Senin, 15 Juli 2013

Helenisme

Helenisme: Periode Panjang Sejak Zaman Aristoteles Menjelang Akhir Abad 4 SEB Hingga Ebad 4 EB.
oleh, Anita

Aristoteles meninggal pada 322 SEB, ketika itu Athena telah kehilangan peran dominannya. Ini dikarenakan pemberontakan politik akibat penaklukan Alexander Agung (356-323 SEB). Alexander Agung merupakan Raja Macedonia. Dia seorang yang menaklukan Mesir dan dunia Timur hingga India serta peradaban Yunani. Inilah awal zaman baru manusia.
Zaman baru ini berlangsung kira-kira 300 tahun dengan Yunani memainkan peran utama. Zaman ini disebut Hellenisme yang mengacu pada periode maupun kebudayaan yang didominasi Yunani. Yunani berjaya di tiga kerajaan, yaitu Macedonia, Syria, dan Mesir. Namun pada 50 SEB, Roma lebih kuat dalam bidang militer dan politik. Inilah zaman Yunani kuno akhir yang ditandai kekuasaan Romawi, padahal Roma merupakan bagian dari kebudayaan Yunani.
Helenisme ditandai dengan fakta bahwa perbatasan antara berbagai Negara dan kebudayaan menjadi terhapus. Kebudayaan ini membentuk sebuah agama nasional. Karena kota ini dipengaruhi gagasan dari penjuru dunia. Rumusan-rumusan agama yang baru bermunculan sehingga dapat mengambil alih Dewa-dewa dan keyakinan-keyakinan dari negeri lama. Inilah yang disebut sinkretisme atau perpaduan keyakinan.
Era ini pula ditandai dengan keraguan banyak orang mengenai filsafat hidup mereka. Zaman Yunani kuno akhir ditandai dengan keraguan agama, melarutnya kebudayaan, dan pesimisme. Ciri umum agama baru yang berkembang adalah ajaran mengenai bagaimana umat manusia dapat terlepas dari kematian. Orang yang percaya mengharapkan keabadian jiwa dan kehidupan yang kekal. Wawasan mengenai hakekat sejati sama pentingnya dengan upacara agama untuk memperoleh keselamatan. Selanjutnya filsafat juga mengalir ke arah keselamatan dan ketenangan. Wawasan filsafat mengarahkan pada kebebasan dari pesimisme dan rasa takut pada kematian. Kini batasan agama dan filsafat semakin hilang.
Tiga filsuf besar Athena menjadi sumber aliran-aliran filsafat. Ilmu pengetahuan Hellenistik dipengaruhi campuran pengetahuan berbagai kebudayaan. Kota Alexandria menjadi tempat pertemuan antara Timur dan Barat. Athena tetap menjadi pusat pengkajian filsafat. Filsafat Helenistik selalu berusaha mengatasi masalah-masalah yang dikemukakan Socrates, Plato, dan Aristoteles. Filsafat ini berbicara banyak mengenai Etika. Aliran-aliran dalam filsafat yang berkembang saat itu adalah.

1.                  Kaum Sinis
Konon, suatu hari Socrates berdiri menatap kedai yang sedang ramai, kemudian dia menyatakan “Betapa banyak benda yang tak kuperlukan!”. Inilah moto aliran sinis yang didirikan oleh Antisthenes di Athena sekitar 400 SEB, salah satu murid Socrates. Kaum sinis menekankan bahwa kebahagiaan sejati tidak terdapat pada kelebihan lahiriah seperti kemewahan materi, kekuasaan politik, dan kesehatan yang baik. Kebahagiaan sejati terletak pada ketidaktergantungan pada segala sesuatu yang acak dan mengambang.
Kemudian ini diteruskan oleh Diogenes yang hidup dalam tong dan tidak memiliki apapun kecuali sebuah mantel, tongkat, dan kantong roti. Suatu hari dia didatangi Alexander Agung dan Raja itu berdiri disamping tong sehingga menutupi cahaya matahari untuk masuk. Kemudian Alexander Agung bertanya apa yang dapat diberikan padanya, Diogenes kemudian menjawab bahwa dia hanya ingin Alexander bergeser agar cahaya matahari tidak terhalangi. Ini menyisaratkan bahwa dia telah memiliki semua yang diinginkan.
Kaum sinis percaya orang tidak perlu memikirkan kesehatan, penderitaan yang dialami dirinya dan orang lain. Istilah sinisme kini berarti ketidakpercayaan yang mengandung cemooh pada ketulusan manusia dan ketidakpekaan terhadap penderitaan orang lain.

2.                  Kaum Stoik
Kaum stoik muncul di Athena sekitar 300 SEB. Pendirinya adalah Zeno yang berasal dari Syprus. Stoik berasal dari bahasa Yunani yang berarti serambi (stoa). Seperti Heraclitus, kaum stoik percaya bahwa setiap orang adalah sebuah miniatur, atau mikrokosmos yang merupakan cerminan makrokosmos. Ada satu kebenaran universal yang dinamakan hukum alam yang didasarkan pada akal manusia yang abadi dan universal. Hukum alam mengatur seluruh umat manusia. Ketentuan Undang-undang dari berbagai Negara hanyalah tiruan tidak sempurna dari hukum yang ada pada alam itu sendiri.
Mereka juga menyangkal adanya pertentangan antara “ruh” dan “materi”. Menurut mereka hanya ada satu alam. Gagasan ini disebut minisme. Kaum stoik adalah kaum yang kosmopolitan dan lebih mudah menerima kebudayaan kontemporer, mereka memberi perhatian pada persahabatan manusia, sibuk dengan politik, dan menjadi negarawan yang aktif seperti kaisar Romawi Marcus Aurelus (121-180 EB). Selain itu ada Cicero (106-43 SEB) yang membentuk konsep humanism, yaitu pandangan hidup yang menempatkan individu sebagai fokus utamanya. Selanjutnya Seneca (4 SEB-65 EB) mengatakan bahwa “bagi umat manusia, manusia itu suci”.
Kaum stoik menekankan bahwa semua proses alam, seperti penyakit dan kematian mengikuti proses alam. Karena itu manusia harus belajar menerima takdir karena tidak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan. Segala sesuatu terjadi karena ada sebabnya. Oleh sebab itu, manusia tidak boleh gelisah. Kaum stoik beranggapan bahwa seseorang tidak boleh membiarkan perasaan menguasai dirinya.

3.                  Kaum Epicurean
Salah satu murid Socrates, Aristippus mengatakan bahwa tujuan hidup adalah untuk meraih kenikmatan indrawi setinggi mungkin. Kebaikan tertinggi menurutnya adalah kenikmatan. Sedangkan kejahatan tertinggi adalah penderitaan. Sekitar 300 SEB, Epicurus (341-270 SEB) mendirikan aliran filsafat ini, dan pengikutnya disebut Epicurean. Dia mengembangkan etika kenikmatan Aristippus dan menggabungkannya dengan teori atom Democritus. Konon sehari-hari kaum Epicurean hidup dan tinggal di sebuah taman.
Epicurus menekankan bahwa hasil-hasil yang menyenangkan dalam jangka pendek harus ditahan demi kemungkinan timbulnya kenikmatan yang lebih besar, lebih kekal, dan lebih hebat dalam jangka panjang. Tidak seperti binatang, manusia dapat merencanakan hidupnya. Manusia mampu membuat kalkulasi kenikmatan. Nafsu harus ditekan dan ketentraman hati akan membantu menahan penderitaan. Supaya dapat menjalani hidup dengan baik, manusia harus mengatasi rasa takut akan kematian. Dalam hal ini Epicurus memanfaatkan teori Democritus mengenai atom jiwa.
Epicurus merangkum aliran filsafatnya dalam empat ramuan obat, yaitu pertama, Dewa-dewa bukan untuk ditakuti. Kedua, kematian tidak perlu dikhawatirkan. Ketiga, kebaikan itu mungkin dicapai. Keempat, ketakutan itu mudah ditanggulangi. Tidak seperti kaum stoik, kaum Epicurean tidak berminat sama sekali dengan politik dan masyarakat. Mereka hidup dalam pengasingan.

4.                  Neoplatonisme
Tokoh paling penting dalam Neoplatonisme adalah Plotinus (205-270 EB) yang mempelajari filsafat di Alexandria tapi kemudian menetap di Roma. Plotinus membawa ke Roma suatu doktrin keselamatan yang bersaing keras dengan ajaran Kristen. Menurutnya manusia menjadi makhluk ganda yaitu raga dan jiwa yang kekal. Plotinus percaya bahwa dunia terentang antara dua kutub. Di ujung kutub yang satu adalah cahaya ilahi yang dinamakan Yang Esa atau Tuhan. Ujung kutub yang satunya adalah kegelapan mutlak yang tidak menerima cahaya dari Yang Esa.
Tapi maksud kegelapan menurut Plotinus sebenarnya adalah tidak ada. Yang ada hanyalah Tuhan, atau Yang Esa. Tetapi, sebagaimana suatu cahaya, semakin lama semakin kecil dan akhirnya lenyap. Di suatu tempat ada suatu titik yang didalamnya cahaya ilahi tidak dapat sampai. Jiwa disinari oleh cahaya dari Yang Esa, sementara materi adalah kegelapan yang tidak mempunyai keberadaan yang nyata. Dia membayangkan realitas api unggun. Suatu yang menyala adalah Tuhan dan kegelapan diluarnya adalah materi dingin yang darinya manusia dan binatang tercipta.
Yang paling dekat dengan Tuhan adalah gagasan-gagasan kekal yang merupakan bentuk pertama dari semua makhluk. Jiwa manusia sebenarnya adalah sepercik cahaya. Yang paling jauh dari Tuhan yang hidup adalah tanah dan air serta batu. Maksud dari semua itu adalah segala sesuatu menyimpan misteri ilahi. Namun manusialah sebenarnya misteri itu.
Kiasan Plotinus mirip mitos gua yang dikemukakan Plato; semakin dekat pada gua, semakin dekatlah pada eksistensi. Doktrin Plotinus dicirikan oleh pengalaman tentang kesatuan. Segala sesuatu itu satu sebab segala sesuatu berasal dari Tuhan. Plotinus juga mengalami penyatuan antara jiwa dan Tuhan. Inilah yang diisebut pengalaman mistik.
Pengalaman mistik adalah pengalaman menyatu dengan Tuhan atau jiwa kosmik. Gagasan pokoknya adalah apa yang biasa disebut “aku” bukanlah “aku” yang sebenarnya. Aku adalah Tuhan atau ruh kosmik, alam, dan semesta raya. Ketika penyatuan itu terjadi, ahli mistik merasakan bahwa ia kehilangan dirinya dan lenyap pada diri Tuhan sebagaimana setitik air kehilangan dirinya ketika menyatu dengan samudra. Manusia merasa bahwa dirinyalah ruh kosmik itu sendiri yang menjadi Tuhan. “Aku sehari-hari adalah sesuatu yang suatu hari nanti akan hilang”, inilah moto kaum ini.
“Aku” sebenarnya hanya dapat dialami jika manusia meniadakan dirinya. Ini yang menurut ahli mistik sebagai api misterius yang abadi menyala. Pengalaman mistik itu selalu datang ketika manusia mencari jalan melakukan pembersihan jiwa dan jalan pencerahan. Jalan ini berupa hidup sederhana dan berbagai teknik meditasi. Kecenderungan ini ada dalam agama besar dunia yang menembus seluruh batasan budaya.

Dalam mistisisme Barat yaitu dalam agama Yahudi, Kristen, dan Islam, pertemuan ini terjadi dengan Tuhan Pribadi karena Dia berada jauh diatas dan di luar dunia. Dalam mistisisme Timur yaitu agama Hindu, Budha, dan agama kuno Cina mereka mengalami penyatuan total dengan Tuhan atau Ruh kosmik. Sebab Tuhan tidak hanya ada di dunia, dan bisa berada dimana saja. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar