Selasa, 23 Juli 2013

Kapita Selekta Antropologi

KONSEP KEBUDAYAAN

MAKALAH


Makalah ini disusun sebagai syarat ketuntasan mata kuliah Kapita Selekta Antropologi


oleh,
Anita                     (1110015000015)
Amaliah                 (1110015000022)
Anas Fuad             (1110015000013)


PROGRAM STUDI SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (P.IPS)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1434 H/2013 M



BAB I
PENDAHULUAN

A.          Latar Belakang Masalah
Masing-masing kita menganggap sebagai seseorang yang memiliki pendapat-pendapat pribadi, kegemaran-kegemaran dan keanehan-keanehan yang unik. Sering pula kita membanggakan diri karena dalam beberapa hal kita masing-masing berbeda dengan orang lain. Namun, mengherankan sekali bahwa reaksi kita serupa terhadap fenomena-fenomena tertentu. Khususnya terhadap cara-cara berlaku atau kepercayaan yang sangat berbeda terhadap kebiasaan yang kita lakukan, maka menunjukkan reaksi yang sama.
Orang yang pandangannya ketat terbatas pada kebutuhan-kebutuhan atau keinginan-keinginanya sendiri, pada umumnya tidak efektif untuk berurusan dengan orang lain. Seseorang yang menilai kebudayaan-kebudayaan lain, menurut ukuran yang berlaku dalam kebudayaannya sendiri disebut etnosentris. Orang demikian bukan saja tidak cocok untuk melakukan tugas-tugas antropologi, tetapi barang kali dia juga tidak sanggup untuk mengidentifikasi dan memecahkan problema-problema sosial dalam kebudayaannya sendiri.
Sebagai seorang antropolog, kita berbenturan pada dua paradigma yang saling bertolak belakang mengenai cara memandang suatu kebudayaan. Disatu sisi kita tidak boleh menjustifikasi suatu kebudayaan salah maupun benar, dan disisi lain kita diharuskan menetapkan batasan tertentu untuk menilai suatu kebudayaan beradab maupun tidak. Dalam makalah ini akan diuraikan mengenai konsep kebudayaan, dimana dalam setiap kebudayaan memiliki warna dan corak yang khas dan bersifat unik. Keunikan konsep kebudayaan tersebut secara teoritis diulas dalam buku Pokok-pokok Antropologi Budaya yang kami jadikan sumber utama dalam pembuatan makalah ini. Tanpa mengurangi makna buku ini, kami mencoba meringkasnya dalam suatu makalah mata kuliah Kapita Selekta Antropologi.

B.           Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis kemukakan, perumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1.            Bagaimana konsep sebuah kebudayaan?
2.            Bagaimana penjelasan mengenai etnosentrisme dalam menilai suatu kebudayaan?
3.            Bagaimana gambaran suatu kebudayaan?

C.           Tujuan Penulisan
Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.            Mengetahui konsep sebuah kebudayaan.
2.            Mengetahui penjelasan mengenai etnosentrisme dalam menilai suatu kebudayaan.
3.            Mengetahui gambaran suatu kebudayaan 

  
BAB II
KONSEP KEBUDAYAAN

Suku Indian Yanomamo dari perbatasan Venezuela Brasilia mempunyai adat tertentu yang kemungkinan besar akan dinilai secara negatif pada umunya, hanya karena adat itu tidak sesuai dengan gagasan kita tentang cara berlaku yang wajar bagi anak-anak. Bila putra-putra Yanomamo marah pada orangtuanya  dianjurkan untuk menyatakan kemarahannya dengan memukul orang tuanya itu. Seorang anak yang menempeleng atau memukul kepalanya bukannya dihukum malahan dipuji. Pada umur empat tahun, sebagian besar anak laki-laki telah tahu, bahwa cara yang sudah dimaklumi bersama dan disetujui, untuk menunjukkan kemarahan dalam masyarakat mereka, adalah dengan memukul orang.[1]
Pada contoh diatas dalam masyarakat, umumnya hal tersebut merupakan bentuk kekerasan fisik dalam hubungan antara manusia dan dilarang, maka dan ini tidak akan diterima oleh sebagian besar masyarakat. Adat demikian melanggar sistem sikap, nilai-nilai dan perilaku yang kita miliki sebagai suatu masyarakat umum.

A.          Kenisbian Kebudayaan
Umumnya ada kecendrungan untuk menganggap pandangan-pandangan yang ditentang dalam suatu masyarakat, sebagai sifat yang terbelakang atau belum beradab. Mengenai kebiasaan seperti suku Indian Yanomamo, sebenarnya tidak ada gunanya untuk menilai baik atau buruknya dan membandingkan dengan adat-istiadat kita sendiri. Lagipula, gagasan suatu masyarakat tentang sesuatu yang baik, tidak juga mutlak atau nisbi dan dapat berubah dalam waktu.
Cara pemahaman yang sama, tentunya harus juga diikuti bila mempelajari adat dan pemikiran kita, kalau tidak maka banyak dari kebiasaan itu akan kelihatan aneh dan atau kurang beradab bagi seorang peninjau dari kebudayaan lain. Seorang Hindu, misalnya akan menganggap kebiasaan makan daging adalah primitif dan menjijikkan, karena dalam kebudayaannya sapi dianggap sebagai hewan sakti dan menyembelihnya merupakan hal yang tabu. Pada umumnya, kenisbian kebudayaan dihalang-halangi oleh dua sikap yang berbeda tetapi biasa terjadi: Pertama, kecendrungan kearah yang negatif yang biasanya akibat dari etnosentrisme; Kedua, kecendrungan kearah penilaian positif yang sering merupakan perwujudan dari kerinduan yang naif mengenai cara hidup dalam masyarakat bersahaja atau rasa iri terhadap orang buas yang berbudi “noble savage”.

B.           Etnosentrisme
Orang yang pandangannya ketat terbatas pada kebutuhan-kebutuhan atau keinginan-keinginanya sendiri, pada umumnya tidak efektif untuk berurusan dengan orang lain. Orang demikian bersifat egosentris dan kita akan menyesalkan jika ia menjadi seorang psikiater. Seseorang yang menilai kebudayaan-kebudayaan lain, menurut ukuran yang berlaku dalam kebudayaannya sendiri disebut etnosentris. Orang demikian bukan saja tidak cocok untuk melakukan tugas-tugas antropologi, tetapi barang kali dia juga tidak sanggup untuk mengidentifikasi dan memecahkan problema-problema sosial dalam kebudayaannya sendiri.
   Misalnya dalam pandangan seorang Amerika yang etnosentris upacara inisiasi yang meresmikan anak-anak muda menjadi orang dewasa dalam berbagai masyarakat akan dinilai biadab. Pada seremoni semacam itu sering orangnya diejek, diuji keberanianya, ketahanannya dan menjalani khitanan yang sakit. Orang Amerika yang etnosentris tidak akan dapat memahami apa sebabnya orang mau menderita kesengsaraan demikian, hanya agar diterima sebagai orang dewasa dan tidak mengerti kenapa mengikuti seremoni tersebut merupakan suatu kehormatan.
Pemikiran etnosentrisi nilah yang mempersulit orang Amerika dalam usaha untuk mempertanyakan kebiasaan-kebiasaan tertentu dalam kebudayaanya. Misalnya tentang mengasingkan para jompo dalam lembaga-lembaga jompo, suatu hal yang tidak dapat dibenarkan dalam pandangan banyak orang luar. Jadi, etnosentrisme menghalangi pengertian tentang adat-istiadat orang lain dan juga menghalangi tumbuhnya pengertian yang kreatif mengenai kebiasaan dalam kebudayaannya sendiri.

C.          Si  Buas yang Berbudi atau The “Noble Savage”
Bila orang terlalu didesak oleh kerumitan–kerumitan peradaban, maka timbullah suatu kerinduan akan masyarakat yang “lebih dekat ke alam” atau lebih “sederhana” daripada msayarakatnya sendiri. Ada kecenderungan untuk berpendapat bahwa hubungan kekeluargaan sosial dan ekonomis yang tidak demikian rumit, adalah lebih baik. Seseorang dari Amerika yang bapaknya misalnya memegang dua atau tiga pekerjaan untuk dapat mengongkosi keluarganya, mungkin akan tertarik pada cara hidup orang-orang !kung[2] Bushmen dari padang pasir kalahari. Yang membagi-bagi bahan makanan dan yang tidak terhalang untuk menghabiskan sebagian besar dari waktunya untuk bersantai. Orang Bushmen memperoleh seluruh makanannya dengan berburu binatang dan mengumpulkan tumbuh–tumbuhan liar. Karena mereka tidak mempunyai fasilitas untuk pengawetan, maka membagi-bagikan daging hewan segar lebih baik daripada menyimpan daging busuk. Lagipula, orang-orang Bushmen berpindah dari suatu tempat tinggal ke yang lain  dan tidak dapat dibebani dengan memikul makanan, walaupun mereka sekiranya sanggup mengawetkannya. Milik bersama dan pembagian sepertin itu memang terbukti, memberi semacam jaminan sosial kepada orang-orang Bushmen, seorang pemburu juga pada hari-hari yang sial dapat memperoleh makanan untuk dirinya dan keluarganya dari orang lain. Begitu juga yang ditangkap nanti akan dibagi-baginya dengan keluarga dari pemburu yang sial. Sistem membagi-bagi ini juga memberi jaminan bahwa orang-orang yang terlalu muda atau terlalu tua untuk membantu mencari makanan, memperoleh makanan. Jadi, dilihat dari sudut praktisnya menyimpan tidak saja tidak mungkin untuk orang Bushmen, tetapi membagi-bagikan memberi keuntungan-keuntungan kongkret tertentu.
Walaupun demikian, sistem membagi-bagi makanan yang dipraktekkan orang Bushmen itu merupakan suatu cara pemecahan problema-problema yang disebabkan oleh lingkungannya yang khusus dan tidak dapat diterapkan dalam masyarakat lain seperti masyarakat Amerika.
Pada umumnya, tingkah laku mereka wajar untuk lingkungan mereka, seperti halnya dengan perilaku kita wajar untuk lingkungan kita sendiri.  Pandangan kenisbian kebudayaan menuntut, agar semua perilaku dan adat istiadat dari suatu masyarakat hendaknya dipandang dari sudut masyarakat itu dan tidak dari sudut kebudayaan orang lain yang telah dianggap sempurna. Atau yang dianggap menunjukkan banyak kekurangan.

D.          Menuju Suatu Definisi Kebudayaan
Dalam pemakaian sehari-hari perkataan “keduyaan” berarti kualitas yang wajar yang dapat diperoleh dengan mengunjungi cukup banyak sandiwara dan konser tarian dan mengamati karya seni pada sekian banyak gedung kesenian. Tetapi seorang ahli antropologi, mempunyai definisi yang lain. Dalam ringkasan berikut ini Ralph Linton menjelaskan bagaimana definisi kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari berbeda dari definisi seorang ahli antropologi.
Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat yang manapun dan tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup itu yaitu bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan. Dalam arti cara hidup masyarakat itu kebudayaan diterapkan pada cara hidup kita sendiri, maka tidak ada sangkut pautnya dengan main piano atau membaca karya sastrawan terkenal. Bagi seorang ahli ilmu sosial tidak ada masyarakat atau perorangan yang tidak berkebudayaan. tiap masyarakat mempunyai kebudayaan, bagaimanapun sederhananya kebudayaan itu dan dan setiap manusia adalah makhluk berbudaya, dalam arti mengambil bagian dalam sesuatu kebudayaan.
Jadi, kebudayaan menunjuk kepada berbagai aspek kehidupan. Kata itu meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap, dan juga hasil dari kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu. Agama Shinto dan Budha dan penghormatan yang kuat terhadap generasi tua seperti halnya dengan sumpit dan teater kabuki adalah juga sebagian dari kebudayaan Jepang. Kita masing-masing dilahirkan kedalam suatu kebudayaan yang bersifat kompleks dan kebudayaan itu kuat sekali pengaruhnya terhadap cara hidup serta cara berlaku yang akan kita ikuti selama hidup kita.

E.           Kebudayaan itu Hasil Proses Belajar 
Kebudayaan merupakan cara berlaku yang dipelajari: kebudayaan tidak tergantung dari transmisi biologis atau pewarisan melalui unsur genetis. Semua manusia dilahirkan dengan tingkah laku yang digerakkan oleh insting dan naluri yang walaupun tidak termasuk bagian dari kebudayaan, namun memengaruhi kebudayaan. Misalnya kebutuhan akan makanan adalah kebutuhan dasar yang tidak termasuk kebudayaan. Tetapi bagaimana kebutuhan-kebutuhan itu dipenuhi, apa yang kita makan, dan bagaimana cara kita makan adalah bagian dari dari kebudayaan kita. Jadi, semua orang makan tetapi kebudayaan yang berbeda melakukan kegiatan dasar itu dengan cara-cara yang sangat berbeda pula.
Manusia mempunyai masa kanak-kanak yang paling panjang dari semua makhluk hidup. Mengenai jumlah dan rumitnya pola-pola kelakuan yang dipelajarinya dan yang diteruskannya kepada anaknya, manusia itu unik. Dan ia mempunyai cara yang unik untuk meneruskan kebudayaan: yaitu melalui bahasa.

F.           Bahasa
Suatu kenyataan yang tidak dapat luput dari perhatian setiap orang adalah pengalamannya bahwa dalam masyarakat manusia yang bagaimanapun bentuknya, selalu terdapat suatu bahasa yang cukup rumit susunannya. Bahasa berbeda sifatnya dari semua sistem komunikasi antara hewan, berhubung dengan bahasa bersifat simbolis artinya suatu perkataan mampu melambangkan arti apapun, walaupun hal atau barang yang dilambangkan artinya oleh kata itu tidak hadir.
Hal itu mengandung implikasi yang hebat untuk pewarisan kebudayaan. Hal ini berarti bahwa orang tua manusia misalnya dapat mengatakan kepada anaknya, setelah anak dapat memahami percakapan sederhana bahwa, ular berbahaya dan harus dihindarkan. Si orang tua itu dapat menjelaskan secara mendetail sekali mengenai sifat-sifat ular, dia memerinci bagaimana panjangnya, besarnya, warnanya, bentuknya dan cara-caranya bergerak. Dia dapat menunjukkan kepadanya bagaimana menghindarkannya. Jadi tanpa pernah melihat ular, anak itu dapat menyimpan keterangan lisan itu dalam ingatannya.
Jika kita tidak mempunyai bahasa yang simbolis. Tanpa bahasa kita tidak dapat meneruskan atau menerima keterangan-keterangan secara simbolis dan dengan demikian tidak dapat menjadi pewaris dari suatu kebudayaan yang demikian kaya dan demikian aneka ragamnya.

G.          Kebudayaan Dimiliki Bersama
Para ahli antropologi berpendapat bahwa suatu bangsa mempunyai kebudayaan, jika g didpara warganya memiliki bersama sejumlah pola-pola berpikir dan berkelakuan yang didapat melalui proses belajar.
Bila kita berbicara tentang kebiasaan bersama dalam suatu masyarakat, dan hal inilah yang menjadi pusat perhatian antropologi budaya, maka yang dimaksud adalah kebudayaan. Bila kita berbicara tetang kebiasaan yang dimiliki bersama oleh satu kelompok (sub group) dalam masyarakat dan hal inilah yang merupakan pusat perhatian ilmu sosiologi, maka yang dimaksud adalah suatu bagian khusus dari kebudayaan (sub culture).
Dalam kata pengantar untuk karyanya La Vida, Oscar Lewis menyatakan bahwa orang-orang yang hidup dalam kemiskinan memiliki kultur kemiskinan; kaum muda mereka mengalami masa kanak-kanak yang pendek dan penuh ketidakpastian, sebagai perseorangan mereka cenderung merasa tidak berdaya dan putus asa, pada umumnya mereka tinggal dikampung-kota (slums) yang padat dan keadaan perumahannya serba kurang, kecuali dalam hidup keluarga dalam masyarakat-masyarakat yang lebih luas, kecil sekali. Walaupun pemikiran-pemikiran  Lewis itu orisinil, namun itu adalah hasil pengguanaan metode antropologi yang telah dikenal, dia melihat suatu kebudayaan dengan mencatat cirri-ciri bersama yang ada padanya.
Suatu kebudayaan dapat dirumuskan sebagai seperangkat kepercayaan, nilai-nilai dan cara berlaku (artinya kebiasaan) yang dipelajari yang pada umumnya dimiliki bersama oleh para warga dari suatu masyarakat, yang tinggal disuatu wilayah dan yang memakai suatu bahasa umum yang biasanya tidak dimengerti oleh penduduk tetangganya. Kemampuan dapat merumuskan kebudayaan secara demikian bermanfaat, namun tidak dijelaskan bagaimana seorang ahli antropologi, jika menghadapi kenyataan-kenyataan penelitian lapangan, melaksakan penelitian terhadap kebudayaan suatu bangsa tertentu. Untuk memahami bagaimana orang “melakukan” antropologi harus diketahui bagaimana seorang ahli antropologi mengidentifikasikan pola-pola kelakuan, nilai-nilai dan gagasan yang mana yang sebenarnya merupakan bagian dari kebudayaan suatu bangsa yang sedang dipelajari.

H.          Menggambarkan Suatu Kebudayaan
Menggambarkan suatu kebudayaan mula-mulanya, agak tidak rumit; cukup saja diperhatikan apa-apa yang dilakukan oleh para warga dan suatu masyarakat dan cara berlaku mereka, lalu dicatat. Tetapi cobalah bayangkan kesulitan-kesulitan yang nyata mungkin dihadapi dalam melakukan hal ini. Siapa saja yang perlu diamati? Bagaimana memilih mereka itu? Dan kesimpulan apalagi yang anda akan ambil jika dari selusin penduduk asli yang mula-mula dijumpai dan dipelajari, ternyata keduabelasnya, berlainan sekali cara berlakunya dalam keadaan yang sama.
Untuk dapat mengerti bagaimana makna yang diberi oleh seorang ahli antropologi kepada cara berlaku yang berbeda-beda itu, akan diberi suatu contoh mengenai permainan sepak bola. Jika orang-orang Amerika mengunjungi pertandingan sepak bola, ketika lagu kebangsaan mereka didengungkan maka dapatlah dilihat bahwa hadirin menunjukkan cara berlaku yang beraneka. Ada yang berdiri dan mendengarkan, ada yang mengangkat topinya, ada anak yang mengunyah jagung bakarnya, bekas tentara berdiri tegak, seorang pemimpin dari para suporter mencari dengan mata pemain kegemarannya di antara barisan para pemain, dan kedua pelatih tim mengambil kesempatan terakhir untuk memberi tinggi nada dari lagu dan mantra-mantra rahasia yang dimaksudkan untuk mematahkan semngat tim lawannya. Namun walaupun ada variasi-variasi perorangan itu, sebagian besar para penonton pada umumnya berlaku sama. Hampir semua berdiri dengan diam, menghadapi bendera.  Lagipula, kalau anda mengunjungi beberapa pertandingan-pertandingan sepak bola di Amerika anda akan melihat bahwa banyak segi dari kejadian itu adalah sama: aturan-aturan pertandingan tidak pernah berbeda, dan walaupun warna-warna seragam tergantung daripada tim, para pemain tidak pernah muncul dalam pakaian lain selain seragamnya.
Walaupun variasi diantara reaksi perorangan pada perangsang tertentu menurut teori tidak terbatas jumlahnya, sebenarnya ada kecenderungan bahwa reaksi itu berada dalam batas-batas yang mudah diketahui. Anak yang mendengarkan lagu kebangsaan dapat meneruskan makan popcorn, tetapi ia tidak dapat berjingkrak-jingkrak: begitu pula para pelatih tidak akan berlarian ketengah lapangan dan merangkul para penyanyi. Variasi dalam bertingkah laku, terbatas oleh batas-batas sosial yang wajar dan salah satu tujuan para ahli antropologi adalah mencari batas-batas ini.
Misalnya seorang ahli antropologi yang menaruh perhatian untuk menguraikan cara-cara berpacaran, di kota-kota misalnya pada mulanya akan melihat adanya bermacam-macam tingkah laku. Langkahnya yang pertama ialah menetukan urutan  kejadian-kejadian yang mana yang di anggap biasa. Akan dilihatnya pada umumnya yang lelaki mulai mencari hubungan dengan wanita pilihannya. Mula-mula ia berbicara dengan wanita tersebut, sesudah itu ia mengajaknya berpergian. Jika mereka makin mengenal satu sama lain, maka mereka akan lebih sering berpergian bersama dan hubungannya semakin formal. Mereka akan sering mengunjungi keluarga dan mungkin mereka memutuskan untuk “bertunangan” secara resmi dan kemudian sesudah memenuhi persyarakatan undang-undang dan setelah menjalani berbagai upacara, maka keduanya telah dinyatakan kawin.
Setelah mendapat pola umum ini, ahli antropologi akan berusaha mengungkapkan berbagai variasi yang ada yang masih dianggap layak. Dia akan melihat bahwa ada pasangan-pasangan yang lebih suka pergi menonton pada perjanjian pertama, sedangkan pasangan-pasangan yang lain lebih suka pergi restoran, bahwa ada pasangan yang mempunyai masa pertunangan yang lama dan yang lain tidak bertunangan sama sekali.
Seorang ahli antropologi yang dihadapkan dengan sejumlah perorangan yang semua berlaku berlainan, akan berusaha mengungkapkan pola-pola kelakuan yang umum dalam masyarakat yang dipelajari. Dia akan menentukan variasi mana yang termasuk kedalam pola-pola umum itu dan mana yang jelas tidak dapat diterima. Yang dilakukannya bukanlah sekedar menggambarkan secara panjang lebar tentang perorangan dan tingkah laku mereka, tetapi dari tingkah laku perseorangan dia akan meningkat kepada perumusan pola budaya yang umum.

I.             Generalisasi Mengenai Pola-pola Kebudayaan
Ada dua cara yang mendasar bagi ahli antropologi untuk menyimpulkan sifat-sifat umum mengenai pola-pola kebudayaan. Kalau dya mempelajari kebiasaan-kebiasaan yang terungkap secara jelas atau gamblang dalam suatu masyarakat misalnya, kebiasaan ketatanegaraan untuk memilih pejabat pemerintahan seperti presiden melalui pemilihan maka si peniliti dapat menentukan dan mempelajari kebiasaan–kebiasaan itu dengan bantuan beberapa orang yang tahu seluk beluknya. Sebaliknya, kalau dia mempelajari  bidang kelakuan tertentu yang mencakup banyak variasi perseorangan, atau bila orang-orang itu tidak sadar akan pola-pola kelakuannya sendiri maka ahli antropologi harus mengumpulkan keterangan dari sejumlah warga masyarakat yang untuk tujuan itu ditentukan sebagai sampel untuk menjadi wakil dari penduduk yang dipelajari dan dari jawaban mereka disimpulkan apa yang merupakan jawaban rata-rata.
Kalau seorang ahli antropologi mau menggambarkan suatu cara berlaku yang banyak variasinya, dia pertama-tama membuat catatan mengenai cara berlaku dari setiap subyeknya. Sesudah itu si peneliti mencatat berapa kali terjadinya tiap kelas tingkah laku (misalnya tiap waktu makan), ini menunjukkan penyebaran frekuensi (frequency distribution). Untuk memperoleh garis grafik dari distribusi frekuensi, angka-angka dipindahkan pada suatu grafik yang menggambarkan distribusi sepanjang sumbu mendatar atau absis dan frekuensinya pada sumbu tegak atau ordinat. Biasanya grafik  semacam itu meningkat sampai mencapai titik yang tinggi lalu menurun, titik yang paling tinggi itulah menggambarkan cara berlaku rata-rata.
Menurut teori, pengambilan sampel secara acak-acakan, adalah metoda yang berguna namun kenyataan adalah bahwa metoda itu belum digunakan secara luas dalam penelitian antropologi. Karena agak mudah juga untuk membuat kesimpulan umum atau generalisasi tentang aspek-aspek kebudayaan yang gamblang atau disadari, seperti saat makan malam dan prosedur berpacaran maka metoda penarikan sampel, sering tidak perlu. Tetapi dalam penelitian mengenai aspek-aspek kebudayaan yang terselubung atau yang tidak disadari, seperti pendapat masyarakat mengenai jarak yang wajar antara dua orang pada waktu berbicara, penarikan sampel secara acak-acakan mungkin perlu, agar kesimpulan umum mengenai pola kebudayaan dapat dirumuskan dengan tepat.

J.            Pembatasan-pembatasan Kebudayaan
Faktor utama yang membatasi kemungkinan variasi dalam cara berlaku perseorangan adalah kebudayaan itu sendiri. Ada dua macam pembatasan kebudayaan; pembatasan langsung, maupun tidak langsung. Contoh pembatasan langsung adalah ejekan ketika mengenakan pakaian yang tidak biasa dengan kebudayaan suatu daerah.  Pembatasan–pembatasan kebudayaan tidak harus bertentangan dengan individualitas. Karena seperti pada percobaan Solomon Asch pada serentetan eksperimen tentang konformitas dan penyimpangan ditemukan bahwa banyak orang yang dalam berpendapat sesungguhnya karena terpengaruh orang lain. Namun memang ada beberapa orang yang berpendirian secara bebas. Karena itu disimpulkan bahwa pembatasan-pembatasan kebudayaan sama sekali menghilangkan kepribadian perseorangan.

K.          Pola Budaya Ideal dan Pola Kelakuan Sebenarnya
Pola-pola yang diakui oleh suatu masyarakat disebut norma-norma. Namun pada kenyataannya tidak semua masyarakat mentaati sorma yang berlaku, oleh karena itu pembatasan secara langsung maupun tidak langsung sangat diperlukan. Sebagai contoh seorang dokter yang diharapkan tidak mengedepankan prestise dan dan kedudukan nyatanya banyak yang bekerja bukan dengan alasan “terpanggil”.
Adanya jurang antara pola ideal dan pola-pola kelakuan yang sebenarnya merupakan gejala umum dalam kebudayaan-kebudayaan manusia. Antara suku-suku bangsa tertentu di Irian, misalnya pola-pola actual actual dari hubungan laki-laki dan perempuan, agaknya berbeda dengan pola-pola budaya yang ideal.

L.           Beberapa Anggapan Dasar Mengenai Kebudayaan
1.            Kebudayaan dapat disesuaikan. Sebagaimana kebudayaan merupakan suatu penyesuaian pad alingkungan fisik, dan kebutuhan-kebutuhan biologis, kebudayaan juga merupakan suatu penyesuaian pada lingkungan sosial. Kebiasaan yang ada di dalam masyarakat tertentu merupakan penyesuaian masyarakat itu terhadap lingkungannya. Tetapi kita harus ingat juga, yaitu suatu masyarakat tidak harus menyesuaikan diri pada keadaan yang khusus. karena apa yang dikuitra orang sebagai berguna, belum tentu dicapai melalui penyesuaian.
2.            Kebudayaan merupakan suatu interaksi. Unsur-unsur atau sifat-sifat yang terpadu menjadi sebuah kebudayaan bukanlah sekumpulan kebiasaan-kebiasaan yang terkumpul secara acak-acakan. Tetapi unsur tersebut bersumber dari adaptif pada suatu kebudayaan. Unsur-unsur suatu kebudayaan juga sukar bertentangan.
3.            Kebudayaan selalu berubah. Dalam suatu kebudayaan selalu ada suatu kebebasan tertentu pada individu untuk memperkenalkan variasi dalam cara-cara berlaku. Cara-cara itu seringkali diakui menjadi milik bersama, dan dengan demikian suatu masa akan menjadi bagian dari kebudayaan. Atau mungkin ada beberapa aspek dari lingkungan akan berubah dan memerlukan adaptasi kebudayaan yang baru.

BAB III
KESIMPULAN

Umumnya ada kecendrungan untuk menganggap pandangan-pandangan yang ditentang dalam suatu masyarakat, sebagai sifat yang terbelakang atau belum beradab. Umumnya ada kecendrungan untuk menganggap pandangan-pandangan yang ditentang dalam suatu masyarakat, sebagai sifat yang terbelakang atau belum beradab.
Seseorang yang menilai kebudayaan-kebudayaan lain, menurut ukuran yang berlaku dalam kebudayaannya sendiri disebut etnosentris. Orang demikian bukan saja tidak cocok untuk melakukan tugas-tugas antropologi, tetapi barang kali dia juga tidak sanggup untuk mengidentifikasi dan memecahkan problema-problema sosial dalam kebudayaannya sendiri.
Kebudayaan manusia bukanlah suatu hal yang hanya timbul sekali atau yang bersifat sederhana. Tiap masyarakat mempunyai suatu kebudayaan yang berbeda dari kebudayaan masyarakat lain dan kebudayaan itu merupakan suatu kumpulan yang berintegrasi dari cara-cara berlaku yang dimiliki bersama dan kebudayaan yang bersangkutan secara unik mencapai penyesuaian pada lingkungan tertentu.
  
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Utama
Ihromi, T.O. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 1980.

Sumber dalam Buku Bacaan
Kroeber, A.L,: The Nature of Culture (Chicago: University of Chicago Press, 1952). Kumpulan karya-karya tentang sifat kebudayaan oleh seorang perintis terkenal dalam antropologi Amerika.
Spindler, G.D. (ed.): Being an Antropologist: Fieldwork in Eleven Cultures (New York: Holt, Rinehart dan Winston, 1970). Suatu rangkaian panjang lebar yang menarik tentang metoda-metoda ahli antropologi dan penghayatannya tentang pekerjaannya.
White, L.A.: The Science of Culture: A Study of man and Civilization (Garden City, N.Y.: Doubleday, 1969; pertama diterbitkan pada tahun 1949). Suatu kumpulan karya-karya tentang kebudayaan dan ilmu yang mempelajarinya, dengan penekanan pada sifat simbolis dan sifat evolusioner dari kebudayaan.
Whiting, J.W.M. dan I.L. Child Training and Personality (New Heaven: Yale University Press, 1953). Bab II membicarakan hubungan antara kelakuan perorangan dan tingkah laku budaya.
Williams, T.R.: Field Methods in The Study of Culture (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1967). Suatu pembahasan yang menarik tentang cara bagaimana seorang ahli antropologi mempelajari dan menggambarkan kebudayaan.








[1] Napoleon Chagnon, The Yanomamo: The Fierce People (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1968), hal.84.
[2] Tanda seru dalam perkataan “!kung” menunjukkan suatu suara detak yang dibunyikan dengan lidah. Suara itu adalah suara aspek karateristik dari bahasa Bushmen. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar