Sabtu, 26 Mei 2012

Review Book Bagian III tahun 1220-1291


1220-1291
AKHIR PERANG SALIB?

Ketika pasukan perang Salib ke enam mulai berkumpul di Italia selatan pada bulan Agustus 1227, ada seseorang lelaki di Eropa, seorang Kristen yang penuh komitmen tetapi juga fasih berbicara dalam bahasa Arab, bersurat-suratan dengan sarjana Muslim. Ia berbicara dalam Sembilan bahas dan menulis dalam tujuh bahasa. Orang awam yang satu ini amat tertarik mempelajari bidang matematika, ilmu hukum, filsafat, dan sejarah alam. Ketika kebanyakan kaum Kristen di dorong untuk menerima “kebenaran” secara buta, ia tidak pernah berhenti mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sulit dan mengganggu. Namun, orang ini bukanlah seorang intelektual eksentrik yang tidak jelas. Ia adalah Federick II, bocah dari Apulia, yang menjadi kaisar romawi suci dari barat dan penguasa Silsilia dan Jerman. Orang-orang sezamannya, yang di cengangkan oleh orang ini segera setelah ia muncul di panggung internasional, Stupor Mundi, keajaiban dunia. Pada Federick seluruh harapan Eropa di pusatkan pada tahun 1227. Ketika akhirnya ia memenuhi sumpahnya untuk bergabung dalam perang Salib dan berangkat ke timur untuk memenangkan kembali Yerusalem dari sahabatnya, sultan al-Kamil.
Beberapa orang memandang bakat bahasanya yang luar biasa sebagai tanda dari ilham roh kudus, tapi yang lain memandang bahwa bakat ini seperti tanda setan yang menimbulkan kekacauan bahasa pada menara babel. Berbagai kisah tidak menyenangkan beredar mengenai prilaku Federick yang tidak hanya tidak sesuai dengan ajaran Kristen, tetapi juga terlihat tidak manusiawi. Konon pernah dalam suatu peristiwa ia berdebat dengan seorang pendeta mengenai keabadian jiwa. Untuk membuktikan argumennya, ia memasukan salah seorang murid sang pendeta kedalam sebuah tong dan memaku tong itu, ketika si murid malang itu mati, Federick menunjukan bahwa jiwanya juga pasti mati, karena tidak mungkin jiwanya lari dari tong itu. Beberapa hal penting tentang Federick. Pertama, ia lelaki yang dapat memunculkan kisah-kisah semacam ini karena ia membuyarkan asumsi-asumsi mendasar orang kebanyakan dan terlihat berperilaku begitu lepas dan tidak peduli pada aturan-aturan umum. Kedua, walaupun Federick sering di puji, tentu atas dasar alasan yang cukup tepat, tapi kenyataanya ia begitu ceroboh dan sarjana amatir. Ketiga, Federick siap mengeksploitasi siapapun.
Selama lima puluh tahun terakhir, kaum Kristen Eropa telah diperintahkan oleh gereja untuk tidak melakukan hubungan apapun dengan kaum Muslimin atau Yahudi, dua korban perang Salib. Tetapi Federick di besarkan di dunia Medeterania, tempat berkembangnya sikap yang amat berlainan dengan eropa Kristen. Federick di besarkan di Sisilia, di tempat kaum orang Muslim, orang Normandia, dan orang Jerman hidup damai berdampingan. Federick tumbuh dewasa dalam atmosfer cosmopolitan, yang menjadikanya mustahil untuk percaya hanya pada satu sudut pandang saja. Kebanyakan anak-anak bangsawan di Eropa akan mendapatkan pendidikan monastic yang ketat, tapi Federick di biarkan belajar sendiri. Federick selalu meyakini bahwa pada akhirnya Kristen adalah agama yang benar, tapi itu tidak berarti Federick membenci orang Muslim atau orang-orang Byzantium atau menganggap mereka sebagai kaum kafir atau bid’ah.
Federick telah membuat berbagai persiapan untuk perang Salibnya selama beberapa waktu. Perang Salib Federick yang dilakukan oleh para kesatria Teutonis, akan menjadi perang Salib kaisar dan bukan perang Salib ke pausan. Tahun sebelumya Federick membuat sebuah langkah lain yang tentu saja menggetarkan Eropa yang sedang diliputi gairah untuk bergabung dalam perang Salib. Ia menikahi putri Yolanda, pewaris tahta Acre dan Yerusalem. Nasib gadis enam belas tahun yang malang ini memperlihatkan kekejaman Federick yang dingin. Pada malam penikahan, Federick meniduri sepupu Yolanda dan pada akhirnya mengirimkan Yolanda ke Palerno, tempat ia menghabiskan hidupnya yang merana jauh rumahnya di timur, hingga pada 25 November 1228 ia melahirkan seorang putra, Conrad, yang menjadi pewaris sah tahta Yerusalem dan menjadi cahaya kehidupan bagi ayahnya. Setelah menunaikan tugasnya, Yolanda wafat enam hari setelah melahirkan.
Selama perang Salib ke lima, sultan al-Kamil mendengar banyak pembicaraan mengenai seorang kaisar kuat dari barat yang dalam waktu singkat akan tiba di Mesir. Ia mulai bersurat-suratan dengan Federick. Pada tahun 1227, sang sultan mengusulkan agar Federick berangkat ke timur. Ia baru saja bertengkar dengan saudaranya, al-Muazam, penguasa Damaskus dan Yerusalem, dan berkata pada Federick bahwa ia akan amat senang membantu Federick menaklukan Yerusalem dan merebutnya dari saudaranya. Ini kabar baik bagi Federick, yang baru saja di ancam oleh Georgy untuk di kucilkan jika gagal memenuhi sumpahnya untuk bergabung dalam perang Salib. Penaklukan Yerusalem akan murni sebagai formalitas, pikirnya, penobatan tahta sebagai raja Yerusalem akan memberinya gengsi di barat dan akan meningkatkan posisinya dalam melawan Paus.
Tentara Salib berlayar dengan 3.000 ksatria dan 10.000 peziarah. Tapi cuaca panas dan jumlah peserta rombongan Salib yang begitu banyak menyebabkan menyebarnya penyakit malaria. Federick sendiri menjadi sakit dan di paksa untuk berhenti di Otranto, sementara tentara Salib lainnya berlayar ke Acre tanpa dirinya.
Ketika Federick sakit, al-Muazam wafat, meninggalkan Damaskus kepada putranya yang masih amat muda dan tidak berpengalaman, al-Nashir. Kini tampaknya al-Kamil mampu menaklukan seluruh Palestina dan Suriah tanpa membuat perjanjian yang tidak popular dengan mengembalikan al-Qudus kepada kaum Kristen. Tetapi al-Kamil seorang lelaki terhormat dan terus merasa berkewajiban untuk menepati janjinya pada Federick jika ia memang mampu.
Perjanjian itu pastilah merupakan salah satu pencapaian diplomatis yang luar biasa sepanjang waktu. Tanpa sekalipun memerangi kaum Muslimin, Federick berhasil merebut kembali Yerusalem. Dengan cara bekerja sama dalam kesepakatan damai, ia berhasil mencapai sebuah hasil yang tidak dapat di capai oleh tentara Salib barat ketika mereka berkekuatan luar biasa.
Al-Kamil mengalami kesulitan yang lebih besar. Segera setelah perjanjian itu diumumkan, kata ibn Washil, “negeri-negeri Islam tersapu oleh sebuah badai yang luar biasa.” Orang-orang membanjiri jalanan di Baghdad, Mosul, dan Aleppo, dan pada berbagai pertemuan di masjid-masjid, al-Kamil dikutuk sebagai penghianat Islam. Tetapi Federick tidak merasa terganggu oleh ratapan-ratapan ini, Federick bergerak ke Yerusalem untuk penobatannya, ia langsung naik ke altar, mengambil mahkota dan memasangkannya ke kepalannya sendiri. Setelah penobatan, Federick pergi ke bukit kuil untuk mengunjungi tempat-tempat suci kaum Muslimin. Ketika ia melihat pendeta memasuki masjid dengan memegang perjanjian baru, Federick memukulinnya:” demi Tuhan, jika salah satu dari kalian berani masuk kesini lagi tanpa izin, aku akan mencungkil matanya!”.
Perjanjian-perjanjian damai yang ia buat membangkitkan sauvinisme-religius-lama yang telah membantu kehancuran kerajaan Yerusalem pada tahun 1187. Namun demikian, Federick tidak di tolak oleh semua orang di Eropa, meskipun ia tetaplah seoerang yang controversial hingga ia wafat pada tahun 1250 pada usia 57 tahun. Gairah yang di ilhamkan oleh Federicck berarti bahwa walaupun ia tidak dapat memenuhi satupun harapan ini, segera setelah kematiannya pada tahun 1250, timbul sebuah kepercayaan bahwa ia akan kembali dan menyelamatkan dunia. Ia akan menjadi seorang messiah Kristen, yang akan bertempur atas nama kaum miskin, menjugkalkan orang-orang berkuasa dari tahta mereka dan menumbangkan Paus serta para gerejawan kaya yang akan menjadi aib dunia Kristen, karena mereka menindas kaum miskin Kristen. Ia menunjukan bahwa mungkin saja untuk hidup dan menghormati kaum Muslim. Harus di akui bahwa ia bersedia mengeksploitasi kaum Muslim jika memang menguntungkan baginya. Tapi pada waktu itu kebanyakan orang telah kukuh berkomitmen untuk membenci kaum Muslim maupun kaum Yahudi.
Pada tahun-tahun sesudah kematian Federick, para pendukungnya menjadi kaum bid’ah dan pemberontak. Sementara itu, para musuh Federick menjadi kaum mapan. Sikap tidak toleran terhadap kaum Muslim menjadi sebuah kebiasaan yang mustahil di tiadakan di Eropa. Lebih banyak lagi sarjana yang menulis tentang Islam dan Nabi Muhammad selama abad ke -13 yang membawa kebencian ini ke Eropa. Para sarjana Kristen tidak dapat memahami bagaimana Muhammad dapat mendorong ketaatan yang setia di dunia Arab begitu rupa, dan arena itu para sarjana menampilkannya sebagai seorang penipu atau tukang sihir yang mahir, yang menampilkan “mukjizat” palsu sehingga memukau orang-orang Arab yang berpikiran sederhana. Para sarjana abad ke -13 betul-betul tidak mampu memandang Islam diluar konteks Kristen barat. Mereka masih meyakini, misalnya, bahwa Muhammad itu seorang bid’ah Kristen yang membentuk sebuah sekte-Kristen baru.
Pada saat yang bersamaan, kebencian orang-orang Eropa terhadap kaum Yahudi selama abad ke-13 mengalami perkembangan baru. Pada tahun 1243, di dekat Berlin, kaum Yahudi untuk pertama kalinya di tuduh mencuri ekaristi dari gereja-gereja dan meremukan biscuit hingga hancur. Tak ada yang mampu berfikir rasional bahwa, karena kaum Yahudi jelas tidak mempercayai bahwa Yesus hadir dalam ekaristi, tentu mereka tidak terlalu tertarik untuk mendobrak masuk ke dalam gereja dan menodai roti perjamuan kudus yang telah di berkati.
Raja Louis IX tidak lebih berbeda dari Federick. Oleh kebanyakan orang Eropa ia di angggap sebagai model sempurna raja Kristen dan sebuah contoh mengenai teladan kaum Kristen pada abad ke -13. Louis di anggap sebagai seorang santo oleh anggapan masyarakat umum dan di kanonisasi oleh greja mapan yang resmi. Walaupun ia sering berperilaku kejam, berpikiran sempit, dan kerdil, ia masih di sebut sebagai “St. Louis “. Jika Federick menampilkan dirinya sebagai seorang penguasa yang kaya dan eksotis, Louis menampilkan kehidupan yang jauh lebih sederhana. Yang paling spektakuler dari pencapaian seni bangunanya adalah La Sainte Chapelle di istana kerajaanya yang megah, yang mulai ia bangun di awal tahun 1240-an. Bahwa kuil itu dibangun untuk mengagungkan kesucian Tuhan. Tapi kita harus ingat bahwa itu merupakan salah satu karya dari perang Salib. Tanpa pertumpahan darah, kekerasan dan penghancuran, yang terjadi dalam perang Salib, kapel itu tidak akan pernah di bangun.
Pada tahun 1244, dunia Kristen mendengar kabar menakutkan bahwa kaum Kristen telah kehilangan kerajaan Yerusalem sekali lagi. Dinasti Turki Khwarazmi telah di usir dari Asia tengah oleh gerombolan tentara Mongol, dan tiba-tiba berperilaku kejam dan tak terkendali, kabur ke arah barat untuk pergi sejauh mungkin dari kaum Mongol yang sangat mengerikan, sambil menghancurkan kota-kota dalam kepanikan mereka. Hilangnya Yerusalem adalah sebuah trauma dan ancaman yang lazim bagi keutuhan dunia Kristen. Pada tahun itu, Louis jatuh sakit di Paris.
Harapan menyingsing kembali dan tiga saudara Louis serta kebanyakan kaum bangsawan juga mengambil Salib. Dengan seorang santo yang telah disahkan gereja sebagai kepala tentara Tuhan, terasa bahwa perang Salib ketujuh tidak mungkin gagal. Louis ingin menjadikan perang Salib kembali pada prinsip-prinsip fundamentalnya. Pastinya tidak ada perjanjian dengan kaum kafir dan tentaranya akan sesaleh perang salib pertama.Louis kembali ke semangat perang Salib pertama, yang berdoa seakan semua persoalan tergantung pada Tuhan, tapi bertempur dan berencana dengan seluruh keahlian-manusiawi yang dapat mereka kerahkan.
Pada bulan Mei, tentara Louis yang modern dan terbekalli dengan baik berlayar dari Siprus ke Demiette di Mesir. Ia tiba di Mesir dengan momen yang sangat menguntungkan. Sultan sedang di ambang kematian dan putranya serta pewarisnya, Turanshah, sedang berada jauh dari jazirah. Karena itu, ada peluang yang amat baik bagi terjadinya sebuah revolusi di istana. Kaum Muslim kekurangan rasa percaya diri dalam periode yang buruk ini, sehingga para warga dan pasukan langsung kabur dari Damietta. Dengan demikian, tentara Salib dapat menduduki kota itu tanpa pertempuran sedikitpun. Sultan yang sedang diambang kematian memberi tawaran yang sama seperti tawaran ayahnya, Al-Kamil, tiga puluh tahun sebelumnya: ia akan mengembalikan Yerusalem kepada kaum Kristen jika Louis mau meninggalkan Mesir. Tentu saja Louis menolak perjanjian dengan kaum kafir dan dengan penuh percaya diri menunggu air sungai Nil surut untuk melanjutkan oprasi perangnya.
Situasi terjepit yang baru dirasakan ini menumbuhkan tekad yang kuat, cara berfikir yang realistis, dan keliahaian politis dikalangan kaum Muslim, yang pada akhirnya akan terbukti unggul melampaui tindakan kepahlawanan perang Salib yang lumayan ketinggalan zaman. Kaum Muslim menyiapkan diri untuk pertempuran yang akan menjelang. Ketika sultan akhirnya meninggal tiga hari kemudian, sultan Shazar al-Dur bertindak dengan tangkas dan efisien dengan merahasiakan kematian sultan. Pada malam tanggal 8 Februari 1250, tentara Salib berhasil menyebrangi kanal yang memisahkan mereka dari perkemahan Mesir, melakukan serangan mendadak dan membuat musuh kocar-kacir. Louis dan tentara utama berhasil menahan kaum Muslim dan bertahan dibekas perkemahan tentara Mesir. Namun, mereka tidak cukup kuat untuk merebut kota yang telah dilengkapi dengan mesin perang yang jauh lebih baik dari yang mereka miliki. Tentara Salib menetap hingga delapan minggu di luar Mansurah. Pada tanggal 11 Februari, kaum Muslim menyerang perkemahan itu dan menjatuhkan banyak korban. Turanshah tiba dan tidak terjadi refolusi di istana. Armada Mesir memotong suplai makanan dan kelaparan menghantui perkemahan yang dengan segera disusul dengan wabah penyakit. Ekspedisi yang begitu megah itu kemudian menjelma menjadi sebuah mimpi buruk.
Setelah Louis menghadapi kenyataan yang sedemikian rupa, ia akhirnya menawarkan perundingan dengan sultan Turanshah. Tapi terlambat, karna orang Mesir sangat tahu bahwa posisi Louis sedang berada diujung tanduk. Keadaan menjadi tanpa harapan. Pada awal April, Louis dan para pejabatnya memutuskan untuk mundur. Dimata John dari Joinville, kaum Muslim terlihat menjadi manusia biasa. Ia mengenang kebaikan seorang prajurit Muslim tua yang biasa menggendong tentara Salib yang sakit ke kakus di punggungnya setiap hari.
Pada akhirnya, syarat-syarat pun disepakati: istri Louis, ratu Margareth dan para ksatria kuil berhasil mengumpulkan jutaan besant untuk pembebasan raja dan sebagian besar tawanan. Pada tanggal 6 Mei, Damietta diserahkan kembali kepada kaum Muslim dan tentara Salib yang sakit dan kelelahan dilayarkan kembali ke Acre. Selama dua tahun kemudian, Louis dan sejumlah Baron dari Prancis bertahan ditanah suci, membangun dan memperbaiki benteng-benteng. Perang Salib para insinyur berakhir sebagai sebuah proyek pembangunan. Kekalahan mutlak pada perang Salib ketujuh memperjelas bagi banyak orang betapa mustahil menaklukan Yerusalem dari Islam dan perang Salib semestinya ditinggalkan: setelah tahun 1250, perang Salib baginya terlihat sebagai sebuah tindakan yang tidak berguna dan hanya seperti melakukan keasyikan yang tak bermanfaat.
Setelah kaum Mongol menaklukan Gaza, mereka tentu saja mengincar Mesir. Seorang  utusan menghadap sultan Mamluk untuk membawa perintah agar menyerah. Setelah utusan itu selesai berbicara, sultan begitu saja memenggal kepada utusan tersebut. Kini muncul sebuah sikap kasar baru pada jiwa kaum Muslim pada bulan Juli 1260, Qutuz menyerbu Palestina, karena menyadaari bahwa inilah kesempatan terakhir bagi Islam. Pada saat itu beberapa baron di Acre, mekiupun tidak demikaian dengan para baron di Antiokhia, menjadi sadar sepenuhnya akan kebrutalan-kaum Mongol yang biadab. Walaupun mereka tidak mau bertempur bersama tentara Muslim, mereka setuju untuk tidak menyerang kaum Mamluk. Ketika sebuah revolusi pecah di Damaskus pada akhir bulan Agustus, Qutuz punya waktu untuk menempatkan pasukannya dengan amat hati-hati di Ain jalut di Galilea. Pada tanggal 3 September, kedua tentara itu betemu. Dengan sebuah taktik jebakan yang brilian, kaum Mamluk mengalahkan dan membantai seluruh tentara Mongol. Pertempuran ini, yang sebenarnya telah mengubah sejarah, menandai berakhirnya supermasi kaum Mongol. Sungguh kekalahan yang ironis bagi harapan Louis. Bukannya kaum Mongol yang menyelamatkan kaum Kristen dari ancaman Islam, justru kaum Muslimlah yang menyelamatkan dunia Kristen dari kaum Mongol. Bukannya kaum Mongol beralih menjadi agama Kristen, mereka akhirnya menetap di Persia dan Palestina serta menjadi pemeluk Islam.   
Hanya dua bulan setelah kemenangan besar di Ain Jalut, Baibars, pahlawan pertempuran Mansurah, membunuh qutuz dan menjadi sultan Malmuk. Ini benar-benar Islam yang baru. Trauma pada tahun-tahun terakhir sebelum kejadian itu telah menghasilkan sebuah kekejaman yang dingin dan tekad yang nekat untuk bertahan hidup. Itulah perang Salib terakhir. Kegagalan kaum Kristen ini kemudian mengantarkan munculnya pertanyaan tentang integritas iman Kristiani. Apakah Tuhan telah meninggalkna umat pilihan-Nya? Apa makna keberhasilan baru kaum Muslim itu? Namun, pada akhirnya kaum Kristen ditimur lah yang terbukti menjadi musuh terburuk mereka di Suriah. Tapi, ketika Baibars wafat, sultan Qalaur, penerusnya, terlihat ingin menjalankan kemauannya sendiri dengan bersahabat dengan kaum Frank. Pada tahun 1183, ia mamperbaharui perjanjian yang telah ia buat anatara Baibars dan kaum Frank, Acre, Athlit, dan Sidon hidup damai dengan para tetangga kaum Muslim mereka.
Sultan mendesak kaum Muslim memanfaatkan Acre sebagai pelabuhan dagang. Kota itu tak pernah begitu sibuknya dan bahkan begitu makmurnya tapi ada sebuah partai agresif yang berfaham Sauvinisme religius. Mereka mendesak raja Hendry agar meminta Paus untuk sekali lagi melakukan perang Salib. Pada tahun 1290, sebuah armada perang Salib dari Italia berlayar menuju pelabuhan Acre. Tentara Salib itu dibekali perbekalan yang dipenuhi minuman beralkohol. Pada saat itu Acre telah dikuasai oleh kegilaan perang Salib dan menolak untuk melakukan perdamaian apapun. Tentara Muslim meninggalkan Kairo pada tanggal 4 November 1290. Namun, keesokan harinya Qalaun yang telah berusia 77 tahun wafat dan digantikan oleh anaknya Al-Asyraf Khalil. Pada bulan Maret 1291, tentara itu berangkat kembali dan kali ini mencapai Acre. Akhirnya pada tanggal 17 Juni kaum Muslimin menerobos kota. Sekali lagi kaum Kristen berjumpa dengan sikap permusuhan kaum Muslim yang tak kenal kompromi. Para tawanan yang menyerah dengan niat baik dengan tanpa ampun dipenggal. Para lelaki semuanya dibunuh, membunuh bayi-bayi yang digendong ibu mereka dan membantai perempuan hamil. Para sejarahwan Muslim kontemporer memandang adanya sebuah lingkaran setan dari semua kejadian ini. Kaum Muslim menaklukan Acre dari kaum Kristen pada 17 Djumadil akhir.
Inilah mungkin akibat paling tragis dari perang Salib. Kekerasan tentara Salib pada tahun 1099 telah membuat negeri dunia Muslim di timur dekat. Kini di Acre, kaum Kristen mengalami kekejaman kaum Muslim yang baru yang telah mereka tanamkan diwilayah itu. Dalam pandangan ini, serbuan kaum Muslim ke Palestina bukianlah sebuah lingkaran mekanis, tetapi hanya masalah sebab akibat. Kaum Frank itu ingin mengusir kaum Muslim dari kota-kota mereka dan menaklukkan negeri mereka. Karena itu, kaum Muslim harus menyerang kembali hingga keadaan yang membahayakan itu lenyap.
Petualangan perang Salib yang dahsyat telah usai. Impian tersebut memakan waktu amat lama untuk menemui kematiannya. Selama hampir dua ratus tahun, saat barat menemukan jiwanya, perang Salib tetap menjadi gairah utama. Jutaan kaum Yahudi, Kristen, dan Muslim tewas dalam berbagai perang suci biadab ini. Tentara Salib telah membantai dan mengusir kaum Yahudi dan kaum Muslim dari rumah mereka, tapi pada akhirnya meraka terusir akibat fanatisme mereka sendiri. Kaum Muslim kini menguasai seluruh timur dekat dan wilayah penting Anatolia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar