Perang Salib Menjadi
Perang Suci dan Mengilhami Jihad Baru
Pada bulan september
1096, Pangeran Bohemund dari Taranto menyaksikan
pasukan tentara Salib
Normandia berbaris menuju pelabuhan Brindisi untuk berlayar ke timur. Beberapa minggu kemudian Bohemund dan
keponakannya, Tancred,
belayar menuju konstantinopel dengan sepasukan bersenjata lengkap dan terlatih.
Perang salib adalah sebuah jalan yang nyata bagi Bohemund untuk mendapatkan
sebuah kerajaan timur. Bagi Bohemund, sebagaimana bagi kebanyakan tentara salib
pertama, motif–motif sekuler dan religius bisa hidup berdampingan dengan mudah,
dan memang perang salib pertama, dapat berhasil hanya karena gabungan dari
kesalehan yang kuat dan akal sehat praktis yang baik.
Pandangan Bohemund
tentang perang suci bukan seperto visi reformasi Cluny seperti paus urban, tapi
mengacu pada The Song of Roland. Dalam perang salib, kaum Frank menemukan jalan
terbaik untuk menggabungkan cinta mereka pada Tuhan dengan cinta mereka kepada
perang. Ribuan dari mereka akan dengan rela bertempur demi masuk surga dan
mencapai kesyahidan. Yang jelas Tancred
memandang perang salib sebagai jawaban bagi kegelisahannya yang panjang.
Penulis biografi Tancred menuturkan bahwa begitu Tancred mendengar tentang
perang salib, seluruh energi terlepas dan semua keraguan terjawab dalam sesuatu
yang memuncak sebagai peralihan religius dari hidupnya.
Para tentara salib yang
kaya merasakan bahwa kewajiban merekalah untuk menolong para ksatria yang lebih
miskin, dan semua orang merasa wajib bersedekah bagi para peziarah yang miskin.
Dalam hal ini, perang salib memang mengekspresikan visi reformasi Cluny mengenai ziarah,
dimana si kaya dan si miskin hidup dalam sebuah komunitas bersama dan tempat
para ksatria–kristen yang telah menjadi lebih baik memerhatikan kaum miskin dan
kaum lemah.
Godfrey dari Bouillon,
yang pasukannya merupakan rombongan pertama yang meninggalkan Eropa pada bulan
Agustus 1096, telah menjual perkebunannya untuk Rosay dan stenay di Meuse. Ia
kemudian menjadi pemimpin pertama orang–orang kristen di Yerusalem dan merasa
bahwa ia merupakan perwujudan dari cita–cita perang salib pertama. Godfrey
memiliki alasan praktis untuk ikut dalam perang salib, dia tidak memiliki masa
depan di barat. Namun, ia juga orang yang sangat saleh dan hidup sangat hemat
dan sederhana yang menunjukkan bahwa ia memang telah menyerap nilai yang
disusun Cluny mengenai kemiskinan suci. Pada Godfrey, sang pahlawan perang
salib, kita juga melihat campuran antara motif ekonomi dan ideologi.
Saudaranya, Baldwin,
amat berbeda dan jelas–jelas berpandangan sekuler. Baldwin sebetulnya diarahkan
untuk mengabdi pada gereja dan karena itu tidak mewarisi satu pun perkebunan
keluarganya. Tapi ia kemudian terbukti tidak cocok hidup sebagai seorang
gerejawan dan kembali ketempat tinggalnya.
Selama perang salib, Baldwin terbukti amat terampil dan lihai sebagai
prajurit maupun politisi. Dialah yang terutama bertanggung jawab mengantarkan
kerajaan kristen Yerusalem menjadi diakui di Timur Tengah. Robert dari
normandia, anak tertua dari william sang penakluk, adalah seorang yang amat
saleh dan benar–benar termotivasi oleh
seruan Urban. Ia seorang tentara salib yang pasti akan menyerahkan semua yang
ia punya untuk mengikuti kristus dalam perang salib.
Raymund dari St. Gilles
juga seorang pendukung reformasi Cluny. Raymund adalah bangsawan pertama yang
menawarkan diri untuk ikut ekspedisi. Raymund betul–betul terilhami oleh motif–motif
religius. Para tentara salib amat bersemangat, tetapi mereka belum menciptakan
sebuah ideologi perang salib yang jelas
dan dapat dianut oleh seluruh pasukan. Di Konstatinopel,
para tentara salib memasuki dunia yang berbeda. Mereka menatap takjub pada
istana–istana, gereja–gereja dan taman–taman, karena waktu itu belum ada hal –
hal yang secanggih dan semaju itu di Eropa.
Kaum Frank yang suka
berperang tidak dapat memahami suatu masyarakat yang berpikir bahwa perang
amatlah tidak sesuai dengan ajaran kristen, dan memilih untuk membuat berbagai
perjanjian dengan kaum Muslim
serta mencari penyelesaian diplomatik ketimbang menumpahkan darah yang dirasa
tidak perlu.
Sebagian alasan Urban
dalam menyerukan perang Salib
adalah untuk memulihkan keretakan yang
tumbuh di antara gereja–gereja timur dan menghancurkan setiap harapan bertemunya
kembali kedua kelompok itu. Orang–orang
Eropa telah lama
membenci kaum Yunani
dari kejauhan, tetapi ketika para tentara salib itu betul–betul dihadapkan pada
kemegahan Konstantinopel dan
keagungan budayanya yang maju, mereka merasa inferior dan ini membuat mereka
bersikap defensif dan mencari gara–gara. Selama upacara pengambilan sumpah,
salah satu ksatria duduk di singgasana Alexius dan menolak untuk pindah ketika
sang kaisar masuk ruangan, sampai
Baldwin dengan kasar memarahi ksatria itu. Alexinus kemudian mengajak ksatria
kurang ajar itu berbicara dengan santun walau juga angkuh, dan membiarkan
ksatria kurang ajar itu menyombongkan kehebatannya dalam sebuah pertempuran.
Kaisar kemudian dengan kalem menasehatinya untuk tidak mencoba berbagai taktik
yang baru saja disombongkan itu kepada orang Turki jika sang ksatria tidak ingin babak
belur. Bagi orang–orang Byzantium, kaum frank itu selalu tampak bodoh dan tak
beradab dalam bergaul, sedang kaum Frank
sendiri sungguh tidak menyukai ketergantungan mereka pada Alexius dan lebih
tidak suka lagi pada penguasannya atas situasi yang membuat mereka sulit
bergerak dengan leluasa.
Pada bulan mei 1097, para
tentara salib dan tentara Byzantium
mengepung ibukota Seldjuk di Nicea. Alexius
mungkin sadar bahwa sultan Kilij
arslan 1 sedang berada
jauh di perbatasan dan itu menjadi saat yang tepat untuk menyerang. Kilij
Arslan telah mendengar tentang para tentara Salib,
tapi ia tidak menggapnya serius.
Perang salib menjadi
kronik teror dan penderitaan. Tentara Turki
menghancurkan daerah–daerah pedesaan agar para tentara Salib daerah–daerah pedesaan
tak dapat menemukan makanan, sehingga orang–orang dan binatang mulai berjatuhan
mati bagaikan lalat. Sebagaimana biasa, para peziarah miskin mengalami
penderitaan lebih banyak, dan sepenuhnya bergantung pada sedekah–sedekah para
ksatria dan prajurit yang juga mengalami pemiskinan yang dramatis. Dengan matinya
kuda–kuda, semakin banyak ksatria yang kemampuan tempurnya menjadi menurun,
karena tanpa kuda mereka tidak akan mampu mengerjakan fungsi militer mereka, yang lainnya bertahan
dengan menunggang lembu, kamis, dan domba, serta menggunakan anjing sebagai
pengangkut.
Pada masa Charlemagne, kaum Frank mulai melihat diri
mereka sendiri sebagai orang–orang pilihan Tuhan
baru. Saat itu, dengan penyelamatan yang mereka alami di Dorylaeum, perlahan
membuat mereka berpandangan bahwa mereka juga bertanggung jawab atas panggilan
untuk mengabdi pada Tuhan
yang sebelumnya telah gagal diemban oleh kaum yahudi. Perlahan pula para
tentara Salib saling menyatu dan
bersama memandang diri mereka sendiri sebagai satu umat, bersamaan dengan
perjuangan mereka melewati daerah pedesaan yang terpencil itu.
Perang suci kaum Yahudi dan Kristen cenderung mengikuti
pola yang amat serupa. Banyak zionis religius yang memandang konflik masa kini
sebagai perang suci melawan Islam.
Dan berpikir dan berperilaku
amat serupa dengan para tentara Salib.
Jika perang saling menyumbang andil pada konflik hari ini dengan menghasilkan
sikap anti semitisme di Eropa, maka ia juga membantu terbentuknya zionisme
religius yang mengemuka kembali secara amat kuat dan agresif di masa kini. Salah
satu pelajaran dari perang Salib
pertama adalah bahwa agama tampaknya efektif ketika semua yang lainnya telah
gagal. Tanpa iman keagamaan, tentara Salib
pasti tidak akan dapat bertahan dalam perjalanan traumatis mereka dan juga tidak
akan dapat mengalahkan orang–orang Turki.
Walaupun kaum Muslim
jauh lebih lambat dalam mencari solusi, jihad pada akhirnya terbukti jauh lebih
efektif dalam mengusir kaum Frank
itu, daripada perang yang murni sekuler. Dalam konflik masa kini, baik kaum
yahudi dan kaum Muslim
telah berpaling kepada perang suci karena mereka memandang tak ada lagi solusi
yang lain. Di masa kita sendiri, agama terbukti menjadi kekuatan yang amat
sukses. Tapi agama juga memiliki bahaya besarnya sendiri dan dapat menghasilkan
kegagalan yang sama besarnya dengan keberhasilannya yang menakjubkan. Cerita
perang Salib Kedua akan memberi kita
sebuah indikasi jelas akan kekuatan yang berbeda dan kelemahan dari perang suci
kaum kristen (dan dengan itu, nantinya juga kelemahan perang suci kaum yahudi)
dan jihad baru kaum Muslim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar