Rabu, 17 Juli 2013

Perkara Anjal

PERSOALAN ANAK JALANAN, APAKAH DIBAWAH TANGGUNGAN PEMERINTAH SAJA?
oleh, Anita (1110015000015)[1]

Anak jalanan kumbang metropolitan, Selama ramai dalam kesepian
Anak jalanan korban kemunafikan, Selalu kesepian di keramaian
Tiada tempat untuk mengadu, Tempat mencurahkan isi lagu
Cinta kasih dari ayah ibu, Hanyakah peri yang palsu
(Lirik lagu Sandhy Sandoro, Anak Jalanan)

Pengertian dan Karakteristik Anak Jalanan
Berdasarkan Kamus Bahasa Indonesia, anak memiliki banyak definisi, diantaranya: 1) Keturunan yang kedua; 2) Manusia yang masih kecil: 3) Binatang yang masih kecil; 4) Pohon kecil yang tumbuh pada umbi atau rumpun tumbuh-tumbuhan yang besar: 5) Orang yang berasal dari atau dilahirkan di (suatu negeri, daerah, dsb): 6) Orang yang termasuk dalam suatu golongan pekerjaan (keluarga dan sebagainya): 7) Bagian yang kecil (pada suatu benda); dan 8) Sesuatu yang lebih kecil daripada yang lain.[2] Sedangkan Jalanan: berkaitan dengan sepanjang jalan (tanpa tempat yang tentu) serta bermutu rendah.[3] 

Menurut Kesepakatan Bersama tujuh Kementrian, Anak Jalanan adalah anak yang rentan bekerja di jalanan, anak yang bekerja di jalanan, dan atau anak yang bekerja dan hidup di jalanan yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari.[4] Menurut Shalahuddin (2000), yang dimaksudkan anak jalanan adalah individu yang berumur di bawah 18 tahun yang menghabiskan sebagian atau seluruh waktunya di jalanan dengan melakukan kegiatan-kegiatan guna mendapatkan uang atau guna mempertahankan hidupnya. Jalanan yang dimaksudkan tidak hanya menunjuk pada “jalanan” saja, melainkan juga tempat-tempat lain seperti pasar, pusat pertokoan, taman kota, alun-alun, terminal, dan stasiun.[5]

Anak jalanan dapat dikategorikan menjadi beberapa macam. Menurut Supartono pada Konsorsium Anak Jalanan Indonesia tahun 1996 di Ambarita, Sumatera Utara, mengelompokkan anak jalanan menjadi tiga kelompok, yaitu anak jalanan perantauan (mandiri), anak bekerja di jalanan dan anak jalanan asli. Shalahuddin dalam penelitiannya mengkategorikan anak jalanan menjadi beberapa macam diantaranya adalah anak jalanan yang melakukan kegiatan di jalan tapi masih pulang ke rumah baik rutin maupun tidak rutin, anak jalanan yang seluruh waktunya berada di jalanan dan cenderung tidak memiliki hubungan dengan orang tua maupun keluarga lagi, serta anak jalanan yang dilahirkan dari keluarga yang tinggal di jalanan.[6]

Permasalahan Seputar Anak Jalanan
Sebagai seorang anak yang menghabiskan waktunya di luar rumah, anak jalanan rentan mengalami berbagai prmasalahan sosial. Permasalahan tersebut dapat menimpa dirinya karena tekanan kelompok, situasi sosial, maupun faktor dari dalam dirinya sendiri. Seorang anak seharusnya dapat hidup dengan layak dan menempuh pendidikan bahkan menikmati hidupnya dengan bermain. Pada usia tersebut, anak jalanan harus berkecimpung dengan kerasnya kehidupan kota besar.

Menurut Ayi Budi Santosa, faktor penyebab lahirnya anak jalanan terletak pada: 1) Tingkat mikro, yaitu faktor yang berhubungan dengan anak dan keluarganya. 2) Tingkat messo, yaitu faktor yang terjadi di masyarakat. 3) Tingkat makro, yaitu faktor yang berhubungan dengan struktur masyarakat.[7] Dalam pandangan Soetarso, dampak krisis moneter dan ekonomi dalam kaitannya dengan anak jalanan adalah:
1. Orang tua mendorong anak untuk membantu ekonomi keluarga.
2. Pola pendidikan dan pengasuhan yang salah terhadap anak oleh orang tua sehingga menyebabkan anak lari ke jalan.
3.  Anak terancam putus sekolah karena orang tua tidak mampu membayar uang sekolah.
4.  Makin banyaknya anak yang hidup di jalanan karena biaya kontrak rumah meningkat.
5. Timbulnya persaingan dengan pekerja dewasa di jalanan, sehingga terpuruk melakukan pekerjaan yang beresiko tinggi terhadap keselamatannya dan eksploitasi anak oleh orang dewasa di jalanan.
6.  Anak lebih lama berada di jalanan sehingga mengundang masalah lain.
7.  Anak jalanan lebih lama menjadi korban pemerasan dan eksploitasi seksual, terutama terhadap anak jalanan yang perempuan.[8]

Permasalahan anak jalanan juga tidak lepas dari ketidakharmonisan rumah tangga, pengasuhan yang terlalu keras dan pengaruh lingkungan komunitas anak. Kondisi dari faktor-faktor ini seringkali memaksa anak-anak mengambil inisiatif mencari nafkah atau hidup mandiri di jalanan. Masa anak-anak yang mestinya dihiasi dengan keceriaan dan kemanjaan, terpaksa harus berhadapan dengan dunia yang keras dan kejam yaitu dunia jalanan. Tidak jarang ditemukan, anak jalanan seringkali menjadi objek kekerasan, Anak-anak jalanan ditantang oleh resiko yang mau tidak mau harus dihadapi saat berada di jalanan. Resiko-resiko yang dapat diidentifikasi adalah menjadi korban kekerasan (pemerasan, penganiayaan, eksploitasi seksual, penangkapan dan perampasan modal kerja), kelangsungan hidup terancam, kurang gizi (miniman keras, penyalah gunaan obat, tindakan kriminal dan seks bebas), ancaman tidak langsung (zat polutan, kecelakaan lalu lintas, HIV/AIDS) serta keterkucilan dan stigmatisasi sosial [9]

Implementasi Kebijakan Pemerintah dalam Mengatasi Persoalan Anak Jalanan
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, implementasi diartikan sebagai pelaksanaan.[10] Implementasi adalah kemampuan untuk membentuk hubungan-hubungan lebih lanjut dalam rangkaian sebab-akibat yang menghubungkan tindakan dengan tujuan. Perangkat-perangkat yang dimaksud antara lain adalah sebagai berikut: adanya orang atau pelaksana, uang dan kemampuan organisasi atau yang sering disebut dengan resources. Dengan demikian berdasar pada pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai tujuan dari implementasi tersebut dibutuhkan: manusia, anggaran dan juga kemampuan organisasi ataupun instansi seperti teknologi informasi.

Sedangkan kebijaksanaan adalah kepandaian menggunakan akal budi (pengalaman dan pengetahuan); serta kecakapan bertindak apabila menghadapi kesulitan.[11] Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan. Dimana suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan, karena implementasi kebijakan adalah salah satu variabel penting yang berpengaruh terhadap keberhasilan suatu kebijakan didalam memecahkan persoalan-persoalan. Dalam hal ini implementasi kebijakan pemerintah guna mengatasi permasalahan anak jalanan sangat penting. Hal ini dikarenakan permasalahan anak jalanan sudah mencapai taraf penyimpangan sosial (deviasi).

Pada dasarnya menurut UUD 1945, ”Anak terlantar dipelihara oleh negara”. Artinya Pemerintah mempunyai tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan anak-anak terlantar, termasuk anak jalanan. Hak-hak asasi anak terlantar dan anak jalanan, pada hakekatnya sama dengan hak-hak asasi manusia pada umumnya, seperti halnya tercantum dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convension on the Right of the Child (konvensi tentang hak-hak anak). Mereka perlu mendapatkan hak-haknya secara normal sebagaimana layaknya anak, yaitu hak sipil dan kemerdekaan, lingkungan keluarga dan pilihan pemeliharaan, kesehatan dasar dan kesejahteraan, pendidikan, rekreasi dan budaya dan perlindungan khusus.

Program Kesejahteraan Sosial Anak yang selanjutnya disebut PKSA adalah kebijakan yang dilaksanakan tujuh kementerian yang diupayakan terarah, terpadu, dan berkelanjutan. Kebijakan ini dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar anak, yang meliputi bantuan/subsidi pemenuhan kebutuhan dasar, aksesibilitas pelayanan sosial dasar, penguatan orang tua/keluarga dan penguatan lembaga kesejahteraan sosial anak. Kebijakan lain adalah Perlindungan Anak No.23 Tahun 2002, tentang kewajiban hak-hak anak Indonesia.

Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa hak-hak seperti yang tercantum dalam konvensi hak anak dan UU yang mengaturnya sebelum sepenuhnya didapatkan oleh anak jalanan. Orang tua merupakan pihak utama untuk memberikan hak-hak tersebut, namun karena kondisi ekonomi keluarga tidak mendukung, maka Pemerintahlah khususnya melalui Dinas Sosial berkewajiban memberikan hak-hak yang seharusnya diperoleh anak.[12] Karena permasalahan anak jalanan seperti gunung es, dan menuntut implementasi dari berbagai kebijakan yang telah digelontorkan pemerintah. Tetapi pada kenyataannya berbagai kebijakan yang terlihat baik tersebut tidak terlihat pengaruhnya dalam mengurangi angka anak jalanan. Sebaliknya, justru jumlah anak jalanan terus saja bertambah meski Depsos mengeluarkan anggaran 180 milyar untuk anak jalanan dan menyediakan 400 rumah singgah.[13] Padahal jumlah anak jalanan seperti data Kemensos berjumlah 230.000 jiwa dari total populasi anak Indonesia yang berjumlah 4,5 juta jiwa.[14]

Secara umum berbagai cara mengatasi permasalahan anak jalanan yang telah dilakukan pemerintah dan LSM adalah sebagai berikut.
1. Street-centered intervention. Penanganan anak jalanan yang dipusatkan di “jalan” dimana anak-anak jalanan biasa beroperasi. Tujuannya agar dapat menjangkau dan melayani anak di lingkungan terdekatnya, yaitu di jalan.
2. Family-centered intervention. Penanganan anak jalanan yang difokuskan pada pemberian bantuan sosial atau pemberdayaan keluarga sehingga dapat mencegah anak-anak agar tidak menjadi anak jalanan atau menarik anak jalanan kembali ke keluarganya.
3.  Institutional-centered intervention. Penanganan anak jalanan yang dipusatkan di lembaga (panti), baik secara sementara (menyiapkan reunifikasi dengan keluarganya) maupun permanen (terutama jika anak jalanan sudah tidak memiliki orang tua atau kerabat). Pendekatan ini juga mencakup tempat berlindung sementara (drop in), “Rumah Singgah” atau “open house” yang menyediakan fasilitas “panti dan asrama adaptasi” bagi anak jalanan.
4.  Community-centered intervention. Penanganan anak jalanan yang dipusatkan di sebuah komunitas. Melibatkan program-program community development untuk memberdayakan masyarakat atau penguatan kapasitas lembaga-lembaga sosial di masyarakat dengan menjalin networking melalui berbagai institusi baik lembaga pemerintahan maupun lembaga sosial masyarakat. Pendekatan ini juga mencakup Corporate Social Responsibility (tanggungjawab sosial perusahaan).[15]

Menurut sosiolog UIN Jakarta, Musni Umar, Phd, upaya pemerintah dalam mengatasi permasalahan anak jalanan kurang berhasil. Hal ini tidak sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945 yang melindungi dan memelihara mereka. Bentuk dari implementasi Undang-undang ini harusnya bukan hanya terkait dengan pembangunan rumah singgah, melainkan pembinaan terhadap kehidupan anak jalanan secara totalitas. Karena selepas dari penjara setelah melakukan tindak kriminal ataupun rumah singgah, mereka tetap terpengaruh lingkungan dan kembali lagi ke jalan. Dalam penjara bahkan anak jalanan hanya berlatih menjadi seorang penjahat yang lebih mahir. Permasalahan ini membuat rumah singgah yang menjadi program pemerintah kurang bermanfaat. Menurutnya, pemerintah harus membuatkan asrama yang memberi fasilitas pendidikan dan lainnya secara gratis. Inilah sesungguhnya bentuk implementasi program pemerintah dalam pengentasan masalah anak jalanan.[16]

Fenomena Anak Jalanan-pun Menjual
Fenomena maraknya anak jalanan tidak hanya dapat dianalisis secara ekonomi, melainkan secara sosial dan politik. Secara sosial, anak jalanan seringkali dikaitkan dengan sebuah penyimpangan sosial dengan berbagai tindakan amoral serta kenakalan remaja. Anak jalanan seringkali dipandang sebelah mata karena pergaulan serta jauhnya diri mereka dari pendidikan moral dan etika dalam bermasyarakat. Secara sosial, anak jalanan merupakan masalah besar dalam masyarakat.

Anak jalanan merupakan bagian kaum marjinal yang sengaja dipinggirkan. Anak jalanan menjadi sebuah fenomena “Pemiskinan Struktural” yang melahirkan “Kemiskinan Kultural”. Maraknya anak jalanan juga sering menjadi komoditas. Akhinya muncul golongan-golongan yang sering memanfaatkan anak jalanan untuk kepentingan politik dan kekuasaan. Dalam kepentingan politik misalnya banyak calon pemimpin maupun partai politik yang sengaja mendekati anak jalanan detik-detik sebelum pemilu untuk dijadikan lumbung suara. Mereka didekati dan diberi janji-janji perubahan hidup. Seringkali janji tersebut tidak terealisasi sehingga banyak anak jalanan yang memandang apatis rencana perubahan yang dilakukan pemerintah untuk mereka.

Bentuk komoditi dan eksploitasi terhadap anak jalanan dilakukan oleh kapitalis semisal pertelevisian. Alih-alih berusaha mengungkap berbagai penderitaan yang dialami anak jalanan, kapitalis televisi-pun memperoleh keuntungan atas bentuk simpati masyarakat. Acara-acara yang terkait dengan anak jalanan seringkali mendatangkan rating tinggi yang menunjang pendapatan mereka. Contoh lain bentuk komoditas ekonomi adalah ajang pencarian bakat yang dilakukan televisi pernah memenangkan seorang anak jalanan. Namun setelah menang, anak jalanan tersebut menghilang. Padahal sebelumnya dia memiliki andil dalam penjualan acara televise yang bertema pencarian bakat. Dia menjual karena sebagai seorang marjinal, dia mampu menunjukkan bakat dan kemampuan seorang bintang. Hal ini yang menarik simpati masyarakat dan menjadikannya juara dengan dukungan pada ajang tersebut.

Kapitalis televisi dan media cetak bahkan seminar-seminar seringkali mengangkat isu anak jalanan sebagai bahan berbincangan.[17] Dalam hal ini mereka melakukan berbagai analisa atas faktor penyebab dan strategi mengatasi kasus anak jalanan. Mereka mengundang sosiolog, para pemangku kebijakan, dan anak jalanan tersebut. Namun setelah acara selesai tidak ada realisasi untuk mengatasi masalah anak jalanan. Akhirnya banyak masyarakat yang peduli memberi bantuan kepada anak jalanan sendiri. Mereka membentuk LSM yang mengurusi persoalan anak jalanan. Mereka memberi penyuluhan dan pendidikan kepada anak jalanan. Merekalah yang memegang peranan kunci dalam mengatasi persoalan anak jalanan. 

Sudah menjadi rahasia umum, anak jalanan yang berusia muda sering dijadikan alat pencari keuntungan. Terdapat pihak tertentu yang memaksa anak jalanan mengemis dan mengamen untuk memperoleh pundi-pundi materi. Mereka dikendalikan oleh orang dewasa yang memberi penampungan. Mereka diwajibkan membayar uang setoran dan ketika setoran tidak seperti yang diharapkan, mereka memperoleh siksaan. Inilah yang menjadi fokus utama Komisi Perlindungan Anak, yaitu menjaga dan memelihara hak-hak anak jalanan.

Menjadi Anak Jalanan Adalah Sebuah Pilihan
Anak jalanan merupakan contoh alienasi dalam dunia modern. Disaat teknologi berkembang pesat, anak jalanan tidak mampu atau tidak mampu menikmatinya. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, motivasi menjadi anak jalanan berbeda-beda. Salah satu motivasi seorang anak menjadi anak jalanan adalah untuk mencari kesenangan bahkan tergoda untuk hidup sebebas-bebasnya di dunia jalanan.

Secara sosiologis, anak jalanan merupakan dampak dari sosialisasi tidak sempurna. Sosialisasi yang tidak sempurna inilah yang mengakibatkan perilaku menyimpang. Mereka melanggar dan menembus batas norma yang berlaku di masyarakat. Dalam hal ini terdapat pilihan dalam dirinya untuk bersifat conform atau menyimpang dari norma dan nilai yang disepakati masyarakat. Proses penyimpangan tersebut berlangsung secara progresif, tidak sadar, berangusur-angsur dan berkesinambungan. Akibatnya, semua bentuk pelanggaran terhadap norma-norma sosial dirasionalisir secara progresif, dibenarkan dan akhirnya dijadikan pola tingkah laku sehari-hari. Perilaku menyimpang merupakan tindakan nonkonform. Tindakan antisosial atau asosial, dan tindakan-tindakan kriminal[18] Menurut Robert K. Merton, penyimpangan merupakan akibat dari adanya berbagai ketegangan dalam suatu struktur sosial (anomie) sehingga ada individu-individu yang mengalami tekanan dan akhirnya menjadi menyimpang.[19]

Menjadi anak jalanan bukan hanya karena alasan keterpaksaan melainkan alasan pembudayaan. Menjadi anak jalanan bukan karena terpaksa dan terdesak situasi ekonomi. Menjadi anak jalanan adalah pilihan. Sebagai contoh Rizki, seorang anak berusia 11 tahun saat ditemui penulis di salah satu bis kota. Alasan dia menjadi anak jalanan dan mengamen hanya karena ikut kegiatan temannya. Orang tuanya pun tidak mengetahui aktivitasnya di jalan. Beberapa kali dia terkena razia kepolisian dan diinapkan di rumah singgah, beberapa kali setelah ia bebas, ia kembali ke jalanan. Karena dijalanan dia memperoleh kebebasan.[20]

Dalam hal ini upaya untuk mengatasi persoalan bukan dengan pendirian rumah singgah, melainkan sosialisasi yang kuat terhadap orang tua. Perlunya pengawasan orang tua sangat penting karena alasan seorang anak menjadi anak jalanan juga terkait motivasi kurangnya perhatian orang tua. Anak mencari penghidupan di luar rumah untuk memperoleh kesenangan yang ia tidak peroleh dari rumah. Dalam hal ini pasti ada hak-hak dari mereka yang tidak dipenuhi orang tua.

Sayangnya, ketika mengatasi persoalan ini, pendekatan represif yang cenderung mengemuka dengan kebijakan yang mengkriminalisasi keberadaan dan kegiatan para anak jalanan. Padahal anak jalanan merupakan fenomena perkotaan yang kompleks dan terus meningkat kuantitas dan kualitasnya. Fenomena permasalahan tersebut disebabkan berbagai faktor terkait seperti peradigma pembangunan yang sentralistik ditambah dengan nuansa reformasi serta mencuatnya konsep HAM, gaya hidup individualis materialistik, konsumeristik serta kebijakan pemerintah yang tidak saling sinergi dan tidak berkoodinasi antar departemen. Merebaknya anak jalanan juga diakibatkan oleh kegagalan sistem pendidikan yang cenderung kapitalistik, tidak banyak memberikan kesempatan kepada masyarakat miskin dan kaum marjinal.

Kesimpulan
Menurut Kesepakatan Bersama tujuh Kementrian, disepakati bahwa Anak Jalanan adalah anak yang rentan bekerja di jalanan, anak yang bekerja di jalanan, dan atau anak yang bekerja dan hidup di jalanan yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari. Menurut Shalahuddin (2000), yang dimaksudkan anak jalanan adalah individu yang berumur di bawah 18 tahun yang menghabiskan sebagian atau seluruh waktunya di jalanan dengan melakukan kegiatan-kegiatan guna mendapatkan uang atau guna mempertahankan hidupnya. Jalanan yang dimaksudkan tidak hanya menunjuk pada “jalanan” saja, melainkan juga tempat-tempat lain seperti pasar, pusat pertokoan, taman kota, alun-alun, terminal, dan stasiun.

Sebagai seorang anak yang menghabiskan waktunya di luar rumah, anak jalanan rentan mengalami berbagai permasalahan sosial. Permasalahan tersebut dapat menimpa dirinya karena tekanan kelompok, situasi sosial, maupun faktor dari dalam dirinya sendiri. Seorang anak seharusnya dapat hidup dengan layak dan menempuh pendidikan bahkan menikmati hidupnya dengan bermain. Pada usia tersebut, anak jalanan harus berkecimpung dengan kerasnya kehidupan kota besar.

Program Kesejahteraan Sosial Anak yang selanjutnya disebut PKSA adalah kebijakan yang dilaksanakan tujuh kementerian yang diupayakan terarah, terpadu, dan berkelanjutan. Kebijakan ini dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar anak, yang meliputi bantuan/subsidi pemenuhan kebutuhan dasar, aksesibilitas pelayanan sosial dasar, penguatan orang tua/keluarga dan penguatan lembaga kesejahteraan sosial anak. Kebijakan lain adalah Perlindungan Anak No.23 Tahun 2002, tentang kewajiban hak-hak anak Indonesia.

Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa hak-hak seperti yang tercantum dalam konvensi hak anak dan UU yang mengaturnya sebelum sepenuhnya didapatkan oleh anak jalanan tersebut. Orang tua memang merupakan pihak utama untuk memberikan hak-hak tersebut, tetapi karena kondisi ekonomi keluarga yang tidak mendukung, maka peran Pemerintahlah khususnya melalui Dinas Sosial berkewajiban memberikan hak-hak yang seharusnya diperoleh anak.[21] Permasalahan anak jalanan seperti gunung es dan menuntut perlindungan hak anak jalanan harus diimplementasikan. Namun pada kenyataannya berbagai kebijakan yang terlihat baik tersebut tidak terlihat pengaruhnya dalam mengurangi angka anak jalanan. Sebaliknya, justru jumlah anak jalanan terus saja bertambah meski Depsos mengeluarkan anggaran 180.000 milyar untuk anak jalanan menyediakan 400 rumah singgah.

Anak jalanan merupakan bagian kaum marjinal yang sengaja dipinggirkan. Anak jalanan menjadi sebuah fenomena “Pemiskinan Struktural” yang melahirkan “Kemiskinan Kultural”. Maraknya anak jalanan juga sering menjadi komoditas. Akhinya muncul golongan-golongan yang sering memanfaatkan anak jalanan untuk kepentingan politik dan kekuasaan. Dalam kepentingan politik misalnya banyak calon pemimpin maupun partai politik yang sengaja mendekati anak jalanan detik-detik sebelum pemilu untuk dijadikan lumbung suara. Mereka didekati dan diberi janji-janji perubahan hidup. Seringkali janji tersebut tidak terealisasi sehingga banyak anak jalanan yang memandang apatis rencana perubahan yang dilakukan pemerintah untuk mereka.

Daftar Pustaka

Narwoko, J. Dwi dan Bagong Suyanto. Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana. 2006.
Shalahuddin, Odi. Anak Jalanan Perempuan. Semarang: Yayasan Setara. 2000).
Soekanto, Soerjono. Howard S. Becker: Sosiologi Penyimpangan. Jakarta: Rajawali. 1998.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa. 2008.
Shalahuddin. dalam Jurnal Perempuan. 2007.
Fpips Jur._Pend._Sejarah/196303111989011-Ayi_Budi_Santosa/Masyarakat_Urban/.Pdf Hal 75.
Implementasi Kebijakan Program Pembinaan Anak-Anak Jalanan Di Dinas Sosial Kota Medan.
http://perjuanganmahasiswa.blogspot.com/2012/06/kebijakan-kebijakan-departemen-sosial.html
Penanganan Anak Jalanan: Meretas Indikator Keberhasilan
http://www.artikata.com/arti-385518-jalanan.html


[1] Tulisan ini disusun sebagai syarat mengikuti Lomba Debat pada tahap semifinal Tarbiah Expo Juni 2013. Penulis merupakan mahasiswa semester 6 konsentrasi Sosiologi dan Antropologi Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
[2] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008)\, hal. 57.
[3] http://www.artikata.com/arti-385518-jalanan.html
[4]  Kesepakatan Bersama antara Kementerian Sosial Republik Indonesia, Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Kementerian Agama Republik Indonesia, Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia,  Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Nomor : 72/Prs-2/Kpts/2010, Nomor : 460-940 A Tahun 2010, Nomor : 15a/Skb/Xi/2010,  Nomor : 1640/Menkes/Pb/Xi/2010, Nomor : Ma/277/2010, Nomor : B/32/Xii/2010, Nomor : Skb.23/Meneg.Pp-Pa/Xi/2010, dan Nomor : B/32/Xi/2010 Tentang Peningkatan Kesejahteraan Sosial Anak Jalanan. Terlampir.
[5] Shalahuddin, Odi, Anak Jalanan Perempuan, (Semarang: Yayasan Setara, 2000), hal. 13.
[6]  Shalahuddin, dalam Jurnal Perempuan, 2007, hal. 40.
[7] Fpips Jur._Pend._Sejarah/196303111989011-Ayi_Budi_Santosa/Masyarakat_Urban/.Pdf Hal 75.
[8] Lihat. Huraerah. 2006, hal. 78.
[9] Lih kembali Huraeroh, hal79
[10] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, hal. 548.
[11] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, hal 199.
[12] Implementasi Kebijakan Program Pembinaan Anak-Anak Jalanan Di Dinas Sosial Kota Medan.
[13] http://perjuanganmahasiswa.blogspot.com/2012/06/kebijakan-kebijakan-departemen-sosial.html
[14]http://sindonews.com/
[15] Penanganan Anak Jalanan: Meretas Indikator Keberhasilan
[16] Kutipan wawancara sindotvnews.com dengan Musni Umar, Phd. Diposting di http://youtube.com
[17] Keterangan singkat dari wawancara penulis dengan Drs. Syaripulloh, M.Si, dosen sosiologi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta.
[18] J. Dwi Narwoko dan bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta: Kencana, 2006), Hal. 101.
[19] J. Dwi Narwoko dan bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, hal. 110.
[20] Wawancara ini dilakukan penulis sekitar bulan Februari 2013 dalam bis malam menuju Jakarta dari Bogor.
[21] Implementasi Kebijakan Program Pembinaan Anak-Anak Jalanan Di Dinas Sosial Kota Medan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar