Sabtu, 26 Mei 2012

Review book Holy War (Perang Suci BAB II) 1096-1146


1096 -1146
Perang Salib Menjadi Perang Suci dan Mengilhami Jihad Baru

Pada bulan september 1096, Pangeran Bohemund dari Taranto menyaksikan pasukan tentara Salib Normandia berbaris menuju pelabuhan Brindisi untuk berlayar ke timur.  Beberapa minggu kemudian Bohemund dan keponakannya, Tancred, belayar menuju konstantinopel dengan sepasukan bersenjata lengkap dan terlatih. Perang salib adalah sebuah jalan yang nyata bagi Bohemund untuk mendapatkan sebuah kerajaan timur. Bagi Bohemund, sebagaimana bagi kebanyakan tentara salib pertama, motif–motif sekuler dan religius bisa hidup berdampingan dengan mudah, dan memang perang salib pertama, dapat berhasil hanya karena gabungan dari kesalehan yang kuat dan akal sehat praktis yang baik.
Pandangan Bohemund tentang perang suci bukan seperto visi reformasi Cluny seperti paus urban, tapi mengacu pada The Song of Roland. Dalam perang salib, kaum Frank menemukan jalan terbaik untuk menggabungkan cinta mereka pada Tuhan dengan cinta mereka kepada perang. Ribuan dari mereka akan dengan rela bertempur demi masuk surga dan mencapai kesyahidan. Yang  jelas Tancred memandang perang salib sebagai jawaban bagi kegelisahannya yang panjang. Penulis biografi Tancred menuturkan bahwa begitu Tancred mendengar tentang perang salib, seluruh energi terlepas dan semua keraguan terjawab dalam sesuatu yang memuncak sebagai peralihan religius dari hidupnya.
Para tentara salib yang kaya merasakan bahwa kewajiban merekalah untuk menolong para ksatria yang lebih miskin, dan semua orang merasa wajib bersedekah bagi para peziarah yang miskin. Dalam hal ini, perang salib memang mengekspresikan visi reformasi Cluny mengenai ziarah, dimana si kaya dan si miskin hidup dalam sebuah komunitas bersama dan tempat para ksatria–kristen yang telah menjadi lebih baik memerhatikan kaum miskin dan kaum lemah.
Godfrey dari Bouillon, yang pasukannya merupakan rombongan pertama yang meninggalkan Eropa pada bulan Agustus 1096, telah menjual perkebunannya untuk Rosay dan stenay di Meuse. Ia kemudian menjadi pemimpin pertama orang–orang kristen di Yerusalem dan merasa bahwa ia merupakan perwujudan dari cita–cita perang salib pertama. Godfrey memiliki alasan praktis untuk ikut dalam perang salib, dia tidak memiliki masa depan di barat. Namun, ia juga orang yang sangat saleh dan hidup sangat hemat dan sederhana yang menunjukkan bahwa ia memang telah menyerap nilai yang disusun Cluny mengenai kemiskinan suci. Pada Godfrey, sang pahlawan perang salib, kita juga melihat campuran antara motif ekonomi dan ideologi.
Saudaranya, Baldwin, amat berbeda dan jelas–jelas berpandangan sekuler. Baldwin sebetulnya diarahkan untuk mengabdi pada gereja dan karena itu tidak mewarisi satu pun perkebunan keluarganya. Tapi ia kemudian terbukti tidak cocok hidup sebagai seorang gerejawan dan kembali ketempat tinggalnya.  Selama perang salib, Baldwin terbukti amat terampil dan lihai sebagai prajurit maupun politisi. Dialah yang terutama bertanggung jawab mengantarkan kerajaan kristen Yerusalem menjadi diakui di Timur Tengah. Robert dari normandia, anak tertua dari william sang penakluk, adalah seorang yang amat saleh dan benar–benar  termotivasi oleh seruan Urban. Ia seorang tentara salib yang pasti akan menyerahkan semua yang ia punya untuk mengikuti kristus dalam perang salib.
Raymund dari St. Gilles juga seorang pendukung reformasi Cluny. Raymund adalah bangsawan pertama yang menawarkan diri untuk ikut ekspedisi. Raymund betul–betul terilhami oleh motif–motif religius. Para tentara salib amat bersemangat, tetapi mereka belum menciptakan sebuah ideologi  perang salib yang jelas dan dapat dianut oleh seluruh pasukan. Di Konstatinopel, para tentara salib memasuki dunia yang berbeda. Mereka menatap takjub pada istana–istana, gereja–gereja dan taman–taman, karena waktu itu belum ada hal – hal yang secanggih dan semaju itu di Eropa.
Kaum Frank yang suka berperang tidak dapat memahami suatu masyarakat yang berpikir bahwa perang amatlah tidak sesuai dengan ajaran kristen, dan memilih untuk membuat berbagai perjanjian dengan kaum Muslim serta mencari penyelesaian diplomatik ketimbang menumpahkan darah yang dirasa tidak perlu.
Sebagian alasan Urban dalam menyerukan perang Salib adalah untuk memulihkan keretakan  yang tumbuh di antara gereja–gereja timur dan menghancurkan setiap harapan bertemunya kembali kedua kelompok itu. Orang–orang Eropa telah lama membenci kaum Yunani dari kejauhan, tetapi ketika para tentara salib itu betul–betul dihadapkan pada kemegahan Konstantinopel dan keagungan budayanya yang maju, mereka merasa inferior dan ini membuat mereka bersikap defensif dan mencari gara–gara. Selama upacara pengambilan sumpah, salah satu ksatria duduk di singgasana Alexius dan menolak untuk pindah ketika sang kaisar  masuk ruangan, sampai Baldwin dengan kasar memarahi ksatria itu. Alexinus kemudian mengajak ksatria kurang ajar itu berbicara dengan santun walau juga angkuh, dan membiarkan ksatria kurang ajar itu menyombongkan kehebatannya dalam sebuah pertempuran. Kaisar kemudian dengan kalem menasehatinya untuk tidak mencoba berbagai taktik yang baru saja disombongkan itu kepada orang Turki jika sang ksatria tidak ingin babak belur. Bagi orang–orang Byzantium, kaum frank itu selalu tampak bodoh dan tak beradab dalam bergaul, sedang kaum Frank sendiri sungguh tidak menyukai ketergantungan mereka pada Alexius dan lebih tidak suka lagi pada penguasannya atas situasi yang membuat mereka sulit bergerak dengan leluasa.
Pada bulan mei 1097, para tentara salib dan tentara Byzantium mengepung ibukota Seldjuk di Nicea. Alexius mungkin sadar bahwa sultan Kilij arslan 1 sedang berada jauh di perbatasan dan itu menjadi saat yang tepat untuk menyerang. Kilij Arslan telah mendengar tentang para tentara Salib, tapi ia tidak menggapnya serius.
Perang salib menjadi kronik teror dan penderitaan. Tentara Turki menghancurkan daerah–daerah pedesaan agar para tentara Salib daerah–daerah pedesaan tak dapat menemukan makanan, sehingga orang–orang dan binatang mulai berjatuhan mati bagaikan lalat. Sebagaimana biasa, para peziarah miskin mengalami penderitaan lebih banyak, dan sepenuhnya bergantung pada sedekah–sedekah para ksatria dan prajurit yang juga mengalami pemiskinan yang dramatis. Dengan matinya kuda–kuda, semakin banyak ksatria yang kemampuan tempurnya menjadi menurun, karena tanpa kuda mereka tidak akan mampu mengerjakan fungsi militer mereka, yang lainnya bertahan dengan menunggang lembu, kamis, dan domba, serta menggunakan anjing sebagai pengangkut.
Pada masa Charlemagne, kaum Frank mulai melihat diri mereka sendiri sebagai orang–orang pilihan Tuhan baru. Saat itu, dengan penyelamatan yang mereka alami di Dorylaeum, perlahan membuat mereka berpandangan bahwa mereka juga bertanggung jawab atas panggilan untuk mengabdi pada Tuhan yang sebelumnya telah gagal diemban oleh kaum yahudi. Perlahan pula para tentara Salib saling menyatu dan bersama memandang diri mereka sendiri sebagai satu umat, bersamaan dengan perjuangan mereka melewati daerah pedesaan yang terpencil itu.
Perang suci kaum Yahudi dan Kristen cenderung mengikuti pola yang amat serupa. Banyak zionis religius yang memandang konflik masa kini sebagai perang suci melawan Islam. Dan berpikir dan berperilaku amat serupa dengan para tentara Salib. Jika perang saling menyumbang andil pada konflik hari ini dengan menghasilkan sikap anti semitisme di Eropa, maka ia juga membantu terbentuknya zionisme religius yang mengemuka kembali secara amat kuat dan agresif di masa kini. Salah satu pelajaran dari perang Salib pertama adalah bahwa agama tampaknya efektif ketika semua yang lainnya telah gagal. Tanpa iman keagamaan, tentara Salib pasti tidak akan dapat bertahan dalam perjalanan traumatis mereka dan juga tidak akan dapat mengalahkan orang–orang Turki. Walaupun kaum Muslim jauh lebih lambat dalam mencari solusi, jihad pada akhirnya terbukti jauh lebih efektif dalam mengusir kaum Frank itu, daripada perang yang murni sekuler. Dalam konflik masa kini, baik kaum yahudi dan kaum Muslim telah berpaling kepada perang suci karena mereka memandang tak ada lagi solusi yang lain. Di masa kita sendiri, agama terbukti menjadi kekuatan yang amat sukses. Tapi agama juga memiliki bahaya besarnya sendiri dan dapat menghasilkan kegagalan yang sama besarnya dengan keberhasilannya yang menakjubkan. Cerita perang Salib Kedua akan memberi kita sebuah indikasi jelas akan kekuatan yang berbeda dan kelemahan dari perang suci kaum kristen (dan dengan itu, nantinya juga kelemahan perang suci kaum yahudi) dan jihad baru kaum Muslim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar