PENDIDIKAN ANTROPOLOGI DAN PEMBANGUNAN INDONESIA
MAKALAH
Diajukan sebagai syarat
ketuntasan Mata Kuliah Antropologi
Pembangunan
Disusun oleh,
Anita (1110015000015)
Amaliah (1110015000022)
Indri Sutandari (1110015000027)
PRODI
SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI JURUSAN P.IPS
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Antropologi mempelajari manusia dan
segala aspeknya. Antropologi berperan memecahkan masalah manusia yang berkaitan
dengan pembangunan. Antropologi dapat menerapkan pengetahuan yang diperoleh
untuk membuat kebijakan pada suatu permasalahan pada pembangunan Indonesia dan
ikut serta dalam perencanaan program pemerintah.
Dalam buku Antropological Praxis: Translating Knowledge Into Action, Robert M. Wulff and Sherly J. Fiske yang diterbitkan pada tahun 1991 menyebutkan antropologi harus bekerja dalam seluruh tahap proyek pembangunan. Ada tahap yang harus dilakukan (Marzali: 2005). Meneliti, cari dan menentukan kebutuhan masyarakat. Memformulasikan kebijakan dan memilih alternatif solusi atas masalah yang dihadapi masyarakat. Merencanakan dan melaksanakan proyek sesuai dengan kebijakan dan rencana yang telah ditetapkan.[1]
Dalam buku Antropological Praxis: Translating Knowledge Into Action, Robert M. Wulff and Sherly J. Fiske yang diterbitkan pada tahun 1991 menyebutkan antropologi harus bekerja dalam seluruh tahap proyek pembangunan. Ada tahap yang harus dilakukan (Marzali: 2005). Meneliti, cari dan menentukan kebutuhan masyarakat. Memformulasikan kebijakan dan memilih alternatif solusi atas masalah yang dihadapi masyarakat. Merencanakan dan melaksanakan proyek sesuai dengan kebijakan dan rencana yang telah ditetapkan.[1]
Antropologi
mempelajari kultur dalam masyarakat. Kultur diwujudkan dengan ideational dan
behavioral. Ideational membentuk perilaku yang khas dalam masyarakat dan
behavioral melihat bagaimana tingkah laku yang berjalan dalam masyarakat.
Kultur membentuk masyarakat dalam bertindak dan mempengaruhi bagaimana masyarakat
ikut serta dalam pembanguan. Koentjaraningrat
pernah mengatakan istilah kebudayaan, sistem nilai budaya dan sikap mental
adalah termasuk ke dalam konsep kultur, menurut aliran cultural
developmentalism (2005:19). Penguasaan akan konsep kultur sesuatu yang mendasar
keperluannya bagi antropologi. Antropolog mengenalkan keadaan dunia luar tanpa
meninggalkan kultur yang ada dalam masyarakat dan mengatasi hambatan berupa
adat istiadat dan sikap mental yang kolot, pranata-pranata sosial dan
unsur-unsur kebudayaan tradisional, harus digeser disesuaikan dengan kultur
kemajuan demi keperluan hidup masa kini.
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis kemukakan, maka perumusan
masalah yang dapat disusun adalah sebagai berikut.
1.
Bagaimana paradigma
ilmu antropologi?
2.
Apakah objek kajian
dalam antropologi?
3.
Bagaimana
teori-teori dalam antropologi pembangunan?
4.
Bagaimana aplikasi
pembangunan di Indonesia?
5.
Bagaimana situasi
Departemen Antropologi Universitas Indonesia?
6.
Apakah tantangan
antropologi pembangunan di Indonesia?
7.
Bagaimana konsep kultur
dalam antropologi?
C.
Tujuan Penulisan
Berdasarkan perumusan masalah diatas, tujuan penulis
menulis mekalah ini adalah sebagai berikut.
1.
Mengetahui
paradigma ilmu antropologi.
2.
Mengetahui objek
kajian dalam antropologi.
3.
Mengetahui
bagaimana teori-teori dalam antropologi pembangunan.
4.
Mengetahui
bagaimana aplikasi pembangunan di Indonesia.
5.
Mengetahui
bagaimana situasi Departemen Antropologi Universitas Indonesia.
6.
Mengetahui
tantangan antropologi pembangunan di Indonesia.
7.
Mengetahui
bagaimana konsep kultur dalam antropologi.
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
Paradigma
Antropologi
Antropologi, khususnya antropologi sosiokultural
adalah suatu disiplin ilmu dengan ciri-ciri dan tradisi yang khas berbeda dari
disiplin-disiplin
ilmu lain. Antropologi adalah sebuah science yang berisi pardigma yang khas. Di
bawah ini adalah beberapa butir penting dalam tradisi paradigma ilmu
antropologi sosiokultural yang harus diketahui secara mendalam oleh mahasiswanya.
1.
Objek Kajian Ilmu
Antropologi
Antropologi
sosiokultural secar tradisional berasal dari hasil kajian-kajian terhadap
kelompok-kelompok masyarakat yang
berskala kecil, relative terisolasi dan sederhana secara teknologi, sosial, politik, dan ekonomi.
Mereka antara lain adalah kelompok-kelompok orang aborigin di Australia,
suku-suka bangsa di Papua dan Papua Nugini, kelompok-kelompok Indian di
Amerika, Dayak di pedalaman Kalimantan, suku-suku bangsa di Afrika, dan
seterusnya. Hampir seluruh teori, metode, konsep, dan pendekatan antropologi
sosiokultural berasal dari kajian terhadap masyarakat seperti ini. Dulu masyrakat yang seperti
ini disebut dengan istilah masyarakat primitif atau masyarakat savage oleh para penelitinya. sedangkan penelitiannya yaitu para
antropologi, adalah anggota dari masyarakat modern dan beradab yang berasal
dari Eropa dan Amerika. Karena
itu, studi tentang masyarakt primitf dan savage ini mereka sebut sebagai studi
tentang “other culture”. Antropologi adalah studi tentang budaya dari
masyarakat lain. Sang peneliti berbeda tataran budayanya dari masyarakat objek
kajiannya.
Meskipun
pada masa kini kelompok masyarakat yang dulu dianggap primitif dan savage tersebut sudah hampir punah dari
muka bumi karena mereka sudah bersalin rupa menjadi masyarakat modern tapi
tinggalan-tinggalan teori, konsep, metode, dan pendekatan antropologi hasil
dari kajian terhadap kelompok-kelompok ini tetap mendominasi paradigma antropologi. Sebagai
contoh dapat kita ambil teori, konsep dan metode penelitian the culture of poverty dari Oscar lewis.
Ini adalah teori, konsep dan metode penelitian modern dalam antropologi
sosiokultural , berasal dari kajian terhadap kampung-kampung kumuh di perkotaan
Amerika Latin. Konsep baru ini adalah tradisi penelitian Etnografi tradisional
pada masyarakat primitive, savage, sederhana yang berskala kecil, seperti yang
dulu dirintis oleh Malinowski, Margaret Mead, Radcliff-Brown, dan sebagianya pada awal
ke 20.
2.
Metodologi
Dalam
antropologi sosiokultural, metodologi tidak terlepas dari teori. Secara teoritis dan
metodologis, antropologi dibagi menjadi dua peringkat. Peringkat bawah disebut
Etnografi, sedangkan peringkat atas adalah Etnologi. Pada peringkat bawah
melalui hasil karya etnografi lapangan,
seorang ahli antropologi sosiokultural disebut sebagai Etnografer. Sedangkan
pada peringkat selanjutnya melalui karya-karya kompararif dia berupaya
membangun teori-teori, dan dengan demikian dia akan menjadi seorang ahli
Etnologi. Etnografi adalah metode penelitian lapangan yang dilaksanakan secara mendalam melalui
keterlibatan langsung dan
peneliti dalam masyarakat yang menjadi
objek penelitian, dengan mengambil satu kelompok social tertentu sebagai kasus.
Secara tradisional, kelompok sosial
tersebut adalah juga dapat disebut sebagai deskripsi mengenai masyarakat dan
budaya suatu suku bangsa tertentu. Jadi Etnografi adalah metode penelitian yang
khas antropologi sekaligus hasil laporan dari penelitian tersebut. Etnografi
adalah kerja lapangan sekaligus buku laporannya.
Karena pada masa
lampau suku bangsa selalu diasumsikan bersifat homogeny secara sosiokultural, maka gambaran sosiokultural sebuah
buku bangsa dianggap dapat terwakili oleh sebuah komunitas yang tipikal dari
suku bangsa tersebut. Demikianlah,
misalnya “agama jawa” dianggap oleh Clifford Geertz akan terwakili dengan melakukan
penelitian etnografi terhadap
agama dari komunitas “Mojokuto” dekat Kediri. Atau budaya orang Trobriand,
menurut Melinowski cukup akan terwakili dengan meneliti Komunitas Kiriwana di
kepulauan Trobriand, Irian timur. Dengan
adanya kebiasaan seperti ini, maka etnografi sering juga disebut sebagai kajian
komunitas. Di
Inggris istilah lain untuk antropologi sosiokultural adalah micro sociology karena antropologi
meneliti masyarakat berskala kecil, atau juga disebut comparative sociology, Karena pembangunan dan pengujian teori
dilakukan dengan menggunakan pendekatan komparatif.
Bagaimanapun
etnografi adalah pekerjaan tingkat awal dari seorang ahli antropologi yang
profesional. Etnografi
adalah satu pekerjaan inisiasi bagi seorang yang ingin menjadi ahli antropologi
yang profesional. Seseorang
tidak mungkin dapat diakui sebagai seorang ahli antropologi profesional sebelum
dia melakukan etnografi, dan melaporkan hasil penelitannya. Hasil penelitiannya
dinilai kualitasnya
oleh para ahli antropologi senior. Setelah itu jika etnografer ini tetap
tinggal menggeluti kegiatan seperti itu tanpa ada usaha untuk meningkat ke
peringkat yang lebih tinggi maka dia tidak akan pernah menjadi seorang ahli etnologi atau
ahli antropologi yang sesungguhnya. Tingkat pekerjaan yang harus dilakukan
selanjutnya adalah apa yang disebut sebagai comparative
study, basic secra diakronis maupun secara sinkronis. Dalam fase ini dia
tidak lagi
wajib ke lapangan, seperti yang dia lakukan dulu waktu menghasilkan sebuah
etnografi. Tapi dia pergi ke perpustakaan.
Setelah memeilih
topik tertentu sebagai fokus penelitiannya, ia
mulai melakukan pekerjaan perbandingan.
Misalnya, dia memilih topik
tentang upacara kematian kemudian
ia membandingkan dengan adat kematian suku lain. Dari hasil perbandingan akan
muncul sebuah generalisasi atau sebuah teori
tentang upacara kematian. Ini adalah perbandingan sinkronis, yaitu
membandingkan berbagai upacara kematian pada berbagai suku bangsa pada masa
kini. Ahli antropologi ini juga dapat melakukan perbandingan secra diakronis
misalnya membandingkan sistem
pertanian yang dipraktikkan orang di Mesopotamia 10.000 tahun yang lalu, dan
dengan praktik pada masa kini. Hasilnya adalah sebuah teori tentang
perkembangan system pertanian Mesopotamia.
Sehubungan
dengan system pertanian ini atau system pencarian hidup secara umumnya, banyak
orang yang tidak menyadari bahwa pada suatu masa dulu seluruh penduduk Jawa yang modern ini
adalah pemburu dan peramu, Setelah itu pada suatu titik masa tertentu kemampuan
cultural orang jawa dapat mengembangkan system pertanian primitive yaitu system
pertanian berladang tebang-bakar seperti yang dipraktikkan kebanyak orang dayak
pada masa kini. Setelah itu, orang jawa khususnya yang bermukim di tepi bengwan
solo di sekeliling gunung sumbing, Merapi dan Merbabu, katanya sekitar 700
masehi mampu menegembangkan
system pertanian sawah bawah. Terakhir, pada masa millennium ketiga akhir-akhir
ini, petani jawa mulai berkembang menjadi petani modern komersil.
B.
Teori
– Teori Pembangunan
Syarat berikutnya bagi seorang antropolog untuk
dapat berkiprah di dalam dunia praktis adalah pengusaan akan teori–teori
pembangunan. Secara umum terdapat beberapa teori pembangunan yang harus
dipelajari oleh ahli–ahli ilmu sosial, termasuk ahli antropologi. Teori ekonomi
pembangunan, atau pertumbuhan ekonomi, meskipun merupakan perkembangan yang
khas dalam ilmu ekonomi, namun karena teori ini mendominasi kebijakan–kebijakan
pembangunan di masyarakat dunia ketiga, maka ahli ilmu–ilmu sosial lain mau
tidak mau harus mempelajarinya, sekurang–kurangnya secara garis besar.
Sementara itu, ahli ilmu–ilmu sosial lain, seperti sosiologi dan politik, telah
mengembangkan teori pembangunan yang disebut teori modernisasi. Inti dari teori
ini adalah usaha pembangunan institusional (perekayasaan struktur sosial
melalui pembentukan institusi–institusi baru) dan pembangunan mentalitas
manusia (perekayasaan kultural). Teori ini bukan lagi patut dipelajari oleh
mereka yang mengaku ahli antropologi, tapi bahkan justru memerlukan
masukan–masukan baru para ahli antropologi dalam proses pengembangannya.
Pada matra internasional berkembang teori dependasi
dan pendekatan sistem global. Matra universal adalah matra yang jarang di
masuki oleh antropolog, karena secara tradisional perhatian antropolog adalah
para small scale society. Orang
antropologi cenderung berwawasan suntuk, yaitu think locally, act locally. Mereka yang meneliti tentang masyarakat
Orang Dayak, hanya berpikir dan bergelut di sekitar masalah Orang Dayak saja.
Padahal wawasan yang seperti ini tidak sesuai dengan tradisi awal ilmu
antropologi, yang bertujuan untuk menjawab mengapa kelompok dan masyarakat
manusia berbeda di seluruh dunia. Seharusnya seorang antropolog memegang
semboyan act locally, think globally,
melalui kajian-kajian kasus pada masyarakat lokal, antropolog harus berpikir
secara global tentang perbedaan dan persamaan masyarakat di seluruh dunia. Berdasarkan
atas kenyataan kurangnya antropolog Indonesia yang berwawasan nasional, wawasan
mereka hanya sebatas masyarakat suku bangsa yang mereka kaji, maka sampai kini
kita bisa mengatakan bahwa yang namanya antropolog Indonesia itu belum ada
apalagi ahli antropologi Indonesia yang berkelas dan berwawasan universal.
Mungkin sebagian orang tidak setuju akan pernyataan ini. Tapi adalah lebih baik
kita berlaku rendah hati, dalam rangka mencabuk diri sendii agar terus mengejar
pencapaian yang lebih tinggi.
C.
Pembangunan
Indonesia
Ini adalah satu lagi hal yang harus diketahui oleh
para antropolog. Pembangunan Indonesia, atau pembangunan masyarakat dan manusia
Indonesia sampai kejatuhan pemerintahan Soeharto 1998, garis besarnya
ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) setiap lima tahun dalam
apa yang disebut Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). GBHN ini kemudian
diperinci kedalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Pelaksanaan dari
rencana ini terwujud dalam kebijakan, program, dan proyek-proyek Departemen.
Semua kebijakan dan implemensinya ini harus didasarkan kepada Pancasila dan UUD
1945.
Jadi, dalam pembangunan Indonesia terdapat lima hal
yang perlu diperhatikan, yaitu: Pancasila sebagai dasar filsafat bangsa, UUD
1945 sebagai konstitusi Indonesia, GBHN, PELITA, dan kebijakan-kebijakan
Departemen. Tentu saja tidak seluruh hal tersebut perlu diketahui oleh
antropolog yang ingin ikut berkiprah dan pembangunan Indonesia. Dia cukup
mengonsetrasikan dirinya pada suatu bidang atau suatu aspek pembangunan yang
digelutinya. Ambil contoh tentang seorang antropolog yang begelut dalam bidang
pembangunan kehutanan, khususnya pembangunan masyarakat desa hutan. Dia mungkin
perlu mulai belajar dari UUD No. 33 Pasal (3), yang berbunyi “Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. UU No. 5 Tahun 1960
tentang Dasar-Dasar Agraria. Dari sini kemudian meningkat kepada penguasaan
Bidang Kehutanan dalam GBHN. Ini pada tingkat nasional. Setelah itu dia perlu
mempelajari dengan cermat UU pokok kehutanan No. 41 Tahun 1999 (No. 5 Tahun
1967), beserta segala Keutusan Mentri dan Drijen yang relevan. Barulah setelah
itu dia masuk ke dalam aspek khusus, yaitu program dan proyek-proyek yang
berkaitan dengan pembangunan masyarakat desa hutan.
Bagaimanapun, perlu diingatkan bahwa keterlibatan
orang terebut dalam bidang di atas adalah dalam kapasitas sebagai seorang
antropolog. Artinya, sebagai seorang antropolog, dia adalah juga seorang
etnografer yang menguasai pengetahuan mengenai budaya dari berbagai suku bangsa
di Indonesia. Sehingga ketika antropolog tersebut diminta untuk menyusun sebuah
program pembangunan masyarakat desa hutan di Kalimantan, misalnya, dia bukan
hanya menguasai dasar-dasar kebijakan pembangunan masyarakat desa hutan, tetapi
juga dianggap menguasai ciri-ciri umum masyarakat dan kultur suku-suku bangsa
di Kalimantan.
D.
Situasi Departemen Antropologi Universitas Indonesia
Seorang antropolog tidak akan pernah memahami cara menerapkan ilmu
antropologi dalam pembangunan Indonesia, dan tidak akan mengerti peranan yang
harus dia maikan sebagai seorang antropolog dalam proyek-proyek pembangunan,
kecuali dia menguasai pengetahuan yang memadai tentang sekurang-kurangnya tiga
komponen yaitu paradigma ilmu antropologi, teori-teori sosial pembangunan, dan
kebijakan dalam program pembangunan Indonesia. Maka dari itu penulis mencoba
menggambarkan situasi dan kondisi mahasiswa dalam Departemen Antropologi
Universitas Indonesia.
Departemen Antropologi UI, sebagai pewaris tradisi ilmu antropologi dari
Dunia barat selama ini berada di bawah bayang-bayang nilai ilmu murni atau ilmu
abstrak (pure science). Pada tahun 1970-an, Prof. Koentjaraningrat membuka mata
kuliah baru yaitu “Antropologi Pembangunan”. Selanjutnya, Departemen
Antropologi UI pada tahun 1994 menambahkan beberapa kurikulum baru untuk
memudahkan mahasiswa memahami antropologi pembangunan yaitu; a) Analisis faktor
sosial-Kultural dalam Pembangunan, b) Antropologi terapan, c) Dampak pembanguna
terhadap masyarakat dan budaya daerah, d) Manajemen dan Kultur, Industrialisasi
dan Perubahan Kebudayaan. Permasalahan terbesar dalam Departemen Antropologi UI
adalah kurangnya tenaga pendidik yang tidak terampil dalam ilmu pendidikan.
E.
Sebuah Tantangan Antropologi Pembangunan di Indonesia
Sumbangan antropologi sangat besar dalam pembangunan Indonesia, yaitu
aktualisasi konsep budaya atau (culture). Titik temu dan titik pisah antara
Departemen Antropologi dengan pembangunan Indonesia ketika berbicara tentang
budaya adalah dalam pendekatan UUD 45 dan GBHN yang meliputi sektor-sektor
sebagai berikut.
1.
Kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa
2.
Nilai Budaya
Indonesia
3.
Tanggung jawab
sosial dan disiplin nasional
4.
Pembaruan bangsa
5.
Bahasa dan sastra
6.
Kesenian
7.
Pembukuan dan
kepustakaan
8.
Warisan budaya
dalam bentuk artefak, lokasi, bangunan, dan tulisan kuno.
Dengan uraian diatas, dapat dapat diartikan bahwa kebudayaan menurut
pengertian pemerintah, adalah salah satu sektor kehidupan yang terdiri atas 8
subsektor. Dengan memajukan 8 hal ihwal kebudayaan diatas, maka pemerintah
berharap dapat membangun kultur bangsa. Secara regional, pemerintah menganggap
kebudayaan adalah sebagai tradisi kebudayaan (cultural heritage) yang menjadi milik suku bangsa di Indonesia.
F.
Konsep Kultur dalam Antropologi
Dalam ilmu antropologi masa kini ada dua aliran besar
dalam pendefinisian konsep kultur (culture), yaitu aliran behavorial dan aliran
ideational. Aliran behavorial melihat kultur sebagai a total way of life.
Pada masa kini konsep ini masih digunakan para antropolog untuk menekuni bidang
studi evolusi kebudayaan dan ekologi manusia. Sementara aliran ideational
melihat kultur sebagai sesuatu yang abstrak, sesuatu yang bersifat ideational
(gagasan, pemikiran) yang membentuk pola perilaku yang khas suatu kelompok
masyarakat. Kultur yang bersifat abstrak tersebut dapat: sistem pengetahuan, the
state of mind, spirit, belief, meaning, ethos, value, the capability of mind,
dan sebagainya.
Dari sini kita dapat menganalisis perbedaan pemerintah
dan antropolog dalam memandang kultur dan budaya. Di satu pihak kita melihat
konsep kebudayaan pemerintah yang berorientasi kepada program praktisa dan
problem oriented., yaitu kepada pembangunan bangsa, namun definisi dan tolak
ukurnya belum jelas. Disisi lain kita melihat definisi kultur ilmu antropologi
yang lebih berorientsi pada pengembangan teori dan aplikasinya terhadap
penelitian etnografi.
Analisis Pembangunan Gedung DPR RI yang Masih Penuh
Kontroversi
Kali ini penulis akan mencoba
mengangkat studi kasus tentang pembiayaan pembangunan Gedung Baru DPR RI yang
beberapa tahun lalu sempat menjadi kontroversi dan bahkan sampai sekarang masih
menjadi perdebatan. Seperti yang kita ketahui, gedung DPR yang berada di
Senayan masih berdiri megah dan layak ditempati para wakil rakyat kita.
Kalaupun mereka bosan dengan kondisi gedung DPR yang sekarang, tinggal panggil
desainer interior yang handal untuk merombaknya. Karena itulah, mengapa gedung
baru DPR ini harus didirikan.
DPR RI merencanakan melakukan
pembangunan gedung baru dengan anggaran yang sangat besar yaitu berkisar 1,6
triliun. Gedung DPR RI yang baru ini akan dilengkapi berbagai fasilitas yang
begitu mewah padahal telah kita ketahui kinerja anggota DPR RI masih belum
maksimal sehingga pembangunan gedung ini banyak menuai kontroversi.
Alasan mereka mengusulkan adanya pembangunan gedung baru ini dikarenakan gedung
Nusantara I dirasa sudah tidak muat menampung maupun mengatur jumlah karyawan
yang ada sehingga kurang menunjang kinerja para anggota DPR RI. Pertanyaan pun
bermunculan saat berita pembangunan gedung yang rencanannya memiliki 27 lantai
dan luas total 120 ribu meter persegi ini, salah satunya adalah darimanakah
sumber pembiayaan pembangunan gedung yang mewah ini?.
Total biaya pembangunan gedung
DPR RI yang baru ini berkisar Rp1.162.202.186.793 (Rp1,162 triliun). Biaya
tersebut belum termasuk anggaran fasilitas pendukung misalnya Perlengkapan IT,
Security System dan Furniture/mebelair. Seperti yang kita ketahui, sumber
pembiayaan pembangunan dibagi menjadi dua, yaitu pembiayaan konvensional dan
non-konvensional. Pada kasus kali ini, sumber pembiayaan pembangunan gedung
baru DPR RI ini berasal dari dana 3 tahun APBN dengan asumsi pada tahun 2010
sebesar Rp.50 milyar, tahun 2011 sebesar 800 milyar dan 2012 menutupi sisa dari
anggaran proyek pembangunan gedung DPR RI, maka pembiayaan pembangunannya
bersifat konvensional. Dimana kucuran dana konvensional dari APBN tersebut
didapatkan dari Pajak, DAU, DAK, dan juga Retribusi Nasional. Pihak swasata
sama sekali tidak bisa berinvestasi dalam proyek ini, dikarenakan gedung DPR
termasuk barang Toll Goods. Artinya adalah, semua orang berhak masuk ke
dalam gedung DPR, tetapi harus sesuai dengan kepentingan. Tetapi kepentingan
disini bukanlah kepentingan dalam mencari keuntungan. Oleh karena itu sumber
pembiayaan yang sesuai dengan status gedung DPR sebagai pelayanan masyarakat
adalah pembiayaan konvensional.
Tetapi, jika
melihat nilai proyek yang mencapai triliunan ini, pembiayaan konvensional
melalui APBN dirasa terlalu membebani negara. Tingkat prioritas yang harus
dibiayai oleh APBN harusnya peningkatan kualitas masyarakat terlebih dahulu,
misalnya dengan peningkatan fasilitas pendidikan ataupun fasilitas kesehatan.
Jika memang memaksa Gedung DPR baru ini untuk terus dibangun, maka pemerintah
harus mengurangi pengeluaran pembayaran gaji pegawai (Terutama anggota DPR)
supaya dana APBN bisa bertambah dan layak untuk diinvestasikan dalam proyek
ini. Selain itu, pemerintah harus mulai berinovasi dengan bekerjasama dengan
pihak swasta dalam pembiayaan pembangunan, misalnya dengan BOT (Build Operate
Transfer), Konsesi, Joint Venture, dan juga Kontrak pelayanan. Adanya
kucuran dana dari investor tersebut juga mempercepat pengembangan proyek.
Dengan demikian, APBN pun tidak terlalu terbebani dengan nilai proyek yang
mencapai triliunan. Biaya pembangunan gedung MPR ini pada akhirnya dapat
dialihkan untuk pembangunan dalam bidang lain yang lebih bermanfaat dan tepat
guna.
BAB III
KESIMPULAN
Antropologi mempelajari manusia dan
segala aspeknya. Antropologi berperan memecahkan masalah manusia yang berkaitan
dengan pembangunan. Antropologi dapat menerapkan pengetahuan yang diperoleh
untuk membuat kebijakan pada suatu permasalahan pada pembangunan Indonesia dan
ikut serta dalam perencanaan program pemerintah.
Dalam buku Antropological Praxis: Translating Knowledge Into Action, Robert M. Wulff and Sherly J. Fiske yang diterbitkan pada tahun 1991 menyebutkan antropologi harus bekerja dalam seluruh tahap proyek pembangunan. Ada tahap yang harus dilakukan (Marzali: 2005). Meneliti, cari dan menentukan kebutuhan masyarakat. Memformulasikan kebijakan dan memilih alternatif solusi atas masalah yang dihadapi masyarakat. Merencanakan dan melaksanakan proyek sesuai dengan kebijakan dan rencana yang telah ditetapkan.
Dalam buku Antropological Praxis: Translating Knowledge Into Action, Robert M. Wulff and Sherly J. Fiske yang diterbitkan pada tahun 1991 menyebutkan antropologi harus bekerja dalam seluruh tahap proyek pembangunan. Ada tahap yang harus dilakukan (Marzali: 2005). Meneliti, cari dan menentukan kebutuhan masyarakat. Memformulasikan kebijakan dan memilih alternatif solusi atas masalah yang dihadapi masyarakat. Merencanakan dan melaksanakan proyek sesuai dengan kebijakan dan rencana yang telah ditetapkan.
Syarat
berikutnya bagi seorang antropolog untuk dapat berkiprah di dalam dunia praktis
adalah pengusaan akan teori–teori pembangunan. Secara umum terdapat beberapa
teori pembangunan yang harus dipelajari oleh ahli–ahli ilmu sosial, termasuk
ahli antropologi. Teori ekonomi pembangunan, atau pertumbuhan ekonomi, meskipun
merupakan perkembangan yang khas dalam ilmu ekonomi, namun karena teori ini
mendominasi kebijakan–kebijakan pembangunan di masyarakat dunia ketiga, maka
ahli ilmu–ilmu sosial lain mau tidak mau harus mempelajarinya,
sekurang–kurangnya secara garis besar. Sementara itu, ahli ilmu–ilmu sosial
lain, seperti sosiologi dan politik, telah mengembangkan teori pembangunan yang
disebut teori modernisasi. Inti dari teori ini adalah usaha pembangunan
institusional (perekayasaan struktur sosial melalui pembentukan
institusi–institusi baru) dan pembangunan mentalitas manusia (perekayasaan
kultural). Teori ini bukan lagi patut dipelajari oleh mereka yang mengaku ahli
antropologi, tapi bahkan justru memerlukan masukan–masukan baru para ahli
antropologi dalam proses pengembangannya.
DAFTAR PUSTAKA
Marzali
Amir. 2009. Antropologi dan Pembangunan Indonesia. Jakarta: Prenada media.
[1]http://ceritamahasiswa.multiply.com/journal/item/148/Peran_Ilmu_Antropologi_Dalam_Pembangunan?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
Tidak ada komentar:
Posting Komentar