BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dewasa ini,
sering terdengar istilah ketimpangan gender. Istilah
tersebut akan selalu dimaknai sebagai ketertindasan, diskriminasi,
ketertinggalan dan banyak istilah lain, yang semuanya dialamatkan kepada sosok
perempuan. Pernyataan ini memang sangat logis. Karena bagaimanapun, perempuan memiliki sumber daya yang sangat besar, bahkan jauh
melampaui laki-laki. Namun,
pada kenyataannya tidak banyak perempuan yang mampu berbicara dalam masyarakat.
hal ini tidak lain karena dominasi laki-laki dalam segala aspek kehidupan, baik
di lingkungan keluarga, masyarakat secara umum, ataupun dalam skala besar di
suatu Negara. Hal ini melahirkan kesan, adanya ketidakadilan dan diskriminasi
terhadap kaum perempuan. Dan terkadang, istilah
ketimpangan gender tersebut selalu dikait-kaitkan dengan agama. Selain itu, mereka dalam hal ini kaum feminis berusaha
mencari legitimasi bahwa argumentasi yang berkaitan dengan ketidakadilan bagi
kaum perempuan, harus dikaji ulang. Mereka beralasan,
al-Qur’an meletakkan laki-laki dan perempuan dalam kesetaraan. Tidak ada yang
diunggulkan antara yang satu dan yang lain.
Dalam
Islam, antara laki-laki dan perempuan adalah setara, yang membedakan keduanya
adalah siapa yang paling taqwa kepada Allah Swt. Keduanya mutlak ada saling kecenderungan dan saling
menentramkan. Dengan adanya saling cenderung dan saling
memberikan ketentraman tersebut, akan tercipta sebuah kelangsungan hidup yang
saling melengkapi antara satu dan yang lain. Hal ini pula yang akan membantu
manusia mencapai tujuan penciptannya, yaitu beribadah kepada Allah. Dengan tujuan yang sama tersebut, lahirlah sebuah
kemitraan antara keduanya, dan kemitraan tersebut
menjadi akar keserasian antara laki-laki dan perempuan. Karena Allah
menciptakan mereka sebagai mitra yang serasi, yang diberi tanggung jawab untuk
melestarikan jenis manusia dan memelihara kehidupan. Keduanya bertanggung jawab
mengelola alam semesta beserta seluruh isinya.
Dengan perbedaan makna dan pemahaman terhadap kesetaraan dan keserasian gender,
muncul masalah dalam pemahaman tersebut. Apakah kesetaraan itu sejalan dengan
misi al-Qur’an, ataukah justru yang dimaksudkan al-Qur’an adalah keserasian,
yang juga kesetaraan. Karena tidak dapat dipungkiri, banyak ayat al-Qur’an yang
mengangkat masalah kedudukan antara laki-laki dan perempuan adalah sama, namun tidak berarti persamaan tersebut bermaksud
kesetaraan antara keduanya dalam segala aspek. Bagaimanakah para ulama Islam
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang dianggap sebagai argumentasi kesetaraan.
Karena bagaimanapun, wacana kesetaraan gender sebenaranya justru akan banyak
merugikan kaum perempuan itu sendiri. Karena memang
konsep kesetaraan itu sendiri masih menjadi perdebatan panjang sampai saat ini. Namun, jika kesetaraan yang dimaksud dimaknai sebagai
keserasian, maka misi al-Qur’an pun terlaksana.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konsep kesetaan gender tersebut kurang
tepat dalam Islam. Berbeda dengan konsep keserasian, yang menempatkan laki-laki
dan perempuan menurut porsi masing-masing. Baik dalam hak maupun kewajiban. Dengan keserasian dan adanya keterikatan antara yang satu
dan yang lain, tercipta sebuah keharmonisan, karena kedua mahluk tersebut
memang tercipta untuk saling melengkapi. Bukan untuk saling mendahului ataupun
saling menjatuhkan. Dalam konteks ini, adil atau setara bukan harus berarti
sama atau sejajar 50/50, namun adanya ikatan yang
kemudian melahirkan keserasian dan keharmonisan antara kedua mahluk tersebut.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis kemukakan, rumusan masalah yang dapat
penulis susun adalah sebagai berikut.
1.
Apakah definisi feminisme, latar belakang,
serta tujuan adanya gerakan ini?
2.
Apakah faktor penyebab lahirnya gerakan
feminisme?
3.
Apakah ajaran Islam bertentangan dan melanggar
hak-hak kaum perempuan?
4.
Bagaimana ajaran Islam mengatur masalah
keserasian laki-laki dan wanita?
5.
Bagaimana kedudukan wanita dalam ajaran Islam
yang benar?
6.
Apakah gerakan feminisme relevan dengan ajaran
Islam karena bersumber dari pergolakan budaya Barat?
7.
Bagaimana konsep kepemimpinan pria dalam Islam?
C.
Tujuan
Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, yang telah
penulis kemukakan, maka tujuan penulisan essay ini adalah.
1.
Mengetahui definisi feminisme, latar belakang, serta
tujuan adanya gerakan ini.
2.
Mengetahui faktor penyebab lahirnya gerakan
feminisme.
3.
Mengetahui apakah ajaran Islam bertentangan dan
melanggar hak-hak kaum perempuan.
4.
Mengetahui apakah ajaran Islam mengatur masalah
keserasian laki-laki dan wanita.
5.
Mengetahui bagaimana kedudukan wanita dalam
ajaran Islam yang benar.
6. Mengetahui apakah
gerakan feminisme relevan dengan ajaran Islam karena bersumber dari pergolakan
budaya Barat.
7. Mengetahui
konsep kepemimpinan pria dalam Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
Konsep yang menjadi basis wacana gender ini
terutamanya berasal dari masyarakat Barat yang telah lama mengalami problem
hubungan antara wanita dan pria. Konsep itu terbentuk dari protes para wanita
dalam sebuah gerakan yang disebut gerakan feminism.
Istilah feminisme berasal dari dari bahasa Latin femina, perempuan. Konon dari kata fides dan minus menjadi
fe-minus. Dalam buku Wiches Hammer
yang ditulis oleh dua orang Inquisitor Diminican, yang diulas ulang oleh Ruth
Tucker dan Walter L Liefeld dalam buku berjudul Daughter of the Chruch.
“The very word to describe woman, femina, according to the authors (of
Whiches Hammer) is derive from fe and
minus or fides minus, interpreted asa less in faith”. Kata yang paling tepat
dalam mendeskripsikan wanita, femina,
menurut pengarang (Whiches Hammer) adalah berasal dari kata fe dan minus atau fides minus,
yang dapat diartikan lemah dalam iman.
Terlepas apakah dasar etimologis kata femina
itu benar atau sekedar olok-olok , yang jelas perempuan di Barat dalam
sejarahnya memang diperlakukan seperti orang kurang iman. Sedangkan lawan
katanya yakni masculine “Masculinus”
atau “masculinity” tidak juga berarti penuh iman tapi justru strength of sexuality. Tidak heran jika
wanita di Barat pada masa lalu menjadi korban penyiksaan atas kesalahan dalam
beragama dan juga pemerkosaan. Jika kondisi tersebut merupakan faktor penting
dalam melahirkan wacana dan bahkan teori feminisme dan gender, maka dapat
disimpulkan bahwa keduanya merupakan konstruk sosial masyarakat Barat yang misi
utamanya adalah mengembangkan kesetaraan (equality).
A.
Wanita
di Barat
Mari kita lihat kondisi Barat (dalam
hal ini Eropa) pada abad pertengahan, yaitu saat suara-suara feminis mulai
terdengar. Pada abad pertengahan, gereja berperan sebagai sebagai sentral
kekuatan dan Paus sebagai pemimpin gereja, menempatkan dirinya sebagai pusat
dan sumber kekuasaan. Sampai abad ke-17, gereja masih tetap mempertahankan
posisi hegemoninya, berbagai hal yang dapat menggoyahkan otoritas dan
legitimasi gereja dianggap sebagai heresy[1]
dan dihadapkan ke Mahkamah Inquisisi. Nasib perempuan Barat tak luput dari
kekejian doktrin-doktrin gereja yang ekstrim dan tidak sesuai dengan kodrat
manusia. Pada dekade 1560 dan 1648 banyak studi spiritual yang dilakukan untuk
memperbaharui konsep Saint Paul’s tentang perempuan, yaitu perempuan dianggap
sebagai sumber dosa dan merupakan mahluk kelas dua di dunia ini. Walaupun
beberapa pendapat pribadi dan hukum publik yang berhubungan dengan status
perempuan di Barat cukup bervariasi, tetapi terdapat bukti-bukti kuat yang
mengindikasikan bahwa perempuan telah dianggap sebagai mahluk inferior.
Maududi berpendapat, ada dua doktrin
dasar gereja yang membuat kedudukan wanita di Barat abad pertengahan tak
ubahnya seperti binatang:
1. Gereja
menganggap wanita sebagai ibu dari dosa yang berakar dari setan jahat.
2. Wanitalah
yang menjerumuskan pria ke dalam dosa dan kejahatan, dan memuntunnya ke neraka
(kisah Adam dan Hawa).
Doktrin gereja lainnya yang menentang kodrat manusia
dan memberatkan kaum wanita adalah menganggap hubungan seksual antara pria dan
wanita adalah peristiwa kotor, meskipun sudah dalam ikatan pernikahan sah. Hal
ini berakibat bahwa menghindari pernikahan adalah simbol kesucian, kemurnian
dan ketinggian moral. Pada awal abad ke-17, yang merupakan abad pencerahan bagi
kaum feminis, saat Bacon menulis esainya tentang kondisi perempuan Inggris yang
pada saat itu mengalami kehidupan sulit dan keras. Hal ini dapat dilihat dari
kehidupan Ratu Elizabeth. Pada saat itu yang bertindak sebagai penguasa adalah
Raja James I, dan ternyata dia sangat membenci wanita. Pembunuhan dan
pembakaran terhadap wanita yang dituduh sebagai ‘nenek sihir’, yang dipelopori
oleh pendeta, pada dasarnya merupakan ekspresi anti perempuan. Jelaslah,
penindasan terhadap perempuan Barat di bawah pemerintahan gereja membuat
suara-suara perempuan yang menginginkan kebebasan semakin menggema di
mana-mana.
B.
Wanita
di Bawah Kekuasaan Marxisme
Jika di Barat wanita
terkungkung dengan doktrin-doktrin gereja, maka lain halnya dengan wanita di
bawah kepemimpinan paham Marxis, dimana mereka mempermasalahkan struktur sosial
yang berkembang di masyarakat pada masa itu. Menurut mereka ketimpangan gender
antara pria dan wanita, tidak disebabkan oleh faktor biologis atau pemberian
Tuhan, tetapi merupakan bagian dari penindasan dari kelas yang berkuasa
terhadap kaum tertindas yang diterapkan dalam konsep keluarga. Seperti menurut
Clara Zetkin (1857-1933) dan Rossa Luxemburg (1871-1919) adanya struktur
masyarakat pada masa itu disebabkan terutamanya oleh perbedaan status sosial
antara pria dan wanita. Itulah sebabnya Marxisme mempersoalkan hubungan
pria-wanita, suami-istri serta institusi rumah tangga.
C.
Wanita
di Bawah Kepemimpinan Islam
Mari kita tengok sekelumit kisah
salah seorang Sahabat. Diriwayatkan bahwa seorang pria mendatangi Umar bin
Khattab r.a, hendak mengadukan akhlak istrinya. Sesampainya di sana, dia
berdiri dan menunggu di depan pintu. Tiba-tiba dia mendengar istri Umar sedang
memarahi beliau. Umar pun hanya terdiam, tidak membalas omelan dari istrinya.
Lelaki itu pun pulang dan berkata pada dirinya: “Jika saja Amirul Mukminin
seperti ini, lalu bagaimana dengan diriku?” Tidak lama berselang, Umar keluar
dan melihat lelaki itu sedang meninggalkan rumahnya, lalu memanggilnya: ”Apa
keperluanmu?” Dia menjawab: “Wahai Amirul Mukminin, saya datang bermaksud untuk
mengadukan akhlak istriku yang suka memarahiku kepadamu. Lalu kemudian aku
mendengar istrimu tengah memarahimu. Maka aku berkata pada diriku sendiri:
“jika Amirul Mukminin saja sabar menghadapi omelan istrinya, lalu mengapa saya
harus mengeluh?” Maka Umar berkata: “Wahai saudaraku, sesungguhnya saya
bersabar karena memang istriku mempunyai hak atasku. Dialah yang telah memasak
untukku, mencuci pakaianku dan menyusui anakku, padahal kesemuanya itu tidak
diwajibkan atasnya. Disamping itu, dia telah mendamaikan hatiku untuk tidak
terjerumus ke dalam perbuatan yang diharamkan. Oleh karena itu aku bersabar
atas semua pengorbanannya”. “Wahai Amirul Mukminin, istriku pun demikian”, kata
lelaki tadi. Maka Umar pun menasehatinya: “Bersabarlah wahai Saudaraku, karena
omelan istrimu itu hanya sebentar”. Begitulah kira-kira kedudukan wanita dalam
Islam, sehingga sang khalifah pun memberikan contoh teladan yang baik dalam
berinteraksi dengan mereka.
Namun
amat disayangkan, seiring perkembangan zaman Islam justru seringkali dikaitkan
dengan isu diskriminasi terhadap wanita. Hal ini disebabkan oleh yang terjadi
di sebagian negara yang membawa nama Islam. Semisalnya ada larangan mufti Mesir
al-Syekh Hasanayn Muhammad Makhluf pada tahun 1952 tentang keterlibatan kaum
wanita dalam segala bentuk aktifitas umum serta membatasi mereka dengan
aktifitas dalam rumah saja, walau bagaimana pun fatwa ini menimbulkan
kontroversi di kalangan ulama sendiri. Kemudian juga pemerintah Taliban yang
suatu ketika telah menafikan hak pendidikan bagi wanita. Selanjutnya di
Pakistan, terdapatnya hak wali untuk memaksa anak perempuannya menikah dengan
orang yang tidak dikenali.
Ada sebagian umat Islam yang mempertahankan
tindakan-tindakan tersebut, atas dasar telah diputuskan oleh ulama mereka
dengan bersandarkan terhadap kitab-kitab fiqih. Dampak selanjutnya adalah,
banyak kalangan cendekiawan muslim justru berpandangan bahwa feminism merupakan
pendekatan baru yang lebih relevan dengan perkembangan zaman.
D.
Dasar
Pemikiran Feminisme
Pada mulanya para
feminis menggunakan isu “hak” dan “kesetaraan” perempuan sebagai landasan
perjuangannya, tetapi feminisme akhir 1960-an menggunakan istilah “penindasan”
dan “kebebasan” yang kemudian feminisme menyatakan dirinya sebagai “gerakan
pembebasan perempuan”. Secara umum kelahiran feminisme dibagi menjadi tiga
gelombang yang mengangkat isu yang berbeda-beda.
Gelombang
pertama.
Ditandai dengan publikasi Mary
Wollstonecraft yang berjudul “Vindication
of the Rights of Women” tahun 1792 dia mendeskripsikan bahwa kerusakan
psikologis dan ekonomi yang dialami perempuan disebabkan oleh ketergantungan
perempuan secara ekonomi kepada laki-laki dan peminggiran perempuan dari
ruang public. Perhatian feminis gelombang pertama adalah memperoleh hak-hak
politik dan kesempatan ekonomi yang setara bagi kaum perempuan. Feminis
berargumentasi bahwa perempuan memiliki kapasitas rasio yang sama dengan
laki-laki. Akhirnya pada pada tahun 1920, perempuan berhasil mendapatkan hak
pilihnya dalam pemilu. Bukan hanya itu kaum feminis juga juga berhasil
memenangkan hak kepemilikan bagi kaum perempuan, kebebasan reproduksi yang
lebih dan akses yang lebih besar dalam bidang pendidikan dan profesional.
|
Teori
– Teori Feminisme Gelombang Pertama
Feminism Liberal
Manusia adalah otonom yang dipimpin oleh
akal. Dengan akal manusia mampu untuk memahami prinsip-prinsip moralitas,
kebebasan individu. Prinsip-prinsip ini juga menjamin hak-hak inividu. Isu
yang mereka angkat: akses pendidikan dan kebijakan Negara yang bias gender,
hak-hak sipil, politik.
Feminisme Radikal
System seks atau gender merupakan dasar
penindasan terhadap perempuan. Isu yang mereka angkat: adanya seksisme,
masyarakat patriarki[2],
hak-hak reproduksi, hubungan kekuasaan antara pria-wanita.
Feminism Marxis
Materialism historis Marx yang mengatakan
bahwa modus produksi kehidupan material mengkondisikan proses umum kehidupan
social, politik dan intelektual. Bukan kesadaran yang menentukan eksistensi
sesorang tetapi eksistensi social mereka yang menentukan kesadaran mereka.
Isu yang mereka angkat: ketimpangan ekonomi, kepemilikan property, keluarga
dan kehidupan domestic di bawah kapitalisme dan kampanye pengupahan kerja
domestic.
|
Feminis
Gelombang Kedua
Pada tahun 1949 ditandai dengan munculnya
publikasi dari Simone de Beauvoir’s The
Second Sex. Dia berargumen bahwa perbedaan gender bukan berakar dari
biologi, tetapi memang sengaja diciptakan untuk memperkuat penindasan
terhadap kaum perempuan. bagi feminis gelombang ke-2 kesetaraan politik dan
hukum tidak cukup untuk mengakhiri penindasan terhadap kaum perempuan. dalam
sudut pandang mereka, penindasan sexist
tidak hanya berakar pada hukum dan politik, tetapi penyebabnya adalah
penanamannya pada setiap aspek kehidupan social manusia, termasuk ekonomi,
politik dan perencanaan social, serta norma-norma, kebiasaan, interaksi
sehari-hari dan hubungan personal. Feminism gelombang ke-2 juga mulai
menggugat institusi pernikahan, motherhood,
hubungan lawan jenis (heterosexual relationship), sexualitas perempuan dll.
Mereka berjuang keras untuk mengubah secara radikal setiap aspek dari
kehidupan politik dan pribadi.
|
Teori
–Teori Feminisme Gelombang Kedua
Feminisme
Psikoanalisa
Penjelasan mendasar penindasan perempuan
terletak pada psyche (jiwa/psikis)
perempuan, cara perempuan berpikir. Isu yang mereka angkat: egosentrisme
laki-laki yang menganggap perempuan menderita “penis envy” , dual parenting.
|
Feminis
Gelombang Ketiga
Dimulai
pada tahun 1980 yang menginginkan keragaman perempuan atau keragaman secara
umum, secara khusus dalam teori feminis dan politik. Sebagai contoh kulit
berwarna dipertahankan ketika dahulu pengalaman, kepentingan dan perhatian
mereka tidak terwakili oleh feminis gelombang ke-2 yang didominasi oleh oleh
wanita kulit putih kelas menengah. Sebagai contoh ketertindasan perempuan
kulit putih kelas menengah berbeda secara signifikan dengan penindasan yang
yang dialami oleh perempuan kulit hitam Amerika. Ketertindasan perempuan
heterosexual berbeda dengan ketertindasan yang dialami oleh kaum lesbi dsb.
|
Teori
–Teori Feminisme Gelombang Ketiga
Feminism Postmodern
Seperti aliran postmodernisme menolak
pemikiran phalogosentris[3].
Feminism
Multikultural
Sejalan dengan filsafat postmodern tetapi
lebih menekankan kajian cultural. Penindasan terhadap perempuan tidak dapat
hanya dijelaskan lewat patriarki tetapi
ada keterhubungan masalah dengan ras, etnisitas, dsb. Di dalam feminism
global bukan hanya ras dan etnisitas, tetapi juga hasil kolonialisme dan
dikotomi “dunia pertama” dan “dunia ketiga”.
|
Pada awal kemunculannya
feminisme tampak seperti gerakan reaktif terhadap penindasan gereja, tetapi
perkembangannya di kemudian hari memperlihatkan akar dari gerakan ini adalah
paham relativisme yang menganggap bahwa benar atau salah, baik atau buruk tidak
bersifat mutlak, tetapi beragam dan bias, berubah-ubah tergantung pada
individu, lingkungan maupun kondisi. Salah satu efek dari paham relativisme
yang dianut oleh kaum feminis, adalah menyuburkan praktik-praktik homoseksual
dalam masyarakat, karena apa yang dulu dianggap salah, kini dengan dalih
penghormatan terhadap HAM, telah berubah menjadi kebenaran.
Menurut pendapat Chris Beasly, lesbian merupakan
antithesis paling jelas dari patriarki yang menjadi warna utama pada doktrin
gereja. Selain itu Garnets juga berpendapat bahwa kaum lesbian pada umumnya
mengalami perasaan bebas dari ikatan hambatan-hambatan peran gender. Pasangan
lesbian mampu menciptakan pola hubungan baru dan dapat mengurangi kekuatan yang
tidak berimbang yang terkadang ditemukan dalam hubungan tradisional
heteroseksual. Begitulah pandangan kaum feminis terhadap kaum lesbian, kini
gerakan feminis juga telah memunculkan masalah-masalah sosial baru, dengan
menyuburkan praktik homoseksual, perzinahan dan juga seks di luar nikah. Pada
akhirnya gerakan feminis juga telah menjaukan wanita dari hangatnya keluarga.
Kaum perempuan terlalu sibuk mengejar karir untuk membuktikan eksistensi
mereka. Banyak dari mereka yang kemudian mengalami depresi dan masalah
psikologi lainnya karena melawan kodrat dan nalurinya sebagai perempuan.
E.
Feminis
Muslim
Seperti yang telah disampaikan
sebelumnya bahwa kini isu feminisme mulai masuk ke wilayah Islam. Banyak
cendekiawan muslim yang melihatnya sebagai pendekatan baru dalam studi Islam.
Istilah feminis muslim mulai diperkenalkan dan digunakan pada tahun 1990-an.
Diantara tokoh yang pernah menggunakan istilah tersebut adalah Afsaneh
Najmabedeh dan Ziba Mir-Hosseini dari Tehran, Yesim Arat dari Turki serta Mai
Yamani dari Saudi melalui bukunya Feminisme
and Islam yang diterbitkan pada tahun 1996. Sedangkan Mesir yang dikatakan
sebagai tempat terlahirnya feminis muslim terkenal dengan tokohnya Huda
Shaarawi yang mendirikan The Egyptian
Feminis Union pada 1923. Pada dasarnya asas dan pemikiran mereka sama
dengan feminis Barat. Namun demikian, tidak semua secara terbuka merasa nyaman
menisbahkan atau mengaitkan diri mereka dengan perjuangan feminis muslim.
Prioritas misi kebanyakan kaum
feminis muslim adalah merekonstruksi hukum-hukum agama berkaitan dengan wanita
khusunya hukum keluarga dengan menilai dan menganalisa ulang teks agama,
al-Quran dan al-Sunnah, serta menafsirkannya dari perspektif yang berbeda
dengan penafsiran klasik (ijtihad dan tafsir). Feminis muslim mendakwa bahwa
prinsip keadilan dan kesetaraan yang ditekankan oleh al-Quran tidak terlaksana
disebabkan para mufassirin yang umumnya pria telah menghasilkan tafsir al-Quran
yang mendukung doktrin yang mengangkat martabat kaum pria dan menjustifikasi
superioritas kaum pria. Feminis muslim juga berpendapat bahwa terdapat bias gender (footnote) yang kental dalam
hukum-hukum syariah yang diambil dari hadist-hadist Rasulullah SAW atas alasan
perawi hadist yang terdiri dari kalangan Sahabat adalah pria yang tidak dapat
membebaskan diri dari pengaruh amalan patriarki. Pada praktiknya feminis muslim
justru bertindak antagonis terhadap beberapa hukum dalam al-Quran yang
berkaitan dengan wanita.
F.
Kesalahan
Feminis Muslim
Penyimpangan pemikiran yang
dilakukan oleh feminis muslim disebabkan adanya perbedaan cara pandang. Bagi
feminis, cara pandang mereka telah terwarnai oleh kaca mata Barat, sehingga
mereka memaknai Islam dengan cara yang berbeda. Semisalnya pada contoh kasus
yang sering mereka permasalahkan yakni masyarakat patriarki. Menurut Hibah Rauf
Izzat, konsep patriarki tidak dikenal dan tidak ada dalam masyarakat Islam.
Konsep ini sebenarnya diperkenalkan oleh penulis-penulis Barat untuk
menggambarkan masyarakat Islam tanpa memahami institusi keluarga dan masyarakat
dalam Islam. Istilah patriarki pada asalnya digunakan untuk menggambarkan
sistem kekuasaan bapak yang mutlak sifatnya terhadap anggota keluarganya.
Istilah ini juga berkaitan dengan istilah ‘familia’
yang dalam bahasa Latin bermakna ladang dan harta pemilikan bagi seorang bapak.
Dengan demikian konsep tersebut tidak sesuai dinisbahkan kepada ajaran Islam
dan hukum Islam.
Di Barat, dalam
perkembangannya, kaum feminis berusaha merombak metode penafsiran Bible,
mengingat penindasan perempuan di Barat merupakan akibat penerapan
doktrin-doktrin gereja yang bersumber dari Bible. Metode yang mereka gunakan
dikenal dengan metode hermeneutika. Menurut kaum feminis muslim, penafsiran
teks al-Quran oleh para mufassirin telah terpengaruh oleh budaya patriarki yang
berkembang di lingkungan para mufassirin. Sehingga perlu adanya metode penafsiran
baru, penafsiran dengan cara yang sama seperti yang digunakan para feminis di
Barat dalam menafsirkan Bible. Namun tidak semudah itu, ada 2 hal yang perlu
diperhatikan dalam hal ini:
1.
Validitas dan kebenaran konsep ‘gender equality’
Masalah konsep ‘gender equality’ yang digagas
kaum feminis dalam masyarakat Islam , seperti Amina Wadud[4],
Musdah Mulia[5] dsb,
saat ini sudah terbukti merupakan konsep yang tidak sesuai dengan syariat
Islam. Mengingat latar belakang gerakan feminis yang merupakan gerakan anti
gereja di Barat dan ideology marxis yang tidak menerima perbedaan fitri dan
jasadiah antara pria dan wanita.
2.
Perbedaan sifat antara teks al-Quran dan teks Bible
Dalam keyakinan kaum muslimin, al-Quran, baik
lafadz maupun maknanya, adalah dari Allah swt. Tidak ada campur tangan manusia,
termasuk dari Nabi Muhammad saw sendiri. Karena Rasulullah saw senantiasa
memisahkan, mana yang merupakan teks al-Quran yang berasal dari wahyu, dan mana
yang ucapan beliau sendiri
(hadist nabi). Dalam kondisi seperti ini, maka tidak memungkinkan adanya kontekstualisasi.
(hadist nabi). Dalam kondisi seperti ini, maka tidak memungkinkan adanya kontekstualisasi.
Berbeda dengan al-Quran, Bible memang ditulis
oleh para penulis Bible, yang menurut konsep Kristen, mendapat inspirasi dari
Tuhan mereka. Meskipun demikian, diakui bahwa unsur-unsur personal dan budaya
berpengaruh terhadap para penulis Bible. Karena yang dianggap merupakan wahyu
Tuhan adalah makna dan inspirasi dalam Bible, dan bukan teks Bible itu sendiri,
maka kaum Kristen tetap menganggap terjemahan Bible dalam bahasa apa pun adalah
firman Tuhan.
Dengan
karakter Bible semacam ini, maka pengaplikasian hermeneutika untuk al-Quran
senantiasa, baik secara terbuka atau tidak, berusaha menempatkan posisi dan
sifat teks al-Quran sebagaimana halnya teks Bible. Bahwa teks al-Quran adalah
teks budaya, teks yang sudah memanusiawi dan sebagainya. Dengan menempatkan
posisi teks al-Quran setara dengan teks Bible, dan memasukkan unsur konteks
budaya dan sosial dalam penafsiran teks al-Quran, maka yang terjadi adalah
pembuangan makna asal teks itu sendiri.
Sebagai contoh,
larangan pernikahan wanita muslimah dengan pria non-muslim dalam QS
Mumtahanah:10, yang dengan tegas menyatakan:
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan beriman, maka
hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan
mereka, maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar)
beriman, maka janganlah kamu
mengembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada
halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula
bagi mereka.”
Tetapi dengan pendekatan kontekstualisasi, makna ayat
tersebut bisa berubah. Aktifis gender dan pluralisme agama, Prof. Dr. Musdah
Mulia, menulis tentang ayat ini: “Jika kita memahami konteks waktu turunnya
ayat tersebut, larangan ini sangat wajar mengingat kaum kafir Quraisy sangat
memusuhi Nabi dan pengikutnya. Waktu itu konteksnya adalah peperangan antara
kaum mukmin dan kaum kafir. Larangan melanggengkan hubungan dimaksudkan agar
dapat diidentifikasi secara jelas mana musuh dan mana kawan. Karena itu ayat
ini harus dipahami secara kontekstual. Jika kondisi peperangan itu tidak ada
lagi, maka larangan yang dimaksud tercabut dengan sendirinya.”
Sepanjang
sejarah Islam, banyak kondisi dimana kaum muslim tidak berperang dengan kaum
kafir. Bahkan selama 1200 tahun lebih, kaum Yahudi hidup damai di dalam wilayah
Islam. Tetapi, selama itu pula para ulama tidak pernah berpikir, bahwa QS 60:10
itu ada kaitannya dengan peperangan, sehingga halal saja muslimah menikah
dengan laki-laki Yahudi, karena tidak ada peperangan antara Yahudi dengan
muslim.
Pernikahan beda
agama maupun pernikahan sesama jenis merupakan syariat Islam yang selama
berabad-abad lamanya dipegang teguh oleh umat Islam dan memutuskan bahwa perkara
tersebut merupakan suatu keharaman. Meskipun dalam ayat lain diperbolehkan
seorang laki-laki muslim menikahi seorang perempuan ahli kitab, namun
penafsiran ahli kitab saat ini berbeda dengan ahli kitab di masa Rasulullah[6].
Ahli kitab saat ini sudah sangat menyimpang dari ajaran yang diajarkan oleh
nabi-nabi terdahulu.
G.
Solusi
Seperti yang telah disebutkan
diatas, bahwa di satu sisi ada sebagian umat muslim yang bertindak overprotective[7]
atau biasa dikenal golongan konservatif, sedangkan di sisi lain ada umat Islam
yang berpandangan secara liberal. Hal ini membuat kita seolah-olah berada
diantara dua titik ekstrim, dimana salah satunya berpikir secara tradisional
dan yang lainnya berpikir secara liberal. Akan tetapi, pada hakikatnya, dalam
tradisi Islam terdapat alternatif ketiga yang menjadi jalan tengah, yakni
mereka dikenal dengan sebutan golongan Islamis[8],
yang mengambil pendekatan sederhana dan seimbang antara dua pendekatan yang
bertentangan, yaitu konservatif dan liberal. Sebagai contoh, ketika Islam
menetapkan kewajiban hijab, terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama,
baik wajah dan pergelangan tangan termasuk aurat wanita yang wajib ditutupi.
Sementara golongan konservatif juga memilih hukum yang kebih ketat, yaitu
kewajiban menutup seluruh muka dan tapak tangan untuk bersikap berhati-hati.
Namun demikian, pendapat golongan konservatif ini tidak disalahkan oleh
golongan Islamis.
Dalam banyak perkara, pendekatan
konservatif adalah bersifat protektif bahkan terkadang dikatakan over
protective, sehingga sebagian ulama Afganistan ketika zaman pemerintahan
Taliban tidak membenarkan kaum wanita mendapatkan haknya dalam pendidikan.
Sedangkan bagi golongan Islamis, pendidikan bukan saja merupakan hak, akan
tetapi ia adalah kewajiban bagi setiap muslim tanpa melihat jenis kelamin. Oleh
karena itu, pendapat seperti di atas hanyalah berdasarkan ijtihad subjektif
ulama, karena baik nash al-Quran maupun Hadist sama sekali tidak memberikan
justifikasi terhadap batasan hak wanita dalam pendidikan.
Meskipun golongan Islamis mengambil jalan tengah dan
sederhana yang berbeda dengan ulama tradisionalis, namun golongan ini tetap
mempertahankan pandangan Islam berkaitan dengan wanita asalkan mempunyai dasar
yang kuat, baik dari nash al-Quran
maupun Sunnah. Dari segi metodologi, golongan Islamis berpendapat bahwa ijtihad
ulama silam khususnya yang berbentuk pandangan pribadi tidak semestinya
diterima pada hari ini. Sesuai dengan tuntutan Islam, ilmuwan pada hari ini
perlu senantiasa berijtihad dalam perkara-perkara yang dibenarkan oleh shara’.
Kecenderungan ulama untuk taqlid terhadap
segala keputusan ulama silam menyebabkan agama Islam dipandang tidak sesuai dan
ketinggalam zaman.
H.
Peranan
Wanita dalam Keluarga
Islam memberikan persamaan antara
pria dan wanita, prinsip ini diakui oleh seluruh cendekiawan Islam serta
sebagian golongan feminis, meskipun ada sebagian feminis yang mengatakan Islam
adalah sama dengan agama samawi lain yang misogynist[9].
Konsep kesetaraan ini kemudian ditafsirkan dengan paradigma yang berbeda,
sehingga akhirnya berlakulah pertentangan diantara golongan Islamis dan
feminis. Bagi golongan feminis, persamaan semestinya bermaksud penyamarataan
atau kesamaan hak dalam semua bidang kehidupan yang digeluti oleh pria dan
wanita, termasuk dalam hal ibadah. Oleh karena itu, feminis menyerukan hak
wanita untuk menjadi imam dan khatib shalat jum’at, menjadi pemimpin tertinggi
(khalifah), mendapatkan hak yang sama rata dalam harta waris, dan hak
mentalakkan suami ?(melafazkan talak).
Adapun bagi golongan Islamis, kesetaraan tidak
semestinya bermakna penyamarataan. Dalam kaca mata Islam, keadilan adalah meletakkan
sesuatu pada tempatnya sehingga perlu mempertimbangkan kesesuaian, kelayakan,
kesediaan dan fitrah dalam menempatkan seseorang yang terbaik untuk tugas
tertentu. Islam meletakkan nilai-nilai moral di kedudukan yang sangat tinggi
sehingga dapat dilihat nilai tersebut mempengaruhi setiap peraturan dan
ketentuan. Wanita diberikan peranan secara khas dan eksklusif untuk membesarkan
anak karena wanita diberikan keistimewaan dan keunikan yang tidak dimiliki oleh
kaum pria dari segi biologi-fisiologi, mental dan emosi.
Melihat dari sisi yang positif, kerjasama yang baik
dari pria-wanita semestinya menghasilkan kesempurnaan dan keharmonian.
Berbanding jika pria-wanita memiliki keistimewaan yang sama, maka keadaan
seperti ini akan menghilangkan perasaan saling membutuhkan antara satu sama
lainnya. Selain itu, kepemimpinan yang dikehendaki dalam Islam adalah atas
dasar kasih saying dan kerja sama, bukanlah kepemimpinan satu arah.
2.9 Kepemimpinan Pria
dalam Keluarga (Qawamah)
Kepemimpinan pria terhadap wanita disandarkan
kepada ayat al-Quran berikut:
“kaum
lelaki itu adalah pemimpin dan pengawal yang bertanggung jawab terhadap kaum
perempuan, oleh Karen Allah telah melebihkan orang-orang lelaki (dengan
beberapa keistimewaan atas orang-orang perempuan, dan juga karena orang-orang
lelaki telah membelanjakan (member nafkah) sebagian dari harta mereka. Maka
perempuan-perempuan shaleh itu ialah yang taat (kepada Allah dan suaminya) dan
yang memelihara (kehormatan dirinya dan apa jua yang wajib dipelihara) ketika
suami tidak hadir bersama, dengan pemeliharaan Allah dan pertolonganNya dan
perempuan-perempuan yang kamu bimbang melakukan perbuatan durhaka (nusyuz)
hendaklah kamu menasihati mereka, dan (jika mereka tetap bersikukuh)
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan (kalau juga masih membandel)
pukullah mereka (dengan pukulan ringan yang bertujuan mengajarnya); kemudian
jika mereka taat kepada kamu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS.
An-Nisa:34)
Para ulama dan mufassirin telah menafsirkan
perkataan qawāmah dengan tafsiran
yang berbeda. Al-Tabari menafsirkan kalimat tersebut sebagai pelaksana tugas (nāfidhī al-amr) dan pelindung. Ibn Kathir mengatakan qawāmah bermakna lelaki adalah ketua dan pembesar rumah tangga
karena lelaki lebih baik dari wanita. Dalam tafsir al-Jalalain pula maksud qawwāmūn ialah lelaki sebagai musallitūn (penguasa). Walaupun
penafsiran dua ulama terakhir di atas mungkin tampak bias jender, namun
penafsiran ulama lain juga perlu dipertimbangkan. Ulama kontemporer seperti
Muhammad Mutawalli al-Sha’rawi pula berpendapat bahwa al-qawāmah sama sekali tidak bermakna tamlik dan tafdil (pemilikan
dan diskriminasi/kelebihan). Sayyid Qutb dalam tafsirnya menulis, yang
dimaksudkan dalam qawāmah bukan
semata-mata pemimpin, tetapi adalah orang yang dibebankan dengan tadbir al-ma’ash (pengurusan
kehidupan/penghidupan). Bagi Yusuf Qaradawi pula, qawāmah ini perlu dipahami dengan gandengannya yaitu al-mas’uliyyah yakni tanggung jawab dan
amanah. Oleh Karena itu jelaslah bahwa dalam kacamata Islam kepemimpinan
bukanlah satu kemuliaan dan kelebihan melainkan satu tanggung jawab dan beban
yang berat. Ini tentunya berbeda dengan konsep kepemimpinan dari perspektif
Barat yang telah memisahkan kuasa dengan moralitas.
Jika dilihat dan dikaji lebih teliti, sebenarnya
terdapat kesatuan pendapat dalam perbedaan penafsiran terhadap perkataan qawāmah. Secara dasarnya, para ulama
setuju bahwa tugas pria adalah mengarahkan dan memberikan perlindungan begi
wanita. Pemahaman ini tidak dapat dielakkan karena ia jelas dalam pesan
keseluruhan ayat tersebut. Golongan Islamis seperti Yusuf al-Qaradawi, Sayyid
Qutb dan Muhammad Mutawalli al-Sha’rawi mempertahankan tafsiran ulama-ulama
terdahulu bahwa ayat tersebut meletakkan pria sebagai pemimpin dalam rumah
tangga.
Al-Quran telah menetapkan tugas yang seimbang bagi
pria dan wanita. Tugas ini diberikan sesuai dengan fitrah dan kemampuan
masing-masing, berdasarkan fitrah alami wanita yang berbeda dengan pria. Oleh
karena itu, bukanlah kerendahan bagi wanita dan kelebihan bagi pria, akan
tetapi memang fitrah semula-lah bagi keduanya yang menjadi pertimbangan agar
segala tugas dapat diemban dengan baik.
BAB III
KESIMPULAN
Pada mulanya gerakan feminis adalah merupakan reaksi
terhadap penindasan kaum wanita di Barat akibat hegemoni gereja. Semula isu
yang mereka angkat adalah mengenai isu hak dan kesetaraan. Namun kemudian pada
akhir tahun 60-an isu yang mereka angkat adalah penindasan dan kebebasan.
Wanita yang sebelumnya tidak bisa mendapatkan haknya, kini bisa bebas tanpa
batas, sehingga gerakan mereka menjadi kebablasan. Contohnya dapat kita lihat
dari cara mereka menganggap bahwa lesbianisme merupakan antitesis yang paling
nyata dari system keluarga pada masyarakat patriarki.
Bagi sekelompok cendekiawan muslim, feminisme
dianggap sebagai pendekatan baru dalam studi Islam. Namun demikian, setelah ia
dipaksakan untuk masuk ke dalam cara berpikir Islam banyak sisi-sisinya yang
tidak sesuai. Sehingga pada akhirnya gerakan feminis muslim justru bertindak
antagonistic terhadap syariah. Hal tersebut dapat kita lihat dari misi utama
mereka yang menginginkan adanya penafsiran ulang al-Quran yang sesuai dengan
cara berpikir mereka, yakni dengan teknik hermeneutika. Sebagai muslim, tidak
seharusnya kita merasa dibingungkan dengan pilihan yang ada, yakni antara
konservativisme atau liberalisme, karena kita bisa mengambil sisi-sisi baik
dari keduanya.
Islam telah menggariskan peran yang berbeda untuk
pria dan wanita, namun tujuan tersebut sama sekali tidak bertujuan untuk
mendiskriminasikan di antara keduanya. Dalam Islam kata adil bukan berarti sama
rata, melainkan meletakkan sesuatu sesuai dengan pada tempatnya. Hal itu
bermakna keadilan bagi wanita akan terwujud bilamana kita bisa memberikan haknya
yang sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimilikinya.Dalam cara berpikir
sekuler, kemuliaan diukur dari segi material sedangkan dari segi spiritual
tidak dihiraukan. Anggapan bahwa peranan wanita tidak bermakna adalah sebuah
pandangan yang bersifat materialistik.
Melihat fenomena yang terjadi, dapat kita ambil
kesimpulan bahwa ada dua hal besar yang terjadi di kalangan muslim:
1.
Sebagian umat muslim
cenderung taqlid buta terhadap keputusan ijtihad ulama masa lalu, sehingga
membuat Islam dipandang kolot dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
2.
Di sisi lain ada
sebagian umat muslim yang tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh cara
berpikir barat, tanpa melihat konsep yang dimaksudkan dalam Islam, sehingga
pada akhirnya menimbulkan penafsiran yang salah.
Oleh karena itu sebagai muslim kita dituntut untuk
terus mengkaji Islam sesuai dengan cara berpikir dan Islam dan membersikan diri
kita dari cara berpikir Barat sehingga pendekatan yang kita hasilkan tidak
bersifat antagonistik terhadap syariah Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali Al-Hasyimi, Muhammad. 2000. Jatidiri Wanita Muslimah. Jakarta:
Pustaka Al Kautsar.
Baitulmuslim-3mudilah.blogspot.com/2009_07_01_earchive.html
Dewi Kania, Dinar. 2010. Islamia: Isu Gender, Sejarah dan Perkembangannya.
Jakarta: Khairul Bayan Press.
Fahmi Zarkasyi, Hamid. 2010. Islamia: Problem Kesetaraan Gender dalam
Studi Islam. Jakarta: Khairul Bayan Press.
Husaini, Adian. 2010. Islamia: Kesetaraan Gender, Konsep dan
Dampaknya Terhadap Islam. Jakarta: Khairul Bayan Press.
Muammar, Khalif. 2010. Islamia: Wacana Kesetaraan Gender, Islamis
Versus Feminis. Jakarta: Khairul Bayan Press.
www.daylife.com
[1] Aliran sesat
[4] Seorang feminis yang pernah memimpin shalat jum’at di masjid New
York tahun 2006. Amina Wadud sangat serius menghadapi isu gender dalam ajaran
Islam. Menurutnya para mufassirun telah memanipulasi tafsir Al Quran sesuai
kehendaknya. Menurutnya, banyak ketimpangan dalam tafsir surat An-Nisa. Dan
oleh karena itu, Al Quran perlu di tafsirkan ulang sesuai dengan doktrin
feminisme.
[5] Seorang guru besar UIN Syarif Hidayatullah yang serius menangani
masalah ketimpangan gender dalam Islam.
[6] Ahli
kitab merupakan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Namun pada saat ini tidak ada
lagi ahli kitab. Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat dalam tafsir al Quran.
[7] Disebut
overprotective karena memang pada dasarnya pendapat yang mereka kemukakan
bertujuan melindungi wanita, berbeda dengan yang terjadi di Barat, dimana
wanita memang mengalami penindasan.
[8] Islamis dalam
penggunaan biasa merujuk pada golongan yang memperjuangkan nilai-nilai Islam
dalam berbagai bidang kehidupan. Tetapi bagi Barat Islamis adalah golongan yang
memperjuangkan aspirasi politik Islam.
[9] Pembenci wanita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar