Selasa, 16 Juli 2013

Analisis Majalah Tempo Edisi Februari 2012: Kelas konsumen Baru

PERUBAHAN SOSIAL MASYARAKAT INDONESIA:
Tumbuhnya Kelas Konsumen Baru 
oleh, Anita

Dewasa ini sebagian besar masyarakat menghabiskan uang demi memenuhi gaya hidup ala modern. Mereka membeli gadget terbaru bahkan menonton konser dengan biaya yang tidak sedikit. Pola konsumsi seperti ini tidak lagi didominasi kelas atas, melainkan telah bergerak pada kelas menengah. Kelas menengah inilah yang menjadi konsumen baru dan menguntungkan kapitalis. Kelas menengah ini yang sekarang tumbuh semakin pesat di Indonesia seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin signifikan.

Kafe, Kelas Konsumen Baru, dan Transformasi Ekonomi
Sebagian dari kelas konsumen baru berkumpul di kafe-kafe atau dalam kerumunan penonton di konser-konser musik. Sebagian dari mereka begitu fasih berbicara mengenai musik jazz, telpon seluler, memperdebatkan soal otomotif atau film Hollywood dan diskusi-diskusi politik. Mungkin itulah wajah strata menengah dalam segi gaya hidup. Begitu beragam dan sulit disimpulkan. Kalau ada keseragaman, mungkin itu adalah kesamaan dalam mengeluh di media sosial, seperti twitter dan facebook, tentang kemacetan dan kualitas jasa publik yang buruk. Perbedaanya hanya dalam kualitas atau merek pakaian.
Konsep kelas menengah adalah konsep yang “membingungkan” dari sisi akademik, sehingga penyebutannya adalah “kelas konsumen baru”. Sejalan dengan peningkatan pendapatan per-kapita, konsumsi akan bergeser dari “kebutuhan” ke “keinginan”. Ini yang menjelaskan mengapa penjualan mobil, sepeda motor, telepon seluler, dan rumah naik tajam. Semakin modern proses industri manufaktur, senakin tinggi kebutuhan akan sektor jasa yang andal.

Lalu bagaimana dampak ekonomi politik kebijakan dengan munculnya kelas konsumen baru sebagai kekuatan ekonomi? Sejarah ekonomi Indonesia memang menunjukan akumulasi kapital mereka terjadi sebagai akibat dari kekuasaan. Akibatnya, kelas menengah yang muncul adalah kelas menengah yang bergantung pada Negara, sehingga lebih merupakan kelas konsumen ketimbang kelas menengah yang menjadi ujung tombak perubahan politik. 

Mengejar Buble ke Singapura
Fenomena ini mungkin bukanlah hal yang mengagetkan. Kelas konsumen baru ini rela mengantri berjam-jam demi menonton konser artis mancanegara. Konser ini tidak main-main, karena harga tiketnya berkisar dari harga Rp 500.000,00 hingga mencapai harga fantastis yaitu Rp 5.000.000,00. Orang-orang yang masuk kelas konsumen baru ini merupakan mereka yang telah selesai dengan urusan kebutuhan dasarnya, pangan dan sandang. Kini mereka naik kelas dan membelanjakan uangnya untuk kebutuhan sekunder, seperti gaya hidup dan hiburan. Mereka tidak peduli dengan jauhnya tempat konser yang akan diadakan, bahkan tak jarang mereka ke luar negeri untuk menonton sebuah konser idolanya karena mereka juga akan berpikir untuk sembari plesir ke luar negeri. Itu semua telah membentuk pola gaya hidup baru di masyarakat ibukota khususnya. Hal ini disebabkan dengan adanya perkembangan teknologi komunikasi dan internet, mereka dapat dengan mudah mendapatkan informasi mengenai konser artis mancanegara dengan mudah dan cepat dalam genggaman smartphonenya. Selain itu juga terjadinya peningkatan pendapatan sehingga mereka dapat menyisihkan pendapatannya untuk menonton konser.

Para Penyuguh Konser
Dengan fenomena ini pastinya membuat para penyuguh konser meraup keuntungan besar. Mereka melihat peluang besar dimana antusiasme masyarakat akan hiburan konser artis mencanegara telah menjadi tren. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya kondisi perekonomian rakyat. Berdasarkan studi Bank Dunia, presentase penduduk Indonesia yang memiliki pengeluaran US$ 4 per-hari, melonjak 5% pada 2003 menjadi 18,5% pada 2010. Promotor-promotor sering mendapat permintaan untuk menghadirkan band luar negeri papan atas dunia agar dihadirkan di Indonesia. 

RSBI 
Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang sering diplesetkan menjadi Rintisan Sekolah Bertarif Internasional akhirnya dihapuskan Mahkamah Konstitusi belum lama ini. Hal ini menimbulkan pro kontra di kalangan masyarakat. Bagi masyarakat yang mendukung RSBI tetap berdiri menilai RSBI merupakan sekolah yang bagus untuk masa depan anak mereka. Di sisi lain yang menolak kehadiran RSBI menilai RSBI hanya sebagai sekolah yang menciptakan jurang pemisah antara masyarakat yang memiliki status ekonomi tinggi dan rendah.

Anak bangsa yang memiliki kemampuan dalam finansial meskipun tidak memiliki prestasi akademik dapat dengan mudah mengisi kursi di sekolah ini. Mereka adalah anak-anak dari golongan menengah keatas yang mementingkan prestise dalam pendidikan. Pada kenyataannya anak-anak ini dibentuk sebagai seorang anak orang kaya yang diantarkan dengan mobil mewah saat bersekolah. Ini akhirnya menimbulkan kemacetan parah setiap paginya di lingkungan sekolah. Kondisi seperti ini tidak dihiraukan orang tua murid karena dianggap RSBI merupakan sekolah yang terbaik untuk anaknya. Terbukti dengan melesatnya jumlah RSBI yang selalu meningkat.

Etalase Kelas Konsumen Baru Indonesia
Berdasarkan Broad Category, Indonesia 2010, pola distribusi konsumsi Indonesia dihabiskan pada: 5,8% untuk hotel dan ketering; 7,3% untuk produk dan jasa rumah tangga; 5,2% minuman berakohol dan rokok; 7,1% untuk pendidikan; 1,7% untuk komunikasi; 3,6% pakaian dan alas kaki; 17,2% untuk perumahan; 2,1% untuk rekreasi; 3,6% untuk transportasi; 2,5% untuk produk dan jasa kesehatan; 41,7% untuk makanan dan minuman non alkohol; 2,2% untuk barang dan jasa lain. 

Hingga tahun 2012 ketergantungan terhadap internet bagi kelas konsumen baru telah mencapai 45.447 juta jiwa, meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 36.498  juta jiwa. Hal juga dapat terlihat pada tahun 2030 diprediksi kelas komsumen menengah Indonesia menempati empat besar dunia dibawah India, Cina, dan Amerika Serikat. Dan lebih dari 50% penduduk sudah bermukim di kota besar.

Analisa Pertumbuhan Kelas
Pertumbuhan kelas menengah dianggap sebagai pemacu pertumbuhan ekonomi Negara. Dosen filsafat Universitas Indonesia Rocky Gerung menyebut mereka sebagai parasit kapitalisme. Para Marxis seringkali menyebut mereka sebagai kelas banci yang hanya bertindak mencari aman. Mereka sering disebut penjilat karena melakukan sesuatu sesuai kepentingan. Jika kepentingan lebih dekat dengan kelas borjuis, mereka akan menjadi borjuis. Dan jika kepentingan mereka lebih dekat dengan kelas proletar, maka mereka akan menjadi proletar.
  
Kelas menengah dapat ke atas maupun ke bawah karena secara struktur berada di tengah dan independen. Jika terus dibiarkan kapitalisme akan menghancurkan peradaban yang telah dibangun. Namun sekarang kapitalisme muncul dengan wajah yang lebih humanis. Mereka selalu menindas kelas yang lemah dan kelas menengah. Dalam hal ini tanpa disadari kelas menengah telah menjadi alat untuk melanggengkan struktur sosial yang kapitalis bentuk. 

Selain Marx, Weber juga menganalisis mengenai kelas ini. Menurutnya kelas menengah merupakan kelas yang memiliki penghasilan diantara orang kaya dan orang miskin. Weber lebih mengedepankan perhitungan berdasarkan data statistik daripada kepemilikan faktor produksi yang dikemukakan Marx.

Analisis Perubahan Sosial
Perubahan social melibatkan perubahan dalam dimensi struktural, kultural, dan interaksional. Ibn Khaldun menyatakan sistem sosial manusia berubah mengikut kemampuan berfikir, keadaan muka bumi sekitar mereka, pengaruh iklim, makanan, emosi serta jiwa manusia itu sendiri. Ibn Khaldun juga berpendapat bahwa institusi masyarakat berkembang mengikuti tahapan dengan tertib bermula dengan tahap primitif, pemilikan, diikuti tahap peradaban dan kemakmuran sebelum tahap kemunduran. Teori Ibn Khaldun mengenai hal ini banyak menginspirasi sosiolog barat seperti Auguste Comte, Emile Durkheim, Max Weber, dan lain-lain.

Max Weber pada dasarnya melihat perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat adalah akibat dari pergeseran nilai yang dijadikan orientasi kehidupan masyarakat. Perubahan sosial yang terjadi pada Indonesia dengan maraknya golongan menengah mengindikasikan bahwa Indonesia sedang mengalami fase pertumbuhan ekonomi. Hal ini juga berefek pada etimpangan pendapatan yang tinggi antara penghasilan si kaya dan si miskin. Seiring pertambahan penghasilan, kelas menengah seringkali merubah gaya hidupnya seperti apa yang diinginkan kapitalis. Mereka mengkonsumsi barang dan jasa bukan hanya berdasarkan kebutuhan, melainkan keinginan.

Dalam hal ini Indonesia sedang mengalami fase yang disebut sebagai era globalisasi. Setiap Negara akan mengalami efek dari globalisasi ini. Globalisasi ditandai dengan perkembangan sistem komunikasi dan informasi. Globalisasi yang ketika tidak mampu dibendung akan mengakibatkan perubahan sosial yang menggerus berbagai nilai dan norma Negara yang dilaluinya. 

Kelas menengah yang semakin marak ini menjadi konsumen baru para kapitalis. Pastinya kapitalis yang berwajah humanis ini merasa senang dengan kelahiran kelas ini. Mereka yang mengkonsumsi segala sesuatu yang tengah menjadi popular. Ini tidak terlepas dari perkembangan dunia maya khususnya situs jejaring sosial.  Karena semakin tinggi pendapatan seseorang, dia akan menjadi semakin konsumtif. Fenomena yang ditimbulkan kelas konsumen baru ini telah membuktikan bahwa era modern telah berlangsung pada masyarakat Indonesia. Bahkan oleh beberapa ahli fenomena ini membuktikan masyarakat Indonesia telah mengalami fase postmodern. 

Sebagaimana disebut oleh Ibn Khaldun, masyarakat Indonesia awalnya adalah masyarakat primitif. Mereka hidup secara nomaden. Seiring ditemukannya berbagai alat untuk menopang kehidupan, akhirnya mereka membuka ladang-ladang untuk ditanami tumbuhan. Mereka mulai hidup menetap di suatu daerah yang biasanya dekat dengan sumber air seperti danau dan aliran sungai.

Pola ini telah bertahan lama hingga akhirnya masyarakat Indonesia mulai mengenal berbagai bentuk pemilikan tanah. Disinilah mulai berkembang masa feodalisme. Hal ini terus berlanjut dengan tahap dimana berbagai ajaran agama dan budaya masuk ke Indonesia. Telah terjadi akulturasi dan asimilasi budaya hingga masa penjajahan.

Setelah merdeka, masyarakat Indonesia mulai menjadi bangsa yang berdiri sendiri. Unsur-unsur kebudayaan asing tetap masuk namun dalam batas kewajaran. Setelah orde baru, corak kapitalisasi dan liberalisasi ekonomi mulai terlihat. Unsur-unsur budaya asing mulai dicerap seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi. Unsur-unsur modernisasi telah menjelma menjadi adat istiadat Indonesia yang baru.

Meski saat ini Indonesia sedang dianggap menanjak kearah perbaikan ekonomi, hal ini tetap disayangkan karena bangkitnya kelas menengah ini tidak mengangkat perekonomian Indonesia. Mereka hanya menjadi konsumen tetap kapitalis dan jarang menguntungkan Negara. Hal ini diharapkan akan hilang agar Indonesia tidak mengalami kehancuran sebelum menciptakan peradaban besar di dunia global.

Kemajuan yang didasarkan pada kenaikan pendapatan ekonomi seharusnya bukanlah alat pengukur kemakmuran. Sebagaimana diketahui, era perkembangan kelas mengengah ini telah dialami berbagai Negara yang dinyatakan maju dalam perekonomian. Semakin “maju” tiap Negara tidak menjadikan suatu Negara memiliki masyarakat yang berkwalitas. Ketika tolak ukur perekonomian ini terus menerus diterapkan oleh Indonesia, maka Indonesia yang merupakan bagian dari dunia ketiga akan terus berada dalam bayang-bayang pola konsumsi budaya Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar