Sabtu, 05 Mei 2012

Sosial Budaya (makalah semester 3) tentang feminisme


BAB I
PENDAHULUAN

A.                 Latar Belakang
Dewasa ini, sering terdengar istilah ketimpangan gender. Istilah tersebut akan selalu dimaknai sebagai ketertindasan, diskriminasi, ketertinggalan dan banyak istilah lain, yang semuanya dialamatkan kepada sosok perempuan. Pernyataan ini memang sangat logis. Karena bagaimanapun, perempuan memiliki sumber daya yang sangat besar, bahkan jauh melampaui laki-laki. Namun, pada kenyataannya tidak banyak perempuan yang mampu berbicara dalam masyarakat. hal ini tidak lain karena dominasi laki-laki dalam segala aspek kehidupan, baik di lingkungan keluarga, masyarakat secara umum, ataupun dalam skala besar di suatu Negara. Hal ini melahirkan kesan, adanya ketidakadilan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Dan terkadang, istilah ketimpangan gender tersebut selalu dikait-kaitkan dengan agama. Selain itu, mereka dalam hal ini kaum feminis berusaha mencari legitimasi bahwa argumentasi yang berkaitan dengan ketidakadilan bagi kaum perempuan, harus dikaji ulang. Mereka beralasan, al-Qur’an meletakkan laki-laki dan perempuan dalam kesetaraan. Tidak ada yang diunggulkan antara yang satu dan yang lain.
           Dalam Islam, antara laki-laki dan perempuan adalah setara, yang membedakan keduanya adalah siapa yang paling taqwa kepada Allah Swt. Keduanya mutlak ada saling kecenderungan dan saling menentramkan. Dengan adanya saling cenderung dan saling memberikan ketentraman tersebut, akan tercipta sebuah kelangsungan hidup yang saling melengkapi antara satu dan yang lain. Hal ini pula yang akan membantu manusia mencapai tujuan penciptannya, yaitu beribadah kepada Allah. Dengan tujuan yang sama tersebut, lahirlah sebuah kemitraan antara keduanya, dan kemitraan tersebut menjadi akar keserasian antara laki-laki dan perempuan. Karena Allah menciptakan mereka sebagai mitra yang serasi, yang diberi tanggung jawab untuk melestarikan jenis manusia dan memelihara kehidupan. Keduanya bertanggung jawab mengelola alam semesta beserta seluruh isinya.
            Dengan perbedaan makna dan pemahaman terhadap kesetaraan dan keserasian gender, muncul masalah dalam pemahaman tersebut. Apakah kesetaraan itu sejalan dengan misi al-Qur’an, ataukah justru yang dimaksudkan al-Qur’an adalah keserasian, yang juga kesetaraan. Karena tidak dapat dipungkiri, banyak ayat al-Qur’an yang mengangkat masalah kedudukan antara laki-laki dan perempuan adalah sama, namun tidak berarti persamaan tersebut bermaksud kesetaraan antara keduanya dalam segala aspek. Bagaimanakah para ulama Islam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang dianggap sebagai argumentasi kesetaraan. Karena bagaimanapun, wacana kesetaraan gender sebenaranya justru akan banyak merugikan kaum perempuan itu sendiri. Karena memang konsep kesetaraan itu sendiri masih menjadi perdebatan panjang sampai saat ini. Namun, jika kesetaraan yang dimaksud dimaknai sebagai keserasian, maka misi al-Qur’an pun terlaksana.
            Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konsep kesetaan gender tersebut kurang tepat dalam Islam. Berbeda dengan konsep keserasian, yang menempatkan laki-laki dan perempuan menurut porsi masing-masing. Baik dalam hak maupun kewajiban. Dengan keserasian dan adanya keterikatan antara yang satu dan yang lain, tercipta sebuah keharmonisan, karena kedua mahluk tersebut memang tercipta untuk saling melengkapi. Bukan untuk saling mendahului ataupun saling menjatuhkan. Dalam konteks ini, adil atau setara bukan harus berarti sama atau sejajar 50/50, namun adanya ikatan yang kemudian melahirkan keserasian dan keharmonisan antara kedua mahluk tersebut.

B.                 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis kemukakan, rumusan masalah yang dapat penulis susun adalah sebagai berikut.
1.      Apakah definisi feminisme, latar belakang, serta tujuan adanya gerakan ini?
2.      Apakah faktor penyebab lahirnya gerakan feminisme?
3.      Apakah ajaran Islam bertentangan dan melanggar hak-hak kaum perempuan?
4.      Bagaimana ajaran Islam mengatur masalah keserasian laki-laki dan wanita?
5.      Bagaimana kedudukan wanita dalam ajaran Islam yang benar?
6.      Apakah gerakan feminisme relevan dengan ajaran Islam karena bersumber dari pergolakan budaya Barat?
7.      Bagaimana konsep kepemimpinan pria dalam Islam?

C.                Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, yang telah penulis kemukakan, maka tujuan penulisan essay ini adalah.
1.      Mengetahui definisi feminisme, latar belakang, serta tujuan adanya gerakan ini.
2.      Mengetahui faktor penyebab lahirnya gerakan feminisme.
3.      Mengetahui apakah ajaran Islam bertentangan dan melanggar hak-hak kaum perempuan.
4.      Mengetahui apakah ajaran Islam mengatur masalah keserasian laki-laki dan wanita.
5.      Mengetahui bagaimana kedudukan wanita dalam ajaran Islam yang benar.
6.      Mengetahui apakah gerakan feminisme relevan dengan ajaran Islam karena bersumber dari pergolakan budaya Barat.
7.      Mengetahui konsep kepemimpinan pria dalam Islam.

BAB II
PEMBAHASAN

Konsep yang menjadi basis wacana gender ini terutamanya berasal dari masyarakat Barat yang telah lama mengalami problem hubungan antara wanita dan pria. Konsep itu terbentuk dari protes para wanita dalam sebuah gerakan yang disebut gerakan feminism. Istilah feminisme berasal dari dari bahasa Latin femina, perempuan. Konon dari kata fides dan minus menjadi fe-minus. Dalam buku Wiches Hammer yang ditulis oleh dua orang Inquisitor Diminican, yang diulas ulang oleh Ruth Tucker dan Walter L Liefeld dalam buku berjudul Daughter of the Chruch.
“The very word to describe woman, femina, according to the authors (of Whiches Hammer) is derive from fe and minus or fides minus, interpreted asa less in faith”. Kata yang paling tepat dalam mendeskripsikan wanita, femina, menurut pengarang (Whiches Hammer) adalah berasal dari kata fe dan minus atau fides minus, yang dapat diartikan lemah dalam iman.
Terlepas apakah dasar etimologis kata femina  itu benar atau sekedar olok-olok , yang jelas perempuan di Barat dalam sejarahnya memang diperlakukan seperti orang kurang iman. Sedangkan lawan katanya yakni masculine “Masculinus” atau “masculinity” tidak juga berarti penuh iman tapi justru strength of sexuality. Tidak heran jika wanita di Barat pada masa lalu menjadi korban penyiksaan atas kesalahan dalam beragama dan juga pemerkosaan. Jika kondisi tersebut merupakan faktor penting dalam melahirkan wacana dan bahkan teori feminisme dan gender, maka dapat disimpulkan bahwa keduanya merupakan konstruk sosial masyarakat Barat yang misi utamanya adalah mengembangkan kesetaraan (equality).

A.                Wanita di Barat
            Mari kita lihat kondisi Barat (dalam hal ini Eropa) pada abad pertengahan, yaitu saat suara-suara feminis mulai terdengar. Pada abad pertengahan, gereja berperan sebagai sebagai sentral kekuatan dan Paus sebagai pemimpin gereja, menempatkan dirinya sebagai pusat dan sumber kekuasaan. Sampai abad ke-17, gereja masih tetap mempertahankan posisi hegemoninya, berbagai hal yang dapat menggoyahkan otoritas dan legitimasi gereja dianggap sebagai heresy[1] dan dihadapkan ke Mahkamah Inquisisi. Nasib perempuan Barat tak luput dari kekejian doktrin-doktrin gereja yang ekstrim dan tidak sesuai dengan kodrat manusia. Pada dekade 1560 dan 1648 banyak studi spiritual yang dilakukan untuk memperbaharui konsep Saint Paul’s tentang perempuan, yaitu perempuan dianggap sebagai sumber dosa dan merupakan mahluk kelas dua di dunia ini. Walaupun beberapa pendapat pribadi dan hukum publik yang berhubungan dengan status perempuan di Barat cukup bervariasi, tetapi terdapat bukti-bukti kuat yang mengindikasikan bahwa perempuan telah dianggap sebagai mahluk inferior.
            Maududi berpendapat, ada dua doktrin dasar gereja yang membuat kedudukan wanita di Barat abad pertengahan tak ubahnya seperti binatang:
1.      Gereja menganggap wanita sebagai ibu dari dosa yang berakar dari setan jahat.
2.      Wanitalah yang menjerumuskan pria ke dalam dosa dan kejahatan, dan memuntunnya ke neraka (kisah Adam dan Hawa).
Doktrin gereja lainnya yang menentang kodrat manusia dan memberatkan kaum wanita adalah menganggap hubungan seksual antara pria dan wanita adalah peristiwa kotor, meskipun sudah dalam ikatan pernikahan sah. Hal ini berakibat bahwa menghindari pernikahan adalah simbol kesucian, kemurnian dan ketinggian moral. Pada awal abad ke-17, yang merupakan abad pencerahan bagi kaum feminis, saat Bacon menulis esainya tentang kondisi perempuan Inggris yang pada saat itu mengalami kehidupan sulit dan keras. Hal ini dapat dilihat dari kehidupan Ratu Elizabeth. Pada saat itu yang bertindak sebagai penguasa adalah Raja James I, dan ternyata dia sangat membenci wanita. Pembunuhan dan pembakaran terhadap wanita yang dituduh sebagai ‘nenek sihir’, yang dipelopori oleh pendeta, pada dasarnya merupakan ekspresi anti perempuan. Jelaslah, penindasan terhadap perempuan Barat di bawah pemerintahan gereja membuat suara-suara perempuan yang menginginkan kebebasan semakin menggema di mana-mana.

B.                 Wanita di Bawah Kekuasaan Marxisme
            Jika di Barat wanita terkungkung dengan doktrin-doktrin gereja, maka lain halnya dengan wanita di bawah kepemimpinan paham Marxis, dimana mereka mempermasalahkan struktur sosial yang berkembang di masyarakat pada masa itu. Menurut mereka ketimpangan gender antara pria dan wanita, tidak disebabkan oleh faktor biologis atau pemberian Tuhan, tetapi merupakan bagian dari penindasan dari kelas yang berkuasa terhadap kaum tertindas yang diterapkan dalam konsep keluarga. Seperti menurut Clara Zetkin (1857-1933) dan Rossa Luxemburg (1871-1919) adanya struktur masyarakat pada masa itu disebabkan terutamanya oleh perbedaan status sosial antara pria dan wanita. Itulah sebabnya Marxisme mempersoalkan hubungan pria-wanita, suami-istri serta institusi rumah tangga.

C.             Wanita di Bawah Kepemimpinan Islam
            Mari kita tengok sekelumit kisah salah seorang Sahabat. Diriwayatkan bahwa seorang pria mendatangi Umar bin Khattab r.a, hendak mengadukan akhlak istrinya. Sesampainya di sana, dia berdiri dan menunggu di depan pintu. Tiba-tiba dia mendengar istri Umar sedang memarahi beliau. Umar pun hanya terdiam, tidak membalas omelan dari istrinya. Lelaki itu pun pulang dan berkata pada dirinya: “Jika saja Amirul Mukminin seperti ini, lalu bagaimana dengan diriku?” Tidak lama berselang, Umar keluar dan melihat lelaki itu sedang meninggalkan rumahnya, lalu memanggilnya: ”Apa keperluanmu?” Dia menjawab: “Wahai Amirul Mukminin, saya datang bermaksud untuk mengadukan akhlak istriku yang suka memarahiku kepadamu. Lalu kemudian aku mendengar istrimu tengah memarahimu. Maka aku berkata pada diriku sendiri: “jika Amirul Mukminin saja sabar menghadapi omelan istrinya, lalu mengapa saya harus mengeluh?” Maka Umar berkata: “Wahai saudaraku, sesungguhnya saya bersabar karena memang istriku mempunyai hak atasku. Dialah yang telah memasak untukku, mencuci pakaianku dan menyusui anakku, padahal kesemuanya itu tidak diwajibkan atasnya. Disamping itu, dia telah mendamaikan hatiku untuk tidak terjerumus ke dalam perbuatan yang diharamkan. Oleh karena itu aku bersabar atas semua pengorbanannya”. “Wahai Amirul Mukminin, istriku pun demikian”, kata lelaki tadi. Maka Umar pun menasehatinya: “Bersabarlah wahai Saudaraku, karena omelan istrimu itu hanya sebentar”. Begitulah kira-kira kedudukan wanita dalam Islam, sehingga sang khalifah pun memberikan contoh teladan yang baik dalam berinteraksi dengan mereka.
            Namun amat disayangkan, seiring perkembangan zaman Islam justru seringkali dikaitkan dengan isu diskriminasi terhadap wanita. Hal ini disebabkan oleh yang terjadi di sebagian negara yang membawa nama Islam. Semisalnya ada larangan mufti Mesir al-Syekh Hasanayn Muhammad Makhluf pada tahun 1952 tentang keterlibatan kaum wanita dalam segala bentuk aktifitas umum serta membatasi mereka dengan aktifitas dalam rumah saja, walau bagaimana pun fatwa ini menimbulkan kontroversi di kalangan ulama sendiri. Kemudian juga pemerintah Taliban yang suatu ketika telah menafikan hak pendidikan bagi wanita. Selanjutnya di Pakistan, terdapatnya hak wali untuk memaksa anak perempuannya menikah dengan orang yang tidak dikenali.
Ada sebagian umat Islam yang mempertahankan tindakan-tindakan tersebut, atas dasar telah diputuskan oleh ulama mereka dengan bersandarkan terhadap kitab-kitab fiqih. Dampak selanjutnya adalah, banyak kalangan cendekiawan muslim justru berpandangan bahwa feminism merupakan pendekatan baru yang lebih relevan dengan perkembangan zaman.

D.                Dasar Pemikiran Feminisme
            Pada mulanya para feminis menggunakan isu “hak” dan “kesetaraan” perempuan sebagai landasan perjuangannya, tetapi feminisme akhir 1960-an menggunakan istilah “penindasan” dan “kebebasan” yang kemudian feminisme menyatakan dirinya sebagai “gerakan pembebasan perempuan”. Secara umum kelahiran feminisme dibagi menjadi tiga gelombang yang mengangkat isu yang berbeda-beda.
Gelombang pertama.

  Ditandai dengan publikasi Mary Wollstonecraft yang berjudul “Vindication of the Rights of Women” tahun 1792 dia mendeskripsikan bahwa kerusakan psikologis dan ekonomi yang dialami perempuan disebabkan oleh ketergantungan perempuan secara ekonomi kepada laki-laki dan peminggiran perempuan dari ruang public. Perhatian feminis gelombang pertama adalah memperoleh hak-hak politik dan kesempatan ekonomi yang setara bagi kaum perempuan. Feminis berargumentasi bahwa perempuan memiliki kapasitas rasio yang sama dengan laki-laki. Akhirnya pada pada tahun 1920, perempuan berhasil mendapatkan hak pilihnya dalam pemilu. Bukan hanya itu kaum feminis juga juga berhasil memenangkan hak kepemilikan bagi kaum perempuan, kebebasan reproduksi yang lebih dan akses yang lebih besar dalam bidang pendidikan dan profesional.
Teori – Teori Feminisme Gelombang Pertama

Feminism Liberal
    Manusia adalah otonom yang dipimpin oleh akal. Dengan akal manusia mampu untuk memahami prinsip-prinsip moralitas, kebebasan individu. Prinsip-prinsip ini juga menjamin hak-hak inividu. Isu yang mereka angkat: akses pendidikan dan kebijakan Negara yang bias gender, hak-hak sipil, politik.

Feminisme Radikal
    System seks atau gender merupakan dasar penindasan terhadap perempuan. Isu yang mereka angkat: adanya seksisme, masyarakat patriarki[2], hak-hak reproduksi, hubungan kekuasaan antara pria-wanita. 

Feminism Marxis
    Materialism historis Marx yang mengatakan bahwa modus produksi kehidupan material mengkondisikan proses umum kehidupan social, politik dan intelektual. Bukan kesadaran yang menentukan eksistensi sesorang tetapi eksistensi social mereka yang menentukan kesadaran mereka. Isu yang mereka angkat: ketimpangan ekonomi, kepemilikan property, keluarga dan kehidupan domestic di bawah kapitalisme dan kampanye pengupahan kerja domestic.
Feminis Gelombang Kedua

    Pada tahun 1949 ditandai dengan munculnya publikasi dari Simone de Beauvoir’s The Second Sex. Dia berargumen bahwa perbedaan gender bukan berakar dari biologi, tetapi memang sengaja diciptakan untuk memperkuat penindasan terhadap kaum perempuan. bagi feminis gelombang ke-2 kesetaraan politik dan hukum tidak cukup untuk mengakhiri penindasan terhadap kaum perempuan. dalam sudut pandang mereka, penindasan sexist tidak hanya berakar pada hukum dan politik, tetapi penyebabnya adalah penanamannya pada setiap aspek kehidupan social manusia, termasuk ekonomi, politik dan perencanaan social, serta norma-norma, kebiasaan, interaksi sehari-hari dan hubungan personal. Feminism gelombang ke-2 juga mulai menggugat institusi pernikahan, motherhood, hubungan lawan jenis (heterosexual relationship), sexualitas perempuan dll. Mereka berjuang keras untuk mengubah secara radikal setiap aspek dari kehidupan politik dan pribadi.
Teori –Teori Feminisme Gelombang Kedua

Feminisme Psikoanalisa
    Penjelasan mendasar penindasan perempuan terletak pada psyche (jiwa/psikis) perempuan, cara perempuan berpikir. Isu yang mereka angkat: egosentrisme laki-laki yang menganggap perempuan menderita “penis envy” , dual parenting.


Feminis Gelombang Ketiga

    Dimulai pada tahun 1980 yang menginginkan keragaman perempuan atau keragaman secara umum, secara khusus dalam teori feminis dan politik. Sebagai contoh kulit berwarna dipertahankan ketika dahulu pengalaman, kepentingan dan perhatian mereka tidak terwakili oleh feminis gelombang ke-2 yang didominasi oleh oleh wanita kulit putih kelas menengah. Sebagai contoh ketertindasan perempuan kulit putih kelas menengah berbeda secara signifikan dengan penindasan yang yang dialami oleh perempuan kulit hitam Amerika. Ketertindasan perempuan heterosexual berbeda dengan ketertindasan yang dialami oleh kaum lesbi dsb.
Teori –Teori Feminisme Gelombang Ketiga

Feminism Postmodern
    Seperti aliran postmodernisme menolak pemikiran phalogosentris[3].

Feminism Multikultural
    Sejalan dengan filsafat postmodern tetapi lebih menekankan kajian cultural. Penindasan terhadap perempuan tidak dapat hanya dijelaskan lewat patriarki tetapi ada keterhubungan masalah dengan ras, etnisitas, dsb. Di dalam feminism global bukan hanya ras dan etnisitas, tetapi juga hasil kolonialisme dan dikotomi “dunia pertama” dan “dunia ketiga”.


            Pada awal kemunculannya feminisme tampak seperti gerakan reaktif terhadap penindasan gereja, tetapi perkembangannya di kemudian hari memperlihatkan akar dari gerakan ini adalah paham relativisme yang menganggap bahwa benar atau salah, baik atau buruk tidak bersifat mutlak, tetapi beragam dan bias, berubah-ubah tergantung pada individu, lingkungan maupun kondisi. Salah satu efek dari paham relativisme yang dianut oleh kaum feminis, adalah menyuburkan praktik-praktik homoseksual dalam masyarakat, karena apa yang dulu dianggap salah, kini dengan dalih penghormatan terhadap HAM, telah berubah menjadi kebenaran.
Menurut pendapat Chris Beasly, lesbian merupakan antithesis paling jelas dari patriarki yang menjadi warna utama pada doktrin gereja. Selain itu Garnets juga berpendapat bahwa kaum lesbian pada umumnya mengalami perasaan bebas dari ikatan hambatan-hambatan peran gender. Pasangan lesbian mampu menciptakan pola hubungan baru dan dapat mengurangi kekuatan yang tidak berimbang yang terkadang ditemukan dalam hubungan tradisional heteroseksual. Begitulah pandangan kaum feminis terhadap kaum lesbian, kini gerakan feminis juga telah memunculkan masalah-masalah sosial baru, dengan menyuburkan praktik homoseksual, perzinahan dan juga seks di luar nikah. Pada akhirnya gerakan feminis juga telah menjaukan wanita dari hangatnya keluarga. Kaum perempuan terlalu sibuk mengejar karir untuk membuktikan eksistensi mereka. Banyak dari mereka yang kemudian mengalami depresi dan masalah psikologi lainnya karena melawan kodrat dan nalurinya sebagai perempuan.

E.                 Feminis Muslim  
            Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa kini isu feminisme mulai masuk ke wilayah Islam. Banyak cendekiawan muslim yang melihatnya sebagai pendekatan baru dalam studi Islam. Istilah feminis muslim mulai diperkenalkan dan digunakan pada tahun 1990-an. Diantara tokoh yang pernah menggunakan istilah tersebut adalah Afsaneh Najmabedeh dan Ziba Mir-Hosseini dari Tehran, Yesim Arat dari Turki serta Mai Yamani dari Saudi melalui bukunya Feminisme and Islam yang diterbitkan pada tahun 1996. Sedangkan Mesir yang dikatakan sebagai tempat terlahirnya feminis muslim terkenal dengan tokohnya Huda Shaarawi yang mendirikan The Egyptian Feminis Union pada 1923. Pada dasarnya asas dan pemikiran mereka sama dengan feminis Barat. Namun demikian, tidak semua secara terbuka merasa nyaman menisbahkan atau mengaitkan diri mereka dengan perjuangan feminis muslim.
            Prioritas misi kebanyakan kaum feminis muslim adalah merekonstruksi hukum-hukum agama berkaitan dengan wanita khusunya hukum keluarga dengan menilai dan menganalisa ulang teks agama, al-Quran dan al-Sunnah, serta menafsirkannya dari perspektif yang berbeda dengan penafsiran klasik (ijtihad dan tafsir). Feminis muslim mendakwa bahwa prinsip keadilan dan kesetaraan yang ditekankan oleh al-Quran tidak terlaksana disebabkan para mufassirin yang umumnya pria telah menghasilkan tafsir al-Quran yang mendukung doktrin yang mengangkat martabat kaum pria dan menjustifikasi superioritas kaum pria. Feminis muslim juga berpendapat bahwa terdapat bias gender (footnote) yang kental dalam hukum-hukum syariah yang diambil dari hadist-hadist Rasulullah SAW atas alasan perawi hadist yang terdiri dari kalangan Sahabat adalah pria yang tidak dapat membebaskan diri dari pengaruh amalan patriarki. Pada praktiknya feminis muslim justru bertindak antagonis terhadap beberapa hukum dalam al-Quran yang berkaitan dengan wanita.

F.                 Kesalahan Feminis Muslim
            Penyimpangan pemikiran yang dilakukan oleh feminis muslim disebabkan adanya perbedaan cara pandang. Bagi feminis, cara pandang mereka telah terwarnai oleh kaca mata Barat, sehingga mereka memaknai Islam dengan cara yang berbeda. Semisalnya pada contoh kasus yang sering mereka permasalahkan yakni masyarakat patriarki. Menurut Hibah Rauf Izzat, konsep patriarki tidak dikenal dan tidak ada dalam masyarakat Islam. Konsep ini sebenarnya diperkenalkan oleh penulis-penulis Barat untuk menggambarkan masyarakat Islam tanpa memahami institusi keluarga dan masyarakat dalam Islam. Istilah patriarki pada asalnya digunakan untuk menggambarkan sistem kekuasaan bapak yang mutlak sifatnya terhadap anggota keluarganya. Istilah ini juga berkaitan dengan istilah ‘familia’ yang dalam bahasa Latin bermakna ladang dan harta pemilikan bagi seorang bapak. Dengan demikian konsep tersebut tidak sesuai dinisbahkan kepada ajaran Islam dan hukum Islam. 
Di Barat, dalam perkembangannya, kaum feminis berusaha merombak metode penafsiran Bible, mengingat penindasan perempuan di Barat merupakan akibat penerapan doktrin-doktrin gereja yang bersumber dari Bible. Metode yang mereka gunakan dikenal dengan metode hermeneutika. Menurut kaum feminis muslim, penafsiran teks al-Quran oleh para mufassirin telah terpengaruh oleh budaya patriarki yang berkembang di lingkungan para mufassirin. Sehingga perlu adanya metode penafsiran baru, penafsiran dengan cara yang sama seperti yang digunakan para feminis di Barat dalam menafsirkan Bible. Namun tidak semudah itu, ada 2 hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini:
1.      Validitas dan kebenaran konsep ‘gender equality’
Masalah konsep ‘gender equality’ yang digagas kaum feminis dalam masyarakat Islam , seperti Amina Wadud[4], Musdah Mulia[5] dsb, saat ini sudah terbukti merupakan konsep yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Mengingat latar belakang gerakan feminis yang merupakan gerakan anti gereja di Barat dan ideology marxis yang tidak menerima perbedaan fitri dan jasadiah antara pria dan wanita.
2.      Perbedaan sifat antara teks al-Quran dan teks Bible
Dalam keyakinan kaum muslimin, al-Quran, baik lafadz maupun maknanya, adalah dari Allah swt. Tidak ada campur tangan manusia, termasuk dari Nabi Muhammad saw sendiri. Karena Rasulullah saw senantiasa memisahkan, mana yang merupakan teks al-Quran yang berasal dari wahyu, dan mana yang ucapan beliau sendiri
(hadist nabi). Dalam kondisi seperti ini, maka tidak memungkinkan adanya kontekstualisasi.
Berbeda dengan al-Quran, Bible memang ditulis oleh para penulis Bible, yang menurut konsep Kristen, mendapat inspirasi dari Tuhan mereka. Meskipun demikian, diakui bahwa unsur-unsur personal dan budaya berpengaruh terhadap para penulis Bible. Karena yang dianggap merupakan wahyu Tuhan adalah makna dan inspirasi dalam Bible, dan bukan teks Bible itu sendiri, maka kaum Kristen tetap menganggap terjemahan Bible dalam bahasa apa pun adalah firman Tuhan.
            Dengan karakter Bible semacam ini, maka pengaplikasian hermeneutika untuk al-Quran senantiasa, baik secara terbuka atau tidak, berusaha menempatkan posisi dan sifat teks al-Quran sebagaimana halnya teks Bible. Bahwa teks al-Quran adalah teks budaya, teks yang sudah memanusiawi dan sebagainya. Dengan menempatkan posisi teks al-Quran setara dengan teks Bible, dan memasukkan unsur konteks budaya dan sosial dalam penafsiran teks al-Quran, maka yang terjadi adalah pembuangan makna asal teks itu sendiri.
Sebagai contoh, larangan pernikahan wanita muslimah dengan pria non-muslim dalam QS Mumtahanah:10, yang dengan tegas menyatakan:
            “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka, maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman,   maka janganlah kamu mengembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.”
Tetapi dengan pendekatan kontekstualisasi, makna ayat tersebut bisa berubah. Aktifis gender dan pluralisme agama, Prof. Dr. Musdah Mulia, menulis tentang ayat ini: “Jika kita memahami konteks waktu turunnya ayat tersebut, larangan ini sangat wajar mengingat kaum kafir Quraisy sangat memusuhi Nabi dan pengikutnya. Waktu itu konteksnya adalah peperangan antara kaum mukmin dan kaum kafir. Larangan melanggengkan hubungan dimaksudkan agar dapat diidentifikasi secara jelas mana musuh dan mana kawan. Karena itu ayat ini harus dipahami secara kontekstual. Jika kondisi peperangan itu tidak ada lagi, maka larangan yang dimaksud tercabut dengan sendirinya.”
            Sepanjang sejarah Islam, banyak kondisi dimana kaum muslim tidak berperang dengan kaum kafir. Bahkan selama 1200 tahun lebih, kaum Yahudi hidup damai di dalam wilayah Islam. Tetapi, selama itu pula para ulama tidak pernah berpikir, bahwa QS 60:10 itu ada kaitannya dengan peperangan, sehingga halal saja muslimah menikah dengan laki-laki Yahudi, karena tidak ada peperangan antara Yahudi dengan muslim.
Pernikahan beda agama maupun pernikahan sesama jenis merupakan syariat Islam yang selama berabad-abad lamanya dipegang teguh oleh umat Islam dan memutuskan bahwa perkara tersebut merupakan suatu keharaman. Meskipun dalam ayat lain diperbolehkan seorang laki-laki muslim menikahi seorang perempuan ahli kitab, namun penafsiran ahli kitab saat ini berbeda dengan ahli kitab di masa Rasulullah[6]. Ahli kitab saat ini sudah sangat menyimpang dari ajaran yang diajarkan oleh nabi-nabi terdahulu.

G.                Solusi
            Seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa di satu sisi ada sebagian umat muslim yang bertindak overprotective[7] atau biasa dikenal golongan konservatif, sedangkan di sisi lain ada umat Islam yang berpandangan secara liberal. Hal ini membuat kita seolah-olah berada diantara dua titik ekstrim, dimana salah satunya berpikir secara tradisional dan yang lainnya berpikir secara liberal. Akan tetapi, pada hakikatnya, dalam tradisi Islam terdapat alternatif ketiga yang menjadi jalan tengah, yakni mereka dikenal dengan sebutan golongan Islamis[8], yang mengambil pendekatan sederhana dan seimbang antara dua pendekatan yang bertentangan, yaitu konservatif dan liberal. Sebagai contoh, ketika Islam menetapkan kewajiban hijab, terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama, baik wajah dan pergelangan tangan termasuk aurat wanita yang wajib ditutupi. Sementara golongan konservatif juga memilih hukum yang kebih ketat, yaitu kewajiban menutup seluruh muka dan tapak tangan untuk bersikap berhati-hati. Namun demikian, pendapat golongan konservatif ini tidak disalahkan oleh golongan Islamis.
            Dalam banyak perkara, pendekatan konservatif adalah bersifat protektif bahkan terkadang dikatakan over protective, sehingga sebagian ulama Afganistan ketika zaman pemerintahan Taliban tidak membenarkan kaum wanita mendapatkan haknya dalam pendidikan. Sedangkan bagi golongan Islamis, pendidikan bukan saja merupakan hak, akan tetapi ia adalah kewajiban bagi setiap muslim tanpa melihat jenis kelamin. Oleh karena itu, pendapat seperti di atas hanyalah berdasarkan ijtihad subjektif ulama, karena baik nash al-Quran maupun Hadist sama sekali tidak memberikan justifikasi terhadap batasan hak wanita dalam pendidikan.
Meskipun golongan Islamis mengambil jalan tengah dan sederhana yang berbeda dengan ulama tradisionalis, namun golongan ini tetap mempertahankan pandangan Islam berkaitan dengan wanita asalkan mempunyai dasar yang kuat, baik dari nash al-Quran maupun Sunnah. Dari segi metodologi, golongan Islamis berpendapat bahwa ijtihad ulama silam khususnya yang berbentuk pandangan pribadi tidak semestinya diterima pada hari ini. Sesuai dengan tuntutan Islam, ilmuwan pada hari ini perlu senantiasa berijtihad dalam perkara-perkara yang dibenarkan oleh shara’. Kecenderungan ulama untuk taqlid terhadap segala keputusan ulama silam menyebabkan agama Islam dipandang tidak sesuai dan ketinggalam zaman.

H.                Peranan Wanita dalam Keluarga
            Islam memberikan persamaan antara pria dan wanita, prinsip ini diakui oleh seluruh cendekiawan Islam serta sebagian golongan feminis, meskipun ada sebagian feminis yang mengatakan Islam adalah sama dengan agama samawi lain yang misogynist[9]. Konsep kesetaraan ini kemudian ditafsirkan dengan paradigma yang berbeda, sehingga akhirnya berlakulah pertentangan diantara golongan Islamis dan feminis. Bagi golongan feminis, persamaan semestinya bermaksud penyamarataan atau kesamaan hak dalam semua bidang kehidupan yang digeluti oleh pria dan wanita, termasuk dalam hal ibadah. Oleh karena itu, feminis menyerukan hak wanita untuk menjadi imam dan khatib shalat jum’at, menjadi pemimpin tertinggi (khalifah), mendapatkan hak yang sama rata dalam harta waris, dan hak mentalakkan suami ?(melafazkan talak).
Adapun bagi golongan Islamis, kesetaraan tidak semestinya bermakna penyamarataan. Dalam kaca mata Islam, keadilan adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya sehingga perlu mempertimbangkan kesesuaian, kelayakan, kesediaan dan fitrah dalam menempatkan seseorang yang terbaik untuk tugas tertentu. Islam meletakkan nilai-nilai moral di kedudukan yang sangat tinggi sehingga dapat dilihat nilai tersebut mempengaruhi setiap peraturan dan ketentuan. Wanita diberikan peranan secara khas dan eksklusif untuk membesarkan anak karena wanita diberikan keistimewaan dan keunikan yang tidak dimiliki oleh kaum pria dari segi biologi-fisiologi, mental dan emosi.
Melihat dari sisi yang positif, kerjasama yang baik dari pria-wanita semestinya menghasilkan kesempurnaan dan keharmonian. Berbanding jika pria-wanita memiliki keistimewaan yang sama, maka keadaan seperti ini akan menghilangkan perasaan saling membutuhkan antara satu sama lainnya. Selain itu, kepemimpinan yang dikehendaki dalam Islam adalah atas dasar kasih saying dan kerja sama, bukanlah kepemimpinan satu arah.

2.9 Kepemimpinan Pria dalam Keluarga (Qawamah)
            Kepemimpinan pria terhadap wanita disandarkan kepada ayat al-Quran berikut:
            “kaum lelaki itu adalah pemimpin dan pengawal yang bertanggung jawab terhadap kaum perempuan, oleh Karen Allah telah melebihkan orang-orang lelaki (dengan beberapa keistimewaan atas orang-orang perempuan, dan juga karena orang-orang lelaki telah membelanjakan (member nafkah) sebagian dari harta mereka. Maka perempuan-perempuan shaleh itu ialah yang taat (kepada Allah dan suaminya) dan yang memelihara (kehormatan dirinya dan apa jua yang wajib dipelihara) ketika suami tidak hadir bersama, dengan pemeliharaan Allah dan pertolonganNya dan perempuan-perempuan yang kamu bimbang melakukan perbuatan durhaka (nusyuz) hendaklah kamu menasihati mereka, dan (jika mereka tetap bersikukuh) pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan (kalau juga masih membandel) pukullah mereka (dengan pukulan ringan yang bertujuan mengajarnya); kemudian jika mereka taat kepada kamu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. An-Nisa:34)
            Para ulama dan mufassirin telah menafsirkan perkataan qawāmah dengan tafsiran yang berbeda. Al-Tabari menafsirkan kalimat tersebut sebagai pelaksana tugas (nāfidhī al-amr) dan pelindung. Ibn Kathir mengatakan qawāmah bermakna lelaki adalah ketua dan pembesar rumah tangga karena lelaki lebih baik dari wanita. Dalam tafsir al-Jalalain pula maksud qawwāmūn ialah lelaki sebagai musallitūn (penguasa). Walaupun penafsiran dua ulama terakhir di atas mungkin tampak bias jender, namun penafsiran ulama lain juga perlu dipertimbangkan. Ulama kontemporer seperti Muhammad Mutawalli al-Sha’rawi pula berpendapat bahwa al-qawāmah sama sekali tidak bermakna tamlik dan tafdil (pemilikan dan diskriminasi/kelebihan). Sayyid Qutb dalam tafsirnya menulis, yang dimaksudkan dalam qawāmah bukan semata-mata pemimpin, tetapi adalah orang yang dibebankan dengan tadbir al-ma’ash (pengurusan kehidupan/penghidupan). Bagi Yusuf Qaradawi pula, qawāmah ini perlu dipahami dengan gandengannya yaitu al-mas’uliyyah yakni tanggung jawab dan amanah. Oleh Karena itu jelaslah bahwa dalam kacamata Islam kepemimpinan bukanlah satu kemuliaan dan kelebihan melainkan satu tanggung jawab dan beban yang berat. Ini tentunya berbeda dengan konsep kepemimpinan dari perspektif Barat yang telah memisahkan kuasa dengan moralitas.
Jika dilihat dan dikaji lebih teliti, sebenarnya terdapat kesatuan pendapat dalam perbedaan penafsiran terhadap perkataan qawāmah. Secara dasarnya, para ulama setuju bahwa tugas pria adalah mengarahkan dan memberikan perlindungan begi wanita. Pemahaman ini tidak dapat dielakkan karena ia jelas dalam pesan keseluruhan ayat tersebut. Golongan Islamis seperti Yusuf al-Qaradawi, Sayyid Qutb dan Muhammad Mutawalli al-Sha’rawi mempertahankan tafsiran ulama-ulama terdahulu bahwa ayat tersebut meletakkan pria sebagai pemimpin dalam rumah tangga.
Al-Quran telah menetapkan tugas yang seimbang bagi pria dan wanita. Tugas ini diberikan sesuai dengan fitrah dan kemampuan masing-masing, berdasarkan fitrah alami wanita yang berbeda dengan pria. Oleh karena itu, bukanlah kerendahan bagi wanita dan kelebihan bagi pria, akan tetapi memang fitrah semula-lah bagi keduanya yang menjadi pertimbangan agar segala tugas dapat diemban dengan baik.

BAB III
KESIMPULAN
Pada mulanya gerakan feminis adalah merupakan reaksi terhadap penindasan kaum wanita di Barat akibat hegemoni gereja. Semula isu yang mereka angkat adalah mengenai isu hak dan kesetaraan. Namun kemudian pada akhir tahun 60-an isu yang mereka angkat adalah penindasan dan kebebasan. Wanita yang sebelumnya tidak bisa mendapatkan haknya, kini bisa bebas tanpa batas, sehingga gerakan mereka menjadi kebablasan. Contohnya dapat kita lihat dari cara mereka menganggap bahwa lesbianisme merupakan antitesis yang paling nyata dari system keluarga pada masyarakat patriarki.
Bagi sekelompok cendekiawan muslim, feminisme dianggap sebagai pendekatan baru dalam studi Islam. Namun demikian, setelah ia dipaksakan untuk masuk ke dalam cara berpikir Islam banyak sisi-sisinya yang tidak sesuai. Sehingga pada akhirnya gerakan feminis muslim justru bertindak antagonistic terhadap syariah. Hal tersebut dapat kita lihat dari misi utama mereka yang menginginkan adanya penafsiran ulang al-Quran yang sesuai dengan cara berpikir mereka, yakni dengan teknik hermeneutika. Sebagai muslim, tidak seharusnya kita merasa dibingungkan dengan pilihan yang ada, yakni antara konservativisme atau liberalisme, karena kita bisa mengambil sisi-sisi baik dari keduanya.
Islam telah menggariskan peran yang berbeda untuk pria dan wanita, namun tujuan tersebut sama sekali tidak bertujuan untuk mendiskriminasikan di antara keduanya. Dalam Islam kata adil bukan berarti sama rata, melainkan meletakkan sesuatu sesuai dengan pada tempatnya. Hal itu bermakna keadilan bagi wanita akan terwujud bilamana kita bisa memberikan haknya yang sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimilikinya.Dalam cara berpikir sekuler, kemuliaan diukur dari segi material sedangkan dari segi spiritual tidak dihiraukan. Anggapan bahwa peranan wanita tidak bermakna adalah sebuah pandangan yang bersifat materialistik.
Melihat fenomena yang terjadi, dapat kita ambil kesimpulan bahwa ada dua hal besar yang terjadi di kalangan muslim:
1.            Sebagian umat muslim cenderung taqlid buta terhadap keputusan ijtihad ulama masa lalu, sehingga membuat Islam dipandang kolot dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
2.            Di sisi lain ada sebagian umat muslim yang tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh cara berpikir barat, tanpa melihat konsep yang dimaksudkan dalam Islam, sehingga pada akhirnya menimbulkan penafsiran yang salah.
Oleh karena itu sebagai muslim kita dituntut untuk terus mengkaji Islam sesuai dengan cara berpikir dan Islam dan membersikan diri kita dari cara berpikir Barat sehingga pendekatan yang kita hasilkan tidak bersifat antagonistik terhadap syariah Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Ali Al-Hasyimi, Muhammad. 2000. Jatidiri Wanita Muslimah. Jakarta: Pustaka Al Kautsar.
Baitulmuslim-3mudilah.blogspot.com/2009_07_01_earchive.html
Dewi Kania, Dinar. 2010. Islamia: Isu Gender, Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Khairul Bayan Press.
Fahmi Zarkasyi, Hamid. 2010. Islamia: Problem Kesetaraan Gender dalam Studi Islam. Jakarta: Khairul Bayan Press.
Husaini, Adian. 2010. Islamia: Kesetaraan Gender, Konsep dan Dampaknya Terhadap Islam. Jakarta: Khairul Bayan Press.
Muammar, Khalif. 2010. Islamia: Wacana Kesetaraan Gender, Islamis Versus Feminis. Jakarta: Khairul Bayan Press.
www.daylife.com



[1] Aliran sesat
[2] Patriarki adalah tata kekeluargaan yang sangat mementingkan garis turunan bapak.
[3] Istilah "falus" dan penis memiliki akar kata yang sama (dari phallus) dipakai dalam konteks budaya, sehingga maksudnya adalah budaya yang lebih mengutamakan laki-laki.
[4] Seorang feminis yang pernah memimpin shalat jum’at di masjid New York tahun 2006. Amina Wadud sangat serius menghadapi isu gender dalam ajaran Islam. Menurutnya para mufassirun telah memanipulasi tafsir Al Quran sesuai kehendaknya. Menurutnya, banyak ketimpangan dalam tafsir surat An-Nisa. Dan oleh karena itu, Al Quran perlu di tafsirkan ulang sesuai dengan doktrin feminisme.
[5] Seorang guru besar UIN Syarif Hidayatullah yang serius menangani masalah ketimpangan gender dalam Islam.
[6] Ahli kitab merupakan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Namun pada saat ini tidak ada lagi ahli kitab. Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat dalam tafsir al Quran.
[7] Disebut overprotective karena memang pada dasarnya pendapat yang mereka kemukakan bertujuan melindungi wanita, berbeda dengan yang terjadi di Barat, dimana wanita memang mengalami penindasan.
[8] Islamis dalam penggunaan biasa merujuk pada golongan yang memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam berbagai bidang kehidupan. Tetapi bagi Barat Islamis adalah golongan yang memperjuangkan aspirasi politik Islam.
[9] Pembenci wanita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar