Sabtu, 05 Mei 2012

Bahasa dan Kebudayaan (April 2012)


TEORI KOMUNIKASI MANUSIA


MAKALAH




Diajukan sebagai syarat ketuntasan Mata Kuliah Bahasa dan Kebudayaan



Disusun oleh,
Anita                                   (1110015000015)
Reni Febriani                      (1110015000025)
Anas Fuad                          (1110015000013)




PRODI SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI JURUSAN P.IPS
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2012


BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai realitas sosial apabila di hubungkan dengan paradigma sosial wawasannya sangat luas. Paradigma realitas sosial adalah melihat gambaran yang mendasar mengenai realitas sosial menurut kaca mata ilmu sosial. Tingkatan kenyataan itu ada empat yaitu: Tingkat individual, Tingkat antar pribadi (interpersonal), Tingkat struktur social, tingkat budaya. Teori kebudayaan adalah usaha konseptual untuk memahami bagaimana manusia menggunakan kebudayaan untuk melangsungkan kehidupannya dalam kelompok, mempertahankan kehidupannya melalui penggarapan lingkungan alam dan memelihara keseimbangannya dengan dunia supranatural.
Hakekatnya prinsip fenomenologi berkenaan dengan pemahaman tentang bagaimana keseharian, dunia intersubyektif (dunia kehidupan). Fenomenologi bertujuan mengetahui bagaimana kita menginterpretasikan tindakan sosial kita dan orang lain sebagai sebuah yang bermakna (dimaknai) dan untuk merekonstruksi kembali turunan makna (makna yang digunakan saat berikutnya) dari tindakan yang bermakna pada komunikasi intersubjektif individu dalam dunia kehidupan sosial. Fenomenologi menjelaskan fenomena perilaku manusia yang dialami dalam kesadaran, dalam kognitif dan dalam tindakan-tindakan perseptual. Untuk Melakukan pemahaman terhadap fenomena melalui fenomenologi, mempertimbangkan mengetahui dua aspek penting yang biasa disebut dengan “logos”nya fenomenologi, yakni ‘intentionality’ dan ‘bracketing’.

B.            Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis kemukakan diatas, tujuan penulis menulis makalah ini adalah sebagai berikut.
1.             Bagaimanakah teori komunikasi manusia?
2.             Apa dan bagaimanakah teori realitas sosial manusia?
3.             Bagaimanakah teori kebudayaan manusia?
4.             Bagaimanakah teori pengalaman manusia?
5.             Bagaimahakah teori interpretasi manusia?

C.           Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, tujuan penulis menulis makalah ini adalah sebagai berikut.
1.        Mengetahui bagaimana teori komunikasi manusia.
2.        Mengetahui penjelasan teori realitas sosial manusia.
3.        Mengetahui penjelasan teori kebudayaan manusia.
4.        Mengetahui penjelasan teori pengalaman manusia.
5.        Mengetahui penjelasan teori interpretasi manusia.

BAB II
TEORI KOMUNIKASI MANUSIA

A.           Teori Realitas Sosial
Manusia sebagai realitas sosial apabila di hubungkan dengan paradigma sosial wawasannya sangat luas. Paradigma realitas sosial adalah melihat gambaran yang mendasar mengenai realitas sosial menurut kaca mata ilmu sosial. Tingkatan kenyataan itu ada empat yaitu:
1.             Tingkat individual:
Tingkat ini menempatkan individu sebagai pusat perhatian untuk analisa. Analisa ini di bagi menjadi dua bagian yaitu tingkat perilaku (behavioral) dan tingkat subjektif. Teori dasar dasar psikologi (sosial) yang mengkaji tingkat individu meliputi :
a.              Teori stimulus respons ini sebenarnya adalah teori Stimulus – Organisme – Respons (S-O-R) karena di akui adanya organisme antara stimulus dan respons. Tokoh teori ini adalah Watson yang menyatakan bahwa objektivitas perilaku individu hanya berlaku pada perilaku yang Nampak (overt). Setiap perilaku pada hakikatnya merupakan tangapan (respon) terhadap rangsang (stimulus) karena itu rangsang mempengaruhi tingkah laku atau bahkan menentukan tingkah laku. Intervensi organisme terhadap stimulus rangsang, individu ini memiliki potensi berupa kognisi sosial, persepsi sosial, nilai dan konsep.
b.             Teori sikap adalah kecenderungan seseorang untuk bertingkah laku tertentu kalau menghadapi suatu rangsangan tertentu .
c.              Teori peran adalah beranggapan peranan seseorang itu merupakan hasil interaksi dari diri (self) dengan posisi (status dalam masyarakat) dan dengan peran (menyakut norma dan nilai) dalam teori ini yang terpenting adalah actor (pelaku) dan target (sasaran) yang punya hubungan dengan aktor.
d.             Teori medan (field-theory) adalah berangapan bahwa kehidupan merupakan penentu dari perilaku seseorang kehidupan ini merupakan hasil interaksi manusia dengan lingkungannya.
e.              Teori yang mengkaji individu adalah psikoanalisa dari Freud yang membedakan tiga sistem dalam hidup psikis yaitu id, ego, dan superego. Istilah ini di kenal sebagai tiga “instansi “ yang menandai hidup psikis.[1]
2.             Tingkat antar pribadi (interpersonal):
Tingkat ini meliputi interaksi antar individu dengan semua arti yang berhubungan dengan kerjasama, konflik, adaptasi, negoisasi komunikasi simbolis dan hal lain yang menpunyai arti hubungan. tingkatan ini banyak di pelajari ahli sosiologi (interaksionisme simbolik). Teori ini di pelopori oleh George Herbert Mead (1863-1931) seorang professor dari Chicago. Teori ini mempunyai implikasi sosial dan mempunyai ciri pemahaman khusus tentang perspektif. Teori ini muncul sebagai pandangan atas ”realitas sosial”. teori ini banyak memperhatikan dimensi subjektif dimana kenyataan sosialnya yang muncul dari interaksi di lihat sebagai kenyataan yang di bangun dan bersifat simbolis, inilah yang membedakan kenyataan sosial dengan kenyataan fisik objektif.
Teori ini memperhatikan dinamika interaksi tatap muka, saling kebergantungan yang erat antara konsep diri individu dengan kelompok kecil, negoisasi mengenai norma bersama dan peran individu , tetapi konsep pokoknya di uraikan melalui pengertian “self”, mind”, society” dan “action”. Diri (self) adalah nyata suatu proses sebagaimana objek sosial yang lain, diri (self) sebagai objek sosial terbentuk melalui interaksi dalam keluarga. “mind” (pikiran) adalah suatu kesadaran untuk memudahkan pemahaman.[2]
3.             Tingkat struktur sosial
Tingkat ini bersifat abstrak analisanya di tunjukan pada pola tindakan, jaringan interaksi yang teratur dan seragam dalam waktu dan ruang, posisi sosial dan peran sosial. tingkat ini dapat pula menyangkut institusi sosial dan masyarakat secara umum / keseluruhan. [3]
4.             Tingkat budaya
Tingkat budaya dalam hal kenyataan sosial maksudnya meliputi arti simbol, norma ,dan pandangan hidup umumnya yang dimiliki oleh suatu anggota masyarakat. Sedangkan tingkat budaya itu sendiri memiliki arti melihat realitas sosial menurut perspektif budaya. Dan istilah Kebudayaan yaitu terdiri dari produk – produk tindakan dan interaksi manusia termasuk karya cipta manusia berupa materi atau non materi. Kebudayaan non materi adalah keseluruhan kompleks yang meliputi pengertian, kepercayaan, seni, moral, hukum, kebiasaan dan kemampuan-kemampuan dan tatacara lainnya yang diperoleh manusia sebagai seorang anggota masyarakat. Menurut Sorokin bahwa kesatuan organis dari gajala budaya dan tingkat sosio-budaya dianalisa terpisah dari tingkah individu. [4]

B.            Teori Kebudayaan
Teori kebudayaan adalah usaha konseptual untuk memahami bagaimana manusia menggunakan kebudayaan untuk melangsungkan kehidupannya dalam kelompok, mempertahankan kehidupannya melalui penggarapan lingkungan alam dan memelihara keseimbangannya dengan dunia supranatural. Gagasan kebudayaan, baik sebagai sistem kognitif maupun sebagai sistem struktural, bertolak dari anggapan bahwa kebudayaan adalah sistem mental yang mengandung semua hal yang harus diketahui individu agar dapat berperilaku dan bertindak sedemikian rupa sehingga dapat diterima dan dianggap wajar oleh sesama warga masyarakatnya.

C.           Teori Pengalaman dan Teori Interpretasi ( Phenomenology dan Hermeneutic)
1.             Teori Pengalaman (Phenomenology)
Hakekatnya prinsip fenomenologi berkenaan dengan pemahaman tentang bagaimana keseharian, yaitu dunia intersubyektif (dunia kehidupan). Fenomenologi bertujuan mengetahui bagaimana kita menginterpretasikan tindakan sosial kita dan orang lain sebagai sebuah yang bermakna (dimaknai) dan untuk merekonstruksi kembali turunan makna (makna yang digunakan saat berikutnya) dari tindakan yang bermakna pada komunikasi intersubjektif individu dalam dunia kehidupan sosial. (Rini Sudarmanti, 2005). Dalam fenomenologi, setiap individu secara sadar mengalami sesuatu yang ada. Sesuatu yang ada yang pada kemudian menjadi pengalaman yang senantiasa akan dikonstruksi menjadi bahan untuk sebuah tindakan yang beramakna dalam kehidupan sosialnya. Manakala berbicara sesuatu yang dikonstruksi, tidak terlepas dari interpretasi pengalaman di dalam waktu sebelumnya. Interpretasi itu sendiri berjalan dengan ketersediaan dari pengetahuan yang dimiliki. Namun demikian, sebagai mana proses interpretasi, harus diperhatikan kemampuan menangkap lebih jauh atau melihat sesuatu lebih jauh (seeing beyond) dalam fenomena yang sedang dikonstruksi itu.
Fenomenologi menjelaskan fenomena perilaku manusia yang dialami dalam kesadaran, dalam kognitif dan dalam tindakan-tindakan perseptual. Fenomenolog mencari pemahaman seseorang dalam membangun makna dan konsep kunci yang intersubyektif. Karena itu, menurut Kuswarno “…penelitian fenomenologis harus berupaya untuk menjelaskan makna pengalaman hidup sejumlah orang tentang suatu konsep atau gejala…”.[5]
2.             Teori Interpretrasi (Hermeneutic)
Hermeneutika adalah suatu usaha interpretasi yang memperhitungkan konteks kata-kata dan bahkan konteks budaya pemikiran. Dalam situasi kontemporer, kita hanya sering menganalisis masyarakat manusia dari titik pandang data statistik, informasi non personal; menganalisis dari titik pandang ekonomik dan teknikal. Hal ini brbahaya karena pribadi manusia menjadi kehilangan kaitan dan hubungannya dengan arti yang lebih dalam dari eksistensinya, bahkan kehilangan makna kehidupan spiritualnya. Perlu dicatat bahwa kebudayaan manusia lebih dari seluruh jumlah data.[6]
Menurut Friedrich August Wolf, hermeneutika merupakan ilmu tentang aturuan-aturan untuk mengenali makna tanda-tanda. Sedangkan tujuan hermeneutika adalah menangkap fikiran-fikiran seseorang yang tertulis atau yang diucapkan sebagaimana orang tersebut menghendaki untuk ditangkapnya. Dengan ini, Wolf merancangkan hermeneutika yang praktis, faktual, dan bersifat regional, yakni setiap objek (sejarah, hukum, teologi, karya sastra, dan sebagainya) mempunyai aturan sendiri.[7]
Menurut Friedrich Schleiermecher dan Wilhem Dilthey terminologi hermeneutika digunakan dalam usaha mencari sebuah teori pengetahuan bagi kajian data dimana para budayawan bekerja dalam wilayah itu-seperti teks, tanda dan pelbagai bentuk simbol, ritual, imaji, contoh seni yang indah dan dapat digunakan-singkat kata, produk-produk serupa itu merupakan kepintaran manusia dari kerja alam.[8]
Sebagai salah seorang tokoh filsafat yang memusatkan perhatiannya pada hermeneutika, Paul Ricoeur berpandangan bahwa hermeneutika merupakan suatu teori mengenai aturan-aturan penafsiran terhadap suatu teks atau sekumpulan tanda maupun simbol yang dipandangnya atau dikelompokkan sebagai teks juga. Ricoeur menganggap bahwa tidak ada pengetahuan langsung tentang diri sendiri, oleh sebab itu pengetahuan tentang diri sesungguhnya hanya diperoleh melalui kegiatan penafsiran. Melalui kegiatan ini, setiap hal yang melekat pada diri (yang bisa dianggap sebagai teks) harus dicari makna yang sesungguhnya/objektif agar dapat diperoleh suatu kebenaran (pengetahuan) yang hakiki tentang diri tersebut. [9]
Hermeneutika bertujuan untuk menggali makna yang terdapat pada teks dan simbol dengan cara menggali tanpa henti makna-makna yang tersembunyi ataupun yang belum diketahui dalam suatu teks. Penggalian tanpa henti harus dilakukan mengingat interpretasi dalam teks bukanlah merupakan interpretasi yang bersifat mutlak dan tunggal, melainkan temporer dan multi interpretasi. Dengan demikian, tidak ada kebenaran mutlak dan tunggal dalam masalah interpretasi atas teks karena interpretasi harus selalu kontekstual dan tidak selalu harus tunggal. Dalam pengertian kontekstual, seorang interpreter dituntut untuk menerapkan hermeneutika yang kritis agar selalu kontekstual. Dalam konteks ini, barangkali interpreter perlu menyadari bahwa sebuah pemahaman dan interpretasi teks pada dasarnya bersifat dinamis. Sementara itu, dalam pengertian bahwa makna hasil dari interpretasi tidak selalu tunggal mengandung pengertian bahwa suatu teks akan memiliki makna yang berbeda ketika dihubungkan dengan konteks yang lainnya, sehingga akan membuat pengkayaan interpretasi dan makna.[10]
Hermeneutika tidak dimaksudkan untuk mencari kesamaan antara maksud pembuat pesan dan penafsir. Melainkan menginterpretasi makna dan pesan seobjektif mungkin sesuai dengan yang diinginkan teks yang dikaitan dengan konteks. Seleksi atas hal-hal di luar teks harus selalu berada dalam petunjuk teks. Suatu interpretasi harus selalu berpijak pada teks. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa proses penafsiran selalu merupakan dialog antara teks dan penafsir.[11]
Sebagaimana diketahui, hermeneutika pada awalnya merupakan sebuah metode penafsiran kitab suci bibel sebagai keraguan dari kemurnian teks yang ada pada kitab suci tersebut. Hermeneutika dapat digunakan untuk menafsirkan karya sastra, namun akan berbahaya jika digunakan untuk sebagai metode untuk menafsirkan kitab suci yang sudah memiliki cara penafsiran sendiri. Karena penggunaan hermeneutika akan mengakibatkan ketidaksakralan teks dalam kitab suci tersebut serta menjadikan penafsiran yang relatif yang akan mengakibatkan kitab suci tersebut tidak berbeda dengan teks lainnya.

BAB III
KESIMPULAN

Manusia sebagai realitas sosial apabila di hubungkan dengan paradigma sosial wawasannya sangat luas. Paradigma realitas sosial adalah melihat gambaran yang mendasar mengenai realitas sosial menurut kaca mata ilmu sosial. Tingkatan kenyataan itu ada empat yaitu: Tingkat individual, Tingkat antar pribadi (interpersonal), Tingkat struktur sosial, tingkat budaya. Teori kebudayaan adalah usaha konseptual untuk memahami bagaimana manusia menggunakan kebudayaan untuk melangsungkan kehidupannya dalam kelompok, mempertahankan kehidupannya melalui penggarapan lingkungan alam dan memelihara keseimbangannya dengan dunia supranatural.
Hakekatnya prinsip fenomenologi berkenaan dengan pemahaman tentang bagaimana keseharian, dunia intersubyektif (dunia kehidupan). Fenomenologi bertujuan mengetahui bagaimana kita menginterpretasikan tindakan sosial kita dan orang lain sebagai sebuah yang bermakna (dimaknai) dan untuk merekonstruksi kembali turunan makna (makna yang digunakan saat berikutnya) dari tindakan yang bermakna pada komunikasi intersubjektif individu dalam dunia kehidupan sosial. Fenomenologi menjelaskan fenomena perilaku manusia yang dialami dalam kesadaran, dalam kognitif dan dalam tindakan-tindakan perseptual. Untuk Melakukan pemahaman terhadap fenomena melalui fenomenologi, mempertimbangkan mengetahui dua aspek penting yang biasa disebut dengan “logos”nya fenomenologi, yakni ‘intentionality’ dan ‘bracketing’.
Hermeneutika bertujuan untuk menggali makna yang terdapat pada teks dan simbol dengan cara menggali tanpa henti makna-makna yang tersembunyi ataupun yang belum diketahui dalam suatu teks. Penggalian tanpa henti harus dilakukan mengingat interpretasi dalam teks bukanlah merupakan interpretasi yang bersifat mutlak dan tunggal, melainkan temporer dan multi interpretasi. Dengan demikian, tidak ada kebenaran mutlak dan tunggal dalam masalah interpretasi atas teks karena interpretasi harus selalu kontekstual dan tidak selalu harus tunggal.


DAFTAR PUSTAKA

Alam, Bachtiar. “Konsep Kebudayaan Dewasa Ini: Seputar pertanyaan mengenai kontruksi budaya, esensialisme dan kekuasaan”. Makalah Pengantar Ceramah Umum di Program S3 FIB UI September 2008.
Arif, Syamsuddin. 2007. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran. Jakarta: Gema Insani.
Haryatmoko, 2000, Hermeneutika Paul Riceour, dalam majalah BASIS, edisi 05-06 tahun ke 49 Mei-Juni 2000, Yogyakarta: Kanisius.
Howard, Roy J. 2001. Hermeneutika; Wacana analisis, psikososial, dan ontologis. Terj. Kusmana dan M. S. Nasrullah. Bandung: Nuansa.
Poespoprodjo. 2004. Hermeneutika. Bandung: Pustaka Setia.
Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik; Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.



[1] http://kuliahsosial.blogspot.com/2010/07/teori-komunikasi-manusia.html
[2] http://kuliahsosial.blogspot.com/2010/07/teori-komunikasi-manusia.html
[3] http://kuliahsosial.blogspot.com/2010/07/teori-komunikasi-manusia.html
[4] http://kuliahsosial.blogspot.com/2010/07/teori-komunikasi-manusia.html
[5] http://kuliahsosial.blogspot.com/2010/07/teori-komunikasi-manusia.html
[6] W. Poespoprojo, Hermeneutika, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), Hlm. 5.
[7] W. Poespoprojo, Hermeneutika, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), Hlm. 21, 22.
[8] Roy J Howard, Hermeneutika; Wacana analitis, psikososial, dan ontologis, (Bandung: Nuansa, 2001), Hlm. 23 dan 24.
[9] Haryatmoko, Hermeneutika Paul Riceour, dalam majalah BASIS, edisi 05-06 tahun ke 49 Mei-Juni 2000, (Yogyakarta: Kanisius, 2000)
[10] Sumaryono. E, Hermeneutik; Sebuah Metode Filsafat. (Yogyakarta: Kanisius, 1999).
[11] Sumaryono. E, Hermeneutik; Sebuah Metode Filsafat. (Yogyakarta: Kanisius, 1999).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar