan kemudian dari metafisika yang mengatur nalar dan bahasanya. (dikutip dari buku Islam dan Sekularisme, Syed Muhammad Naquib Al Attas).
[24] http://ferryroen.wordpress.com/2011/08/30/auguste-comte-kemajuan-budaya/
[25] Altruisme merupakan perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan diri sendiri. Perilaku ini merupakan kebajikan yang ada dalam banyak budaya dan dianggap penting oleh beberapa agama. Gagasan ini sering digambarkan sebagai aturan emas etika. Beberapa aliran filsafat, seperti Objektivisme berpendapat bahwa altruisme adalah suatu keburukan. Altruisme adalah lawan dari sifat egois yang mementingkan diri sendiri. Lawan dari altruisme adalah egoisme.
[26] http://ferryroen.wordpress.com/2011/08/30/auguste-comte-kemajuan-budaya/
[27] Utopis merupakan khayal. Orang yg memimpikan suatu tata masyarakat dan tata politik yg hanya bagus dl gambaran, tetapi sulit untuk diwujudkan.
[28] http://ferryroen.wordpress.com/2011/08/30/auguste-comte-kemajuan-budaya/
[29] http://ferryroen.wordpress.com/2011/08/30/auguste-comte-kemajuan-budaya/
[30] http://ferryroen.wordpress.com/2011/08/30/auguste-comte-kemajuan-budaya/
[31] http://ferryroen.wordpress.com/2011/08/30/auguste-comte-kemajuan-budaya/
[32] Adian Husaini. Wajah Peradaban Barat. (Jakarta: Gema Insani: 2006). Hlm. 56.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar