Rabu, 16 Mei 2012

malangnya nasib (dual mode) guruku

Malangnya nasib guruku,.

Kebobrokan sistem pendidikan di Indonesia memang sudah tidak dapat disangkal lagi. Berbagai permasalahan dalam dunia pendidikan menandakan bahwa sistem pendidikan ini harus dibenahi secara komprehensif, bahkan lebih efektif lagi jika kita mengganti sistem pendidikan kapitalis dengan sistem pendidikan Islam.
Dalam tulisan singkat ini saya tidak akan memaparkan bagaimana cara menyelesaikan permasalahan pendidikan secara garis besarnya, yang hanya ingin saya paparkan adalah sedikit fakta mengenai fenomena guru dual mode di kampus saya UIN Jakarta.
Sebagai proses pelegitimasian titel sarjana, Dual Mode system sedang marak dicanangkan di berbagai Universitas di Negeri ini. Salah satunya di UIN Jakarta. Hal ini tidak lain adalah salah satu upaya pemerataan status pengajar yang belum memperoleh sarjana agar mendapatkan gelar tersebut dengan kuliah kembali di luar program reguler. Upaya pelegitimasian ini tidak lain merupakan salah satu solusi praktis yang dicanangkan oleh pemerintah untuk menanggulangi permasalahan guru-guru honorer yang tidak memiliki gelar sarjana pendidikan dan permasalahan kesejahteraan hidupnya.
Program ini menurut saya cukup baik jika dilaksanakan dengan benar. Namun sangatlah miris karena saya menemukan fakta bahwa realisasi program ini sangatlah buruk. Guru-guru yang berusia 30-60 tahun diberikan sebuah pengajaran mengenai pendidikan di universitas. Dapatlah kita bayangkan apa yang guru-guru kita ini rasakan. Namun ternyata rasa lelah setelah mengajar senin hingga jum'at tidak membuat mereka menyerah untuk mengejar sebuah titel penyerataan sarjana yang akan menyokong perubahan pada pendapatan dan tunjangan mereka kedepannya.
Di UIN jakarta sendiri sebagai fasilitator, menerima guru-guru honorer yang telah lama mengajar pada suatu sekolah di berbagai daerah. Ada yang berasal dari lingkungan Jakarta, namun tidak sedikit yang berasal dari pedalaman di Kabupaten sekitar seperti Sukabumi dan Bogor. Ada juga guru yang berasal dari salah satu pulau di kepulauan seribu. Semua datang bersama-sama dengan satu misi yaitu mengejar kehidupan yang lebih baik.
Namun, apakah pada kenyataannya semulus seperti teorinya? Jawabannya adalah tidak. Meskipun program ini dibiayai oleh pemerintah, dalam kasus ini dibiayai Departemen Agama. Namun realitanya tidak menjangkau semua lini pendukung proses perkuliahan. Dana mungkin saja dapat mencukupi jalannya proses perkuliahan, tetapi ada yang tidak diperhatikan mengenai biaya transportasi bagi guru-guru tersebut maupun tempat bermalam bagi yang berasal dari luar kota.
Banyak yang pada akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan bahkan berhenti karena kendala tidak ada biaya transportasi. Untuk yang berasal dari luar kota, guru-guru tersebut cenderung membawa anak-anaknya dan karena tidak memiliki uang lebih untuk menyewa penginapan, mereka memutuskan untuk bermalam di masjid Student Center (SC) UIN Jakarta. Sangat ironis, ketika kita melihat suasana UIN Jakarta pada sabtu malam karena kita akan mendapati sebuah fenomena barak pengungsian.
Untuk guru-guru yang berasal dari kepulauan seribu, mereka berangkat sore hari dan ketika tiba di jakarta mereka mencari mushalla untuk penginapan. Gaji mereka yang berkisar antara 50.000 hingga 1.000.000 membuat mereka harus lebih mengirit dengan uang. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari-pun sulit, apalagi untuk membayar biaya penginapan.
UIN Jakarta sebagai fasilitator sesungguhnya menyediakan sebuah asrama putri (Aspi) dan Asrama putra (aspa) sebagai penginapan dengan biaya cukup terjangkau. Dengan biaya Rp.25.000 per-malam mereka sudah dapat menginap dengan aman dan nyaman. Lagi-lagi dengan pertimbangan masalah dana, membuat mereka mengurungkan niatnya untuk tinggal semalam saja di asrama tersebut.
Masalah lain yang patut diperhitungkan adalah ketika menginap di UIN Jakarta, mereka turut membawa suami atau istri beserta anak-anaknya. Anak-anak yang rentan terkena penyakit akibat penginapan yang tidak layak. Dengan beratapkan langit dan selimut seadanya mereka tetap setia menunggu orang tua mereka menyelesaikan studinya.
Sebenarnya masih banyak fakta lainnya yang belum saya tuliskan. Namun sedikit fakta ini sekiranya telah memberikan pelajaran yang berharga pada Fasilitator dan penyelenggara dalam hal ini Departemen Agama untu bertindak dengan cepat. Sebagaimana diketahui, tidak ada maksud lain dari para guru ini untuk bersusah payah kuliah selain untuk mengejar sebuah kehidupan yang lebih layak. Hal yang jarang terlintas pada benak kita mengenai fenomena ini mengingat saat ini sudah memasuki era postmodern. 
Dengan pengorbanan yang luar biasa untuk mendidik dan mengajarkan adab kepada kita mereka hanya diberikan upah seadanya bahkan hampir tidak ada. betapa menyedihkannya nasib mereka demi mencapai kesejahteraan yang seharusnya wajib diperoleh mereka dari negara sebagai regulator semua sistem pemerintahan termasuk pendidikan. Wallahu a'alm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar