KONSEP KEBUDAYAAN
MAKALAH
Makalah ini disusun sebagai syarat ketuntasan mata kuliah Kapita Selekta Antropologi
oleh,
Anita (1110015000015)
Amaliah (1110015000022)
Anas Fuad (1110015000013)
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (P.IPS)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1434 H/2013 M
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Masing-masing kita menganggap sebagai seseorang
yang memiliki pendapat-pendapat pribadi, kegemaran-kegemaran dan keanehan-keanehan
yang unik. Sering pula kita membanggakan diri karena dalam beberapa hal kita masing-masing berbeda dengan
orang lain. Namun, mengherankan sekali bahwa reaksi kita serupa terhadap fenomena-fenomena tertentu. Khususnya terhadap cara-cara berlaku atau kepercayaan yang sangat berbeda terhadap kebiasaan yang kita lakukan, maka menunjukkan reaksi yang sama.
Orang yang pandangannya ketat terbatas pada kebutuhan-kebutuhan atau keinginan-keinginanya sendiri, pada umumnya tidak efektif untuk berurusan dengan
orang lain. Seseorang yang menilai kebudayaan-kebudayaan lain, menurut ukuran yang berlaku dalam kebudayaannya sendiri disebut etnosentris. Orang demikian bukan saja tidak cocok untuk melakukan tugas-tugas antropologi, tetapi barang kali dia juga tidak sanggup untuk mengidentifikasi dan memecahkan problema-problema sosial dalam kebudayaannya sendiri.
Sebagai
seorang antropolog, kita berbenturan pada dua paradigma yang saling bertolak
belakang mengenai cara memandang suatu kebudayaan. Disatu sisi kita tidak boleh
menjustifikasi suatu kebudayaan salah maupun benar, dan disisi lain kita
diharuskan menetapkan batasan tertentu untuk menilai suatu kebudayaan beradab
maupun tidak. Dalam makalah ini akan diuraikan mengenai konsep kebudayaan,
dimana dalam setiap kebudayaan memiliki warna dan corak yang khas dan bersifat
unik. Keunikan konsep kebudayaan tersebut secara teoritis diulas dalam buku
Pokok-pokok Antropologi Budaya yang kami jadikan sumber utama dalam pembuatan
makalah ini. Tanpa mengurangi makna buku ini, kami mencoba meringkasnya dalam
suatu makalah mata kuliah Kapita Selekta Antropologi.
B.
Perumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah penulis kemukakan, perumusan masalah dalam makalah
ini adalah sebagai berikut.
1.
Bagaimana konsep sebuah kebudayaan?
2.
Bagaimana penjelasan mengenai
etnosentrisme dalam menilai suatu kebudayaan?
3.
Bagaimana gambaran suatu kebudayaan?
C.
Tujuan
Penulisan
Berdasarkan perumusan
masalah diatas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.
Mengetahui konsep sebuah kebudayaan.
2.
Mengetahui penjelasan mengenai
etnosentrisme dalam menilai suatu kebudayaan.
3.
Mengetahui gambaran suatu kebudayaan
KONSEP KEBUDAYAAN
Suku Indian Yanomamo dari perbatasan
Venezuela Brasilia mempunyai adat tertentu yang kemungkinan besar akan dinilai secara negatif pada umunya, hanya karena adat itu tidak sesuai dengan gagasan kita tentang cara berlaku yang wajar bagi anak-anak.
Bila putra-putra Yanomamo marah pada orangtuanya dianjurkan untuk menyatakan kemarahannya dengan memukul
orang tuanya itu. Seorang anak
yang menempeleng atau memukul kepalanya bukannya dihukum malahan dipuji. Pada umur empat tahun,
sebagian besar anak laki-laki telah tahu, bahwa cara yang sudah dimaklumi bersama dan disetujui,
untuk menunjukkan kemarahan dalam masyarakat mereka,
adalah dengan memukul
orang.[1]
Pada contoh diatas dalam masyarakat,
umumnya hal tersebut merupakan bentuk kekerasan fisik dalam hubungan antara manusia dan dilarang,
maka dan ini tidak akan diterima oleh sebagian besar masyarakat. Adat demikian melanggar
sistem sikap, nilai-nilai dan perilaku yang kita miliki sebagai suatu masyarakat umum.
A.
Kenisbian Kebudayaan
Umumnya ada kecendrungan untuk menganggap pandangan-pandangan yang ditentang dalam suatu masyarakat, sebagai sifat yang terbelakang atau belum beradab. Mengenai kebiasaan seperti suku Indian Yanomamo, sebenarnya tidak ada gunanya untuk menilai baik atau buruknya dan membandingkan dengan adat-istiadat kita sendiri. Lagipula, gagasan suatu masyarakat tentang sesuatu
yang baik, tidak juga mutlak atau nisbi dan dapat berubah dalam waktu.
Cara pemahaman yang
sama, tentunya harus juga diikuti bila mempelajari adat dan pemikiran kita,
kalau tidak maka banyak dari kebiasaan itu akan kelihatan aneh dan atau kurang beradab bagi seorang peninjau dari kebudayaan lain. Seorang Hindu, misalnya akan menganggap kebiasaan makan daging adalah primitif dan menjijikkan, karena dalam kebudayaannya
sapi dianggap sebagai hewan sakti dan menyembelihnya merupakan hal
yang tabu. Pada umumnya,
kenisbian kebudayaan dihalang-halangi oleh dua sikap yang berbeda tetapi biasa terjadi: Pertama, kecendrungan kearah
yang negatif yang biasanya akibat dari etnosentrisme;
Kedua, kecendrungan kearah penilaian positif yang sering merupakan perwujudan dari kerinduan
yang naif mengenai cara hidup dalam masyarakat bersahaja atau rasa iri terhadap orang buas yang berbudi “noble savage”.
B.
Etnosentrisme
Orang yang pandangannya ketat terbatas pada kebutuhan-kebutuhan atau keinginan-keinginanya sendiri, pada umumnya tidak efektif untuk berurusan dengan
orang lain. Orang demikian bersifat egosentris dan kita akan menyesalkan jika ia menjadi seorang psikiater. Seseorang yang menilai kebudayaan-kebudayaan lain, menurut ukuran yang berlaku dalam kebudayaannya sendiri disebut etnosentris. Orang demikian bukan saja tidak cocok untuk melakukan tugas-tugas antropologi, tetapi barang kali dia juga tidak sanggup untuk mengidentifikasi dan memecahkan problema-problema sosial dalam kebudayaannya sendiri.
Misalnya dalam pandangan seorang Amerika yang etnosentris upacara inisiasi
yang meresmikan anak-anak muda menjadi
orang dewasa dalam berbagai masyarakat akan dinilai biadab. Pada seremoni semacam itu sering orangnya diejek,
diuji keberanianya, ketahanannya dan menjalani khitanan yang sakit. Orang Amerika yang
etnosentris tidak akan dapat memahami apa sebabnya orang mau menderita kesengsaraan demikian, hanya agar diterima sebagai orang dewasa dan tidak mengerti kenapa mengikuti seremoni tersebut merupakan suatu kehormatan.
Pemikiran etnosentrisi nilah yang mempersulit orang Amerika dalam usaha untuk mempertanyakan kebiasaan-kebiasaan tertentu dalam kebudayaanya. Misalnya tentang mengasingkan para jompo dalam lembaga-lembaga jompo, suatu hal yang tidak dapat dibenarkan dalam pandangan banyak orang luar. Jadi, etnosentrisme menghalangi pengertian tentang adat-istiadat orang lain dan juga menghalangi tumbuhnya pengertian
yang kreatif mengenai kebiasaan dalam kebudayaannya sendiri.
C.
Si Buas yang
Berbudi atau The “Noble Savage”
Bila orang terlalu didesak oleh kerumitan–kerumitan peradaban, maka
timbullah suatu kerinduan akan masyarakat yang “lebih dekat ke alam” atau lebih
“sederhana” daripada msayarakatnya sendiri. Ada kecenderungan untuk berpendapat
bahwa hubungan kekeluargaan sosial dan ekonomis yang tidak demikian rumit,
adalah lebih baik. Seseorang dari Amerika yang bapaknya misalnya memegang dua
atau tiga pekerjaan untuk dapat mengongkosi keluarganya, mungkin akan tertarik
pada cara hidup orang-orang !kung[2]
Bushmen dari padang pasir kalahari. Yang membagi-bagi bahan makanan dan yang tidak terhalang untuk
menghabiskan sebagian besar dari waktunya untuk bersantai. Orang Bushmen
memperoleh seluruh makanannya dengan berburu binatang dan mengumpulkan tumbuh–tumbuhan
liar. Karena mereka tidak mempunyai fasilitas untuk pengawetan, maka membagi-bagikan daging hewan segar lebih baik daripada menyimpan
daging busuk. Lagipula, orang-orang Bushmen berpindah dari suatu tempat tinggal ke yang
lain dan tidak dapat dibebani dengan
memikul makanan, walaupun mereka sekiranya sanggup mengawetkannya. Milik
bersama dan pembagian sepertin itu memang terbukti, memberi semacam jaminan
sosial kepada orang-orang Bushmen, seorang pemburu juga pada hari-hari yang sial dapat memperoleh makanan untuk dirinya dan
keluarganya dari orang lain. Begitu juga yang ditangkap nanti akan dibagi-baginya dengan keluarga dari pemburu yang sial. Sistem membagi-bagi ini juga memberi jaminan bahwa orang-orang yang terlalu muda atau terlalu tua untuk membantu
mencari makanan, memperoleh makanan. Jadi, dilihat dari sudut praktisnya
menyimpan tidak saja tidak mungkin untuk orang Bushmen, tetapi membagi-bagikan memberi keuntungan-keuntungan kongkret tertentu.
Walaupun demikian, sistem membagi-bagi makanan yang dipraktekkan orang Bushmen itu
merupakan suatu cara pemecahan problema-problema yang disebabkan oleh lingkungannya yang khusus
dan tidak dapat diterapkan dalam masyarakat lain seperti masyarakat Amerika.
Pada umumnya, tingkah laku mereka wajar untuk lingkungan mereka, seperti
halnya dengan perilaku kita wajar untuk lingkungan kita sendiri. Pandangan kenisbian kebudayaan menuntut, agar
semua perilaku dan adat istiadat dari suatu masyarakat hendaknya dipandang dari
sudut masyarakat itu dan tidak dari sudut kebudayaan orang lain yang telah
dianggap sempurna. Atau yang dianggap menunjukkan banyak kekurangan.
D.
Menuju Suatu Definisi Kebudayaan
Dalam pemakaian sehari-hari perkataan “keduyaan” berarti kualitas yang wajar
yang dapat diperoleh dengan mengunjungi cukup banyak sandiwara dan konser
tarian dan mengamati karya seni pada sekian banyak gedung kesenian. Tetapi
seorang ahli antropologi, mempunyai definisi yang lain. Dalam ringkasan berikut
ini Ralph Linton menjelaskan bagaimana definisi kebudayaan dalam kehidupan
sehari-hari berbeda dari definisi seorang ahli antropologi.
Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat yang manapun dan
tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup itu yaitu bagian yang oleh
masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan. Dalam arti cara hidup
masyarakat itu kebudayaan diterapkan pada cara hidup kita sendiri, maka tidak
ada sangkut pautnya dengan main piano atau membaca karya sastrawan terkenal.
Bagi seorang ahli ilmu sosial tidak ada masyarakat atau perorangan yang tidak
berkebudayaan. tiap masyarakat mempunyai kebudayaan, bagaimanapun sederhananya
kebudayaan itu dan dan setiap manusia adalah makhluk berbudaya, dalam arti
mengambil bagian dalam sesuatu kebudayaan.
Jadi, kebudayaan menunjuk kepada berbagai aspek kehidupan. Kata itu
meliputi cara-cara
berlaku, kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap, dan juga hasil dari kegiatan manusia yang khas untuk suatu
masyarakat atau kelompok penduduk tertentu. Agama Shinto dan Budha dan penghormatan yang kuat terhadap
generasi tua seperti halnya dengan sumpit dan teater kabuki adalah juga
sebagian dari kebudayaan Jepang. Kita masing-masing dilahirkan kedalam suatu kebudayaan yang bersifat
kompleks dan kebudayaan itu kuat sekali pengaruhnya terhadap cara hidup serta
cara berlaku yang akan kita ikuti selama hidup kita.
E.
Kebudayaan itu Hasil Proses Belajar
Kebudayaan merupakan cara berlaku yang dipelajari: kebudayaan tidak
tergantung dari transmisi biologis atau pewarisan melalui unsur genetis. Semua
manusia dilahirkan dengan tingkah laku yang digerakkan oleh insting dan naluri
yang walaupun tidak termasuk bagian dari kebudayaan, namun memengaruhi
kebudayaan. Misalnya kebutuhan akan makanan adalah kebutuhan dasar yang tidak
termasuk kebudayaan. Tetapi bagaimana kebutuhan-kebutuhan itu dipenuhi, apa yang kita makan, dan
bagaimana cara kita makan adalah bagian dari dari kebudayaan kita. Jadi, semua
orang makan tetapi kebudayaan yang berbeda melakukan kegiatan dasar itu dengan
cara-cara yang sangat berbeda pula.
Manusia mempunyai masa kanak-kanak yang paling panjang dari semua makhluk hidup.
Mengenai jumlah dan rumitnya pola-pola kelakuan yang dipelajarinya dan yang diteruskannya
kepada anaknya, manusia itu unik. Dan ia mempunyai cara yang unik untuk
meneruskan kebudayaan: yaitu melalui bahasa.
F.
Bahasa
Suatu kenyataan yang tidak dapat luput dari perhatian setiap orang adalah
pengalamannya bahwa dalam masyarakat manusia yang bagaimanapun bentuknya,
selalu terdapat suatu bahasa yang cukup rumit susunannya. Bahasa berbeda
sifatnya dari semua sistem komunikasi antara hewan, berhubung dengan bahasa
bersifat simbolis artinya suatu perkataan mampu melambangkan arti apapun,
walaupun hal atau barang yang dilambangkan artinya oleh kata itu tidak hadir.
Hal itu mengandung implikasi yang hebat untuk pewarisan kebudayaan. Hal ini
berarti bahwa orang tua manusia misalnya dapat mengatakan kepada anaknya,
setelah anak dapat memahami percakapan sederhana bahwa, ular berbahaya dan
harus dihindarkan. Si orang tua itu dapat menjelaskan secara mendetail sekali
mengenai sifat-sifat
ular, dia memerinci bagaimana panjangnya, besarnya, warnanya, bentuknya dan
cara-caranya bergerak. Dia dapat menunjukkan kepadanya
bagaimana menghindarkannya. Jadi tanpa pernah melihat ular, anak itu dapat
menyimpan keterangan lisan itu dalam ingatannya.
Jika kita tidak mempunyai bahasa yang simbolis. Tanpa bahasa kita tidak
dapat meneruskan atau menerima keterangan-keterangan secara simbolis dan dengan demikian tidak
dapat menjadi pewaris dari suatu kebudayaan yang demikian kaya dan demikian
aneka ragamnya.
G.
Kebudayaan Dimiliki Bersama
Para ahli antropologi berpendapat bahwa suatu bangsa mempunyai kebudayaan,
jika g didpara warganya memiliki bersama sejumlah pola-pola berpikir dan berkelakuan yang didapat melalui proses belajar.
Bila kita berbicara tentang kebiasaan bersama dalam suatu masyarakat, dan
hal inilah yang menjadi pusat perhatian antropologi budaya, maka yang dimaksud
adalah kebudayaan. Bila kita berbicara tetang kebiasaan yang dimiliki bersama
oleh satu kelompok (sub group) dalam masyarakat dan hal inilah yang merupakan
pusat perhatian ilmu sosiologi, maka yang dimaksud adalah suatu bagian khusus
dari kebudayaan (sub culture).
Dalam kata pengantar untuk karyanya La Vida, Oscar Lewis menyatakan bahwa
orang-orang yang hidup dalam kemiskinan memiliki kultur
kemiskinan;
kaum muda mereka mengalami masa kanak-kanak yang pendek dan penuh ketidakpastian, sebagai perseorangan mereka cenderung merasa tidak
berdaya dan putus asa, pada umumnya mereka tinggal dikampung-kota (slums) yang padat dan keadaan perumahannya serba
kurang, kecuali dalam hidup keluarga dalam masyarakat-masyarakat yang lebih luas, kecil sekali. Walaupun
pemikiran-pemikiran Lewis itu orisinil, namun itu adalah hasil pengguanaan
metode antropologi yang telah dikenal, dia melihat suatu kebudayaan dengan
mencatat cirri-ciri
bersama yang ada padanya.
Suatu kebudayaan dapat dirumuskan sebagai seperangkat kepercayaan, nilai-nilai dan cara berlaku (artinya kebiasaan) yang
dipelajari yang pada umumnya dimiliki bersama oleh para warga dari suatu masyarakat,
yang tinggal disuatu wilayah dan yang memakai suatu bahasa umum yang biasanya
tidak dimengerti oleh penduduk tetangganya. Kemampuan dapat merumuskan
kebudayaan secara demikian bermanfaat, namun tidak dijelaskan bagaimana seorang
ahli antropologi, jika menghadapi kenyataan-kenyataan penelitian lapangan, melaksakan penelitian
terhadap kebudayaan suatu bangsa tertentu. Untuk memahami bagaimana orang
“melakukan” antropologi harus diketahui bagaimana seorang ahli antropologi
mengidentifikasikan pola-pola kelakuan, nilai-nilai dan gagasan yang mana yang sebenarnya merupakan bagian dari
kebudayaan suatu bangsa yang sedang dipelajari.
H.
Menggambarkan Suatu Kebudayaan
Menggambarkan suatu kebudayaan mula-mulanya, agak tidak rumit; cukup saja diperhatikan apa-apa yang dilakukan oleh para warga dan suatu masyarakat
dan cara berlaku mereka, lalu dicatat. Tetapi cobalah bayangkan kesulitan-kesulitan yang nyata mungkin dihadapi dalam melakukan hal
ini. Siapa saja yang perlu diamati? Bagaimana memilih mereka itu? Dan
kesimpulan apalagi yang anda akan ambil jika dari selusin penduduk asli yang
mula-mula dijumpai dan dipelajari, ternyata keduabelasnya,
berlainan sekali cara berlakunya dalam keadaan yang sama.
Untuk dapat mengerti bagaimana makna yang diberi oleh seorang ahli
antropologi kepada cara berlaku yang berbeda-beda itu, akan diberi suatu contoh mengenai permainan
sepak bola. Jika orang-orang Amerika mengunjungi pertandingan sepak bola, ketika lagu kebangsaan
mereka didengungkan maka dapatlah dilihat bahwa hadirin menunjukkan cara
berlaku yang beraneka. Ada yang berdiri dan mendengarkan, ada yang mengangkat
topinya, ada anak yang mengunyah jagung bakarnya, bekas tentara berdiri tegak,
seorang pemimpin dari para suporter mencari dengan mata pemain kegemarannya di
antara barisan para pemain, dan kedua pelatih tim mengambil kesempatan terakhir
untuk memberi tinggi nada dari lagu dan mantra-mantra rahasia yang dimaksudkan untuk mematahkan semngat
tim lawannya. Namun walaupun ada variasi-variasi perorangan itu, sebagian besar para penonton pada
umumnya berlaku sama. Hampir semua berdiri dengan diam, menghadapi
bendera. Lagipula, kalau anda
mengunjungi beberapa pertandingan-pertandingan sepak bola di Amerika anda akan melihat
bahwa banyak segi dari kejadian itu adalah sama: aturan-aturan pertandingan tidak pernah berbeda, dan walaupun
warna-warna seragam tergantung daripada tim, para pemain tidak
pernah muncul dalam pakaian lain selain seragamnya.
Walaupun variasi diantara reaksi perorangan pada perangsang tertentu
menurut teori tidak terbatas jumlahnya, sebenarnya ada kecenderungan bahwa reaksi
itu berada dalam batas-batas yang mudah diketahui. Anak yang mendengarkan lagu kebangsaan dapat
meneruskan makan popcorn, tetapi ia tidak dapat berjingkrak-jingkrak: begitu pula para pelatih
tidak akan berlarian ketengah lapangan dan merangkul para
penyanyi. Variasi dalam bertingkah laku, terbatas oleh batas-batas sosial yang wajar dan salah satu tujuan para ahli
antropologi adalah mencari batas-batas ini.
Misalnya seorang ahli antropologi yang menaruh perhatian untuk menguraikan
cara-cara berpacaran, di kota-kota misalnya pada mulanya akan melihat adanya bermacam-macam tingkah laku. Langkahnya yang pertama ialah
menetukan urutan kejadian-kejadian yang mana yang di anggap biasa. Akan dilihatnya
pada umumnya yang lelaki mulai mencari hubungan dengan wanita pilihannya. Mula-mula ia berbicara dengan wanita tersebut, sesudah itu ia
mengajaknya berpergian. Jika mereka makin mengenal satu sama lain, maka mereka
akan lebih sering berpergian bersama dan hubungannya semakin formal. Mereka
akan sering mengunjungi keluarga dan mungkin mereka memutuskan untuk
“bertunangan” secara resmi dan kemudian sesudah memenuhi persyarakatan undang-undang dan setelah menjalani berbagai upacara, maka
keduanya telah dinyatakan kawin.
Setelah mendapat pola umum ini, ahli antropologi akan berusaha
mengungkapkan berbagai variasi yang ada yang masih dianggap layak. Dia akan
melihat bahwa ada pasangan-pasangan yang lebih suka pergi menonton pada perjanjian
pertama, sedangkan pasangan-pasangan yang lain lebih suka pergi restoran, bahwa ada
pasangan yang mempunyai masa pertunangan yang lama dan yang lain tidak
bertunangan sama sekali.
Seorang ahli antropologi yang dihadapkan dengan sejumlah perorangan yang
semua berlaku berlainan, akan berusaha mengungkapkan pola-pola kelakuan yang umum dalam masyarakat yang dipelajari.
Dia akan menentukan variasi mana yang termasuk kedalam pola-pola umum itu dan mana yang jelas tidak dapat diterima. Yang dilakukannya bukanlah
sekedar menggambarkan secara panjang lebar tentang perorangan dan tingkah laku
mereka, tetapi dari tingkah laku perseorangan dia akan meningkat kepada
perumusan pola budaya yang umum.
I.
Generalisasi Mengenai Pola-pola
Kebudayaan
Ada dua cara yang mendasar bagi ahli antropologi untuk menyimpulkan sifat-sifat umum mengenai pola-pola kebudayaan. Kalau dya mempelajari kebiasaan-kebiasaan yang terungkap secara jelas atau gamblang dalam
suatu masyarakat misalnya, kebiasaan ketatanegaraan untuk memilih pejabat
pemerintahan seperti presiden melalui pemilihan maka si peniliti dapat menentukan dan mempelajari
kebiasaan–kebiasaan itu dengan bantuan beberapa orang yang tahu seluk beluknya.
Sebaliknya, kalau dia mempelajari bidang
kelakuan tertentu yang mencakup banyak variasi perseorangan, atau bila orang-orang itu tidak sadar akan pola-pola kelakuannya sendiri maka ahli antropologi harus
mengumpulkan keterangan dari sejumlah warga masyarakat yang untuk tujuan itu
ditentukan sebagai sampel untuk menjadi wakil dari penduduk yang dipelajari dan
dari jawaban mereka disimpulkan apa yang merupakan jawaban rata-rata.
Kalau seorang ahli antropologi mau menggambarkan suatu cara berlaku yang banyak
variasinya, dia pertama-tama membuat catatan mengenai cara berlaku dari setiap subyeknya. Sesudah
itu si peneliti mencatat berapa kali terjadinya tiap kelas tingkah laku
(misalnya tiap waktu makan), ini menunjukkan penyebaran frekuensi (frequency
distribution). Untuk memperoleh garis grafik dari distribusi frekuensi, angka-angka dipindahkan pada suatu grafik yang menggambarkan
distribusi sepanjang sumbu mendatar atau absis dan frekuensinya pada sumbu
tegak atau ordinat. Biasanya grafik
semacam itu meningkat sampai mencapai titik yang tinggi lalu menurun,
titik yang paling tinggi itulah menggambarkan cara berlaku rata-rata.
Menurut teori, pengambilan sampel secara acak-acakan, adalah metoda yang berguna namun kenyataan adalah
bahwa metoda itu belum digunakan secara luas dalam penelitian antropologi.
Karena agak mudah juga untuk membuat kesimpulan umum atau generalisasi tentang aspek-aspek kebudayaan yang gamblang atau disadari, seperti
saat makan malam dan prosedur berpacaran maka metoda penarikan sampel, sering
tidak perlu. Tetapi dalam penelitian mengenai aspek-aspek kebudayaan yang terselubung atau yang tidak
disadari, seperti pendapat masyarakat mengenai jarak yang wajar antara dua
orang pada waktu berbicara, penarikan sampel secara acak-acakan mungkin perlu, agar kesimpulan umum mengenai pola
kebudayaan dapat dirumuskan dengan tepat.
J.
Pembatasan-pembatasan
Kebudayaan
Faktor
utama yang membatasi kemungkinan variasi dalam cara berlaku perseorangan adalah
kebudayaan itu sendiri. Ada dua macam pembatasan kebudayaan; pembatasan
langsung, maupun tidak langsung. Contoh pembatasan langsung adalah ejekan
ketika mengenakan pakaian yang tidak biasa dengan kebudayaan suatu daerah. Pembatasan–pembatasan kebudayaan tidak harus
bertentangan dengan individualitas. Karena seperti pada percobaan Solomon Asch
pada serentetan eksperimen tentang konformitas dan penyimpangan ditemukan bahwa
banyak orang yang dalam berpendapat sesungguhnya karena terpengaruh orang lain.
Namun memang ada beberapa orang yang berpendirian secara bebas. Karena itu
disimpulkan bahwa pembatasan-pembatasan kebudayaan sama sekali menghilangkan
kepribadian perseorangan.
K.
Pola
Budaya Ideal dan Pola Kelakuan Sebenarnya
Pola-pola
yang diakui oleh suatu masyarakat disebut norma-norma. Namun pada kenyataannya
tidak semua masyarakat mentaati sorma yang berlaku, oleh karena itu pembatasan
secara langsung maupun tidak langsung sangat diperlukan. Sebagai contoh seorang
dokter yang diharapkan tidak mengedepankan prestise dan dan kedudukan nyatanya
banyak yang bekerja bukan dengan alasan “terpanggil”.
Adanya
jurang antara pola ideal dan pola-pola kelakuan yang sebenarnya merupakan
gejala umum dalam kebudayaan-kebudayaan manusia. Antara suku-suku bangsa
tertentu di Irian, misalnya pola-pola actual actual dari hubungan laki-laki dan
perempuan, agaknya berbeda dengan pola-pola budaya yang ideal.
L.
Beberapa
Anggapan Dasar Mengenai Kebudayaan
1.
Kebudayaan dapat disesuaikan. Sebagaimana
kebudayaan merupakan suatu penyesuaian pad alingkungan fisik, dan
kebutuhan-kebutuhan biologis, kebudayaan juga merupakan suatu penyesuaian pada
lingkungan sosial. Kebiasaan yang ada di dalam masyarakat tertentu merupakan
penyesuaian masyarakat itu terhadap lingkungannya. Tetapi kita harus ingat
juga, yaitu suatu masyarakat tidak harus menyesuaikan diri pada keadaan yang
khusus. karena apa yang dikuitra orang sebagai berguna, belum tentu dicapai
melalui penyesuaian.
2.
Kebudayaan merupakan suatu interaksi. Unsur-unsur
atau sifat-sifat yang terpadu menjadi sebuah kebudayaan bukanlah sekumpulan
kebiasaan-kebiasaan yang terkumpul secara acak-acakan. Tetapi unsur tersebut
bersumber dari adaptif pada suatu kebudayaan. Unsur-unsur suatu kebudayaan juga
sukar bertentangan.
3.
Kebudayaan selalu berubah. Dalam suatu
kebudayaan selalu ada suatu kebebasan tertentu pada individu untuk memperkenalkan
variasi dalam cara-cara berlaku. Cara-cara itu seringkali diakui menjadi milik
bersama, dan dengan demikian suatu masa akan menjadi bagian dari kebudayaan. Atau
mungkin ada beberapa aspek dari lingkungan akan berubah dan memerlukan adaptasi
kebudayaan yang baru.
BAB
III
KESIMPULAN
Umumnya ada kecendrungan untuk menganggap pandangan-pandangan yang ditentang dalam suatu masyarakat, sebagai sifat yang terbelakang atau belum beradab. Umumnya ada kecendrungan untuk menganggap pandangan-pandangan yang ditentang dalam suatu masyarakat, sebagai sifat yang terbelakang atau belum beradab.
Seseorang yang menilai kebudayaan-kebudayaan lain, menurut ukuran yang berlaku dalam kebudayaannya sendiri disebut etnosentris. Orang demikian bukan saja tidak cocok untuk melakukan tugas-tugas antropologi, tetapi barang kali dia juga tidak sanggup untuk mengidentifikasi dan memecahkan problema-problema sosial dalam kebudayaannya sendiri.
Kebudayaan manusia
bukanlah suatu hal yang hanya timbul sekali atau yang bersifat sederhana. Tiap
masyarakat mempunyai suatu kebudayaan yang berbeda dari kebudayaan masyarakat
lain dan kebudayaan itu merupakan suatu kumpulan yang berintegrasi dari
cara-cara berlaku yang dimiliki bersama dan kebudayaan yang bersangkutan secara
unik mencapai penyesuaian pada lingkungan tertentu.
DAFTAR
PUSTAKA
Sumber Utama
Ihromi, T.O. Pokok-pokok
Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 1980.
Sumber dalam Buku Bacaan
Kroeber, A.L,: The
Nature of Culture (Chicago: University of Chicago Press, 1952). Kumpulan
karya-karya tentang sifat kebudayaan oleh seorang perintis terkenal dalam
antropologi Amerika.
Spindler, G.D. (ed.): Being an Antropologist: Fieldwork in Eleven Cultures (New York:
Holt, Rinehart dan Winston, 1970). Suatu rangkaian panjang lebar yang menarik
tentang metoda-metoda ahli antropologi dan penghayatannya tentang pekerjaannya.
White, L.A.: The
Science of Culture: A Study of man and Civilization (Garden City, N.Y.:
Doubleday, 1969; pertama diterbitkan pada tahun 1949). Suatu kumpulan
karya-karya tentang kebudayaan dan ilmu yang mempelajarinya, dengan penekanan
pada sifat simbolis dan sifat evolusioner dari kebudayaan.
Whiting, J.W.M. dan I.L. Child Training and Personality (New Heaven: Yale University Press,
1953). Bab II membicarakan hubungan antara kelakuan perorangan dan tingkah laku
budaya.
Williams, T.R.: Field
Methods in The Study of Culture (New York: Holt, Rinehart and Winston,
1967). Suatu pembahasan yang menarik tentang cara bagaimana seorang ahli
antropologi mempelajari dan menggambarkan kebudayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar