Sabtu, 05 Mei 2012

Antropologi Pembangunan (April 2012)


PENDIDIKAN ANTROPOLOGI DAN PEMBANGUNAN INDONESIA


MAKALAH




Diajukan sebagai syarat ketuntasan Mata Kuliah Antropologi Pembangunan



Disusun oleh,
Anita                                   (1110015000015)
Amaliah                              (1110015000022)
Indri Sutandari                   (1110015000027)




PRODI SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI JURUSAN P.IPS
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2012

BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang
Antropologi mempelajari manusia dan segala aspeknya. Antropologi berperan memecahkan masalah manusia yang berkaitan dengan pembangunan. Antropologi dapat menerapkan pengetahuan yang diperoleh untuk membuat kebijakan pada suatu permasalahan pada pembangunan Indonesia dan ikut serta dalam perencanaan program pemerintah.
Dalam buku Antropological Praxis: Translating Knowledge Into Action, Robert M. Wulff and Sherly J. Fiske yang diterbitkan pada tahun 1991 menyebutkan antropologi harus bekerja dalam seluruh tahap proyek pembangunan. Ada tahap yang harus dilakukan (Marzali: 2005).
Meneliti, cari dan menentukan kebutuhan masyarakat. Memformulasikan kebijakan dan memilih alternatif solusi atas masalah yang dihadapi masyarakat. Merencanakan dan melaksanakan proyek sesuai dengan kebijakan dan rencana yang telah ditetapkan.[1]
Antropologi mempelajari kultur dalam masyarakat. Kultur diwujudkan dengan ideational dan behavioral. Ideational membentuk perilaku yang khas dalam masyarakat dan behavioral melihat bagaimana tingkah laku yang berjalan dalam masyarakat. Kultur membentuk masyarakat dalam bertindak dan mempengaruhi bagaimana masyarakat ikut serta dalam pembanguan. Koentjaraningrat pernah mengatakan istilah kebudayaan, sistem nilai budaya dan sikap mental adalah termasuk ke dalam konsep kultur, menurut aliran cultural developmentalism (2005:19). Penguasaan akan konsep kultur sesuatu yang mendasar keperluannya bagi antropologi. Antropolog mengenalkan keadaan dunia luar tanpa meninggalkan kultur yang ada dalam masyarakat dan mengatasi hambatan berupa adat istiadat dan sikap mental yang kolot, pranata-pranata sosial dan unsur-unsur kebudayaan tradisional, harus digeser disesuaikan dengan kultur kemajuan demi keperluan hidup masa kini.

B.            Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis kemukakan, maka perumusan masalah yang dapat disusun adalah sebagai berikut.
1.             Bagaimana paradigma ilmu antropologi?
2.             Apakah objek kajian dalam antropologi?
3.             Bagaimana teori-teori dalam antropologi pembangunan?
4.             Bagaimana aplikasi pembangunan di Indonesia?
5.             Bagaimana situasi Departemen Antropologi Universitas Indonesia?
6.             Apakah tantangan antropologi pembangunan di Indonesia?
7.             Bagaimana konsep kultur dalam antropologi?

C.           Tujuan Penulisan
Berdasarkan perumusan masalah diatas, tujuan penulis menulis mekalah ini adalah sebagai berikut.
1.             Mengetahui paradigma ilmu antropologi.
2.             Mengetahui objek kajian dalam antropologi.
3.             Mengetahui bagaimana teori-teori dalam antropologi pembangunan.
4.             Mengetahui bagaimana aplikasi pembangunan di Indonesia.
5.             Mengetahui bagaimana situasi Departemen Antropologi Universitas Indonesia.
6.             Mengetahui tantangan antropologi pembangunan di Indonesia.
7.             Mengetahui bagaimana konsep kultur dalam antropologi.

BAB II
LANDASAN TEORI
A.           Paradigma Antropologi
Antropologi, khususnya antropologi sosiokultural adalah suatu disiplin ilmu dengan ciri-ciri dan tradisi yang khas berbeda dari disiplin-disiplin ilmu lain. Antropologi adalah sebuah science yang berisi pardigma yang khas. Di bawah ini adalah beberapa butir penting dalam tradisi paradigma ilmu antropologi sosiokultural yang harus diketahui secara mendalam oleh mahasiswanya.
1.             Objek Kajian Ilmu Antropologi
          Antropologi sosiokultural secar tradisional berasal dari hasil kajian-kajian terhadap kelompok-kelompok  masyarakat yang berskala kecil, relative terisolasi dan sederhana secara teknologi, sosial, politik, dan ekonomi. Mereka antara lain adalah kelompok-kelompok orang aborigin di Australia, suku-suka bangsa di Papua dan Papua Nugini, kelompok-kelompok Indian di Amerika, Dayak di pedalaman Kalimantan, suku-suku bangsa di Afrika, dan seterusnya. Hampir seluruh teori, metode, konsep, dan pendekatan antropologi sosiokultural berasal dari kajian terhadap masyarakat seperti ini. Dulu masyrakat yang seperti ini disebut dengan istilah masyarakat primitif atau masyarakat savage oleh para penelitinya. sedangkan penelitiannya yaitu para antropologi, adalah anggota dari masyarakat modern dan beradab yang berasal dari Eropa dan Amerika. Karena itu, studi tentang masyarakt primitf dan savage ini mereka sebut sebagai studi tentang “other culture”. Antropologi adalah studi tentang budaya dari masyarakat lain. Sang peneliti berbeda tataran budayanya dari masyarakat objek kajiannya.
          Meskipun pada masa kini kelompok masyarakat yang dulu dianggap primitif dan savage tersebut sudah hampir punah dari muka bumi karena mereka sudah bersalin rupa menjadi masyarakat modern tapi tinggalan-tinggalan teori, konsep, metode, dan pendekatan antropologi hasil dari kajian terhadap kelompok-kelompok ini tetap mendominasi paradigma antropologi. Sebagai contoh dapat kita ambil teori, konsep dan metode penelitian the culture of poverty dari Oscar lewis. Ini adalah teori, konsep dan metode penelitian modern dalam antropologi sosiokultural , berasal dari kajian terhadap kampung-kampung kumuh di perkotaan Amerika Latin. Konsep baru ini adalah tradisi penelitian Etnografi tradisional pada masyarakat primitive, savage, sederhana yang berskala kecil, seperti yang dulu dirintis oleh Malinowski, Margaret Mead, Radcliff-Brown, dan sebagianya pada awal ke 20.
2.             Metodologi
Dalam antropologi sosiokultural, metodologi tidak terlepas dari teori. Secara teoritis dan metodologis, antropologi dibagi menjadi dua peringkat. Peringkat bawah disebut Etnografi, sedangkan peringkat atas adalah Etnologi. Pada peringkat bawah melalui hasil karya etnografi lapangan, seorang ahli antropologi sosiokultural disebut sebagai Etnografer. Sedangkan pada peringkat selanjutnya melalui karya-karya kompararif dia berupaya membangun teori-teori, dan dengan demikian dia akan menjadi seorang ahli Etnologi. Etnografi adalah metode penelitian lapangan yang dilaksanakan secara mendalam melalui keterlibatan langsung dan peneliti dalam masyarakat yang menjadi objek penelitian, dengan mengambil satu kelompok social tertentu sebagai kasus. Secara tradisional, kelompok sosial tersebut adalah juga dapat disebut sebagai deskripsi mengenai masyarakat dan budaya suatu suku bangsa tertentu. Jadi Etnografi adalah metode penelitian yang khas antropologi sekaligus hasil laporan dari penelitian tersebut. Etnografi adalah kerja lapangan sekaligus buku laporannya.
Karena pada masa lampau suku bangsa selalu diasumsikan bersifat homogeny secara sosiokultural, maka gambaran sosiokultural sebuah buku bangsa dianggap dapat terwakili oleh sebuah komunitas yang tipikal dari suku bangsa tersebut. Demikianlah, misalnya “agama jawa” dianggap oleh Clifford Geertz akan terwakili dengan melakukan penelitian etnografi terhadap agama dari komunitas “Mojokuto” dekat Kediri. Atau budaya orang Trobriand, menurut Melinowski cukup akan terwakili dengan meneliti Komunitas Kiriwana di kepulauan Trobriand, Irian timur. Dengan adanya kebiasaan seperti ini, maka etnografi sering juga disebut sebagai kajian komunitas. Di Inggris istilah lain untuk antropologi sosiokultural adalah micro sociology karena antropologi meneliti masyarakat berskala kecil, atau juga disebut comparative sociology, Karena pembangunan dan pengujian teori dilakukan dengan menggunakan pendekatan komparatif.
Bagaimanapun etnografi adalah pekerjaan tingkat awal dari seorang ahli antropologi yang profesional. Etnografi adalah satu pekerjaan inisiasi bagi seorang yang ingin menjadi ahli antropologi yang profesional. Seseorang tidak mungkin dapat diakui sebagai seorang ahli antropologi profesional sebelum dia melakukan etnografi, dan melaporkan hasil penelitannya. Hasil penelitiannya dinilai kualitasnya oleh para ahli antropologi senior. Setelah itu jika etnografer ini tetap tinggal menggeluti kegiatan seperti itu tanpa ada usaha untuk meningkat ke peringkat yang lebih tinggi maka dia tidak akan pernah menjadi seorang ahli etnologi atau ahli antropologi yang sesungguhnya. Tingkat pekerjaan yang harus dilakukan selanjutnya adalah apa yang disebut sebagai comparative study, basic secra diakronis maupun secara sinkronis. Dalam fase ini dia tidak lagi wajib ke lapangan, seperti yang dia lakukan dulu waktu menghasilkan sebuah etnografi. Tapi dia pergi ke perpustakaan.
Setelah memeilih topik tertentu sebagai fokus penelitiannya, ia mulai melakukan pekerjaan perbandingan. Misalnya, dia memilih topik tentang upacara kematian kemudian ia membandingkan dengan adat kematian suku lain. Dari hasil perbandingan akan muncul sebuah generalisasi atau sebuah teori  tentang upacara kematian. Ini adalah perbandingan sinkronis, yaitu membandingkan berbagai upacara kematian pada berbagai suku bangsa pada masa kini. Ahli antropologi ini juga dapat melakukan perbandingan secra diakronis misalnya membandingkan sistem pertanian yang dipraktikkan orang di Mesopotamia 10.000 tahun yang lalu, dan dengan praktik pada masa kini. Hasilnya adalah sebuah teori tentang perkembangan system pertanian Mesopotamia.  
Sehubungan dengan system pertanian ini atau system pencarian hidup secara umumnya, banyak orang yang tidak menyadari bahwa pada suatu masa dulu seluruh penduduk Jawa yang modern ini adalah pemburu dan peramu, Setelah itu pada suatu titik masa tertentu kemampuan cultural orang jawa dapat mengembangkan system pertanian primitive yaitu system pertanian berladang tebang-bakar seperti yang dipraktikkan kebanyak orang dayak pada masa kini. Setelah itu, orang jawa khususnya yang bermukim di tepi bengwan solo di sekeliling gunung sumbing, Merapi dan Merbabu, katanya sekitar 700 masehi mampu menegembangkan system pertanian sawah bawah. Terakhir, pada masa millennium ketiga akhir-akhir ini, petani jawa mulai berkembang menjadi petani modern komersil.   

B.            Teori – Teori Pembangunan
Syarat berikutnya bagi seorang antropolog untuk dapat berkiprah di dalam dunia praktis adalah pengusaan akan teori–teori pembangunan. Secara umum terdapat beberapa teori pembangunan yang harus dipelajari oleh ahli–ahli ilmu sosial, termasuk ahli antropologi. Teori ekonomi pembangunan, atau pertumbuhan ekonomi, meskipun merupakan perkembangan yang khas dalam ilmu ekonomi, namun karena teori ini mendominasi kebijakan–kebijakan pembangunan di masyarakat dunia ketiga, maka ahli ilmu–ilmu sosial lain mau tidak mau harus mempelajarinya, sekurang–kurangnya secara garis besar. Sementara itu, ahli ilmu–ilmu sosial lain, seperti sosiologi dan politik, telah mengembangkan teori pembangunan yang disebut teori modernisasi. Inti dari teori ini adalah usaha pembangunan institusional (perekayasaan struktur sosial melalui pembentukan institusi–institusi baru) dan pembangunan mentalitas manusia (perekayasaan kultural). Teori ini bukan lagi patut dipelajari oleh mereka yang mengaku ahli antropologi, tapi bahkan justru memerlukan masukan–masukan baru para ahli antropologi dalam proses pengembangannya.
Pada matra internasional berkembang teori dependasi dan pendekatan sistem global. Matra universal adalah matra yang jarang di masuki oleh antropolog, karena secara tradisional perhatian antropolog adalah para small scale society. Orang antropologi cenderung berwawasan suntuk, yaitu think locally, act locally. Mereka yang meneliti tentang masyarakat Orang Dayak, hanya berpikir dan bergelut di sekitar masalah Orang Dayak saja. Padahal wawasan yang seperti ini tidak sesuai dengan tradisi awal ilmu antropologi, yang bertujuan untuk menjawab mengapa kelompok dan masyarakat manusia berbeda di seluruh dunia. Seharusnya seorang antropolog memegang semboyan act locally, think globally, melalui kajian-kajian kasus pada masyarakat lokal, antropolog harus berpikir secara global tentang perbedaan dan persamaan masyarakat di seluruh dunia. Berdasarkan atas kenyataan kurangnya antropolog Indonesia yang berwawasan nasional, wawasan mereka hanya sebatas masyarakat suku bangsa yang mereka kaji, maka sampai kini kita bisa mengatakan bahwa yang namanya antropolog Indonesia itu belum ada apalagi ahli antropologi Indonesia yang berkelas dan berwawasan universal. Mungkin sebagian orang tidak setuju akan pernyataan ini. Tapi adalah lebih baik kita berlaku rendah hati, dalam rangka mencabuk diri sendii agar terus mengejar pencapaian yang lebih tinggi.

C.           Pembangunan Indonesia
Ini adalah satu lagi hal yang harus diketahui oleh para antropolog. Pembangunan Indonesia, atau pembangunan masyarakat dan manusia Indonesia sampai kejatuhan pemerintahan Soeharto 1998, garis besarnya ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) setiap lima tahun dalam apa yang disebut Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). GBHN ini kemudian diperinci kedalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Pelaksanaan dari rencana ini terwujud dalam kebijakan, program, dan proyek-proyek Departemen. Semua kebijakan dan implemensinya ini harus didasarkan kepada Pancasila dan UUD 1945.
Jadi, dalam pembangunan Indonesia terdapat lima hal yang perlu diperhatikan, yaitu: Pancasila sebagai dasar filsafat bangsa, UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia, GBHN, PELITA, dan kebijakan-kebijakan Departemen. Tentu saja tidak seluruh hal tersebut perlu diketahui oleh antropolog yang ingin ikut berkiprah dan pembangunan Indonesia. Dia cukup mengonsetrasikan dirinya pada suatu bidang atau suatu aspek pembangunan yang digelutinya. Ambil contoh tentang seorang antropolog yang begelut dalam bidang pembangunan kehutanan, khususnya pembangunan masyarakat desa hutan. Dia mungkin perlu mulai belajar dari UUD No. 33 Pasal (3), yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. UU No. 5 Tahun 1960 tentang Dasar-Dasar Agraria. Dari sini kemudian meningkat kepada penguasaan Bidang Kehutanan dalam GBHN. Ini pada tingkat nasional. Setelah itu dia perlu mempelajari dengan cermat UU pokok kehutanan No. 41 Tahun 1999 (No. 5 Tahun 1967), beserta segala Keutusan Mentri dan Drijen yang relevan. Barulah setelah itu dia masuk ke dalam aspek khusus, yaitu program dan proyek-proyek yang berkaitan dengan pembangunan masyarakat desa hutan.
Bagaimanapun, perlu diingatkan bahwa keterlibatan orang terebut dalam bidang di atas adalah dalam kapasitas sebagai seorang antropolog. Artinya, sebagai seorang antropolog, dia adalah juga seorang etnografer yang menguasai pengetahuan mengenai budaya dari berbagai suku bangsa di Indonesia. Sehingga ketika antropolog tersebut diminta untuk menyusun sebuah program pembangunan masyarakat desa hutan di Kalimantan, misalnya, dia bukan hanya menguasai dasar-dasar kebijakan pembangunan masyarakat desa hutan, tetapi juga dianggap menguasai ciri-ciri umum masyarakat dan kultur suku-suku bangsa di Kalimantan.

D.           Situasi Departemen Antropologi Universitas Indonesia
Seorang antropolog tidak akan pernah memahami cara menerapkan ilmu antropologi dalam pembangunan Indonesia, dan tidak akan mengerti peranan yang harus dia maikan sebagai seorang antropolog dalam proyek-proyek pembangunan, kecuali dia menguasai pengetahuan yang memadai tentang sekurang-kurangnya tiga komponen yaitu paradigma ilmu antropologi, teori-teori sosial pembangunan, dan kebijakan dalam program pembangunan Indonesia. Maka dari itu penulis mencoba menggambarkan situasi dan kondisi mahasiswa dalam Departemen Antropologi Universitas Indonesia.
Departemen Antropologi UI, sebagai pewaris tradisi ilmu antropologi dari Dunia barat selama ini berada di bawah bayang-bayang nilai ilmu murni atau ilmu abstrak (pure science). Pada tahun 1970-an, Prof. Koentjaraningrat membuka mata kuliah baru yaitu “Antropologi Pembangunan”. Selanjutnya, Departemen Antropologi UI pada tahun 1994 menambahkan beberapa kurikulum baru untuk memudahkan mahasiswa memahami antropologi pembangunan yaitu; a) Analisis faktor sosial-Kultural dalam Pembangunan, b) Antropologi terapan, c) Dampak pembanguna terhadap masyarakat dan budaya daerah, d) Manajemen dan Kultur, Industrialisasi dan Perubahan Kebudayaan. Permasalahan terbesar dalam Departemen Antropologi UI adalah kurangnya tenaga pendidik yang tidak terampil dalam ilmu pendidikan.

E.            Sebuah Tantangan Antropologi Pembangunan di Indonesia
Sumbangan antropologi sangat besar dalam pembangunan Indonesia, yaitu aktualisasi konsep budaya atau (culture). Titik temu dan titik pisah antara Departemen Antropologi dengan pembangunan Indonesia ketika berbicara tentang budaya adalah dalam pendekatan UUD 45 dan GBHN yang meliputi sektor-sektor sebagai berikut.
1.             Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa
2.             Nilai Budaya Indonesia
3.             Tanggung jawab sosial dan disiplin nasional
4.             Pembaruan bangsa
5.             Bahasa dan sastra
6.             Kesenian
7.             Pembukuan dan kepustakaan
8.             Warisan budaya dalam bentuk artefak, lokasi, bangunan, dan tulisan kuno.
Dengan uraian diatas, dapat dapat diartikan bahwa kebudayaan menurut pengertian pemerintah, adalah salah satu sektor kehidupan yang terdiri atas 8 subsektor. Dengan memajukan 8 hal ihwal kebudayaan diatas, maka pemerintah berharap dapat membangun kultur bangsa. Secara regional, pemerintah menganggap kebudayaan adalah sebagai tradisi kebudayaan (cultural heritage) yang  menjadi milik suku bangsa di Indonesia.

F.            Konsep Kultur dalam Antropologi
Dalam ilmu antropologi masa kini ada dua aliran besar dalam pendefinisian konsep kultur (culture), yaitu aliran behavorial dan aliran ideational. Aliran behavorial melihat kultur sebagai a total way of life. Pada masa kini konsep ini masih digunakan para antropolog untuk menekuni bidang studi evolusi kebudayaan dan ekologi manusia. Sementara aliran ideational melihat kultur sebagai sesuatu yang abstrak, sesuatu yang bersifat ideational (gagasan, pemikiran) yang membentuk pola perilaku yang khas suatu kelompok masyarakat. Kultur yang bersifat abstrak tersebut dapat: sistem pengetahuan, the state of mind, spirit, belief, meaning, ethos, value, the capability of mind, dan sebagainya.
Dari sini kita dapat menganalisis perbedaan pemerintah dan antropolog dalam memandang kultur dan budaya. Di satu pihak kita melihat konsep kebudayaan pemerintah yang berorientasi kepada program praktisa dan problem oriented., yaitu kepada pembangunan bangsa, namun definisi dan tolak ukurnya belum jelas. Disisi lain kita melihat definisi kultur ilmu antropologi yang lebih berorientsi pada pengembangan teori dan aplikasinya terhadap penelitian etnografi. 

http://t3.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSW0XoxzZ6chQLf248j2-kSOiNw_dnFHmE0L70e9jOzjXxTfPgj

Analisis Pembangunan Gedung DPR RI yang Masih Penuh Kontroversi

Kali ini penulis akan mencoba mengangkat studi kasus tentang pembiayaan pembangunan Gedung Baru DPR RI yang beberapa tahun lalu sempat menjadi kontroversi dan bahkan sampai sekarang masih menjadi perdebatan. Seperti yang kita ketahui, gedung DPR yang berada di Senayan masih berdiri megah dan layak ditempati para wakil rakyat kita. Kalaupun mereka bosan dengan kondisi gedung DPR yang sekarang, tinggal panggil desainer interior yang handal untuk merombaknya. Karena itulah, mengapa gedung baru DPR ini harus didirikan.
DPR RI merencanakan melakukan pembangunan gedung baru dengan anggaran yang sangat besar yaitu berkisar 1,6 triliun. Gedung DPR RI yang baru ini akan dilengkapi berbagai fasilitas yang begitu mewah padahal telah kita ketahui kinerja anggota DPR RI masih belum maksimal  sehingga pembangunan gedung ini banyak menuai kontroversi. Alasan mereka mengusulkan adanya pembangunan gedung baru ini dikarenakan gedung Nusantara I dirasa sudah tidak muat menampung maupun mengatur jumlah karyawan yang ada sehingga kurang menunjang kinerja para anggota DPR RI. Pertanyaan pun bermunculan saat berita pembangunan gedung yang rencanannya memiliki 27 lantai dan luas total 120 ribu meter persegi ini, salah satunya adalah darimanakah sumber pembiayaan pembangunan gedung yang mewah ini?.
Total biaya pembangunan gedung DPR RI yang baru ini berkisar Rp1.162.202.186.793 (Rp1,162 triliun). Biaya tersebut belum termasuk anggaran fasilitas pendukung misalnya Perlengkapan IT, Security System dan Furniture/mebelair. Seperti yang kita ketahui, sumber pembiayaan pembangunan dibagi menjadi dua, yaitu pembiayaan konvensional dan non-konvensional. Pada kasus kali ini, sumber pembiayaan pembangunan gedung baru DPR RI ini berasal dari dana 3 tahun APBN dengan asumsi pada tahun 2010 sebesar Rp.50 milyar, tahun 2011 sebesar 800 milyar dan 2012 menutupi sisa dari anggaran proyek pembangunan gedung DPR RI, maka pembiayaan pembangunannya bersifat konvensional. Dimana kucuran dana konvensional dari APBN tersebut didapatkan dari Pajak, DAU, DAK, dan juga Retribusi Nasional. Pihak swasata sama sekali tidak bisa berinvestasi dalam proyek ini, dikarenakan gedung DPR termasuk barang Toll Goods. Artinya adalah, semua orang berhak masuk ke dalam gedung DPR, tetapi harus sesuai dengan kepentingan. Tetapi kepentingan disini bukanlah kepentingan dalam mencari keuntungan. Oleh karena itu sumber pembiayaan yang sesuai dengan status gedung DPR sebagai pelayanan masyarakat adalah pembiayaan konvensional.
Tetapi, jika melihat nilai proyek yang mencapai triliunan ini, pembiayaan konvensional melalui APBN dirasa terlalu membebani negara. Tingkat prioritas yang harus dibiayai oleh APBN harusnya peningkatan kualitas masyarakat terlebih dahulu, misalnya dengan peningkatan fasilitas pendidikan ataupun fasilitas kesehatan. Jika memang memaksa Gedung DPR baru ini untuk terus dibangun, maka pemerintah harus mengurangi pengeluaran pembayaran gaji pegawai (Terutama anggota DPR) supaya dana APBN bisa bertambah dan layak untuk diinvestasikan dalam proyek ini. Selain itu, pemerintah harus mulai berinovasi dengan bekerjasama dengan pihak swasta dalam pembiayaan pembangunan, misalnya dengan BOT (Build Operate Transfer), Konsesi, Joint Venture, dan juga Kontrak pelayanan. Adanya kucuran dana dari investor tersebut juga mempercepat pengembangan proyek. Dengan demikian, APBN pun tidak terlalu terbebani dengan nilai proyek yang mencapai triliunan. Biaya pembangunan gedung MPR ini pada akhirnya dapat dialihkan untuk pembangunan dalam bidang lain yang lebih bermanfaat dan tepat guna.

BAB III
KESIMPULAN

Antropologi mempelajari manusia dan segala aspeknya. Antropologi berperan memecahkan masalah manusia yang berkaitan dengan pembangunan. Antropologi dapat menerapkan pengetahuan yang diperoleh untuk membuat kebijakan pada suatu permasalahan pada pembangunan Indonesia dan ikut serta dalam perencanaan program pemerintah.
Dalam buku Antropological Praxis: Translating Knowledge Into Action, Robert M. Wulff and Sherly J. Fiske yang diterbitkan pada tahun 1991 menyebutkan antropologi harus bekerja dalam seluruh tahap proyek pembangunan. Ada tahap yang harus dilakukan (Marzali: 2005).
Meneliti, cari dan menentukan kebutuhan masyarakat. Memformulasikan kebijakan dan memilih alternatif solusi atas masalah yang dihadapi masyarakat. Merencanakan dan melaksanakan proyek sesuai dengan kebijakan dan rencana yang telah ditetapkan.
Syarat berikutnya bagi seorang antropolog untuk dapat berkiprah di dalam dunia praktis adalah pengusaan akan teori–teori pembangunan. Secara umum terdapat beberapa teori pembangunan yang harus dipelajari oleh ahli–ahli ilmu sosial, termasuk ahli antropologi. Teori ekonomi pembangunan, atau pertumbuhan ekonomi, meskipun merupakan perkembangan yang khas dalam ilmu ekonomi, namun karena teori ini mendominasi kebijakan–kebijakan pembangunan di masyarakat dunia ketiga, maka ahli ilmu–ilmu sosial lain mau tidak mau harus mempelajarinya, sekurang–kurangnya secara garis besar. Sementara itu, ahli ilmu–ilmu sosial lain, seperti sosiologi dan politik, telah mengembangkan teori pembangunan yang disebut teori modernisasi. Inti dari teori ini adalah usaha pembangunan institusional (perekayasaan struktur sosial melalui pembentukan institusi–institusi baru) dan pembangunan mentalitas manusia (perekayasaan kultural). Teori ini bukan lagi patut dipelajari oleh mereka yang mengaku ahli antropologi, tapi bahkan justru memerlukan masukan–masukan baru para ahli antropologi dalam proses pengembangannya.


DAFTAR PUSTAKA

Marzali Amir. 2009.  Antropologi dan Pembangunan Indonesia. Jakarta: Prenada media.






[1]http://ceritamahasiswa.multiply.com/journal/item/148/Peran_Ilmu_Antropologi_Dalam_Pembangunan?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem

Tidak ada komentar:

Posting Komentar