BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tidak sinkron atau sinergis-nya pembangunan antarkota/antarwilayah menimbulkan ketimpangan ekonomi dan kesejahteraan. Kota-kota besar terus memegang peran sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, sementara daerah-daerah tidak cukup kuat mengimbangi. Kondisi ini akhirnya memunculkan gelombang migrasi penduduk atau urbanisasi.
Berdasarkan keterangan gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo saat masih menjabat, angka urbanisasi di Jakarta sebenarnya terus mengalami penurunan. Hal ini disebabkan pembangunan ekonomi di daerah asal kaum urban. Menurut keterangan Kepala Dinas Dukcapil DKI Jakarta Purba Hutapea, pendatang baru di Jakarta tahun 2007 berkurang 14.810 jiwa atau 11,90 persen dibandingkan tahun 2006. Selanjutnya jumlah pendatang baru di tahun 2008 berkurang 21.144 jiwa atau 19,29 persen dibandingkan 2007. Sementara pada tahun 2009 berkurang 18.919 jiwa atau 21,38 persen dibandingkan 2008. Penurunan juga terjadi pada 2010. Jumlah pendatang baru berkurang 10.339 atau 14,86 persen dari 2009. Dan 2011 jumlah pendatang baru kembali berkurang sebanyak 7.340 jiwa atau 12,40 persen dibandingkan 2010. Diprediksikan jumlah pendatang baru paska Lebaran tahun 2012 akan menurun sebanyak 22.368 jiwa atau menurun sebanyak 37,77 persen.[2]
Sesungguhnya urbanisasi dibutuhkan guna meningkatkan perekonomian kota. Namun pada kenyataannya jumlah kaum urban yang datang ke kota untuk mengadu nasib seringkali tak terkendali. Kedatangan mereka tanpa modal keterampilan untuk dapat bersaing dengan kerasnya kehidupan di kota. Ketika tiba di kota misal Jakarta, kebanyakan dari mereka akhirnya hanya meningkatkan beban kependudukan. Mereka cenderung menjadi penduduk ilegal dan menciptakan pemukiman kumuh sebagai akibat sempitnya lahan. Mereka yang tidak berpendidikan-pun akhirnya lebih banyak bekerja pada sektor informal dengan pendapatan dibawah standar. Mereka menjadi bagian dari penduduk miskin di kota Jakarta.
Kemiskinan yang mereka alami di kota dianggap lebih baik daripada harus menetap di daerah asal. Disebabkan tingkat kepemilikan lahan yang semakin tinggi serta perkembangan teknologi, pekerjaan sebagai buruh tani semakin tidak tersedia. Hal ini menuntut mereka mencari alternatif untuk dapat bertahan hidup. Jalan yang utama adalah datang ke kota besar yang terlihat lebih menjanjikan.
B. Perunusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka perumusan masalah makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Apakah pengertian migrasi penduduk?
2. Apakah pengertian urbanisasi penduduk?
3. Bagaimana penyebab dan strategi menanggulangi dampak negatif urbanisasi?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui pengertian migrasi penduduk.
2. Mengetahui pengertian urbanisasi penduduk.
3. Mengetahui faktor penyebab dan strategi menanggulangi dampak negatif urbanisasi.
BAB II
PERPINDAHAN PENDUDUK DI INDONESIA
A. Pengertian Migrasi
Berdasarkan Kamus Bahasa Indonesia, migrasi adalah perpindahan penduduk dari satu tempat (negara dan sebagainya) ke tempat (Negara dan sebagainya) lain untuk menetap.[3] Migrasi dalam Kamus Penguin Sociology merujuk pada “…either external (between societies) or internal (between regions)”. Secara ekonomi migrasi tidak menciptakan pembangunan ekonomi bagi daerah miskin yang tetap terbelakang dan tergantung pada pusat-pusat kapitalisme industri. (Migration does not provide economic development for poor regions which remain underdeveloped and dependent on the centres of industrial capitalism).[4]
Para ahli mendefinisikan migrasi sebagai berikut.
1. Menurut Mangalam, migrasi adalah perpindahan yang relatif permanen dari suatu kelompok yang disebut kaum migran, dari suatu lokasi ke lokasi lainnya.[5]
2. Menurut Hartono dan Arnicun Aziz, migrasi merupakan perpindahan penduduk dari satu unit geografis ke unit geografis lain. Unit geografis dapat berarti daerah administratif.
3. Menurut Ross Steele migrasi meliputi perpindahan ke rumah sebelah atau beberapa meter tetapi juga mencakup perpindahan ke Negara lain yang jaraknya beribu-ribu kilometer.
4. Menurut PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) migrasi merupakan perpindahan tempat tinggal dari unit-unit administratif ke unit administratif lainnya.[6]
Dalam pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa migrasi tidak dibatasi oleh jarak. Berbeda dengan dinamika penduduk yang berupa mobilitas sosial. Mobilitas sosial atau gerak sosial merupakan gerakan dalam struktur sosial yaitu pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial.[7] Mobilitas sosial mencakup perpindahan teritorial secara permanen dan sementara. Perpindahan dapat dikatakan migrasi jika melebihi 6 waktu bulan. Jika kurang dari itu maka manusia hanya melakukan mobilitas sirkuler.
B. Teori Migrasi
1. Teori Gravitasi
Teori ini dikemukakan oleh Ravenstein pada tahun 1889. Teori ini membahas mengenai hukum-hukum migrasi, diantaranya adalah:
a. Semakin jauh jarak, semakin berkurang volume migran.
b. Setiap arus migrasi yang benar, akan menimbulkan arus balik sebagai gantinya.
c. Perbedaan kota dan desa merupakan sebab migrasi.
d. Wanita cenderung migrasi ke daerah yang letaknya dekat.
e. Kemajuan teknologi akan menaikkan intensitas migrasi.
f. Motif utama migrasi adalah ekonomi.[8]
2. Teori Dorong-Tarik (Push Pull Theory)
Teori ini dikemukakan oleh Everett S. Lee pada tahun 1966. Menurut teori ini terdapat 4 alasan yang mempengaruhi seseorang bermigrasi, yaitu:
a. Faktor-faktor yang terdapat di daerah asal.
Faktor-faktor yang terdapat di daerah asal dapat memiliki daya dorong seperti kerusakan sumber daya alam (erosi, banjir, kekeringan, guncangan iklim, pertentangan sosial, politik, dan agama).
b. Faktor-faktor yang terdapat di daerah tujuan.
Faktor-faktor yang memiliki daya tarik misalnya penemuan sumber daya pertambangan, industri, dan lain-lain.
c. Faktor-faktor rintangan.
d. Faktor-faktor pribadi.
Banyak orang yang pindah ke kota karena merasa tidak kerasan di desa. Sebaliknya banyak orang kota yang tidak kerasan hidup di kota karena hingar bingar kehidupan. Mereka ini yang disebut sebagai migrasi psikososial. Adapun hal lain semisal orang yang pindah dari pegunungan karena hawa dingin dan sakit-sakitan. Dia tergolong migrasi fisiososial. [9]
C. Pengertian Urbanisasi
Berdasarkan Kamus Bahasa Indonesia, Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa (kota kecil, daerah) ke kota besar (pusat pemerintahan) atau perubahan dari suasana (cara hidup dan sebagainya) desa ke kota.[10] Dalam Kamus Penguin Sociology, Urbanisasi mengacu pada pertumbuhan dalam proporsi penduduk yang hidup pada suatu negara di pusat-pusat perkotaan dengan ukuran tertentu. (Urbanization refers properly to a growth in the proportion of a country's population living in urban centres of a particular size).[11]
Pengertian urbanisasi ini sulit didefinisikan. Oleh karena itu menurut Bintarto pengertian urbanisasi dapat dilihat dari beberapa faktor, misalnya:
1. Dari segi Demografi, urbanisasi dilihat sebagai suatu proses yang ditunjukkan melalui perubahan penyebaran penduduk dan perubahan dalam jumlah penduduk dalam satu wilayah.
2. Dari segi ekonomi, urbanisasi ini dilihat dari perubahan struktural dalam sektor mata pencaharian. Ini dapat dilihat pada banyaknya penduduk desa yang meninggalkan pekerjaan di bidang pertanian beralih bekerja menjadi buruh atau pekerja yang sifatnya nir/nonagraris di kota.
3. Dari sudut pandang seorang ilmuwan perilaku (behavioral scientist) urbanisasi dilihat dari segi pentingnya atau sejauh mana manusia itu dapat menyesuaikan diri terhadap situasi yang berubah-ubah baik yang disebabkan oleh kemajuan teknologi maupun dengan adanya perkembangan baru dalam kehidupan.[12]
Secara umum periode urbanisasi terkait dengan industrialisasi. Ada beberapa kontroversi tentang sifat dasar dan peran yang dimainkan kapitalisme dalam proses ini. Urbanisasi memiliki konsekuensi kontradiktif berupa pertumbuhan ekonomi, karena biaya penyediaan layanan seperti kesehatan dan pendidikan sekaligus meningkatkan biaya tenaga kerja yang tidak bisa lagi menambah gaji sebesar produksi pertanian skala kecil.
“In general, periods of urbanization appear to be associated with industrialization. There is, however, some controversy about the nature of the association and about the role that capitalism plays in the process. Urbanization has contradictory consequences for economic growth, since it cheapens the cost of providing services such as health and education while increasing the cost of labour that can no longer supplement its wages by small-scale agricultural production.[13]
Sempitnya ruang di pedesaan yang menjamin kelangsungan hidup penghuninya menyebabkan banyak penduduk desa berlari ke kota dengan keinginan mengadu nasib. Tingkat kepemilikan tanah di desa yang sangat rendah menyebabkan banyak buruh tani mengandalkan upah dari hasil mengerjakan sawah orang lain. Pendapatan yang mereka terima sangat rendah, namun tak ada alternatif pekerjaan lain di desa sebagai penyambung kehidupan.
Tingkat kepemilikan tanah yang rendah ini juga menimbulkan kelebihan tenaga kerja di desa. Mereka hanya memiliki dua alternatif, yaitu:
1. Tetap tinggal di desa, sehingga menyebabkan “disguised unemployment”, yakni jumlah tenaga kerja lebih banyak dari sumber daya alam dan faktor produksi.
2. Mereka akan masuk ke dalam bidang-bidang yang masih bisa mendukung pendapatan yakni hutan dan kota.[14]
Faktor kedua ini yang menyebabkan terjadinya urbanisasi. Menurut Nasikun, faktor tolakan dari desa berupa sempitnya lapangan kerja serta faktor tarikan dari kota berupa harapan melimpahnya tenaga kerja merupakan dua pendukung terbentuknya masyarakat urban.[15] Meskipun banyak penduduk miskin yang akhirnya terbentuk di kota karena fenomena ini, namun kenyataannya para migran lebih memiliki kondisi baik daripada tetap tinggal di desa. Hingga terdapat anggapan umum bahwa “lebih baik miskin di kota daripada miskin di desa.”
Di beberapa daerah di Indonesia, fenomena urbanisasi bahkan menjadi satu kebudayaan. Urbanisasi sering disebut dengan istilah merantau. Merantau, kata dasarnya rantau. Rantau menurut Winstedt, Iskandar dan Purwadarmita adalah kata benda yang menunjukkan sebuah dataran atau pinggiran sungai, sehingga dapat dikenal bahagian dari daerah pantai. Merantau dengan awalan me berarti pergi ke rantau atau pergi merantau. Sering juga disebut menaklukan perantauan.[16] Menurut Mochtar Naim, merantau mengandung enam elemen utama, (1) meninggalkan kampung halaman, (2) Untuk waktu dekat atau lama, (3) Dengan suka rela, (5) Dengan tujuan mencari nafkah, (6) Merantau secara kultural sebagai pola kebiasaan.[17]
Dalam masyarakat Minang alasan utama merantau adalah: 1) Faktor-faktor fisik: ekologi dan lokasi. Faktor penyebab pertamanya adalah Minangkabau merupakan daerah terpencil di luar pusat perdagangan dan politik. 2) Faktor ekonomi dan demografi. 3) Faktor pendidikan. 4) Daya tarik kota. 5) Keresahan politik. 6) Faktor-faktor sosial.[18]
Sedangkan sebab merantau bagi orang Pidie yaitu:
1. Faktor Ekonomi, yaitu hasrat mencari rezeki di luar daerah sendiri, untuk menutupi kebutuhan hidup di kampung.
2. Faktor kebudayaan, telah ada benih perantauan pada anak laki-laki sejak kecil hingga menuju kedewasaan, sehingga perasaan untuk meninggalkan keluarga merupakan kebiasaan.
3. Faktor lingkungan, orang rantau yang telah pindah telah mengalami perubahan dalam hidupnya menjadi lebih baik.[19]
Dapat disimpulkan secara garis besar alasan seseorang migrasi, merantau, ataupun urbanisasi adalah sebagai berikut:
1. Faktor-faktor sosial: termasuk keinginan para migran untuk keluar dari lingkungan paksaan-paksaan tradisional organisasi-organisasi sosial.
2. Faktor-faktor fisik, termasuk keadaan cuaca dan bencana alam seperti banjir dan tanah longsor.
3. Faktor-faktor demografis, termasuk pengurangan tingkat kematian dan tingginya tingkat populasi di daerah pedesaan.
4. Faktor-faktor kultural, termasuk keamanan hubungan yang luas di daerah perkotaan dan bujukan dari apa yang disebut kegemerlapan kota, dan
5. Faktor-faktor komunikasi, sebagai hasil transformasi yang telah diperbaiki, sistem-sistem pendidikan yang berorientasi kepada perkotaan dan dampak modernisasi-modernisasi pengenalan terhadap teknologi televisi, radio, internet, dan lain-lain.[20]
Perkembangan teknologi menyebabkan penggunaan tenaga kerja menjadi semakin berkurang. Tenaga kerja mulai tergantikan oleh mesin. Hal ini yang membuat buruh tani di desa kehilangan mata pencaharian karena pemilik lahan lebih senang menggunakan teknologi semisal traktor untuk mengelola lahan. Masyarakat desa menjadi semakin miskin karena ketergantungan terhadap pekerjaan yang telah hilang.
Akhirnya mereka mencari alternatif lain agar dapat bertahan hidup. Jalan yang mereka tempuh adalah dengan mengadu nasib ke kota. Di kota mereka bekerja pada sektor informal, misalnya pegagang asongan, penyemir sepatu, dan lain-lain. Kehidupan di kota mereka anggap lebih baik daripada hidup di desa dengan mengharapkan pekerjaan yang tak kunjung ada.
D. Dampak Urbanisasi
Menurut Clay ada beberapa pengaruh yang mendorong masyarakat untuk bermukim di pusat kota yaitu:
1. Pusat kota adalah pusat semua kegiatan. Masyarakat usia muda tertarik untuk mencari kesempatan kerja maupun mencari hiburan serta berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama di pusat kota. Dan mereka ingin bermukim di kawasan pusat kota untuk kemudahan mencapai tempat kerja.
2. Pusat kota adalah tempat yang nyaman untuk mencari kerja.
3. Tinggal di pusat kota adalah life-style.
4. Tinggal di permukiman kawasan pusat kota lebih berkelas daripada tinggal di permukiman pinggiran kota.
5. Memiliki rumah di pusat kota adalah investasi yang bernilai tinggi.
Namun sebenarnya Urbanisasi mengakibatkan masalah di kota yang didatangi. Menurut Bintarto jika diinventarisasi masalah-masalah tersebut adalah:
1. Urbanisasi ini menyebabkan beberapa masalah dan problema-problema bagi kota-kota yang jumlahnya tidak sedikit.
2. Kepadatan penduduk kota menimbulkan masalah kesehatan lingkungan, masalah perumahan,
3. Pertambahan penduduk kota yang menimbulkan masalah kesempatan dan mendapatkan pekerjaan yang layak dan memadai, masalah pengangguran dan gelandangan.
4. Penyempitan ruang dengan segala akibat negatifnya di kota karena banyaknya orang, bertambahnya bangunan untuk perumahan, perkantoran, kegiatan industri dan bertambahnya kendaraan bermotor yang terus membanjiri kota-kota di Negara berkembang,
5. Masalah lalu lintas, kemacetan jalan dan masalah parkir yang menghambat kelancaran kota.
6. Industrialisasi di kota yang menimbulkan polusi udara, polusi air dan polusi kebisingan.[21]
Bintarto menambahkan urbanisasi juga membawa dampak terhadap berbagai sektor kehidupan, yaitu:
1. Dalam sektor ekonomi, struktur ekonomi menjadi lebih bervariasi dari yang bermodal kecil hingga besar.
2. Perkembangan di bidang pariwisata juga nampak meluas,
3. Dalam bidang pendidikan makin banyak diusahakan adanya pendidikan kejuruan atau adanya program non gelar yang bisa dicapai dalam waktu yang singkat tetapi sudah dapat mendatangkan penghasilan.
4. Selain itu juga adanya perluasan fisik kota ke arah pinggiran kota (the periphery areas) yang menimbulkan masalah baru mengenai batas administratif pertanahan dan pemerintahan.
5. Harga tenaga kerja baik di kota maupun di daerah tepian kota cenderung naik.
6. Perubahan tata guna lahan menjadi masalah yang juga patut diperhatikan. Banyak daerah hijau (green belts) telah menjadi daerah industri atau daerah permukiman. Hal ini akan menyebabkan adanya pencemaran udara, tanah maupun air.[22]
Urbanisasi juga menciptakan kawasan elit dan kawasan kumuh (slump area). Kawasan kumuh dihuni oleh urban yang kurang berhasil mengadu nasib di kota besar. Ciri-ciri pemukiman kumuh adalah sebagai berikut:
1. Lingkungan permukiman yang kondisi tempat tinggal atau tempat huniannya berdesakkan.
2. Luas rumah tidak sebanding dengan jumlah penghuni.
3. Rumah hanya sekedar tempat untuk berlindung dari panas dan hujan.
4. Hunian bersifat sementara dan dibangun di atas tanah bukan milik penghuni.
5. Lingkungan dan tata permukimannya tidak teratur tanpa perencanaan.
6. Prasarana kurang (mck, air bersih, saluran buangan, listrik, jalan lingkungan).
7. Fasilitas sosial kurang (sekolah, rumah ibadah, balai pengobatan).
8. Mata pencaharian yang tidak tetap dan usaha non formal.
9. Pendidikan masyarakat rendah.[23]
Terhadap wilayah yang ditinggalkan, urbanisasi mengakibatkan berkurangnya tenaga kerja potensial bagi pembangunan. Kurangnya tenaga kerja di daerah memantik siklus kegagalan pembangunan; kegagalan pembangunan mengakibatkan daerah setempat menjadi statis dan tidak bisa menarik minat generasi mudanya untuk tetap tinggal dan berkarya di daerah asal; yang terjadi kemudian adalah tumbuhnya minat untuk migrasi ke kota besar; memunculkan mitos bahwa perekonomian keluarga hanya bisa dibangun jika anggota keluarga bekerja di kota-kota besar; terjadi migrasi tenaga kerja potensial dari daerah ke kota.[24]
E. Strategi Menangani Dampak Negatif Urbanisasi
Kebijaksanaan pemerintah untuk mengatasi pengaruh negatif urbanisasi adalah dengan menghidupkan perekonomian sektor formal modern dan sektor informal tradisional. Sektor informal ini sebenarnya tidak selalu berdampak negatif karena pada kenyataannya membantu dalam penampungan angkatan kerja yang tidak tertampung dalam sektor formal. Namun jika dibiarkan di kota besar, ketidakteraturan pekerja informal ini menimbukan masalah lain. Misalnya pedagang asongan yang berjalan di pinggir jalan atau pedagang kaki lima yang menggunakan fasilitas umum berupa trotoar sebagai tempat jualan.
Untuk menangani ini pemerintah melaksanakan beberapa program, diantaranya
1. Mendorong sektor informal menjadi formal dengan memberikan sejumlah modal.
2. Meningkatkan kemampuan dalam usaha sektor informal yang sama[25]
Tidak terkendalinya urbanisasi berbanding lurus dengan kegagalan pemerataan pembangunan dan kesejahteraan. Maka untuk menekan laju urbanisasi adalah dengan mengupayakan pemerataan pembangunan dan kesejahteraan. Kegiatan ini harus dan hanya bisa dimulai dari daerah. Dibutuhkan keberanian ekstra untuk keluar dari kungkungan paradigma urban-bias theory yang menganggap bahwa pemerataan pembangunan menyebar secara sentrifugal dari kota sebagai pusat pembangunan.[26]
Pendekatan lain yang mulai digagas dasawarsa 1990-an adalah rekonstruksi dikotomi kota-desa dalam pembangunan. Mainstream pemikiran pembangunan ekonomi pra-1990 melihat bahwa hubungan desa-kota adalah hubungan diametral dimana keduanya saling terpisah. Douglass dan Rondinelli, pada pertengahan 1990-an menyatakan konsep continuum yang memandang desa-kota sebagai satu fenomena yang bertautan (continuum) di mana masyarakat di dalamnya secara bersama memecahkan masalah kemiskinan, perkembangan ekonomi, lingkungan yang berkelanjutan, dan dalam pengembangan kerangka kelembagaan.[27]
Inpres Desa Tertinggal (IDT) adalah salah satu contoh tindakan untuk meningkatkan daya saing desa terhadap kota. Jika daya saing desa bagus, yang ditandai peningkatan kualitas sarana dan prasarana pembangunan, maka godaan terhadap penduduk desa untuk migrasi ke kota bisa semakin ditekan. Dengan kata lain perlu dilakukan proses ”pengkotaan” atau melengkapi desa dengan kualitas sarana dan prasarana setara dengan kota. Tetapi melengkapi desa dengan fasilitas kota harus dibatasi hanya pada hal-hal yang secara sosiologis bias diterima masyarakat.[28]
Pembangunan sentra ekonomi di daerah harus pula diimbangi dengan kebijakan perdagangan atau perlindungan harga bagi hasil produksi desa. Hal ini penting mengingat salah satu alasan klasik urbanisasi (migrasi) adalah rendahnya penghasilan sektor ekonomi desa. Kebanyakan migran adalah mantan petani, pengrajin, serta pelaku usaha-usaha ekstraktif lainnya yang merasa putus asa karena hasil usaha mereka di desa dihargai terlalu rendah sehingga tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari.[29]
Selain itu pemerintah juga melakukan perbaikan lingkungan permukiman. Berdasarkan PU. Cipta Karya, terdapat beberapa bentuk usaha pelaksanaan perbaikan permukiman, yaitu sebagai berikut:
1. Pemugaran rumah, diartikan pengembalian keadaan fisik seperti semula.
2. Program Perbaikan Kampung (KIP).
3. Perbaikan lingkungan kawasan pasar (MIP).
4. Pembangunan perumahan.
5. Konsolidasi lahan; merupakan kegiatan terpadu untuk menata kembali pola kepemilikan tanah di suatu wilayah yang kurang/tidak teratur.
6. Pengembangan lahan terkendali; merupakan upaya penataan lanjut dalam rangka pengembangan tata ruang kota, khususnya bagian wilayah kota secara lebih implementatif, bila perlu melalui pemindahan/pengembangan daerah pinggir kota.
7. Pembangunan rumah susun; membangun lingkungan hunian secara keseluruhancdengan tujuan untuk menata kembali suatu kawasan kota, baik secara fisik maupun fungsional dan keuntungan ekonomisnya.[30]
BAB III
KESIMPULAN
Migrasi tidak dibatasi oleh jarak. Berbeda dengan dinamika penduduk yang berupa mobilitas sosial. Mobilitas sosial atau gerak sosial merupakan gerakan dalam struktur sosial yaitu pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial. Mobilitas sosial mencakup perpindahan teritorial secara permanen dan sementara. Perpindahan dapat dikatakan migrasi jika melebihi 6 waktu bulan. Jika kurang dari itu maka manusia hanya melakukan mobilitas sirkuler.
Dari segi Demografi, urbanisasi dilihat sebagai suatu proses yang ditunjukkan melalui perubahan penyebaran penduduk dan perubahan dalam jumlah penduduk dalam satu wilayah. Dari segi ekonomi, urbanisasi ini dilihat dari perubahan struktural dalam sektor mata pencaharian. Ini dapat dilihat pada banyaknya penduduk desa yang meninggalkan pekerjaan di bidang pertanian beralih bekerja menjadi buruh atau pekerja yang sifatnya nir/nonagraris di kota.
Terhadap wilayah yang ditinggalkan, urbanisasi mengakibatkan berkurangnya tenaga kerja potensial bagi pembangunan. Kurangnya tenaga kerja di daerah memantik siklus kegagalan pembangunan; kegagalan pembangunan mengakibatkan daerah setempat menjadi statis dan tidak bisa menarik minat generasi mudanya untuk tetap tinggal dan berkarya di daerah asal. Bagi daerah tujuan migrasi memiliki dampak positif yaitu tersedianya angkatan kerja. Dampak negatifnya adalah kaum urban yang tidak memiliki keterampilan hanya menjadi beban kependudukan.
Tidak terkendalinya urbanisasi berbanding lurus dengan kegagalan pemerataan pembangunan dan kesejahteraan. Maka untuk menekan laju urbanisasi adalah dengan mengupayakan pemerataan pembangunan dan kesejahteraan. Kegiatan ini harus dan hanya bisa dimulai dari daerah. Dibutuhkan keberanian ekstra untuk keluar dari kungkungan paradigma urban-bias theory yang menganggap bahwa pemerataan pembangunan menyebar secara sentrifugal dari kota sebagai pusat pembangunan.
DAFTAR PUSTAKA
Abercrombie, Nicholas dkk. The Penguin Dictionary of Sociology. London: Penguin Books. 1994.
Bahasa, Pusat. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa. 2010.
Bintarto. Urbanisasi dam Permasalahannya. Yogyakarta: Galia Indonesia. 1983.
Hartomo, H. dan Arnicun Aziz. MKDU Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Bumi Aksara. 1993.
Naim, Mochtar. Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1984.
Narwoko, J. Dwi dan Bagong Suyanto. Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2006.
Sahur, Ahmad. Merantau bagi Orang Pidie, dalam Migrasi, Kolonisasi, Perubahan Sosial. Jakarta: Pustaka Grafika Kita. 1988.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press. 2006.
Tesis
Eny Endang Surtiani. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terciptanya Kawasan Permukiman Kumuh di Kawasan Pusat Kota (Studi Kasus: Kawasan Pancuran, Salatiga). Magister Teknik Pembangunan Wilayah Dan Kota Program Pasca Sarjana-Universitas Diponegoro. Semarang: 2006.
Artikel
Arus Urbanisasi ke Jakarta Semakin Berkurang, dalam Kompas Online tanggal 13 Agustus 1012.
Makalah
Mardian Wibowo, Makalah Desa Mengepung Kota: Strategi Membebaskan Jakarta dari Urbanisasi, Tugas Mata Kuliah Pembangunan Wilayah dan Kota: Magister Administrasi Kebijakan Publik UI.
[1] Makalah yang berjudul Perpindahan Penduduk Indonesia disusun oleh Anita (1110015000015), Muhammad Faqih, Nadia Annisa, dan Rizki Awaludin dan dipresentasikan pada tanggal 28 Mei 2013.
[2] Arus Urbanisasi ke Jakarta Semakin Berkurang, dalam Kompas Online tanggal 13 Agustus 1012. http://megapolitan.kompas.com/read/2012/08/13/14303123/Arus.Urbanisasi.ke.Jakarta.Semakin.Berkurang
[3] Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2010), hal. 954.
[4] Nicholas Abercrombie, dkk, The Penguin Dictionary of Sociology, (London: Penguin Books, 1994), hal 266-267.
[5]J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi: teks pengantar dan terapan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hal. 329.
[6] Hartono dan Arnicun Aziz, MKDU Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hal. 19,
[7] Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Press, 2006), hal. 219.
[8] Hartono dan Arnicun Aziz, hal. 22.
[9]Hartono dan Arnicun Aziz, hal 22.
[10] Pusat Bahasa, hal. 1597.
[11] Nicholas Abercrombie, dkk, hal 441.
[12] hal 9-10.
[13] Nicholas Abercrombie, dkk, hal. 442.
[14] Hartono dan Arnicun Aziz, hal. 29.
[15] Hartono dan Arnicun Aziz, hal 30.
[16] Ahmad Sahur, Merantau bagi Orang Pidie, dalam Migrasi, Kolonisasi, Perubahan Sosial, (Jakarta: Pustaka Grafika Kita, 1988), hal. 13.
[17] Ahmad Sahur, hal. 14.
[18] Mochtar Naim, Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1984), hal. 227.
[19] Ahmad Sahur, Hal 30-44.
[20] Hartono dan Arnicun Aziz, hal 31.
[21] Bintarto, Urbanisasi dam Permasalahannya, (Yogyakarta: Galia Indonesia, 1983), hal. 35.
[22] Bintarto, hal. 37.
[23] Eny Endang Surtiani. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terciptanya Kawasan Permukiman Kumuh di Kawasan Pusat Kota (Studi Kasus: Kawasan Pancuran, Salatiga). Magister Teknik Pembangunan Wilayah Dan Kota Program Pasca Sarjana-Universitas Diponegoro. Semarang: 2006.
[24] Mardian Wibowo, Makalah Desa Mengepung Kota: Strategi Membebaskan Jakarta dari Urbanisasi, Tugas Mata Kuliah Pembangunan Wilayah dan Kota: Magister Administrasi Kebijakan Publik UI, hal 3-4.
[25] Hartono dan Arnicun Aziz, hal. 38.
[26] Mardian Wibowo, Makalah Desa Mengepung Kota: Strategi Membebaskan Jakarta dari Urbanisasi.
[27] Mardian Wibowo, Makalah Desa Mengepung Kota: Strategi Membebaskan Jakarta dari Urbanisasi.
[28] Mardian Wibowo, Makalah Desa Mengepung Kota: Strategi Membebaskan Jakarta dari Urbanisasi.
[29] Mardian Wibowo, Makalah Desa Mengepung Kota: Strategi Membebaskan Jakarta dari Urbanisasi.
[30] Eny Endang Surtiani. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terciptanya Kawasan Permukiman Kumuh di Kawasan Pusat Kota (Studi Kasus: Kawasan Pancuran, Salatiga). Magister Teknik Pembangunan Wilayah Dan Kota Program Pasca Sarjana-Universitas Diponegoro. Semarang: 2006.
Hal. 61.