1220-1291
AKHIR
PERANG SALIB?
Ketika pasukan perang Salib
ke enam mulai berkumpul di Italia selatan pada bulan Agustus 1227, ada
seseorang lelaki di Eropa, seorang Kristen yang penuh komitmen tetapi juga
fasih berbicara dalam bahasa Arab, bersurat-suratan dengan sarjana Muslim. Ia
berbicara dalam Sembilan bahas dan menulis dalam tujuh bahasa. Orang awam yang
satu ini amat tertarik mempelajari bidang matematika, ilmu hukum, filsafat, dan
sejarah alam. Ketika kebanyakan kaum Kristen di dorong untuk menerima
“kebenaran” secara buta, ia tidak pernah berhenti mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang sulit dan mengganggu. Namun, orang ini bukanlah
seorang intelektual eksentrik yang tidak jelas. Ia adalah Federick II, bocah
dari Apulia, yang menjadi kaisar romawi suci dari barat dan penguasa Silsilia
dan Jerman. Orang-orang sezamannya, yang di cengangkan oleh orang ini segera
setelah ia muncul di panggung internasional, Stupor Mundi, keajaiban dunia.
Pada Federick seluruh harapan Eropa di pusatkan pada tahun 1227. Ketika
akhirnya ia memenuhi sumpahnya untuk bergabung dalam perang Salib dan berangkat
ke timur untuk memenangkan kembali Yerusalem dari sahabatnya, sultan al-Kamil.
Beberapa orang
memandang bakat bahasanya yang luar biasa sebagai tanda dari ilham roh kudus,
tapi yang lain memandang bahwa bakat ini seperti tanda setan yang menimbulkan
kekacauan bahasa pada menara babel. Berbagai kisah tidak menyenangkan beredar
mengenai prilaku Federick yang tidak hanya tidak sesuai dengan ajaran Kristen,
tetapi juga terlihat tidak manusiawi. Konon pernah dalam suatu peristiwa ia
berdebat dengan seorang pendeta mengenai keabadian jiwa. Untuk membuktikan
argumennya, ia memasukan salah seorang murid sang pendeta kedalam sebuah tong
dan memaku tong itu, ketika si murid malang itu mati, Federick menunjukan bahwa
jiwanya juga pasti mati, karena tidak mungkin jiwanya lari dari tong itu.
Beberapa hal penting tentang Federick. Pertama, ia lelaki yang dapat
memunculkan kisah-kisah semacam ini karena ia membuyarkan asumsi-asumsi
mendasar orang kebanyakan dan terlihat berperilaku begitu lepas dan tidak
peduli pada aturan-aturan umum. Kedua, walaupun Federick sering di puji, tentu
atas dasar alasan yang cukup tepat, tapi kenyataanya ia begitu ceroboh dan
sarjana amatir. Ketiga, Federick siap mengeksploitasi siapapun.
Selama lima puluh tahun
terakhir, kaum Kristen Eropa telah diperintahkan oleh gereja untuk tidak
melakukan hubungan apapun dengan kaum Muslimin atau Yahudi, dua korban perang
Salib. Tetapi Federick di besarkan di dunia Medeterania, tempat berkembangnya
sikap yang amat berlainan dengan eropa Kristen. Federick di besarkan di
Sisilia, di tempat kaum orang Muslim, orang Normandia, dan orang Jerman hidup
damai berdampingan. Federick tumbuh dewasa dalam atmosfer cosmopolitan, yang
menjadikanya mustahil untuk percaya hanya pada satu sudut pandang saja. Kebanyakan
anak-anak bangsawan di Eropa akan mendapatkan pendidikan monastic yang ketat,
tapi Federick di biarkan belajar sendiri. Federick selalu meyakini bahwa pada
akhirnya Kristen adalah agama yang benar, tapi itu tidak berarti Federick
membenci orang Muslim atau orang-orang Byzantium atau menganggap mereka sebagai
kaum kafir atau bid’ah.
Federick telah membuat
berbagai persiapan untuk perang Salibnya selama beberapa waktu. Perang Salib Federick
yang dilakukan oleh para kesatria Teutonis, akan menjadi perang Salib kaisar
dan bukan perang Salib ke pausan. Tahun sebelumya Federick membuat sebuah
langkah lain yang tentu saja menggetarkan Eropa yang sedang diliputi gairah
untuk bergabung dalam perang Salib. Ia menikahi putri Yolanda, pewaris tahta
Acre dan Yerusalem. Nasib gadis enam belas tahun yang malang ini memperlihatkan
kekejaman Federick yang dingin. Pada malam penikahan, Federick meniduri sepupu
Yolanda dan pada akhirnya mengirimkan Yolanda ke Palerno, tempat ia
menghabiskan hidupnya yang merana jauh rumahnya di timur, hingga pada 25 November
1228 ia melahirkan seorang putra, Conrad, yang menjadi pewaris sah tahta Yerusalem
dan menjadi cahaya kehidupan bagi ayahnya. Setelah menunaikan tugasnya, Yolanda
wafat enam hari setelah melahirkan.
Selama perang Salib ke
lima, sultan al-Kamil mendengar banyak pembicaraan mengenai seorang kaisar kuat
dari barat yang dalam waktu singkat akan tiba di Mesir. Ia mulai
bersurat-suratan dengan Federick. Pada tahun 1227, sang sultan mengusulkan agar
Federick berangkat ke timur. Ia baru saja bertengkar dengan saudaranya, al-Muazam,
penguasa Damaskus dan Yerusalem, dan berkata pada Federick bahwa ia akan amat
senang membantu Federick menaklukan Yerusalem dan merebutnya dari saudaranya.
Ini kabar baik bagi Federick, yang baru saja di ancam oleh Georgy untuk di
kucilkan jika gagal memenuhi sumpahnya untuk bergabung dalam perang Salib. Penaklukan
Yerusalem akan murni sebagai formalitas, pikirnya, penobatan tahta sebagai raja
Yerusalem akan memberinya gengsi di barat dan akan meningkatkan posisinya dalam
melawan Paus.
Tentara Salib berlayar
dengan 3.000 ksatria dan 10.000 peziarah. Tapi cuaca panas dan jumlah peserta
rombongan Salib yang begitu banyak menyebabkan menyebarnya penyakit malaria.
Federick sendiri menjadi sakit dan di paksa untuk berhenti di Otranto, sementara
tentara Salib lainnya berlayar ke Acre tanpa dirinya.
Ketika Federick sakit,
al-Muazam wafat, meninggalkan Damaskus kepada putranya yang masih amat muda dan
tidak berpengalaman, al-Nashir. Kini tampaknya al-Kamil mampu menaklukan
seluruh Palestina dan Suriah tanpa membuat perjanjian yang tidak popular dengan
mengembalikan al-Qudus kepada kaum Kristen. Tetapi al-Kamil seorang lelaki terhormat
dan terus merasa berkewajiban untuk menepati janjinya pada Federick jika ia
memang mampu.
Perjanjian itu pastilah
merupakan salah satu pencapaian diplomatis yang luar biasa sepanjang waktu. Tanpa
sekalipun memerangi kaum Muslimin, Federick berhasil merebut kembali Yerusalem.
Dengan cara bekerja sama dalam kesepakatan damai, ia berhasil mencapai sebuah
hasil yang tidak dapat di capai oleh tentara Salib barat ketika mereka
berkekuatan luar biasa.
Al-Kamil mengalami
kesulitan yang lebih besar. Segera setelah perjanjian itu diumumkan, kata ibn
Washil, “negeri-negeri Islam tersapu oleh sebuah badai yang luar biasa.”
Orang-orang membanjiri jalanan di Baghdad, Mosul, dan Aleppo, dan pada berbagai
pertemuan di masjid-masjid, al-Kamil dikutuk sebagai penghianat Islam. Tetapi Federick
tidak merasa terganggu oleh ratapan-ratapan ini, Federick bergerak ke Yerusalem
untuk penobatannya, ia langsung naik ke altar, mengambil mahkota dan memasangkannya
ke kepalannya sendiri. Setelah penobatan, Federick pergi ke bukit kuil untuk
mengunjungi tempat-tempat suci kaum Muslimin. Ketika ia melihat pendeta
memasuki masjid dengan memegang perjanjian baru, Federick memukulinnya:” demi Tuhan,
jika salah satu dari kalian berani masuk kesini lagi tanpa izin, aku akan
mencungkil matanya!”.
Perjanjian-perjanjian
damai yang ia buat membangkitkan sauvinisme-religius-lama yang telah membantu
kehancuran kerajaan Yerusalem pada tahun 1187. Namun demikian, Federick tidak
di tolak oleh semua orang di Eropa, meskipun ia tetaplah seoerang yang controversial
hingga ia wafat pada tahun 1250 pada usia 57 tahun. Gairah yang di ilhamkan
oleh Federicck berarti bahwa walaupun ia tidak dapat memenuhi satupun harapan ini,
segera setelah kematiannya pada tahun 1250, timbul sebuah kepercayaan bahwa ia
akan kembali dan menyelamatkan dunia. Ia akan menjadi seorang messiah Kristen,
yang akan bertempur atas nama kaum miskin, menjugkalkan orang-orang berkuasa
dari tahta mereka dan menumbangkan Paus serta para gerejawan kaya yang akan
menjadi aib dunia Kristen, karena mereka menindas kaum miskin Kristen. Ia
menunjukan bahwa mungkin saja untuk hidup dan menghormati kaum Muslim. Harus di
akui bahwa ia bersedia mengeksploitasi kaum Muslim jika memang menguntungkan
baginya. Tapi pada waktu itu kebanyakan orang telah kukuh berkomitmen untuk
membenci kaum Muslim maupun kaum Yahudi.
Pada tahun-tahun
sesudah kematian Federick, para pendukungnya menjadi kaum bid’ah dan pemberontak.
Sementara itu, para musuh Federick menjadi kaum mapan. Sikap tidak toleran
terhadap kaum Muslim menjadi sebuah kebiasaan yang mustahil di tiadakan di Eropa.
Lebih banyak lagi sarjana yang menulis tentang Islam dan Nabi Muhammad selama
abad ke -13 yang membawa kebencian ini ke Eropa. Para sarjana Kristen tidak
dapat memahami bagaimana Muhammad dapat mendorong ketaatan yang setia di dunia Arab
begitu rupa, dan arena itu para sarjana menampilkannya sebagai seorang penipu
atau tukang sihir yang mahir, yang menampilkan “mukjizat” palsu sehingga
memukau orang-orang Arab yang berpikiran sederhana. Para sarjana abad ke -13
betul-betul tidak mampu memandang Islam diluar konteks Kristen barat. Mereka
masih meyakini, misalnya, bahwa Muhammad itu seorang bid’ah Kristen yang
membentuk sebuah sekte-Kristen baru.
Pada saat yang
bersamaan, kebencian orang-orang Eropa terhadap kaum Yahudi selama abad ke-13
mengalami perkembangan baru. Pada tahun 1243, di dekat Berlin, kaum Yahudi
untuk pertama kalinya di tuduh mencuri ekaristi dari gereja-gereja dan
meremukan biscuit hingga hancur. Tak ada yang mampu berfikir rasional bahwa,
karena kaum Yahudi jelas tidak mempercayai bahwa Yesus hadir dalam ekaristi,
tentu mereka tidak terlalu tertarik untuk mendobrak masuk ke dalam gereja dan
menodai roti perjamuan kudus yang telah di berkati.
Raja Louis IX tidak
lebih berbeda dari Federick. Oleh kebanyakan orang Eropa ia di angggap sebagai
model sempurna raja Kristen dan sebuah contoh mengenai teladan kaum Kristen
pada abad ke -13. Louis di anggap sebagai seorang santo oleh anggapan
masyarakat umum dan di kanonisasi oleh greja mapan yang resmi. Walaupun ia
sering berperilaku kejam, berpikiran sempit, dan kerdil, ia masih di sebut
sebagai “St. Louis “. Jika Federick menampilkan dirinya sebagai seorang penguasa
yang kaya dan eksotis, Louis menampilkan kehidupan yang jauh lebih sederhana.
Yang paling spektakuler dari pencapaian seni bangunanya adalah La Sainte
Chapelle di istana kerajaanya yang megah, yang mulai ia bangun di awal tahun
1240-an. Bahwa kuil itu dibangun untuk mengagungkan kesucian Tuhan. Tapi kita
harus ingat bahwa itu merupakan salah satu karya dari perang Salib. Tanpa
pertumpahan darah, kekerasan dan penghancuran, yang terjadi dalam perang Salib,
kapel itu tidak akan pernah di bangun.
Pada tahun 1244, dunia
Kristen mendengar kabar menakutkan bahwa kaum Kristen telah kehilangan kerajaan
Yerusalem sekali lagi. Dinasti Turki Khwarazmi telah di usir dari Asia tengah
oleh gerombolan tentara Mongol, dan tiba-tiba berperilaku kejam dan tak
terkendali, kabur ke arah barat untuk pergi sejauh mungkin dari kaum Mongol
yang sangat mengerikan, sambil menghancurkan kota-kota dalam kepanikan mereka.
Hilangnya Yerusalem adalah sebuah trauma dan ancaman yang lazim bagi keutuhan
dunia Kristen. Pada tahun itu, Louis jatuh sakit di Paris.
Harapan menyingsing
kembali dan tiga saudara Louis serta kebanyakan kaum bangsawan juga mengambil Salib.
Dengan seorang santo yang telah disahkan gereja sebagai kepala tentara Tuhan,
terasa bahwa perang Salib ketujuh tidak mungkin gagal. Louis ingin menjadikan
perang Salib kembali pada prinsip-prinsip fundamentalnya. Pastinya tidak ada
perjanjian dengan kaum kafir dan tentaranya akan sesaleh perang salib pertama.Louis
kembali ke semangat perang Salib pertama, yang berdoa seakan semua persoalan
tergantung pada Tuhan, tapi bertempur dan berencana dengan seluruh
keahlian-manusiawi yang dapat mereka kerahkan.
Pada bulan Mei, tentara
Louis yang modern dan terbekalli dengan baik berlayar dari Siprus ke Demiette
di Mesir. Ia tiba di Mesir dengan momen yang sangat menguntungkan. Sultan
sedang di ambang kematian dan putranya serta pewarisnya, Turanshah, sedang
berada jauh dari jazirah. Karena itu, ada peluang yang amat baik bagi
terjadinya sebuah revolusi di istana. Kaum Muslim kekurangan rasa percaya diri
dalam periode yang buruk ini, sehingga para warga dan pasukan langsung kabur
dari Damietta. Dengan demikian, tentara Salib dapat menduduki kota itu tanpa
pertempuran sedikitpun. Sultan yang sedang diambang kematian memberi tawaran
yang sama seperti tawaran ayahnya, Al-Kamil, tiga puluh tahun sebelumnya: ia
akan mengembalikan Yerusalem kepada kaum Kristen jika Louis mau meninggalkan
Mesir. Tentu saja Louis menolak perjanjian dengan kaum kafir dan dengan penuh
percaya diri menunggu air sungai Nil surut untuk melanjutkan oprasi perangnya.
Situasi terjepit yang
baru dirasakan ini menumbuhkan tekad yang kuat, cara berfikir yang realistis,
dan keliahaian politis dikalangan kaum Muslim, yang pada akhirnya akan terbukti
unggul melampaui tindakan kepahlawanan perang Salib yang lumayan ketinggalan
zaman. Kaum Muslim menyiapkan diri untuk pertempuran yang akan menjelang.
Ketika sultan akhirnya meninggal tiga hari kemudian, sultan Shazar al-Dur
bertindak dengan tangkas dan efisien dengan merahasiakan kematian sultan. Pada
malam tanggal 8 Februari 1250, tentara Salib berhasil menyebrangi kanal yang
memisahkan mereka dari perkemahan Mesir, melakukan serangan mendadak dan
membuat musuh kocar-kacir. Louis dan tentara utama berhasil menahan kaum Muslim
dan bertahan dibekas perkemahan tentara Mesir. Namun, mereka tidak cukup kuat
untuk merebut kota yang telah dilengkapi dengan mesin perang yang jauh lebih
baik dari yang mereka miliki. Tentara Salib menetap hingga delapan minggu di
luar Mansurah. Pada tanggal 11 Februari, kaum Muslim menyerang perkemahan itu
dan menjatuhkan banyak korban. Turanshah tiba dan tidak terjadi refolusi di
istana. Armada Mesir memotong suplai makanan dan kelaparan menghantui
perkemahan yang dengan segera disusul dengan wabah penyakit. Ekspedisi yang
begitu megah itu kemudian menjelma menjadi sebuah mimpi buruk.
Setelah Louis
menghadapi kenyataan yang sedemikian rupa, ia akhirnya menawarkan perundingan
dengan sultan Turanshah. Tapi terlambat, karna orang Mesir sangat tahu bahwa
posisi Louis sedang berada diujung tanduk. Keadaan menjadi tanpa harapan. Pada
awal April, Louis dan para pejabatnya memutuskan untuk mundur. Dimata John dari
Joinville, kaum Muslim terlihat menjadi manusia biasa. Ia mengenang kebaikan
seorang prajurit Muslim tua yang biasa menggendong tentara Salib yang sakit ke
kakus di punggungnya setiap hari.
Pada akhirnya,
syarat-syarat pun disepakati: istri Louis, ratu Margareth dan para ksatria kuil
berhasil mengumpulkan jutaan besant untuk pembebasan raja dan sebagian besar
tawanan. Pada tanggal 6 Mei, Damietta diserahkan kembali kepada kaum Muslim dan
tentara Salib yang sakit dan kelelahan dilayarkan kembali ke Acre. Selama dua
tahun kemudian, Louis dan sejumlah Baron dari Prancis bertahan ditanah suci,
membangun dan memperbaiki benteng-benteng. Perang Salib para insinyur berakhir
sebagai sebuah proyek pembangunan. Kekalahan mutlak pada perang Salib ketujuh
memperjelas bagi banyak orang betapa mustahil menaklukan Yerusalem dari Islam
dan perang Salib semestinya ditinggalkan: setelah tahun 1250, perang Salib
baginya terlihat sebagai sebuah tindakan yang tidak berguna dan hanya seperti
melakukan keasyikan yang tak bermanfaat.
Setelah kaum Mongol
menaklukan Gaza, mereka tentu saja mengincar Mesir. Seorang utusan menghadap sultan Mamluk untuk membawa
perintah agar menyerah. Setelah utusan itu selesai berbicara, sultan begitu
saja memenggal kepada utusan tersebut. Kini muncul sebuah sikap kasar baru pada
jiwa kaum Muslim pada bulan Juli 1260, Qutuz menyerbu Palestina, karena
menyadaari bahwa inilah kesempatan terakhir bagi Islam. Pada saat itu beberapa
baron di Acre, mekiupun tidak demikaian dengan para baron di Antiokhia, menjadi
sadar sepenuhnya akan kebrutalan-kaum Mongol yang biadab. Walaupun mereka tidak
mau bertempur bersama tentara Muslim, mereka setuju untuk tidak menyerang kaum
Mamluk. Ketika sebuah revolusi pecah di Damaskus pada akhir bulan Agustus,
Qutuz punya waktu untuk menempatkan pasukannya dengan amat hati-hati di Ain
jalut di Galilea. Pada tanggal 3 September, kedua tentara itu betemu. Dengan
sebuah taktik jebakan yang brilian, kaum Mamluk mengalahkan dan membantai
seluruh tentara Mongol. Pertempuran ini, yang sebenarnya telah mengubah
sejarah, menandai berakhirnya supermasi kaum Mongol. Sungguh kekalahan yang
ironis bagi harapan Louis. Bukannya kaum Mongol yang menyelamatkan kaum Kristen
dari ancaman Islam, justru kaum Muslimlah yang menyelamatkan dunia Kristen dari
kaum Mongol. Bukannya kaum Mongol beralih menjadi agama Kristen, mereka akhirnya
menetap di Persia dan Palestina serta menjadi pemeluk Islam.
Hanya dua bulan setelah
kemenangan besar di Ain Jalut, Baibars, pahlawan pertempuran Mansurah, membunuh
qutuz dan menjadi sultan Malmuk. Ini benar-benar Islam yang baru. Trauma pada
tahun-tahun terakhir sebelum kejadian itu telah menghasilkan sebuah kekejaman
yang dingin dan tekad yang nekat untuk bertahan hidup. Itulah perang Salib
terakhir. Kegagalan kaum Kristen ini kemudian mengantarkan munculnya pertanyaan
tentang integritas iman Kristiani. Apakah Tuhan telah meninggalkna umat
pilihan-Nya? Apa makna keberhasilan baru kaum Muslim itu? Namun, pada akhirnya
kaum Kristen ditimur lah yang terbukti menjadi musuh terburuk mereka di Suriah.
Tapi, ketika Baibars wafat, sultan Qalaur, penerusnya, terlihat ingin
menjalankan kemauannya sendiri dengan bersahabat dengan kaum Frank. Pada tahun
1183, ia mamperbaharui perjanjian yang telah ia buat anatara Baibars dan kaum
Frank, Acre, Athlit, dan Sidon hidup damai dengan para tetangga kaum Muslim
mereka.
Sultan mendesak kaum Muslim
memanfaatkan Acre sebagai pelabuhan dagang. Kota itu tak pernah begitu sibuknya
dan bahkan begitu makmurnya tapi ada sebuah partai agresif yang berfaham
Sauvinisme religius. Mereka mendesak raja Hendry agar meminta Paus untuk sekali
lagi melakukan perang Salib. Pada tahun 1290, sebuah armada perang Salib dari
Italia berlayar menuju pelabuhan Acre. Tentara Salib itu dibekali perbekalan
yang dipenuhi minuman beralkohol. Pada saat itu Acre telah dikuasai oleh
kegilaan perang Salib dan menolak untuk melakukan perdamaian apapun. Tentara Muslim
meninggalkan Kairo pada tanggal 4 November 1290. Namun, keesokan harinya Qalaun
yang telah berusia 77 tahun wafat dan digantikan oleh anaknya Al-Asyraf Khalil.
Pada bulan Maret 1291, tentara itu berangkat kembali dan kali ini mencapai
Acre. Akhirnya pada tanggal 17 Juni kaum Muslimin menerobos kota. Sekali lagi
kaum Kristen berjumpa dengan sikap permusuhan kaum Muslim yang tak kenal
kompromi. Para tawanan yang menyerah dengan niat baik dengan tanpa ampun
dipenggal. Para lelaki semuanya dibunuh, membunuh bayi-bayi yang digendong ibu
mereka dan membantai perempuan hamil. Para sejarahwan Muslim kontemporer
memandang adanya sebuah lingkaran setan dari semua kejadian ini. Kaum Muslim
menaklukan Acre dari kaum Kristen pada 17 Djumadil akhir.
Inilah mungkin akibat
paling tragis dari perang Salib. Kekerasan tentara Salib pada tahun 1099 telah
membuat negeri dunia Muslim di timur dekat. Kini di Acre, kaum Kristen
mengalami kekejaman kaum Muslim yang baru yang telah mereka tanamkan diwilayah
itu. Dalam pandangan ini, serbuan kaum Muslim ke Palestina bukianlah sebuah
lingkaran mekanis, tetapi hanya masalah sebab akibat. Kaum Frank itu ingin
mengusir kaum Muslim dari kota-kota mereka dan menaklukkan negeri mereka.
Karena itu, kaum Muslim harus menyerang kembali hingga keadaan yang
membahayakan itu lenyap.
Petualangan perang Salib
yang dahsyat telah usai. Impian tersebut memakan waktu amat lama untuk menemui
kematiannya. Selama hampir dua ratus tahun, saat barat menemukan jiwanya,
perang Salib tetap menjadi gairah utama. Jutaan kaum Yahudi, Kristen, dan
Muslim tewas dalam berbagai perang suci biadab ini. Tentara Salib telah
membantai dan mengusir kaum Yahudi dan kaum Muslim dari rumah mereka, tapi pada
akhirnya meraka terusir akibat fanatisme mereka sendiri. Kaum Muslim kini
menguasai seluruh timur dekat dan wilayah penting Anatolia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar