Senin, 22 Juli 2013

Fiqh

KEPEMILIKAN DAN AQAD DALAM ISLAM


MAKALAH



Makalah ini disusun sebagai syarat ketuntasan mata kuliah Fiqh


oleh,
Anita (1110015000015)
Ade Robiatu S. (1110015000003)
Yustia Umamah (1110015000002)



PROGRAM STUDI SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (P.IPS)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1434 H/2013 M


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kesempurnaan Islam sebagai sebuah pandangan hidup (worldview) telah memberikan arahan yang jelas kepada manusia tentang bagaimana cara memecahkan berbagai problematika kehidupan yang dialaminya secara tuntas dan tetap sejalan dengan apa yang dikehendaki oleh Allah sebagaimana yang termuat dalam hukum-hukum Syari’at-Nya. Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

“Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” “Hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, telah Aku cukupkan nikmat-Ku untuk kalian, dan telah Aku ridhai islam sebagai agama kalian.” Oleh karena itu, sudah selayaknyalah bagi setiap manusia untuk hanya merujuk kepada Syari’at yang telah diturunkan Allah kepada manusia dalam menyelesaikan berbagai problematika kehidupannya. Di antara berbagai problematika kehidupan yang dihadapi manusia adalah yang terkait dengan problematika ekonomi, misalnya tentang bagaimana cara memperoleh harta, mengembangkannya, hingga mendistribusikannya. 

Islam telah menggariskan hukum perolehan individu, seperti hukum bekerja, berburu, menghidupkan tanah yang mati, warisan, hibah, wasiat, dan sebagainya.  Islam merupakan agama wahyu yang mengajarkan manusia untuk hidup secara teratur. Keteraturan tersebut akan tercipta ketika melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi larangan-larangannya. Untuk mengetahui segala perintah dan larangan tersebut dibutuhkan pemahaman akan ilmu-ilmu keislaman yang bersumber pada khabbar siddiq  yaitu Al Qur’an dan Hadits. Selain itu diperlukan saluran ilmu lain yang berupa Ijma ulama, dan Qiyas. 

"Dan Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu)." (QS. Al-Maidah: 18) Dalam ayat ini dijelaskan bahwa segala sesuatu yang berada di langit dan bumi merupakan kepunyaan Allah. Sedangkan manusia hanyalah pihak yang mendapat kuasa dari Allah untuk memanfaatkan harta Allah. “Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya”. (QS. Al Hadiid: 7) Penguasaan ini berlaku umum bagi semua manusia. Semua manusia memiliki hak pemilikan, tapi bukan pemilikan yang sebenarnya. Oleh karena itu bagi individu yang ingin memiliki harta tertentu, maka Islam telah menjelaskan sebab-sebab pemilikan yang halal dan yang haram.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana hakikat kepemilikan dalam Islam?
2. Bagaimana syarat atau sebab kepemilikan dalam Islam?
3. Bagaimana syarat aqad dan persetujuan?

C. Tujuan Penulisan 
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui hakikat kepemilikan dalam Islam.
2. Mengetahui syarat atau sebab kepemilikan dalam Islam.
3. Mengetahui syarat aqad dan persetujuan.


BAB II
KEPEMILIKAN DAN AQAD DALAM ISLAM

A. Pengertian Kepemilikan
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, istilah milik berarti: kepunyaan; hak; peruntungan; nasib baik.  Istilah “milik” merupakan serapan dari bahasa Arab dari akar kata “malaka”. Dalam bahasa Arab “milik” berarti kepenguasaan orang terhadap sesuatu (barang atau harta) dan barang tersebut dalam genggamannya baik secara riil maupun secara hukum. Dimensi kepenguasaan ini direfleksikan dalam bentuk bahwa orang yang memiliki sesuatu barang berarti mempunyai kekuasaan terhadap barang tersebut sehingga ia dapat mempergunakannya menurut kehendaknya dan tidak ada orang lain, baik itu secara individual maupun kelembagaan, yang dapat menghalang-halanginya dari memanfaatkan barang yang dimilikinya itu. Dalam istilah kepemilikan berarti pendapatan seseorang yang diberi wewenang untuk mengalokasikan hartanya yang dikuasai orang lain dengan keharusan untuk selalu memperhatikan sumber (pihak) yang menguasainya. 

Ahmad Azhar Basyir, sebagaimana dikutip M.Sularno menyatakan bahwa Allah adalah pemilik sepenuhnya segala sesuatu.  Dia adalah pencipta alam semesta, namun bukan untuk kepentingannya sendiri, melainkan untuk manusia secara kolektif. (Q.S Al Imran: 189) Manusia diberi hak milik secara individu, setiap pribadi berhak memiliki, menikmati, dan memindahtangankan kekayaan, tetapi mereka memiliki kewajiban moral menyedekahkan hartanya untuk orang yang berhak.  Dr. Yusuf Al-Qaradhawy menyatakan terdapat 6 syarat untuk suatu kekayaan terkena wajib zakat:  1) Milik penuh, 2) Berkembang, 3) Cukup senisab, 4) Lebih dari kebutuhan biasa, 5) Bebas dari hutang, dan 6) Berlalu setahun.

Menurut M. Sularno, ketentuan Al-Qur’an dan Al-Sunnah mengenai pengaturan kepemilikan kekayaan, antara lain: 1) Pemanfaatan, 2) Penunaian Hak, 3) Tidak merugikan pihak lain, 4) Kepemilikan secara sah, dan 5) Penggunaan berimbang. Dengan ketentuan-ketentuan tersebut, menurut Qur’an dan Sunnah, ciri khas kepemilikan yang Islami terletak pada adanya perintah etika dan moral dalam pencarian maupun tasarufnya dan jika dipatuhi akan menjadi solusi atas keburukan sistem kapitalisme dan sosialisme. 

B. Macam-macam Kepemilikan
Konsep kepemilikan dalam Islam terbagi menjadi tiga, sebagaimana yang dikemukakan Taqiyuddin An-Nabhani dalam buku Sistem Ekonomi Islam. Dalam buku tersebut An-Nabhani menjelaskan bahwa Islam membagi konsep kepemilikan menjadi: kepemilikan individu (al-milkiyat al-fardiyah/private property); kepemilikan publik (al-milkiyyat al-'ammah/ public property); dan kepemilikan Negara (milkiyyat al-dawlah/state private).  

1. Kepemilikan Individu (al-milkiyat al-fardiyah/private property)
Kepemilikan individu adalah hak individu yang diakui syariah dimana dengan hak tersebut seseorang dapat memiliki kekayaan yang bergerak maupun tidak bergerak. Hak ini dilindungi dan dibatasi oleh hukum syariah dan ada kontrol. Selain itu seseorang akhirnya dapat memiliki otoritas untuk mengelola kekayaan yang dimilikinya. Hukum syariah juga membatasi pemanfaatan harta dalam hal: menghambur-hamburkan harta di jalan yang terlarang seperti melakukan aktifitas suap, memberikan riba/bunga, membeli barang dan jasa yang diharamkan seperti miras/pelacuran. Melarang transaksi dengan cara: penipuan, pemalsuan, mencuri timbangan/ ukuran. Dan juga melarang aktifitas yang dapat merugikan orang lain seperti menimbun barang untuk spekulasi. 

Islam juga menuntunkan prioritas pemanfaatan harta milik individu, bahwa pertama-tama harta harus dimanfaatkan untuk perkara yang wajib seperti untuk member nafkah keluarga, membayar zakat, menunaikan haji, membayar utang dan lain-lain. Berikutnya dimanfaatkan untuk pembelanjaan yang disunahkan seperti sedekah, hadiah. Baru kemudian yang mubah. Aturan Islam juga berbicara tentang bagaimana sesorang akan mengembangkan harta. Antara lain dengan jalan yang sah seperti jual beli, kerja sama usaha (syarikah) yang Islami dalam bidang pertanian, perindustrian maupun perdagangan dan jasa. Dan juga larangan pengembangan harta seperti memungut riba, judi, dan investasi di bidang yang haram seperti membuka rumah bordil, diskotik dan lain-lain.  

Menurut Imam Al-Ghazali, aktivitas ekonomi individu harus didasarkan pada tujuan untuk mendapatkan kebahagiaan di akhirat. Lebih lanjut lagi ia menjelaskan alasan kenapa manusia harus terlibat dalam urusan ekonomi, yaitu: Pertama, Allah telah menciptakan sumber daya alam yang melimpah untuk dimanfaatkan oleh manusia untuk kelangsungan hidupnya, sekaligus sebagai bukti kesyukuran kepada Sang Maha Pemberi Rezeki. Kedua, orang yang kuat secara ekonomi maka hidupnya akan bebas, jauh dari ketergantungan pada orang lain dan dapat menjalankan ajaran agama secara sempurna, misalnya zakat, infak, sedekah dan ibadah haji. Ketiga, perilaku dalam mengejar pemenuhan ekonomi tak boleh menyimpang dari ajaran dan prinsip agama Islam. Al-Ghazali menekankan pentingnya bagi para pelaku ekonomi untuk memiliki pengetahuan tentang prinsip-prinsip dan aturan-aturan Islam dalam transaksi ekonomi. 

2. Kepemilikan publik (al-milkiyyat al-'ammah/ public property)
Kepemilikan publik adalah seluruh kekayaan yang telah ditetapkan kepemilikannya oleh Allah bagi kaum muslim sehingga kekayaan tersebut menjadi milik bersama kaum muslim. Individu-individu dibolehkan mengambil manfaat dari kekayaan tersebut, namun terlarang memilikinya secara pribadi. Ada tiga jenis kepemilikan publik:

a. Sarana umum yang diperlukan oleh seluruh warga Negara untuk keperluan sehari-hari seperti air, saluran irigasi, hutan, sumber energi, pembangkit listrik dll.
b. Kekayaan yang aslinya terlarang bagi individu untuk memilikinya seperti jalan umum, laut, sungai, danau, teluk, selat, kanal, lapangan, masjid dll.
c. Barang tambang (sumber daya alam) yang jumlahnya melimpah, baik berbentuk padat (seperti emas atau besi), cair (seperti minyak bumi), atau gas (seperti gas alam).

Seperti dalam hadits riwayat Abu Dawud dan Ibn Majah: “Manusia berserikat (bersama-sama memiliki) dalam tiga hal: air, padang rumput dan api."  Hak pengelolaan kepemilikan umum (milkiyah amah) ada pada masyarakat secara umum yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Negara karena Negara adalah wakil rakyat. Negara harus mengelola harta milik umum itu secara professional dan efisien. Meskipun Negara memiliki hak untuk mengelola milik umum, ia tidak boleh memberikan hak tersebut kepada individu tertentu. Milik umum harus memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat luas.

Pemanfaatan kepemilikan umum dilakukan dengan dua cara yaitu: Pertama: jika memungkinkan, individu dapat mengelolanya maka individu tersebut hanya diperkenankan sekedar mengambil manfaat barang-barang itu dan bukan memilikinya. Misal memanfaatkan secara langsung milik umum seperti air, jalan umum dan sebagainya. Kedua, jika tidak mudah bagi individu untuk mengambil manfaat secara langsung seperti gas dan minyak bumi, maka Negara harus memproduksinya sebagai wakil dari masyarakat untuk kemudian hasilnya diberikan secara cuma-cuma kepada seluruh rakyat, atau jika dijual hasilnya dimasukkan ke Bait al-mal (kas Negara) untuk kepentingan masyarakat.  

3. Kepemilikan Negara (milkiyyat al-dawlah/state private)
Adalah harta yang merupakan hak bagi seluruh kaum muslimin/rakyat dan pengelolaannya menjadi wewenang negara, dimana negara berhak memberikan atau mengkhususkannya kepada sebagian kaum muslim/rakyat sesuai dengan ijtihadnya. Makna pengelolaan oleh negara ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki negara untuk mengelolanya. Kepemilikan negara ini meliputi semua jenis harta benda yang tidak dapat digolongkan ke dalam jenis harta milik umum (al-milkiyyat al-'ammah/public property) namun terkadang bisa tergolong dalam jenis harta kepemilikan individu (al-milkiyyat al-fardiyyah). 
Beberapa harta yang dapat dikategorikan ke dalam jenis kepemilikan negara menurut Al-shari' dan negara berhak mengelolanya dengan pandangan ijtihadnya adalah:

a. Harta ghanimah, anfal (harta yang diperoleh dari rampasan perang dengan orang kafir), fay' (harta yang diperoleh dari musuh tanpa peperangan) dan khumus.
b. Harta yang berasal dari kharaj (hak kaum Muslim atas tanah yang diperoleh dari orang kafir, baik melalui peperangan atau tidak).
c. Harta yang berasal dari jizyah (hak yang diberikan Allah kepada kaum Muslim dari orang kafir sebagai tunduknya mereka kepada Islam)
d. Harta yang berasal dari dari bah (pajak).
e. Harta yang berasal dari ushur (pajak penjualan yang diambil pemerintah dari pedagang yang melewati batas wilayahnya dengan pungutan yang diklasifikasikan berdasarkan agamanya)
f. Harta yang tidak ada ahli warisnya atau kelebihan harta dari sisa waris (amwal al-fadla)
g. Harta yang ditinggalkan oleh orang-orang murtad
h. Harta yang diperoleh secara tidak sah para penguasa, pegawai negara, harta yang didapat tidak sejalan dengan shara'
i. Harta lain milik negara, semisal: Padang pasir, gunung, pantai, laut dan tanah mati yang tidak ada pemiliknya.

Selanjutnya menurut An-Nabhani, orang yang memiliki lahan tanah pertanian, harus mengelolanya secara optimal karena sebagai sektor penting dalam roda perekonomian negara. Seseorang yang memiliki tanah pertanian, berarti dia mengambil profesi sebagai petani dan harus mengelola tanahnya seproduktif mungkin. Jika tidak mau mengelola tanahnya, maka tanah itu tidak boleh disewakan, akan tetapi harus diberikan kepada petani lain yang tidak memiliki tanah. Negara memiliki kewenangan untuk mencabut kepemilikan atas tanah itu dan memberikan kepada pengelola lain tanpa memberikan kompensasi apapun. 

C. Sebab atau Syarat Kepemilikan
Al-Khafifi dalam buku Mukhtasar Ahkam Al-Mu’amalah Al-Syar’iyyah, sebagaimana dikutip M. Sularno menyatakan bahwa Hak milik adalah “suatu kekhususan untuk menguasai sesuatu yang mengesampingkan orang lain dapat memanfaatkan sesuatu tersebut. Terdapat pengertian dalam definisi ini bahwa adanya hak milik memungkinkan si pemiliknya mengambil untung dan manfaat atas milik itu serta mencegah orang lain menarik untung dan manfaat tanpa seizin pemilik tersebut. 

Diantara karakteristik Islam adalah insaniyyah (manusiawi). Islam memiliki perhatian yang jelas dan kuat pada kemaslahatan manusia, baik dalam akidah, ibadah, mu’amalah, akhlaq, dan orientasi-orientasinya. Itulah sebabnya Islam mengakui dan menghormati eksistensi kepemilikan sekaligus memberi rambu-rambu aturannya dengan maksud menciptakan kemaslahatan manusia, baik mengenai sebab atau cara memperoleh kepemilikan, maupun pentarasufannya dengan kaidah-kaidah khusus kepemilikan.

Dari ketentuan-ketentuan syara’ perihal sebab dan cara perolehan pemilikan, yakni:
1. Ihrazul Mubahat (menimbulkan kebolehan),
2. Al-‘Uqud (aneka aqad/perjanjian)
3. Al-Khalafiyah (pewarisan)
4. Al-Tawalludu minal mamluk (berkembang biak)
Dari ketentuan ini menurut M. Sularno terkandung nilai-nilai filosofis, yaitu: 1) Nilai Rahmat (kemurahan), 2) Nilai penghargaan, kepastian, dan kerelaan, 3) Nilai tanggung jawab dan jaminan kesejahteraan keluarga. 

Selain hal tersebut, An-Nabhani mengemukakan bahwa sebab pemilikan adalah sebab-sebab perolehan harta asal (yang semula memang bukan milik seseorang) atau hal-hal yang berkaitan dengan memperoleh harta (baru) yang belum dimiliki sebelumnya. Contoh, seorang penambang emas yang mencari biji emas di sungai/ di gunung, berburu binatang di padang rumput/ hutan, bekerja pada seseorang/ perusahaan, dsb.  Lebih lanjut An-Nabhani menyatakan bahwa hukum syariah menetapkan cara-cara atau sebab-sebab terjadinya kepemilikan pada seseorang, yaitu dengan:  

1. Bekerja. Menurut hukum-hukum syariah ada beberapa bentuk kerja yang bisa dijadikan sebagai sebab kepemilikan harta adalah sebagai berikut: a) Menghidupkan Tanah Mati, b) Menggali Kandungan Bumi, c) Berburu, d) Makelar (Samsarah) dan Pemandu (Dalalah), e) Mudharabah, f) Musaqat, dan g) Ijarah (Kontrak Kerja)  
2. Pewarisan
3. Kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup
4. Pemberian Negara
5. Harta yang diperoleh tanpa usaha apapun

D. Macam-macam Aqad atau Persetujuan
Menurut segi etimologi, aqad antara lain berarti ikatan antara dua perkara baik ikatan secara nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi. Menurut termonologi ulama fiqih, aqad dapat ditinjau dari dua segi, yaitu secara umum dan secara khusus. Dalam pengertian umum aqad adalah segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual beli, perwakilan, dan gadai. Dalam pengertian khusus aqad adalah perikatan yang ditetapkan dengan ijab-qabul berdasarkan ketentuan syara’ dan berdampak pada objeknya. 

1. Rukun Aqad 
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun aqad adalah ijab dan qabul. Ulama selain Hanafiyah berpendapat bahwa aqad memiliki tiga rukun, yaitu:
a. Orang yang aqad (‘aqid), contoh penjual dan pembeli.
b. Sesuatu yang diakadkan (maqud alaih), contoh: harga atau yang dihargakan.
c. Shigat, yaitu ijab dan qabul. Definisi ijab menurut ulama Hanafiyah adalah penetapan perbuatan terrtentu yang menunjukkan keridaan yang diucapkan oleh orang pertama, baik yang menyerahkan maupun yang menerima. Sedangkan qabul adalah orang berkata setelah orang yang mengucapkan ijab, yang menunjukkan keridaan atas ucapan orang pertama.

2. Unsur-unsur Aqad 
a. Sighat Aqad adalah sesuatu yang disandarkan dari dua pihak yang beraqad yang menunjukkan atas apa yang ada dihati keduanya tentang terjadinya suatu akad.
1) Metode atau uslub Shighat Ijab dan Qabul
a) Aqad dengan Lafadz (ucapan)
b) Aqad dalam Perbuatan
c) Aqad dengan Isyarat
d) Aqad dengan Tulisan
2) Syarat-syarat Ijab dan Qabul. 
a) Syarat-syarat Ijab dan Qabul.
i. Ijab dan Qabul harus jelas maksudnya.
ii. Antara ijab dan Qabul harus sesuai.
iii. Antara ijab dan Qabul saling terkait.
b) Tempat Aqad
i. Harus ditempat yang sama. Dibolehkan pada tempat yang berbeda asalkan keduanya memahami.
ii. Tidak boleh tampak adanya penolakan dari kedua belah pihak.
iii. Ijab tidak boleh dibatalkan sebelum adanya qabul.
c) Aqad yang tidak memerlukan persambungan tempat
i. Wasiat,
ii. Penitipan keturunan keluarga, dan
iii. Perwakilan.
d) Pembatalan Ijab
i. Pengucap ijab menarik perkataannya sebelum qabul.
ii. Ada penolakan dari satu yang aqad.
iii. Berakhirnya tempat aqad.
iv. Pembuat akad kehilangan penguasaan atas dirinya.
v. Rusaknya sesuatu yang akan dijadikan aqad.

b. Al-Aqid (orang yang aqad)  adalah orang yang melakukan aqad. Secara umum, aqid disyaratkan harus ahli dan memiliki kemampuan untuk melakukan aqad atau mampu menjadi pengganti orang lain jika ia menjadi wakil. Ulama Malikiyah dan Hanafiyah mensyaratkan aqad harus berakal, yakni sudah mumayyiz, anak yang agak besar yang pembicaraan dan jawaban yang dilontarkannya dapat dipahami, serta berumur minimal 7 tahun. Adapun ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mensyaratkan aqid harus baligh (terkena perintah syara’), berakal, telah mampu menerima agama dan hartanya. 

c. Mahal Aqad (al ma’qud alaih)  adalah objek aqad atau benda-benda yang dijadikan aqad yang bentuknya tampak dan membekas. Dalam Islam tidak semua benda dapat dijadikan objek aqad, misalnya minuman keras. Oleh karena itu fuqaha menetapkan empat syarat dalam objek aqad berikut ini.
1) Ma’qud alaih (barang) harus ada ketika aqad.
2) Ma’qud alaih harus masyru’ (sesuai ketentuan syara’).
3) Dapat diberikan waktu aqad.
4) Ma’qud alaih harus diketahui oleh kedua belah pihak yang aqad.
5) Ma’qud alaih harus suci.
d. Al-Maudhu (Tujuan) aqad  adalah maksud utama disyariatkannya aqad. Dalam syariat Islam, maudhu aqad ini harus benar dan sesuai dengan ketentuan syara’. Pada aqad jual beli misalnya, maudhu aqad adalah pemindahan kepemilikan barang dari penjual kepada pembeli, sedangkan dalam sewa menyewa adalah pemindahan dalam mengambil manfaat disertai mengganti, dan lain-lain.

3. Keinginan Mengadakan Aqad Al-Iradah Al-Aqdiyah
a. Keinginan batin (niat atau maksud)
b. Keinginan yang zahir.

Ada beberapa macam syarat aqad, syarat sah, syarat memberikan, dan syarat keharusan (lujum).
1. Syarat terjadinya aqad
a. Umum, yaitu syarat aqad yang harus ada adalam setiap aqad.
b. Khusus, yakni syarat-syarat yang harus ada pada sebagian aqad.
2. Syarat sah aqad, Ulama Hanafiyah mansyaratkan terhindarnya seseorang dari enam kecacatan dalam jual beli, yaitu kebodohan, paksaan, pembatasan waktu, perkiraan, ada unsur kemudharatan, dan syarat jual-beli rusak (fasid).
3. Syarat pelaksanaan aqad yaitu ada kepemilikan dan penguasaan.
4. Syarat kepastian hukum. Dasar aqad adalah kepastian. Di antara syarat luzum dalam jual-beli adalah terhindarnya dari beberapa khiyar jual-beli, seperti khiyar aib, dan lain-lain.

Setiap aqad dipastikan memiliki dua dampak, yaitu umum dan khusus.
1. Dampak khusus contohnya pemindahan kepemilikan dalam jual beli, hibah, wakaf, upah, dan lain-lain.
2. Dampak umum adalah sega sesuatu yang mengiringi setiap atau sebagian besar aqad.

Aqad dibagi menjadi beberapa macam,  yang setiap macamnya sangat bergantung pada sudut pandangnya.
1. Berdasarkan ketentuan Syara’
a. Aqad Shahih dengan terpenuhinya unsur dan syarat yang telah ditetapkan syara’.
b. Aqad tidak Shahih dengan tidak terpenuhinya unsur dan syarat yang telah ditetapkan syara’.
2. Berdasarkan penamaannnya
a. Aqad yang telah dinamai syara’ seperti jual beli, hibah, gadai, dan sebagainya.
b. Aqad yang belum dinamai syara’, tetapi disesuaikan dengan perkembangan zaman.
3. Berdasarkan maksud dan tujuan aqad; kepemilikan, menghilangkan kepemilikan, kemutlakan, perikatan  dan penjagaan.
4. Berdasarkan zatnya; Benda berwujud dan Benda tidak berwujud

Sedangkan menurut Dr. Yusuf Qhardhawi aqad (transaksi) terbagi tiga: 
1. Aqad pertukaran secara murni, seperti jual beli, sewa-menyewa, dan syarikat (perseroan) dan semisalnya.
2. Aqad pemberian secara murni, seperti hibah (pemberian), sedekah, pinjaman, jaminan, dan semisalnya. Aqad pemberian dan pertukaran secara bersama-sama, seperti qardh (hutang), maka ia termasuk pemberian karena ia dalam makna sedekah, dan pertukaran di mana ia dikembalikan dengan semisalnya.

Segala bentuk tasharuf (aktivitas hukum) termasuk aqad memiliki dua keadaan umum. 
1. Aqad Tanpa syarat (aqad munjiz) adalah aqad yang diucapkan seseorang, tanpa memberi batasan dengan suatu kaidah atau tanpa menetapkan suatu syara’. Contoh, seorang berkata, “Saya membeli rumah kepadamu.” lalu diqabulkan oleh seorangnya lagi. Dan pembuat aqad memiliki uang.
2. Aqad bersyarat (aqad ghair munjiz) adalah aqad yang diucapkan seseorang dan dikaitkan dengan sesuatu, yaitu apabila syarat atau kaitan itu tidak ada, aqad-pun tidak jadi. Contohnya seseorang berkata, “Saya jual mobil ini dengan harga Rp 40.000.000,00 jika disetujui oleh atasan saya”.
3. Syarat Idhafah menyadarkan kepada suatu masa yang akan datang atau idhafah mustaqbal, ialah melambatkan hukum bertasharuf qauli ke masa yang akan datang.

Islam membolehkan segala sesuatu yang membawa kebaikan, berkah, dan manfaat yang dibolehkan, dan mengharamkan sebagian jual beli dan golongan, karena pada sebagiannya terdapat jahalah (ketidak-tahuan) dan penipuan, atau merusak pasar, atau menyesakkan dada, atau kepalsuan dan kebohongan, atau bahaya terhadap badan, akal dan semisalnya yang menyebabkan sifat dendam, pertikaian, pertengkaran, dan bahaya. Maka diharamkan jual beli tersebut dan hukumnya tidak sah, di antaranya adalah: 
1. Jual beli mulamasah (sentuhan): seperti penjual berkata kepada pembeli, umpamanya: pakaian apapun yang kamu sentuh, maka ia untukmu dengan harga sepuluh. Ini adalah jual beli yang rusak karena adanya ketidak tahuan dan penipuan.
2. Jual beli munabadzah (lemparan): seperti pembeli berkata kepada penjual: pakaian manapun yang engkau lempar kepadaku, maka ia untukku dengan harga sekian. Ini adalah jual beli yang rusak (tidak sah), karena adanya ketidaktahuan dan penipuan.
3. Jual beli hashah (lemparan batu): seperti penjual berkata, 'Lemparkanlah batu ini, maka benda apapun yang kejatuhan batu itu, maka ia untukmu dengan harga sekian. Ini termasuk jual beli yang rusak karena adanya ketidak tahuan dan penipuan.
4. Jual beli najsy: yaitu menaikan harga komoditi (yang dilakukan) oleh orang yang tidak ingin membelinya. Ini adalah jual beli yang diharamkan, karena mengandung godaan kepada para pembeli yang lain dan penipuan kepada mereka.
5. Penjualan oleh orang kota kepada orang desa: yaitu simsar (perantara, broker), yang menjual komoditi lebih mahal daripada harga saat itu. Jual beli ini tidak sah, karena mengandung mudharat dan penekanan terhadap manusia, akan tetapi bila penduduk desa yang datang kepadanya dan meminta darinya agar menjual atau membeli untuknya maka tidak apa-apa.
6. Menjual komoditi sebelum menerimanya hukumnya tidak boleh, karena membawa kepada permusuhan dan perbatalan secara khusus apabila ia (penjual) melihat bahwa yang membeli akan mendapat keuntungan padanya.
7. Jual beli 'inah: yaitu menjual suatu komoditi secara bertempo, kemudian ia (penjual) membelinya lagi darinya (pembeli) dengan harga yang lebih murah secara kontan. Maka tergabunglah di dalamnya dua jual beli dalam satu transaksi. Jual beli ini haram dan batil, karena ia adalah sarana menuju riba. Jika ia membelinya setelah menerima harganya, atau setelah berubah sifatnya, atau dari selain pembelinya, hukumnya boleh.
8. Penjualan seseorang atas penjualan saudaranya: seperti seseorang membeli suatu komoditi dengan harga sepuluh, dan sebelum selesai pembelian, datanglah orang lain seraya berkata, 'Aku menjual kepadamu barang yang sama dengan harga sembilan atau lebih murah dari harga yang engkau beli darinya,' dan sama juga pembelian, seperti seseorang berkata kepada orang yang menjual suatu komoditi dengan harga sepuluh (10), 'Aku membelinya darimu dengan harga lima belas (15),' agar orang pertama pergi dan menyerahkannya untuknya. Jual beli ini haram, karena mengandung mudharat kepada kaum muslimin dan mengobarkan kemarahan kepada yang lain.
9. Jual beli setelah panggilan (azan) yang kedua pada shalat Jum'at, hukumnya haram dan tidak sah, demikian pula semua transaksi.
10. Setiap yang haram, seperti arak, babi, patung, atau sarana kepada yang haram, seperti alat-alat musik, maka menjual dan membelinya hukumnya haram.
Aqad dapat berakhir dengan pembatalan, terkadang dihilangkan dari asalnya, seperti  pada masa khiyar, terkadang dikaitkan pada masa yang akan datang. 


BAB III
KESIMPULAN

"Dan Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu)." (QS. Al-Maidah: 18) Dalam ayat ini dijelaskan bahwa segala sesuatu yang berada di langit dan bumi merupakan kepunyaan Allah. Sedangkan manusia hanyalah pihak yang mendapat kuasa dari Allah untuk memanfaatkan harta Allah. Semua manusia memiliki hak pemilikan, tapi bukan pemilikan yang sebenarnya. Oleh karena itu bagi individu yang ingin memiliki harta tertentu, maka Islam telah menjelaskan sebab-sebab pemilikan yang halal dan yang haram.

Sebab pemilikan adalah sebab-sebab perolehan harta asal (yang semula memang bukan milik seseorang) atau hal-hal yang berkaitan dengan memperoleh harta (baru) yang belum dimiliki sebelumnya. Contoh, seorang penambang emas yang mencari biji emas di sungai/ di gunung, berburu binatang di padang rumput/ hutan, bekerja pada seseorang/ perusahaan, dan sebagainya. Cara-cara atau sebab-sebab terjadinya kepemilikan pada seseorang, yaitu dengan: Bekerja, Pewarisan, Kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup, Pemberian Negara, dan Harta yang diperoleh tanpa usaha apapun.

Aqad secara etimologi berarti ikatan antara dua perkara baik ikatan secara nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi. Sedangkan menurut termonologi ulama fiqih, aqad dapat ditinjau dari dua segi, yaitu secara umum dan secara khusus. Dalam pengertian umum aqad adalah segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual beli, perwakilan, dan gadai. Dalam pengertian khusus aqad adalah perikatan yang ditetapkan dengan ijab-qabul berdasarkan ketentuan syara’ dan berdampak pada objeknya.


DAFTAR PUSTAKA

Buku
Ash Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Pengantar Fiqh Mu’amalah.
Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008.
Syafe’I, Rahmat. Fiqih Muamalah; Untuk UIN, STAIN, PTAIS, dan Umum, Bandung: Pustaka Setia. 2001.


Jurnal dan Makalah
M. Sularno. Konsep Kepemilikan dalam Islam: Kajian Aspek Filosofis dan Potensi Pengembangan Ekonomi Islami. Jurnal Al-Mawarid Edisi IX Tahun 2003. 
Lukman Mohammad Baga. Fiqih Zakat; Sari Penting Kitab Dr. Yusuf Al-Qaradhawy, 1997. Dept. of Agr. Economics and Business, Massey University Palmerston North, New Zealand.
Handayani, Bekerja Merupakan Salah Satu Sebab Kepemilikan Dalam Islam. Penulis merupakan Tim Lajnah Maslahiyah DPD II – HTI Kota Bandung. Makalah disampaikan pada Kajian Sistem Ekonomi Islam. Ahad 15 April 2007. Kerjasama DKM Nurul Huda Ledeng – DPC HTI Sukasari Bandung.

Sumber lainnya
Ahmad Hafi, Kepemilikan dalam Islam. http://hafies.wordpress.com/2009/07/02/kepemilikan-dalam-islam/
Ichlasul Amal, Konsep Kepemilikan dalam Islam. http://ichlasulamal.blogspot.com/2009/01/konsep-kepemilikan-dalam-islam.html
http://berandaekis.blogspot.com/2012/05/jenis-kepemilikan-dalam-islam.html
Ali Rama, Pemikiran Ekonomi Sang Hujatul Islam, Al-Ghazali, http://resistzine3.blogspot.com/2010/08/pemikiran-ekonomi-sang-hujatul-islam-al.html. Penulis adalah Master Student in Economics, IIUM.
Aslamiah, dkk. http://unlam-ekonomi-islam.blogspot.com/2010/11/kepemlikan-sebab-sebab-kepemilikan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar