Sabtu, 16 Februari 2013

Lanjutan Sarana Tazkiyatun-Nafs Imam Ghazali oleh Sa'id Hawwa (ringkas)


DZIKIR

Berbagai dzikir yang bisa memperdalam iman dan tauhid di dalam hati, "Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram." (ar-Ra'd: 28) Dengan demikian jiwa bisa mencapai derajat tazkiyah yang tertinggi, "Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya." (al-Fajr: 27-28) Dzikir dan fikir adalah dua sejoli yang dapat membukakan hati manusia untuk menerima ayat-ayat Allah, oleh karena itu tafakkur termasuk sarana tazkiyah.
Al-Ghazali rahimahullah berkata: Ketahuilah bahwa orang-orang yang memandang dengan cahaya bashirah mengetahui bahwa tidak ada keselamatan kecuali dalam pertemuan dengan Allah ta'ala, dan tidak ada jalan untuk bertemu Allah kecuali dengan kematian hamba dalam keadaan mencintai Allah dan mengenal Allah. Sesungguhnya cinta dan keakraban tidak akan tercapai kecuali dengan selalu mengingat yang dicintai. Sesungguhnya pengenalan kepada-Nya tidak akan tercapai kecuali dengan senantiasa berfikir tentang berbagai penciptaan, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya. Di alam wujud ini yang ada hanyalah Allah, dan perbuatan-perbuatan-Nya. Sementara itu, tidak akan bisa senantiasa dzikir dan fikir kecuali dengan berpisah dari dunia berikut syahwat-syahwatnya dan mencukupkan diri dengannya sesuai keperluan. Tetapi itu semua tidak akan tercapai kecuali dengan mengoptimalkan waktu-waktu malam dan siang dalam tugas-tugas dzikir dan fikir.
Karena tabi'at nafsu mudah jemu dan pesimis maka ia tidak bisa bertahan lama dalam satu "seni" aktivitas yang dapat membantu melakukan dzikir dan fikir, sehingga manusia dituntut agar memberikan "kesegaran" dengan berganti-ganti dari satu "seni" ke "seni" yang lain, dari satu bentuk ke bentuk yang lain, sesuai dengan setiap waktu agar dengan pergantian tersebut dapat merasakan kelezatannya dan dengan kelazatan itu bisa mempertahankan semangat dan kelangsungannya. Oleh sebab itu, wirid-wirid dibagi kepada beberapa bagian yang beraneka ragam. Jadi, fikir dan dzikir harus meliputi semua waktu atau sebagaian besarnya, karena tabi'at jiwa cenderung kepada kesenangan dunia. Jika seorang hamba mengalokasikan separuh waktunya jntuk mengatur urusan dunia dan syahwatnya yang dibolehkan misalnya sedangkan separuh lainnya untuk berbagai ibadah, niscaya kecenderungan kepada dunia akan lebih berat karena hal ini sesuai dengan tabi'atnya. Dalam "pertarungan" antar kedua kecenderungan itu, tabi'at berpihak kepada kecenderungan dunia, karena zhahir dan batin manusia saling membantu pada perkara-perkara dunia sehingga hati menjadi terarahkan untuk mencarinya.
Sedangkan kembali kepada ibadah merupakan hal yang berat dan hati tidak dapat berkonsentrasi penuh kepadanya kecuali pada waktu-waktu tertentu. Karena itu, barangsiapa yang ingin masuk sorga tanpa hisab maka hendaklah ia mengoptimalkan waktunya untuk keta'atan, dan barangsiapa ingin daun limbangan kebaikan dan kebajikannya lebih berat maka hendaklah ia menggunakan sebagian besar waktunya untuk keta'atan. Jika ia mencampuraduk amal shalih dengan amal keburukan maka ia berada dalam bahaya, cetapi harapan tak pernah terputus dan ampunan dari kedermawanan Allah senantiasa dinantikan; semoga Allah berkenan mengampuninya dengan kedermawanan-Nya. Itulah yang dapat terungkap oleh orang-orang yang memandang (kehidupan dan permasalahan) dengan cahaya bashirah.
Jika Anda tidak termasuk di antara mereka maka perhatikanlah khithab Allah kepada Rasul-Nya dan seraplah dengan cahaya iman. Allah berfirman kepada hamba-N'ya yang paling dekat dan paling tinggi derajatnya di sisi-Nya: "Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (panyak). Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadatlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan." (al-Muzzammil: 7-8) "Dan sebutlah nama Tuhanmu pada (waktu) pagi dan petang. Dan pada sebagian malam, maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang di malam hari." (al-Insan: 25-26) "Dan bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam." (Qaaf: 39-40)
Kemudian perhatikanlah bagaimana dan dengan apa Allah menyebutkan sifat-sifat para hamba-Nya yang sukses: "(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (siksa) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orangorang yang tidak mengetahui?." (az-Zumar: 9) "Lambung mereka itu jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdo 'a kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap." (as-Sajadah: 16) "Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka." (al-Furqan: 64)
Ini semua menjelaskan kepada Anda bahwa jalan kepada Allah ialah dengan memenej waktu dan menyemarakkannya dengan wirid-wirid secara ajeg. Oleh sebab itu Rasulullah saw bersabda: "Hamba yang paling dicintai Allah ialah orang-orang yang menjaga matahari, bulan dan bayang-bayang untuk mengingat Allah" (Diriwayatkan oleh Thabrani dan al-Hakim, ia berkata: Shahih sanadnya) Allah berfirman: "Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan." (ar-Rahman: 5) "Dan Dialah yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur." (al-Furqan: 62)
Yakni keduanya saling silih berganti untuk menyusuli ketinggalan yang pada yang lain, dan dijelaskan bahwa hal ini adalah dzikir dan syukur. Allah berfirman: "Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari karunia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan." (al-Isra': 12) Karunia yang diharapkan itu adalah pahala dan ampunan. Semoga Allah memberikan taufiq kepada apa yang diridhai-Nya.
(Sa'id Hawwa) berkata: Orang yang menghendaki akhirat harus membuat program rutin untuk dirinya berupa bacaan istighfar, tahlil, shalawat atas Rasulullah saw dan dzikir-dzikir ma'tsur lainnya, sebagaimana ia harus membiasakan lisannya untuk dzikir terus menerus seperti tasbih, istighfar, tahlil, takbir, atau hauqalah (laa haula walaa auwwata illaa billah), untuk menambah program rutin tersebut dengan berbagai shalat, ibadah dan amalan-amalan yang telah kami paparkan. Kesucian dan ketinggian jiwanya akan sangat ditentukan oleh sejauh mana ia telah melaksanakan sarana-sarana tazkiyah, baik ia merasakannya ataupun tidak

Lanjutan Sarana Tazkiyatun-Nafs Imam Ghazali oleh Sa'id Hawwa (ringkas)


                                                                   HAJI

Haji adalah pembiasaan jiwa untuk melakukan sejumlah nilai, seperti istislam, taslim, mengerahkan jerih payah dan harta dijalan Allah, ta'awun, ta'aruf, dan melaksanakan syi'ar-syi'ar 'ubudiyah kepada Allah. Semua itu memiliki pengaruh dalam tazkiyatun-nafs, sebagaimana merupakan bukti telah merealisasikan kesucian jiwa. 1) Rincian Adab (a) Finansialnya hendaknya halal, dan membebaskan tangan dari perniagaan yang menyibukkan hati dan mengacaukan perhatian sehingga perhatiannya hanyalah Allah semata, sedangkan hatinya merasa tenang dan terarah kepada dzikrullah dan mengagungkan syi'ar-syi'ar-Nya. (b) Memperbanyak bekal dan ridha mengeluarkan (bekal) dan berinfaq tanpa pelit dan pemborosan, tetapi ekonomis. Ibnu Umar ra berkata: Termasuk kedermawanan seseorang ialah kebaikan bekalnya dalam perjalanan. Ia juga pernah berkata: Haji yang paling utama ialah yang paling ikhlas niatnya, paling bersih nafkahnya dan paling baik keyakinannya.
(c) Meninggalkan rafats, fusuq dan jidal, sebagaimana diungkapkan al-Qur'an. Rafats ialah sebutan bagi setiap kesia-siaan dan kemesuman dan perkataan yang jorok. Fusuq ialah sebutan bagi setiap pelanggaran akan ketaatan kepada Allah. Sedangkan jidal ialah berlebih-lebihan dalam bertengkar dan berbantahan sehingga dapat menimbulkan antipati dan mengacaukan perhatian (d) Hendaknya berhaji dengan berjalan kaki, jika mampu, karena hal ini lebih utama, terutama perjalanan dari Mekkah ke Arafah dan Mina. (e) Hendaknya berpenampilan lusuh, berdebu dan dekil; tidak banyak memakai perhiasan dan tidak cenderung kepada berbagai sarana kemewahan dan kemegahan sehingga dicatat dalam catatan orang-orang yang sombong dan bermegah-megahan dan keluar dari partai orang-orang yang lemah, miskin dan khusushush-shalihin.
(f) Hendaknya ber-taqarrub dengan menyembelih binatang qurban sekalipun ia tidak berkewajiban melakukannya dan berusaha agar binatang qurbannya termasuk yang mahal dan berharga, kemudian memakan sebagian dagingnya jika qurban itu sebagai tathawwu'; dan tidak memakan dagingnya jika qurban itu sebagai kewajiban [kecuali dengan fatwa Imam]. (g) Hendaknya merasa senang dan ridha dalam mengeluarkan semua biaya baik nafkah ataupun pembelian binatang qurban, juga terhadap kerugian dan musibah yang mungkin menimpa harta atau badannya, karena yang demikian itu termasuk tanda-tanda diterimanya haji.
2. Amal-amal Batin, Mengikhlaskan Niat, Mengambil Pelajaran dari Berbagai Tempat yang Mulia, dan Cara Merenungkan Berbagai Rahasia dan Nilai-nilai Haji dari Awal Hingga Akhir ketahuilah bahwa permulaan haji adalah kefahaman —yakni tentang kedudukan haji dalam agama— kemudian kerinduan terhadapnya, kemudian terazam untuk melakukannya, kemudian memutuskan berbagai keterkaitan yang menghalanginya, kemudian membeli pakaian ihram, kemudian membeli unta, kemudian mempersiapkan kendaraan, kemudian keluar, kemudian katan, kemudian ihram dari miaat dengan talbivah, kemudian memasuki Mekkah, kemudian menyempurnakan berbagai amalan. Dalam setiap perjalanan tersebut di atas terdapat peringatan bagi orang yang mencari peringatan pelaiaran. Juga terdapat pengenalan dan isyarat bagi orang yang "cerdas."
Adapun kefahaman: Maka ketahuilah bahwa tidak ada wushul keterencapaian) kepada Allah subhanahu wata'ala kecuali dengan membersihkan diri dari berbagai syahwat, menahan berbagai kelezatan, membatasi diri pada hal-hal yang bersifat primer (dharurat), dan tajarrud (hanya memandang) kepada Allah dalam semua gerak dan diam. Allah telah memberikan ni'mat-Nya kepada ummat ini dengan menjadikan haji sebagai "kerahiban" bagi mereka. Allah memuliakan al-Bait al-Atiq dengan menisbatkannya kepada diri-Nya, menetapkannya sebagai tujuan para hamba-Nya, menjadikan apa yang ada di sekitarnya sebagai kesucian bagi rumah-Nya dan pengagungan urusan-Nya, menjadikan Arafah seperti kanal pada halaman telaga-Nya, dan menegaskan kesucian tempat dengan mengharamkan binatang buruan dan pepohonannya, yang dijadikan sebagai tujuan para penziarah dari segenap penjuru nun jauh, dalam keadaan dekil dan berdebu seraya merendahkan diri kepada Pemilik "rumah," berserah diri kepada-Nya, karena tunduk kepada keagungan-Nya dan pasrah kepada keperkasaan-Nya. Disertai pengakuan bahwa Dia terbebaskan dari bertempat di sebuah rumah atau negeri, agar hal tersebut lebih dapat menyempurnakan kehambaan dan ketundukan mereka. Oleh sebab itu. Dia mewajibkan kepada mereka di dalam haji ini berbagai amal perbuatan yang tidak akrab bagi jiwa dan tidak bisa difahami makna-maknanya oleh akal, seperti melontar dengan batu kerikil, dan berjalan pulang balik antara Shafa dan Marwah beberapa kali putaran. Dengan berbagai amal perbuatan seperti ini nampaklah kesempurnaan kehambaan dan 'ubudiyah.
Adapun kerinduan: Ia akan muncul setelah kefahaman dan kesadaran jiwa. Jiwa rumah itu adalah Baitullah, sehingga orang yang berangkat menuju kepadanya sama dengan orang yang berangkat menuju Allah dan berziarah kepada-Nya. Adapun 'azam: Maka hendaknya diketahui bahwa dengan 'azamnya ia bertekad meninggalkan keluarga dan negeri, menjauhi berbagai syahwat dan kelezatan dengan bertujuan menziarahi rumah Allah. Hendaknya ia mengagungkan dalam dirinya keagungan "rumah" dan keagungan Pemilik rumah. Adapun memutuskan berbagai keterkaitan: Maksudnya ialah menyelesaikan berbagai "perkara" atau "sangkutan" yang berkaitan dengan manusia dan bertaubat secara ikhlas kepada Allah dari semua kemaksiatan.
Adapun bekal: Maka carilah dari tempat yang halal. Jika merasakan adanya ketamakan untuk memperbanyak dan tuntutan untuk selalu ada sepanjang perjalanan, tanpa berubah dan rusak sebelum tercapainya tujuan, maka hendaklah ia mengingat bahwa perjalanan akhirat lebih panjang dari perjalanan ini. Bekal yang sesungguhnya adalah taqwa sedangkan bekal selainnya, yang dikira sebagai bekalnya, akan tertinggal saat kematiannya dan tidak menyertainya. Adapun kendaraan: Maka hendaklah ia bersyukur kepada Allah dengan hatinya atas berbagai kendaraan yang telah ditundukkan Allah untuk manusia, dan hendaklah mengingat pada saat itu akan kendaraan yang akan dinaikinya ke kampung akhirat yaitu jenazah yang diusung di atas kendaraan itu.
Adapun membeli dua pakaian ihram: Maka pada saat itu hendaklah ia mengingat kain kafan yang akan membungkusnya. Adapun keluar dari negeri: Maka pada saat itu hendaklah ia mengetahui bahwa ia pasti berpisah dengan keluarga dan kampung halaman menuju Allah dalam suatu perjalanan yang tidak sama dengan berbagai perjalanan dunia. Adapun memasuki perkampungan menuju miqat dan menyaksikan tanjakan-tanjakan terjal tersebut: Maka pada saat itu hendaklah ia mengingat suasana antara keluar dari dunia dengan kematian menuju miqat hari kiamat dan berbagai peristiwanya yang mengerikan. Adapun ihram dan talbiyah dari miqat: Maka pada saat itu hendaklah ia mengetahui bahwa maknanya ialah menyambut seruan Allah.
Adapun memasuki Mekkah: Maka pada saat itu hendaklah ia mengingat bahwa ia telah sampai ke tanah suci Allah dengan aman, dan hendaklah ia berharap dengan hal tersebut akan aman dari siksa Allah. Adapun pandangan mata pada Baitullah: Maka hendaklah pada saat itu ia menghadirkan keagungan Ka'bah di dalam hati dan merasakan seolah-olah ia menyaksikan Pemilik rumah karena saking besarnya pengagungan terhadapnya. Adapun thawaf di Baitullah: Maka ketahuilah bahwa ia adalah shalat. Karena itu, hadirkanlah ta'zhim, rasa cemas, harap dan cinta (yang telah kami jelaskan dalam bab shalat) di dalam hatimu.
Adapun istilam (mencium atau menyentuh Hajar Aswad): Maka yakinilah rida saat itu bahwa engkau tengah berbai'at kepada Allah untuk menta'ati-Nya. Kuatkanlah tekadmu untuk menepati bai'atmu. Adapun bergelantungan dengan kelambu Ka'bah dan menempel di Multazam: Maka berniatlah dalam menempel tersebut untuk meningkatkan kecintaan dan kerinduan kepada Ka'bah dan Pemilik Ka'bah dan berharap rerlindungan kepada-Nya dari api neraka dalam setiap bagian dari badanmu. Adapun sa'i antara Shafa dan Marwah di pelataran Baitullah: Maka sesungguhnya ia sama dengan mondar-mandirnya hamba di lapangan rumah Raja demi memperlihatkan keikhlasan dalam berkhidmah dan mengharapkan rerhatian dengan mata kasih sayang, seperti orang yang masuk kepada raja kemudian keluar dalam keadaan tidak menyadari apa yang telah diputuskan sang raja berkenaan dengan dirinya
Adapun wuquf di Arafah: Maka ingatlah dari pemandangan tentang berjubelnya manusia, alunan suara, perbedaan bahasa, dan kelompokkelompok yang mengikuti para pemimpinnya dalam berbagai pelaksanaan manasik akan lapangan hari kiamat, pertemuan semua ummat berserta para Nabi dan pemimpin mereka, ambisi mereka untuk mendapatkan syafa'at para pemimpin mereka, kebingungan mereka di sebuah lapangan, antara diterima dan ditolak. Adapun melempar jumrah: Maka niatkanlah untuk mematuhi perintah, demi membuktikan kehambaan dan 'ubudiyah. dan bergegas semata-mata melaksanakan perintah tanpa berfikir panjang, di samping meneladani Nabi Ibrahim ketika dihadang Iblis la'anahullah di tempat tersebut lalu Allah memerintahkannya agar melemparinya dengan batu dalam rangka mengusir dan menggagalkan harapannya.
Adapun menyembelih binatang qurban {hadyu): Maka ketahuilah bahwa ia merupakan taqarrub kepada Allah dengan melaksanakan perintah. Adapun ziarah ke Madinah: Apabila penglihatan Anda telah menyaksikan tembok-tembok Madinah maka ingatlah bahwa ia adalah negeri yang telah dipilih Allah untuk Nabi-Nya saw, tempat hijrahnya, kampung yang menjadi tempat menerima berbagai ajaran Allah, wilayah yang menjadi tempat melakukan jihad melawan musuhnya dan memenangkan agamanya hingga Allah memanggilnya, dan tempat kuburannya bersama dua orang pendukung setianya, Abu Bakar dan Umar ra. Kemudian bayangkanlah jejak-jejak langkah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di saat menjalani kehidupannya, bayangkanlah langkahnya di lorong-lorongnya, bayangkanlah kekhusyu'an dan ketenangannya dalam berjalan, hatinya yang penuh ma'rifat kepada Allah, selamanya yang telah diagungkan Aliah hingga disebut bersama-Nya dan latarnya amal orang yang melecehkan kehormatannya sekalipun hanya berupa meninggikan suara di atas suaranya. Sedangkan ziarah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: Maka hendaklah engkau berdiri di hadapannya dan menziarahinya seolah-olah engkau menziarahinya ketika masih hidup

Jumat, 15 Februari 2013

Lanjutan Sarana Tazkiyatun-Nafs Imam Ghazali oleh Sa'id Hawwa (ringkas)


PUASA

Puasa merupakan pembiasaan jiwa untuk mengendalikan syahwat perut dan kemaluan, sehingga dengan demikian ia termasuk sarana tazkiyah, "Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaawa." (al-Baqarah: 183) Taqwa adalah tuntutan Allah kepada para hamba. Taqwa sama dengan tazkiyatun-nafs. Firman Allah: "Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya." (asy-Syams: 7-10)
Ketahuilah bahwa puasa ada tiga tingkatan: Puasa orang awam, puasa orang khusus dan puasa orang super khusus. Puasa orang awam ialah, menahan perut dan kemaluan dari memperturutkan syahwat. Puasa orang khusus ialah, menahan pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki dan semua anggota badan dari berbagai dosa. Sedangkan puasa orang super khusus ialah, puasa hati dari berbagai keinginan yang rendah dan pikiran-pikiran yang tidak berharga; juga menahan hati dari selain Allah secara total, dan puasa ini menjadi "batal" karena fikiran tentang selain Allah dan hari akhir; karena fikiran tentang dunia kecuali dunia yang dimaksudkan untuk agama karena dunia yang dimaksudkan untuk agama tersebut sudah termasuk bekal akhirat dan tidak lagi dikatakan sebagai dunia. Ini merupakan tingkatan para Nabi, Rasul, Shiddiqin dan Muqarrabin.
Adapun puasa orang khusus ialah puasa orang-orang shalih yaitu menahan anggota badan dari berbagai dosa. Sedangkan kesempurnaannya ialah dengan enam perkara: Pertama: Menundukkan pandangan dan menahannya dari berkeliaran memandang ke setiap hal yang dicela dan dibenci, ke setiap hal yang bias menyibukkan hati dan melalaikan dari mengingat Allah 'azza wajalla. Kedua: Menjaga lisan dari bualan, dusta, ghibah, gunjingan, kekejian, perkataan kasar, pertengkaran, dan perdebatan; mengendalikannya dengan diam; menyibukkannya dengan dzikrullah dan tilawah al-Qur'an. Itulah puasa lisan. Ketiga: Menahan pendengaran dari mendengarkan setiap hal yang dibenci (makruh) karena setiap yang diharamkan perkataannya diharamkan pula mendengarkannya. Keempat: Menahan berbagai anggota badan lainnya dari berbagai dosa, seperti menahan tangan dan kaki dari hal-hal yang dibenci, menahan perut dari berbagai syubhat pada waktu tidak puasa.
Kelima: Tidak memperbanyak makanan yang halal pada saat berbuka puasa sampai penuh perutnya. Seperti diketahui bahwa tujuan puasa ialah pengosongan dan menundukkan hawa nafsu untuk memperkuat jiwa mencapai taqwa. Bila perut didorong dari pagi hingga sore sampai syahwatnya bangkit dan seleranya menjadi kuat kemudian (di saat berbuka) dipenuhi dengan berbagai makanan yang lezat hingga kenyang maka bertambahlah kelezatan dan kekuatannya hingga bangkitlah syahwatnya yang seharusnya terredam seandainya dibiarkan apa adanya. Esensi dan rahasia puasa ialah melemahkan berbagai kekuatan yang menjadi sarana syetan untuk kembali kepada keburukan. Tetapi hal itu tidak akan tercapai kecuali dengan pengurangan makanan yakni memakan makanannya yang biasa dimakan setiap malam waktu tidak puasa, bahkan di antara adabnya ialah tidak memperbanyak tidur siang agar merasakan lapar dan dahaga dan merasakan lemahnya kekuatan sehingga hatinya menjadi jernih, kemudian berusaha agar setiap malam bisa melakukan tahajjud dan membaca wiridnya, karena bisa jadi syetan tidak mengitari hatinya sehingga bisa melihat berbagai kegaiban langit. Keenam: Hendaknya setelah iftharhatinya "tergantung" dan "terguncang" antara cemas dan harap, sebab ia tidak tahu apakah puasanya diterima sehingga termasuk golongan Muqarrabin atau ditolak sehingga termasuk orang-orang yang dimurkai.

Tazkiyatun-Nafs Imam Ghazali Karya Sa'id Hawwa


ZAKAT DAN INFAQ

Kemudian setelah itu kami sebutkan apa yang kami anggap lebih masuk kedalam sarana, yaitu zakat dan infaq. Zakat dan infaq bisa membersihkan jiwa dari sifat bakhil dan kikir, dan menyadarkan manusia bahwa pemilik harta yang sebenarnya adalah Allah. Oleh karena itu, kedua ibadah ini termasuk bagian dari sarana tazkiyah, "Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya." (al-Lail: 18)
Ketahuilah bahwa ada lima perkara yang harus diperhatikan oleh pembayar zakat. Pertama: Niat, yaitu berniat dengan hatinya menunaikan zakat wajib dan disunnahkan menentukan hartanya secara tegas. Kedua: Bersegera setelah mencapai haul. Ketiga: Tidak mengeluarkan pengganti dengan nilai tetapi harus mengeluarkan apa yang ditegaskan di dalam nash. Keempat: Tidak memindahkan zakat ke kampung lain. karena mata orang-orang miskin di setiap kampung memperhatikan hartanya. Kelima: Membagikan hartanya kepada semua ashnaf (golongan yang berhak menerima zakat) yang ada di kampungnya, sebagaimana ditegaskan firman Allah: "Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir dan orang-orang miskin..." (at-Taubah: 60).
Ketahuilah bahwa orang yang menginginkan jalan akhirat dengan penunaian zakatnya ada beberapa tugas (wazhifah) yang harus diperhatikan: Wazhifah pertama: Memahami kewajiban zakat, makna dan muatan ujian yang terdapat di dalamnya; mengapa ia dijadikan sebagai salah satu bangunan Islam padahal ia merupakan perbuatan yang berkaitan dengan harta tasharruf mali) dan tidak termasuk ibadah fisik. Dalam hal ini ada tiga makna: Pertama. Bahwa mengucapkan dua kalimat syahadat merupakan komitmen kepada tauhid, kesaksian akan keesaan Dzat yang diibadahi. Allah berfirman: "Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu'min, diri dan harta mereka dengan sorga...." (at-Taubah: 111), Yakni dengan jihad yang berarti mengorbankan hal yang terbaik demi kerinduan untuk bertemu Allah 'azza wa jalla; sedangkan mengorbankan harta jauh lebih mudah. 
Jika makna pengorbanan harta ini telah difahami maka manusia terbagi menjadi tiga kategori: Pertama, orang-orang yang benar-benar bertauhid, memenuhi janji mereka, dan melepaskan semua harta mereka sehingga tidak menyimpan satu dinar atau satu dirham sekalipun. Kedua, orang-orang yang di bawah derajat mereka, yaitu orang-orang yang memegang harta mereka seraya menantikan waktu-waktu kebutuhan dan musim-musim kebaikan. Ketiga, orang-orang yang membatasi diri menunaikan zakat -wajib, tidak lebih dan tidak kurang. Derajat ini merupakan derajat yang paling rendah.
Kedua, membersihkan diri dari sifat kikir, karena sifat ini termasuk hal yang membinasakan. Sifat kikir ini bisa hilang dengan membiasakan diri menginfaqkan harta; karena kecintaan kepada sesuatu tidak bisa diputuskan kecuali dengan memaksa diri dengan meninggalkannya sampai menjadi hal yang biasa. Zakat, dalam pengertian ini, merupakan penyucian yakni menyucikan pemiliknya dari kotoran kekikiran yang membinasakan. Ketiga, syukur nikmat, karena semua yang ada pada hamba ini, baik pada diri ataupun hartanya, merupakan nikmat Allah kepadanya. Semua 'ibadah badaniyah adalah merupakan ungkapan rasa syukur kepada nikmat badan, dan 'ibadah maliyah adalah merupakan ungkapan rasa syukur kepada nikmat harta.
Wazhifah kedua: Berkenaan dengan Waktu Penunaian. Di antara adab orang yang beragama ialah menyegerakan kewajiban sebagai ungkapan kepeduliannya untuk melakasanakan dengan menyampaikan kegembiraan kepada kaum faqir, di samping sebagai kesigapan menghindari berbagai hambatan zaman yang akan menghambat berbagai kebaikan. Mengingat dalam penundaan terdapat banyak cacat di samping akan mengakibatkan kemaksiatan jika terjadi keterlambatan dari waktu yang semestinya. Wazhifah ketiga: Merahasiakan, karena hal ini lebih bisa menjauhkan dari riya' dan pamrih. Sebagian ulama berkata: Tiga hal termasuk khazanah kebaikan, salah satunya adalah merahasiakan shadaqah. Di dalam hadits yang masyhur disebutkan: "Tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Allah pada hari tidak ada naungan kecuali naungan-Nya ... orang yang bershadaqah (secara rahasia) sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kanannya.
Wazhifah keempat: Menampakkan, apabila diketahui bahwa penampakan tersebut akan mendorong orang untuk mengikutinya dengan tetap menjaga batinnya dari dorongan riya'. Allah berfirman: "Jika kamu menampakkan shadaqah maka itu adalah baik sekali." (al-Baqarah: 271). Hal ini jika kondisi menuntut penampakan, untuk keteladanan atau karena peminta meminta shadaqah di hadapan khalayak sehingga tidak baik meninggalkan shadaqah karena takut riya', bahkan ia seharusnya bershadaqah dengan tetap menjaga batinnya dari riya' sedapat mungkin. Wazhifah kelima: Tidak merusak shadaqahnya dengan membangkit-bangkit dan menyakiti. Allah berfirman: "Dan janganlah kamu membatalkan shadagah kamu dengan membangkit-bangkit dan menyakiti" (al-Baqarah: 264). Para ulama berselisih pendapat tentang hakikat membangkit-bangkit dan menyakiti. Dikatakan: Membangkit-bangkit ialah menyebutkannya. Sedangkan menyakiti adalah menampakkannya. 
Wazhifah keenam: Menganggap kecil pemberian kepada orang karena jika dianggap besar maka ia akan kagum kepadanya, padahal 'ujub termasuk hal-hal yang membinasakan dan membatalkan amal. Firman Allah: "Dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi 'ujub karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak member manfaat kepadamu sedikitpun." (at-Taubah: 25) 'Ujub dan menganggap besar bisa terjadi pada semua bentuk ibadah sedangkan obatnya adalah ilmu dan amal. Ilmu yang dimaksudkan ialah mengetahui bahwa sepersepuluh atau kurang dari itu adalah bagian kecil dari yang banyak; sementara itu ia telah menganggapnya sebagai pengorbanan yang paling baik padahal seharusnya ia merasa malu terhadapnya, Sedangkan amal yang dimaksudkan ialah hendaknya ia memberikannya dengan disertai rasa malu karena kekikiran yaitu masih menahan sisa hartanya untuk diberikan kepada Allah sehingga keadaannya penuh penyesalan dan rasa malu seperti keadaan orang yang menuntut pengembalian barang titipan lalu ia menahan sebagiannya atau hanya mengembalikan sebagiannya, karena harta ini seluruhnya adalah milik Allah sedangkan memberikan semuanya lebih dicinta di sisi Allah.
Wazhifah ketujuh: Memilih harta yang terbaik, yang paling dicintai dan paling halal, karena Allah Maha Baik tidak menerima kecuali yang baik. Bila harta yang dikeluarkan berasal dari barang syubhat yang bisa jadi bukan miliknya maka tidak mengena sasaran. Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abban dari Anas bin Malik disebutkan: "Berbahagialah hamba yang berinfak dari harta yang diperolehnya bukan dari maksiat." (Diriwayatkan oleh Ibnu 'Addi dan al-Bazzar) Jika harta yang dikeluarkan tidak dari harta yang baik maka ia merupakan adab yang buruk, karena dia menahan yang baik untuk dirinya atau untuk keluarganya sehingga dengan demikian dia lebih mengutamakan dirinya atau orang lain ketimbang Allah.
Wazhifah kedelapan: Mencari agar zakatnya diterima oleh orang yang akan memanfaatkan zakat itu dengan baik dan benar. Ia tidak merasa cukup dengan delapan golongan penerima zakat secara umum karena di antara mereka ada sifat-sifat khusus yang harus diperhatikan, yaitu: Pertama, mencari orang-orang yang bertaqwa yang berpaling dari dunia dan mengkonsentrasikan diri untuk perniagaan akhirat. Kedua, termasuk di antara ahli ilmu khususnya karena hal itu akan menjadi penopangnya terhadap ilmu, sedangkan ilmu pengetahuan merupakan ibadah yang paling mulia jika disertai niat yang benar.  Ketiga, hendaknya termasuk orang yang benar-benar bertaqwa dan mengamalkan tauhid. Keempat, hendaknya termasuk orang yang menyembunyikan keperluannya; tidak banyak mengeluh; termasuk orang yang menjaga harga diri (muru'ah). Kelima, hendaknya orang yang terbelenggu oleh suatu penyakit atau hal lain yang termasuk dalam kategori makna firman Allah: "Untuk orang-orang faqir yang terikat dijalan Allah" (al-Baqarah: 273), yakni tertahan di jalan akhirat karena suatu sebab atau sempitnya penghidupan. Keenam, hendaknya termasuk kerabat dan orang yang memiliki hubungan keluarga, sehingga zakat itu menjadi penghubung tali kekerabatan.


Kamis, 14 Februari 2013

Makna Tazkiyatun-Nafs Imam Ghazali karya Sa'id Hawwa

SARANA TAZKIYAH

Yang dimaksud sarana tazkiyah ialah berbagai amal perbuatan yang mempengaruhi jiwa secara langsung dengan menyembuhkannya dari penyakit, membebaskannya dari "tawanan," atau merealisasikan akhlaq padanya. Semua hal ini bisa jadi terhimpun dalam suatu amal perbuatan. Penunaian shalat, misalnya, dapat membebaskan manusia dari sikap sombong kepada Allah Tuhan alam semesta, dan pada saat yang sama bisa menerangi hati lalu memantul pada jiwa dengan memberikan dorongan untuk meninggalkan perbuatan keji dan munkar.

Fitrah manusia bisa terkontaminasi oleh najis ma'nawi seperti kemusyrikan, Allah berfirman, "Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis" (at-Taubah: 28), terkontaminasi lumpur hawa nafsu yang salah, "Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsu" (Maryam: 59), atau terkontaminasi oleh berbagai perangai binatang yang tidak cocok untuk manusia, "Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)" (al-Furqan: 44). Sebagaimana di dalam jiwa juga terdapat kecenderungan untuk menentang rububiyah, seperti sikap sombong dan angkuh. Jiwa juga bisa tertutup oleh berbagai kegelapan sehingga tidak bisa melihat berbagai hakikat sebagaimana mestinya. Karena itu, jika dikatakan tazkiyatun nafs maka yang dimaksudkan ialah pembebasan jiwa dari berbagai najis yang mengotorinya, berbagai hawa nafsu yang keliru, berbagai perangai kebinatangannya yang nista, penentangannya terhadap rububiyah, dan berbagai macam kegelapan. Para Rasul diutus tidak lain adalah untuk melaksanakan missi seperti ini.

Titik awal dan akhir dalam taklif Ilahi adalah tauhid yang membersihkan jiwa dari berbagai karat kemusyrikan dan berbagai akibatnya seperti 'ujub, ghurur, dengki dan lain sebagainya. Sesuai dengan sejauh mana tauhid itu tertanam dalam jiwa sejauh itu pula jiwa akan tersucikan dan memetik berbagai buah tauhid seperti sabar, syukur, 'ubudiyah, tawakal, ridha, takut, harap, ikhlas, jujur dan lain sebagainya. sarana pertama dalam tazkiyah adalah shalat. Shalat berikut sujud, ruku' dan dzikirnya membersihkan jiwa dari kesombongan kepada Allah, dan mengingatkan jiwa agar istiqamah di atas perintah-Nya, "Sesungguhnya shalat dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar" (al-'Ankabut: 25). Jadi, shalat merupakan salah satu sarana tazkiyah.

Sesungguhnya khusyu' merupakan manifestasi tertinggi dari sehatnya hati. Jika ilmu khusyu' telah sirna maka berarti hati telah rusak. Bila khusyu' tidak ada berarti hati telah didominasi berbagai penyakit yang berbahaya dan keadaan yang buruk, seperti cinta dunia dan persaingan untuk mendapatkannya. Bila hati telah didominasi berbagai penyakit maka telah kehilangan kecenderungan kepada akhirat. Bila hati telah sampai kepada keadaan ini maka tidak ada lagi kebaikan bagi kaum Muslimin. Karena, cinta dunia menimbulkan persaingan untuk mendapatkannya, sedangkan persaingan terhadap dunia tidak layak menjadi landasan tegaknya urusan dunia dan agama.

"Marilah kita mengkaji kaitan shalat dengan kekhusyu'an dan kehadiran hati, kemudian makna-makna batiniyah berikut batas-batas, sebab-sebab dan terapinya. Selanjutnya marilah pula kita kaji rincian tentang hal yang harus ada dalam setiap rukun shalat agar layak menjadi bekal akhirat." Kesimpulannya, bahwa kehadiran hati adalah ruh shalat. Batas minimal keberadaan ruh ini ialah kehadiran hati pada saat takbiratul ihram. Bila kurang dari batas minimal ini berarti kebinasaan. Semakin bertambah kehadiran hati semakin bertambah pula ruh tersebut dalam bagian-bagian shalat. Berapa banyak orang hidup yang tidak punya daya gerak sehingga mirip dengan mayit. Demikian pula shalat orang yang lalai dalam seluruh pelaksanaan shalatnya kecuali pada waktu takbiratul ihram, seperti orang hidup yang tidak punya daya gerak sama sekali. Kita memohon pertolongan yang sebaik-baiknya dari Allah. Kehadiran hati yang kami maksudkan ialah mengosongkan hati dari halhal yang tidak boleh mencampuri dan mengajaknya berbicara, sehingga pengetahuan tentang perbuatan senantiasa menyertainya dan pikiran tidak berkeliaran kepada selainnya.

Tafahhum (kefahaman) terhadap makna pembicaraan merupakan sesuatu di luar kehadiran hati. Bisa jadi hati hadir bersama lafazh atau bias jadi juga tidak. Peliputan hati terhadap pengetahuan tentang makna lafazh itulah yang kami maksudkan dengan kefahaman. Ta'zhim (rasa hormat) juga merupakan perkara di luar kehadiran hati dan kefahaman; sebab bisa jadi seseorang berbicara kepada budaknya dengan hati yang penuh konsentrasi dan faham akan makna perkataannya tetapi ia tidak menaruh rasa hormat kepadanya. Sedangkan haibah (rasa takut yang bersumber dari rasa hormat) merupakan tambahan bagi ta 'zhim bahkan ia adalah ungkapan tentang rasa takut yang bersumber dari ta'zhim, karena orang yang tidak takut tidak bias disebut ha'ib, raja' (harap), serta haya' (rasa malu). Oleh karena itu, tidak ada kiat dan terapi untuk menghadirkan hati kecuali dengan memalingkan himmah (perhatian utama) kepada shalat. Sementara itu. himmah tidak akan terarahkan kepada shalat selagi belum jelas bahwa tujuan yang dicari tergantung kepadanya. 

Sedangkan faktor penyebab timbulnya tafahhum (kefahaman), setelah kehadiran hati, ialah senantiasa berfikir dan mengarahkan pikiran untuk mengetahui makna. Terapinya terletak pada menghadirkan hati disertai konsentrasi berfikir dan kesiagaan untuk menolak berbagai lintasan pikiran (yang liar). Sedangkan ta'zhim (rasa hormat) merupakan keadaan hati yang lahir dari dua ma'rifat. Pertama, ma'rifat akan kemuliaan dan keagungan Allah, yang merupakan salah satu dasar iman. Siapa yang tidak diyakini keagungannya maka jiwa tidak akan mau mengagungkannya. Kedua, ma'rifat akan kehinaan diri dan statusnya sebagai hamba yang tidak memiliki kuasa apa-apa. Dari kedua ma'rifat ini lahir rasa pasrah (istikanah), tidak berdaya (inkisar) dan tunduk (khusyu') kepada Allah yang diungkapkannya dengan ta'zhim.

Sedangkan haibah (rasa takut yang bersumber dari rasa hormat) dan takut merupakan keadaan jiwa yang lahir dari ma'rifat akan kekuasaan Allah, hukuman-Nya, pengaruh kehendak-Nya padanya, dan bahwa seandainya Dia membinasakan orang-orang terdahulu dan orang-orang terkemudian maka semua itu tidak mengurangi kerajaan-Nya sedikitpun. Sedangkan faktor penyebab timbulnya raja' (harap) ialah kelembutan Allah, kedermawanan-Nya, keluasan ni'mat-Nya, keindahan ciptaan-Nya, dan pengetahuan akan kebenaran janji-Nya. Sedangkan haya' (rasa malu) akan'muncul melalui perasaan serba kurang sempurna dalam beribadah dan pengetahuannya akan ketidakmampuannya dalam menunaikan hak-hak Allah. Rasa malu ini akan semakin kuat dengan mengetahui cacat-cacat dirinya, kekurang-ikhlasannya, keburukan batinnya, dan kecenderungannya kepada perolehan segera (duniawi) dalam semua amal perbuatannya.

Karena itu, obat untuk menghadirkan hati ialah mengusir lintasan-lintasan pikiran tersebut. Sementara itu, sesuatu tidak dapat diusir kecuali dengan mengusir sebab-sebabnya. Hendaklah Anda mengetahui sebabnya dan sebab timbulnya lintasan tersebut. Bisa jadi sebab tersebut berupa perkara eksternal atau perkara batin yang bersifat internal. Sebab eksternal yang tertangkap oleh pendengaran atau nampak oleh penglihatan kadang menarik perhatian utama hingga terbawa dan hanyut kepadanya kemudian pikiran pun terseret kepada hal-hal lainnya secara berantai. Terapinya ialah memutuskan sebab-sebab tersebut; dengan menundukkan pandangannya, atau shalat di ruangan yang gelap, atau tidak meletakkan sesuatu di hadapannya agar tidak mengganggu konsentrasinya, mendekat ke dinding pada waktu shalat agar jangkauan pandangannya tidak terlalu luas, menghindari shalat di jalanan umum, atau di tempat-tempat yang penuh dekorasi, atau di atas hamparan yang penuh gambar. 

Sedangkan sebab-sebab batiniah lebih berat. Siapa yang memiliki berbagai obsesi duniawi maka pikirannya tidak terbatas pada satu aspek saja, tetapi senantiasa berkeliaran dari satu aspek ke aspek yang lain, sehingga menundukkan pandangan tak lagi berguna baginya. Karena apa yang telah bersemayam di hati sebelumnya telah cukup menyibukkannya. Terapi orang ini ialah dengan menarik jiwanya dengan "paksa" untuk memahami apa yang dibacanya dalam shalat dan membuatnya sibuk dengannya dan melupakan yang lainnya. Hal lain yang akan membantunya melakukan hal tersebut ialah mempersiapkan diri sebelum takbiratul ihram dengan menyegarkan jiwa melalui ingatan akan akhirat, posisi munajat, dan urgensi beridiri di hadapan Allah yang Maha Melihat. 

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah dari atas mimbar membuang cincin yang melekat di tangannya seraya bersabda: "Cincin ini menyibukkan aku, sekali memandangnya dan sekali memandang kalian." (Diriwayatkan oleh Nasa'i dan hadits Ibnu Abbas dengan sanad shahih.) Diriwayatkan bahwa Abu Thalhah pernah shalat di dalam kebun kemudian ia tertarik kepada seekor binatang yang terbang di atas pohon yang mencari jalan keluar kemudian Abu Thalhah memperhatikannya sejenak hingga tidak tahu berapa raka'at ia shalat? Kemudian ia menyebutkan kepada Rasulullah saw fitnah yang menimpanya tersebut seraya berkata: "Wahai Rasulullah, kebun itu aku shadaqahkan, maka aturlah sesuai kehendakmu.

Mereka berbuat demikian untuk memutuskan hal yang menjadi bahan pikiran di samping sebagai kafarat bagi kekurang-sempurnaan shalat yang dialaminya. Itulah obat mujarab bagi penyakit tersebut dan tidak ada obat lainnya yang bermanfaat. Adapun upaya penenangan dan ajakan untuk memahami dzikir (bacaan) yang kami sebutkan di atas maka tindakan tersebut hanya bermanfaat bagi syahwat yang lemah dan fokus perhatian yang tidak menyibukkan kecuali pinggiran hati. Sedangkan bagi syahwat yang kuat dan bergejolak, upaya penenangan itu tidak akan bermanfaat sehingga akan senantiasa menariknya dan menarik Anda kemudian mengalahkan Anda dan akhirnya semua shalat Anda hanyut dalam daya tariknya. Sekalipun demikian, tetap harus dilakukan mujahadah, mengembalikan bati kepada shalat, dan mengurangi sebab-sebab yang dapat menyibukkannya.

Kewajiban Anda, jika engkau termasuk orang-orang yang menginginkan akhirat, ialah hendaknya engkau pertama-tama tidak melalaikan berbagai peringatan yang terdapat di dalam syarat-syarat dan rukun-rukun shalat. Syaratsyarat yang mendahului shalat ialah: Adzan, bersuci, menutup aurat, menghadap kiblat, berdiri tegak lurus dan niat. Apabila engkau mendengar seruan mu'adzdzin maka hadirkanlah di dalam hatimu (gambaran tentang) dahsyatnya seruan hari kiamat dan bersegeralah dengan lahir dan batinmu untuk segera memenuhinya; karena orang-orang yang bersegera memenuhi seruan ini adalah orang-orang yang dipanggil dengan penuh lemah lembut pada hari "pagelaran akbar." Arahkanlah hatimu kepada seruan ini.

Adapun bersuci, jika engkau mewujudkannya di tempatmu yang merupakan penutupmu yang paling jauh, di dalam pakaianmu yang merupakan bungkusmu yang paling dekat, dan di dalam permukaan kulitmu yang merupakan kulitmu yang paling dekat, maka janganlah engkau melalaikan hatimu yang merupakan dirimu. Adapun menutup aurat, maka ketahuilah bahwa maknanya ialah menutupi keburukan-keburukan badanmu dari pandangan makhluk, karena lahiriah badanmu merupakan tempat penilaian makhluk. Hadirkanlah keburukankeburukan batin itu di dalam benakmu dan tuntutlah dirimu agar menutupinya, dan pastikan bahwa tidak ada sesuatu atau siapa pun yang dapat menutupi mata Allah. Tetapi keburukan-keburukan itu dapat ditutupi dengan penyesalan, rasa malu dan takut (kepada Allah).

Menghadap kiblat ialah memalingkan lahiriah wajahmu dari seluruh arah ke arah Baitullah. Hal-hal yang lahirriah ini tidak lain adalah cermin gerakan batin, pengendalian anggota badan, dan pemantapannya pada satu arah agar tidak merusak hati; karena apabila halhal lahiriah itu telah rusak dan zhalim dengan berpaling ke berbagai arahnya maka hati akan mengikutinya dan terpalingkan dari Allah. Hendaklah wajah hatimu bersama wajah badanmu. Adapun berdiri tegak lurus, tidak lain adalah cermin diri dan hati di hadapan Allah. Hendaklah kepalamu yang merupakan bagian teratas dari badanmu tertunduk khusyu', dan hendaklah amalan meletakkan kepala (di tanah) dari tempatnya yang tinggi menjadi peringatan atas kewajiban hati untuk tawadhu', merendahkan diri dan menghindari kesombongan.

Sedangkan niat, maka hendaklah engkau bertekad memenuhi perintah Allah untuk menunaikan shalat, menyempurnakannya, menghindari segala hal yang dapat membatalkannya, dan mengikhlaskan semua itu semata-mata karena mencari ridha Allah; berharap pahala dari-Nya dan takut siksa-Nya; demi mendekatkan diri kepada-Nya, dan mengakui karunia-Nya dengan mengizinkan bermunajat kepada-Nya; sekalipun engkau kurang beradab kepada-Nya dan banyak berbuat maksiat terhadap-Nya. Sedangkan takbir, apabila lisanmu mengucapkannya maka hendaklah hatimu tidak mendustakannya. Jika di dalam hatimu ada sesuatu yang lebih besar dari Allah maka Allah menyaksikan bahwa engkau pendusta, sekalipun perkataan itu benar sebagaimana orang-orang munafiq bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah.

Sedangkan do'a istiftah, maka ucapanmu yang pertama kali ialah: "Aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang menciptakan semua langit dan bumi."Wajah yang dimaksudkan bukan wajah lahir, karena wajah lahirmu hanya engkau hadapkan ke arah kiblat, tetapi wajah hati yang dengannnya engkau menghadap kepada Pencipta semua langit dan bumi. Adapun berkenaan dengan tiap bacaan shalat lainnya, maka manusia terbagi menjadi tiga golongan: Pertama, orang yang lidahnya bergerak tetapi hatinya lalai. Kedua, orang yang lidahnya bergerak dan hatinya mengikuti lidah sehingga dapat memahami dan mendengarnya, seolah-olah ia mendengarnya dari orang lain. Bacaan seperti ini merupakan derajat ashhabul yamin. Ketiga, orang hatinya telah terlebih dahulu menyerap nilai-nilai kemudian lidah melayani hati untuk menerjemahkannya.

Seandainya shalatmu tidak mendapatkan apa-apa selain bahwa engkau disebut Allah di dalam-kemuliaan dan keagungan-Nya maka hal itu sudah merupakan perolehan yang sangat besar, maka bagaimana pula dengan pahala dan keutamaan-Nya yang engkau harapkan? Demikian pula engkau harus memahami surat-surat lain yang engkau baca. Janganlah engkau melalaikan perintah, larangan, janji, ancaman, nasehat, berita-berita-Nya tentang para Nabi-Nya dan berbagai karunia dan kebaikan-Nya. Masing-masing darinya memiliki hak. Optimisme adalah hak janji, takut adalah hak ancaman, 'azam adalah hak perintah dan larangan, mengambil pelajaran adalah hak nasehat, syukur adalah hak penyebutan karunia, dan mengambil 'ibrah adalah hak berita-berita tentang para Nabi.

Abdullah bin Waqid berkata, "Aku pernah melihat Ibnu Umar shalat dalam keadaan tidak berdaya. Hatinya pantas terbakar oleh janji dan ancaman Tuhannya, karena ia seorang hamba yang penuh dosa lagi hina di hadapan Tuhan yang Maha Perkasa." Makna-makna ini muncul sesuai dengan tingkat kefahaman, sedangkan kefahaman sangat ditentukan oleh kecukupan ilmu dan kejernihan hati. Tingkatan-tingkatan tersebut tidak ada batasnya. Shalat adalah kunci hati. Di dalam shalat terungkap berbagai rahasia kalimat. Ini adalah hak bacaan, hak dzikir dan tasbih. Kemudian hendaknya dijaga suasana haibah dalam bacaan dengan membaca secara tartil dan tidak terlalu cepat, karena cara baca seperti ini memudahkan untuk perenungan. Hendaknya dibedakan antara intonasi dalam ayat rahmat, adzab, janji, ancaman, pujian, ta'zhim dan sanjungan.

Sebagaimana kepala dan mata harus dijaga agar tidak berpaling ke berbagai arah demikian pula batin (hati) harus dijaga agar tidak berpaling kepada selain shalat. Apabila berpaling kepada selain-Nya maka ingatkanlah kepada pengawasan Allah kepadanya dan betapa buruk sikap mengabaikan Dzat yang dimunajati pada saat orang yang bermunajat itu lalai; agar ia kembali. Usahakanlah kekhusyu'an hati karena keterhindaran dari berpaling secara batin dan zhahir merupakan buah kekhusyu'an. Bila batin khusyu' maka zhahir pun akan khusyu'.

Adapun ketika ruku' dan sujud maka hendaknya engkau memperbarui ingatan akan kesombongan Allah, dan engkau angkat kedua tanganmu seraya memohon perlindungan melalui ampunan Allah dari siksa-Nya, dengan memperbarui niat dan mengikuti sunnah Nabi saw. Kemudianengkau memulai merendahkan dan menundukkan diri dengan melakukan ruku', berusaha keras dalam memperhalus hati dan memperbarui kekhusyu'an, merasakan kehinaanmu dan kemuliaan Rabbmu, meminta bantuan kepada lisanmu untuk mengukuhkan hal itu ke dalam hati, kemudian engkau memuji Allah dan mengakui keagungan-Nya; bahwa Dia lebih Agung dari setiap keagungan, dan engkau ulangi hal itu di dalam hatimu untuk menegaskannya berkali-kali.

Kemudian engkau bangkit dari ruku' seraya mengharap agar Dia melimpahkan rahmat kepadamu, dan engkau tegaskan harapan itu pada dirimu. Kemudian engkau handuk bersujud yang merupakan derajat ketundukan yang paling tinggi, lalu anggota badanmu yang paling berharga -yaitu wajah engkau tempelkan kepada sesuatu yang paling rendah yaitu tanah. Jika memungkinkan, sujudlah langsung ke tanah tanpa alas karena hal ini lebih bisa khusyu' dan bukti yang paling baik atas kerendahan. Jika engkau telah meletakkan dirimu berada pada tempat kerendahan maka ketahuilah bahwa engkau telah meletakkannya di tempat yang tepat dan engkau kembalikan cabang kepada asalnya, karena sesungguhnya engkau diciptakan dari tanah dan akan kembali kepadanya. Kemudian angkatlah kepalamu seraya bertakbir dan memohon keperluanmu. 

Adapun tasyahhud, apabila engkau telah duduk tasyahhud. Maka duduklah dengan penuh adab dan nyatakanlah bahwa semua shalawat dan kebaikan yakni berupa akhlaq yang suci adalah semata-mata milik Allah; demikian pula kerajaan adalah milik Allah. Kemudian berdo'alah di akhir shalatmu dengan do'a yang ma'tsur disertai sikap tawadhu', khusyu', merendahkan diri, dan berharap ijabah kepada-Nya. Sertakanlah kedua orang tuamu dan seluruh kaum Muslimin di dalam do'amu. Pada saat mengucapkan salam tujukanlah kepada para malaikat dan hadirin, dan akhirilah shalat dengannya. Bersyukurlah kepada Allah atas perkenan-Nya untuk menyempurnakan keta'atan ini. Anggaplah bahwa shalatmu ini merupakan shalat terakhir yang bisa jadi engkau tidak mendapatkan kesempatan untuk melakukannya lagi. Kemudian tanamkan rasa malu dan sungkan di dalam hatimu karena berbagai kekurangan dalam menunaikan shalat. Takutlah bahwa shalatmu tidak diterima dan bahwa engkau dimurkai karena dosa yang nyata atau tersembunyi sehingga membuat shalatmu tertolak. Sekalipun demikian berharaplah bahwa Allah akan menerimanya dengan kemurahan dan keutaman-Nya.

Demikianlah rincian shalat orang-orang yang khusyu', yaitu orang-orang yang khusyu' dalam shalat mereka; orang-orang yang senantiasa menjaga shalat mereka; orang-orang yang berkomitmen kepada shalat mereka; orang- orang yang bermunajat kepada Allah seoptimal mungkin dalam 'ubudiyah. Hendaklah seseorang berusaha melakukan shalat yang khusyu' ini. Bila mampu melakukannya seoptimal mungkin maka hendaklah ia bergembira dan bila tidak dapat melakukannya hendaklah ia bersedih hati dan berusaha keras untuk bisa melakukannya. Adapun shalat orang-orang yang lalai maka shalat mereka terancam bahaya kecuali mendapatkan limpahan rahmat Allah yang Mahaluas dan kemurahan-Nya yang melimpah.


Bukan sekedar hal yang harus direnungkan

Astagfirullah, saya benar-benar merasa malu, Mengapa di usia ini baru membaca buku ini? Sejak lama saya mengetahui berbagai kekosongan makna dalam diri. Beberapa tahun mulai mencoba memahami diin dengan baik, tapi tetap saja ada yang kurang. Kekosongan batin dalam melaksanakan berbagai ibadah. Ya, ibadah memang bukan hanya ibadah maghdhah saja, tapi bagaimana mungkin kita dapat melaksanakan ibadah lainnya jika dalam melaksanakan ibadah maghdhah saja kita masih keteteran? Ibadah ini merupakan wujud penyembahan langsung kepada Yang Maha Agung, Sang Raja diRaja, Penguasa Alam Raya, Pencipta Segala yang terindra maupun tidak. Bagaimana mungkin saya dapat meremehkan jenis ibadah ini? Seraya mengangkat kepala dan berusaha membenahi orang lain, padahal diri ini tiada selamat sebelumnya.

Dua tahun berada dalam harakah benar-benar sangat saya syukuri. Saya dapat belajar Islam mulai dari nol, tapi sesungguhnya bukan dari nol saya harus belajar mengenai Diin ini, tetapi dari taraf minus. Saya memahami ada kekosongan jiwa karena beberapa langkah telah melompati tahapan yang seharusnya didahulukan. Saya melompat terlalu jauh, menyombongkan diri dengan berbagai perkara dakwah. Niat untuk berdakwah memang perkara yang mulia. Bahkan dakwah merupakan ibadah yang sangat agung. Tapi bagaimana mungkin saya dapat berdakwah, sedangkan batin ini tiada tersentuh dakwah?

Selama hampir dua puluh satu tahun saya hadir di dunia. Beberapa kali saya merasa lahir kembali. Merangkak keluar dari jurang kenistaan. Tapi tak ada guna lahirnya diri ini kembali. Diri ini begitu bodoh, layaknya keledai yang tergelincir ke dalam lubang yang sama. Setidaknya keledai adalah haiwan seperti haiwan lainnya. Berbeda dengan manusia yang memiliki kesempurnaan akal. Manusialah yang diamanahkan untuk menjadi Pemimpin di Bumi (Khalifah fiil Ard). Sebagai khalifah di bumi yang mendayagunakan potensi bumi, sebelumnya dia harus mampu bertindak sebagai pemimpin dalam dirinya. Setiap manusia harus dapat  menundukkan jiwa haiwani, dan meneguhkan kedudukan jiwa natiqah. 


=) Tak ada maksud dari diri yang bodoh ini untuk mengecilkan karya agung Imam Muhammad Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin ke dalam berbagai ringkasan. Seperti yang telah dikemukakan Sa'id Hawwa dalam BAB Pengantar Tazkiyatun-Nafs, tulisan beliaupun juga tidak bermaksud demikian. Beliau hanya berupaya meringkas kitab ini dan menyesuaikannya dengan problem umat saat itu.

Sesungguhnya amat jahil saya tidak mendahulukan kitab ini dalam perjalanan mencari makna. Bagaimana mungkin ilmu pengenalan dapat diperoleh jika saya sendiripun tiada mengetahui maqam yang harus dilalui untuk mencapainya. Sebagai manusia yang lemah sangat sombong jika saya mendahulukan kitab lain dibandingkan kitab ini. Sekali lagi tak ada maksud dari saya untuk meninggalkan khabbar shaddiq karna itu pastinya perkara utama. Tapi kitab ini memang salah satu kitab utama yang berkedudukan sebagai pembimbing menuju ilmu pengenalan.

Dalam catatan ini, saya tidak mengganti tulisan sama sekali, hanya meringkas dan menyusunnya ke dalam beberapa bahasan. Sebenarnya yang terbaik adalah saya tidak meringkasnya lagi, karna Sa'id Hawwa telah melakukannya dengan sangat hati-hati. Tapi anggap saja tulisan dalam catatan ini sebagai pengantar bagi yang kurang waktu untuk membaca kitab secara keseluruhan. Meski saya sangat menganjurkan setidaknya kita dapat mencicil dan membagi waktu dari kesibukan untuk benar-benar memaknai isi kitab ini. Oya, perlu ditekankan pula, sebagai seorang yang tiada mampu berbahasa Arab dengan baik, saya tidak melakukan penerjemahan atau penukilan dari kitab aslinya. Saya hanya mencoba memulai belajar dari kitab terjemahan terbitan tahun 1997 oleh Rabbani Press. Sedih juga menyatakan ini, tetapi sekali lagi jangan menyerah atau mundur dari pertarungan disebabkan segala keterbatasan. Semoga dengan mulai difahaminya kitab ini dari bahasa Indonesia menjadikan saya semakin semangat lagi belajar dan mendalami bahasa Arab. Aamiin Allahumma aamiin

TUGAS PEMBIMBING DAN PENGAJAR (Tazkiyatun-Nafs Imam Ghazali) Sa'id Hawwa


Pertama, belas kasih kepada murid dan memperlakukannya sebagai anak. Dengan tujuan menyelamatkan mereka dari api akhirat, bahkan ini lebih penting ketimbang penyelamatan kedua orang tua terhadap anaknya dari api dunia. Oleh karena itu, hak guru lebih besar dari hak kedua orang tua. Karena orang tua adalah sebab keberadaan  sekarang dan kehidupan yang fana sedangkan guru adalah sebab kehidupan yang abadi.
Kedua, meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan tidak meminta upah mengajar, tidak bertujuan mencari imbalan ataupun ucapan terima kasih, tetapi mengajar semata-mata karena Allah dan tagarrub kepada-Nya. Juga tidak merasa berjasa atas para murid, sekalipun jasa itu mereka rasakan, tetapi memandang mereka juga memiliki jasa karena mereka telah mengkondisikan hati mereka untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan menanamkan ilmu ke dalamnya.
Ketiga, tidak meninggalkan nasehat kepada murid sama sekali, seperti melarangnya dari usaha untuk beralih kepada suatu tingkatan sebelum berhak menerimanya, dan mendalami ilmu tersembunyi sebelum menguasai ilmu yang jelas. Kemudian mengingatkan murid bahwa tujuan mencari ilmu adalah taqarrub kepada Allah ta 'ala bukan untuk meraih kekuasaan, kedudukan dan persaingan.
Keempat, ini termasuk pelik-pelik tugas mengajar, yaitu mencegah murid dari akhlaq tercela, dengan cara tidak langsung dan terang-terangan sedapat mungkin, dan dengan kasih sayang bukan dengan celaan.
Kelima, guru yang menekuni sebagian ilmu hendaknya tidak mencela ilmu-ilmu yang tidak ditekuninya, Seorang guru yang hanya menekuni satu ilmu harus memperluas wawasan murid pada orang lain, dan jika ia menekuni beberapa ilmu maka harus menjaga pentahapan dalam meningkatkan murid dari satu tingkatan ke tingkatan yang lain.
Keenam, membatasi sesuai kemampuan pemahaman murid; tidak menyampaikan kepadanya apa yang tidak bisa dijangkau oleh kemampuan akalnya agar tidak membuatnya enggan atau memberatkan akalnya, karena meneladani Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam. Hendaknya menyampaikan hal yang sebenarnya apabila diketahui bahwa kemampuan pemahamannya terbatas. Ali ra berkata seraya menunjuk ke dadanya, "Sungguh di sini terdapat banyak ilmu jika ada yang siap membawanya." Ali ra benar, karena hati orang-orang yang sangat baik {al-abrar) adalah kuburan berbagai rahasia. Seorang yang berilmu tidak sepatutnya menyampaikan setiap ilmu yang diketahuinya kepada setiap orang. Hal ini jika masalah itu bisa difahami oleh murid tetapi tidak layak untuk memanfaatkannya, maka apatah lagi menyangkut hal yang tidak bisa difahaminya? Oleh sebab itu dikatakan, "Takarlah setiap orang dengan takaran akalnya, dan timbanglah dia dengan timbangan pemahamannya, agar engkau selamat darinya dan dia bisa mengambil manfaat darimu. Jika tidak, maka akan terjadi penolakan karena perbedaan ukuran. Kezhaliman dalam memberi orang yang tidak berhak bukanlah lebih ringan ketimbang kezhaliman karena tidak memberi orang yang berhak."
Ketujuh, murid yang terbatas kemampuannya sebaiknya disampaikan kepadanya hal-hal yang jelas dan cocok dengannya, dan tidak disebutkan kepadanya bahwa di balik itu ada pendalaman yang tidak bisa disampaikan kepadanya, karena tindakan ini akan mengurangi minatnya terhadap hal-hal yang jelas tersebut, membuat hatinya guncang, dan mengesankan kebakhilan penyampaian ilmu terhadap dirinya; sebab setiap orang meyakini bahwa dirinya layak menerima ilmu yang mendalam.
Kedelapan, hendaknya guru melaksanakan ilmunya; yakni perbuatannya tidak mendustakan perkataannya, karena ilmu diketahui dengan mata hati (bashirah) dan amal diketahui dengan mata, sedangkan orang yang memiliki mata jauh lebih banyak. Ali ra berkata: "Dua orang yang membuat punggungku patah: Orang berilmu yang bermaksiat dan orang bodoh yang banyak beribadah. Orang bodoh ini menipu orang dengan-ibadahnya sedangkan orang yang berilmu tersebut memperdaya mereka dengan maksiatnya."


Adab Murid Terhadap Guru dikutip dari Tazkiyatun-Nafs Imam Ghazali Karya Sa'id Hawwa


Pertama, mendahulukan kesucian jiwa daripada kejelekan akhlaq dan keburukan sifat, karena ilmu adalah ibadahnya hati, shalatnya jiwa, dan peribadatannya batin kepada Allah.
Kedua, mengurangi keterikatannya dengan kesibukan dunia, karena ikatan-ikatan itu menyibukkan dan memalingkan. "Ilmu tidak akan memberikan kepadamu sebagiannya sebelum kamu menyerahkan kepadanya seluruh jiwamu. Jika kamu telah memberikan seluruh jiwamu kepadanya tetapi ia baru memberikan sebagiannya kepadamu maka kamu berarti dalam bahaya." Pikiran yang terpencar pada berbagai hal yang berserakan adalah seperti sungai kecil yang airnya berpencar kemudian sebagiannya diserap tanah dan sebagian lagi dihisap udara sehingga tidak ada yang terkumpul dan sampai ke ladang tanaman.
Ketiga, tidak bersikap sombong kepada orang yang berilmu dan tidak bertindak sewenang-wenang terhadap guru, bahkan ia harus menyerahkan seluruh urusannya kepadanya dan mematuhi nasehatnya seperti orang sakit yang bodoh mematuhi nasehat dokter yang penuh kasih sayang dan mahir. "Ilmu enggan terhadap pemuda yang congkak. Seperti banjir enggan terhadap tempat yang tinggi." Ali ra berkata, "Di antara hak seorang guru ialah kamu tidak banyak bertanya kepadanya, tidak merepotkannya dalam member jawaban, tidak mendesaknya apabila ia malas, tidak memegangi kainnya apabila ia bangkit, tidak menyebarkan rahasianya, tidak menggunjing seseorang di hadapannya, dan tidak mencari-cari kesalahannya; jika ia tergelincir maka kamu terima alasannya. Kamu juga harus menghormatinya dan memuliakannya karena Allah ta'ala selama ia tetap menjaga perintah Allah, dan tidak duduk di hadapannya sekalipun kamu ingin mendahului orang dalam berkhidmat memenuhi keperluannya."
Keempat, orang yang menekuni ilmu pada tahap awal harus menjaga diri dari mendengarkan perselisihan di antara manusia, baik apa yang ditekuninya itu termasuk ilmu dunia ataupun ilmu akhirat.
Kelima, seorang penuntut ilmu tidak boleh meninggalkan suatu cabang ilmu yang terpuji, atau salah satu jenis ilmu, kecuali ia harus mempertimbangkan matang-matang dan memperhatikan tujuan dan maksudnya. Kemudian jika usianya mendukung maka ia berusaha mendalaminya, tetapi jika tidak maka ia harus menekuni yang paling penting di antaranya dan mencukupkan diri dengannya.
Keenam, tidak menekuni semua bidang ilmu secara sekaligus tetapi menjaga urutan dan dimulai dengan yang paling penting. Karena apabila usia. pada ghalibnya, tidak memadai untuk mendapatkan semua ilmu maka seyogyanya ia mengambil yang terbaik dari segala sesuatu dan mencurahkan segenap kekuatannya pada ilmu yang mudah dipelajari sampai menyempurnakan ilmu yang paling mulia yaitu ilmu akhirat.
Ketujuh, hendaklah tidak memasuki suatu cabang ilmu sebelum menguasai cabang ilmu yang sebelumnya; karena ilmu tersusun secara berurut, sebagiannya merupakan jalan bagi sebagian yang lain. Ali ra berkata, "Janganlah kamu mengenali kebenaran melalui orang tetapi kenalilah kebenaran pasti kamu akan mengetahui orangnya."
Kedelapan, hendaklah mengetahui faktor penyebab yang dengannya ia bisa mengetahui ilmu yang paling mulia. Apa yang dimaksudkannya adalah dua hal; pertama kemuliaan hasil; dan kedua kekokohan dan kekuatan dalil.
Kesembilan, hendaklah tujuan murid di dunia adalah untuk menghias dan mempercantik batinnya dengan keutamaan, dan di akhirat adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan meningkatkan diri untuk bisa berdekatan dengan makhluk tertinggi dari kalangan malaikat dan orang-orang yang didekatkan (muqarrabiri).
Kesepuluh, hendaklah mengetahui kaitan ilmu dengan tujuan agar supaya mengutamakan yang tinggi lagi dekat darpada yang jauh, dan yang penting daripada yang lainnya.


Sabtu, 02 Februari 2013

..


Saya takkan datang
Janganlah melihat-lihat
Saya bukanlah sinar matahari di helaian rambut anda
Saya bukanlah bayangan di tanah
Saya bukanlah bisikan angin
Saya bukanlah teman imajiner anda
Saya takkan menemani anda dalam pertarungan
Karena saya hanyalah butiran air asin
Selalu menghentakkan gelombang di kala bulan tersenyum riang

Kembalilah pada istana pasir
Yang mereka bangun sebagai pelindung
Jangan lihat kerapuhannya
Perhatikan saja kesungguhan mereka untuk kembali membangun

Bersembunyilah dibalik angin malam
Jangan perhatikan gelombang

Beristirahatlah, karna anda takkan mengindera air dan tanah membentuk cakrawala
Mereka selalu bersama, tapi selalu terurai.
Merekalah perbatasan dua dunia