Kota
Athena Kuno dan Intisari Pemikiran Plato
oleh,
Anita
Gambaran
Tentang Athena
Kota tersebut bernama
Acropolis yang berarti Benteng atau Kota di atas bukit. Manusia diperkirakan
telah ada di kota ini sejak zaman batu. Acropolis digunakan sebagai kubu dan
kuil suci. Pada tahun 480 SEB, Raja Persia Xerxes merampas Athena dan membakar
seluruh bangunan batu di Acropolis. Satu tahun kemudian Persia berhasil
dikalahkan dan setelah itu masa keemasan Athena bermula karena kota Acropolis
dibangun kembali dengan lebih megah.
Disinilah tempat
Socrates berkelana dan berdiskusi dengan penduduk kota. Disitu terdapat kuil
terbesar yang bernama Parthenon, yang berarti “Tempat sang Perawan”. Kuil ini
dibangun sebagai penghormatan terhadap Athene, Dewi Pelindung Athena. Di kota
ini juga terdapat teater Dionysos kuno, disinilah tragedi-tragedi besar
Aeschylus, Sophocles, dan Europidos ditampilkan pada zaman Socrates.
Ditampilkan juga tragedi mengenai Raja Oedipus. Kesemua tragedi ini dimainkan
dalam bentuk komedi. Penulis komedi terbaik adalah Aristophanes, yang juga
menulis komedi balas dendam mengenai Socrates sebagai badut Athena.
Dibelakang semua ini
terdapat tembok batu yang digunakan para aktor sebagai latar belakang yang
bernama skene atau scene dalam bahasa Inggris. Kata theater juga berasal dari kata kuno
Yunani yang berarti melihat. Terdapat pula bukit kecil yang dinamakan
Aeropagos, tempat pengadilan Tinggi memberikan putusan terhadap sidang
pembunuhan. Didekatnya terdapat lapangan kota tua yang bernama Agora.
Latar
Belakang Plato dan Pemikirannya
Plato (428-347 SEB)
berusia 29 tahun ketika Socrates meminum racun cemara. Bagi Plato, kematian
Socrates merupakan contoh mencolok dari konflik yang dapat timbul antara
masyarakat dan individu. Tindakan pertama Plato sebagai filsuf setelah kejadian
ini adalah menerbitkan karya Socrates, Apologi yang merupakan suatu gagasan
tentang pembelaannya dihadapan para juri. Selain itu Plato juga menulis
kumpulan Epistles dan kira-kira 25 Dialog filsafat. Karya ini didapat karena
Plato mendirikan sekolah filsafat yang disebut Academus atau Academy.
Subjek pertama yang diajarkan dalam Academy
adalah filsafat, matematika, dan olahraga.
Plato memikirkan
hubungan yang kekal dan abadi, disatu pihak dan “berubah” di pihak lain. Secara
ringkas para sophis beranggapan bahwa persepsi mengenai apa yang benar atau
salah beragam dari satu Negara kota ke Negara kota lain, dan dari satu generasi
ke generasi selanjutnya. Jadi kebenaran dan kesalahan adalah sesuatu yang
mengalir. Menurut Socrates dengan menggunakan akal sehat, kita semua dapat
sampai pada norma-norma abadi, karena akal manusia sesungguhnya kekal dan
abadi.
Kemudian Plato
memikirkan apa yang kekal dan abadi di alam dan apa yang kekal dan abadi dalam
kaitannya dengan moral dan masyarakat. Plato berusaha menangkap suatu realitas
yang kekal dan abadi. Pada dasarnya para filsuf akan berusaha untuk mengabaikan
masalah-masalah yang menjadi buah bibir dan justru mencoba untuk menarik
perhatian orang-orang pada apa yang selalu “benar”, selalu “indah” dan selalu “baik”.
Plato percaya bahwa segala sesuatu yang nyata di alam ini mengalir. Maka tidak
ada zat yang tidak hancur. Segala sesuatu yang terkait materi dapat terkikis
oleh waktu, namun segala sesuatu yang dibuat sesuai cetakan atau bentuk yang
tak kenal waktu, yang kekal dan abadi.
Sebagai contohnya
seekor “kuda” tertentu berubah dengan sendirinya. Ia mungkin akan tua dan
lumpuh, bahkan pada waktunya akan mati. Namun “bentuk” kuda itu tetap kekal dan
abadi. Sesuatu yang kekal dan abadi menurut Plato bukanlah “bahan dasar”
benda-benda fisik, melainkan spiritual dan abstrak yang darinya segala sesuatu
diciptakan. Pada dasarnya atom-atom Democritus tidak pernah membentuk diri mereka
menjadi sesuatu karena berasal dari asal usul yang sama.
Dia heran bagaimana
fenomena alam dapat begitu serupa. Dia menyimpulkan bahwa itu pasti karena ada
sejumlah terbatas bentuk-bentuk dibalik segala sesuatu yang dilihat disekeliling.
Plato menyebut bentuk-bentuk ini adalah “ide”. Plato menyatakan bahwa pasti ada
realitas dibalik dunia materi. Dia menyebut realitas ini di dunia ide, disitu
tersimpan pola-pola yang kekal dan abadi dibalik berbagai fenomena yang ditemui
di alam. Plato menyamakan segala sesuatu di alam ini seperti busa sabun yang
cepat menghilang. Cepat atau lambat setiap manusia dan binatang akan mati dan
membusuk.
Manusia tidak pernah
dapat memiliki pengetahun sejati tentang sesuatu yang terus berubah. Manusia
hanya mempunyai pendapat tentang benda-benda yang ada di dunia indrawi,
benda-benda nyata. Manusia hanya dapat mempunyai pengetahuan sejati tentang
segala sesuatu yang dapat dipahami akal. Manusia tak selalu dapat mempercayai
bukti dari indra. Akal merupakan lawan dari “perkiraan” atau “perasaan”. Akal
itu kekal dan universal karena ia hanya mengungkapkan keadaan-keadaan yang
kekal dan universal. Manusia hanya memiliki konsepsi-konsepsi yang tidak tepat
mengenai benda-benda yang kita lihat dengan indra kita. Tapi kita dapat
memiliki pengetahuan sejati tentang benda-benda yang kita pahami melalui akal
kita.
Plato percaya bahwa realitas
itu terbagi menjadi dua wilayah. Yang pertama
adalah dunia indra yang mempunyai pengetahuan yang tidak tepat atau tidak
sempurna dengan lima indra. Di dunia indra segala sesuatu berubah dan tidak ada
yang permanen. Di dunia ini segala sesuatu tidak selalu ada dan selalu datang
dan pergi. Wilayah yang kedua adalah
dunia ide yang memiliki pengetahuan sejati dengan menggunakan akal. Dunia ide tidak
dapat ditangkap oleh indra, karena ide itu kekal dan abadi.
Menurut Plato, manusia
adalah makhluk ganda yang memiliki tubuh yang berubah yang tidak dapat dipindahkan
dari dunia indra yang tunduk pada takdir. Namun manusia memiliki jiwa yang
abadi dan jiwa inilah “dunia akal”. Karena tidak bersifat fisik, jiwa dapat
menyelidiki dunia ide. Plato juga percaya bahwa jiwa telah ada sebelum ia
mendiami tubuh. Tapi setelah jiwa bangkit dalam tubuh manusia, dia telah
melupakan semua ide yang sempurna. Ketika manusia menemukan berbagai berntuk di
dunia alamiah ini, suatu ingatan yang samar-samar menggerakkan jiwanya. Jiwa
mengalami kerinduan untuk kembali pada wujud yang sempurna sebagai tempatnya
yang sejati. Plato menyebut kerinduan ini sebagai “eros” yang berarti cinta.
Jiwa mengalami
kerinduan untuk kembali pada asal usulnya yang sejati. Sejak itu tubuh dan
seluruh dunia indra dianggap tidak sempurna dan tidak penting. Jiwa rindu untuk
terbang pulang dengan sayap ide. Ia ingin dibebaskan dari belenggu tubuh. Namun
kebanyakan mannusia bergantung pada “bayangan” ide di dunia indra. Jika melihat
bayang-bayang, maka dia akan mengira terdapat hal yang menyebabkan bayang-bayang
tersebut. Menurut Plato, fenomena alam hanyalah bayang-bayang dari bentuk ide
yang kekal. Tapi kebanyakan manusia telah puas dengan kehidupan di tengah bayang-bayang.
Mereka tidak menyadari bahwa sesungguhnya bayang-bayang itu hanyalah bayang-bayang
yang tidak mengindahkan keabadian jiwa mereka sendiri.
Plato mengemukakan hal
ini dalam Mitos Gua. Ada beberapa orang tinggal di dalam sebuah gua bawah
tanah. Mereka duduk membelakangi mulut gua dengan tangan dan kaki terikat
sehingga tak dapat melihat dinding belakang gua. Di belakang mereka ada dinding
tinggi, dan di belakang dinding itu lewat makhluk-makhluk yang menyerupai
manusia, memegang berbagai benda di atas puncak dinding. Karena ada api di
belakang benda-benda ini, timbul bayangan yang berkejab-kejab di dinding
belakang gua. Maka satu-satunya yang dapat dilihat para penghuni gua adalah
permainan bayang-bayang ini.
Ketika ada seseorang
yang berusaha membebaskan diri dari ikatan-ikatannya, hal yang pertama kali
ingin dilihatnya adalah asal bayangan ini. Ketika dia berbalik, dia akan merasa
silau dengan api. Dia kemudian terpesona melihat benda-benda yang menghantarkan
bayangan itu secara jelas. Ketika dia memanjat dinding, dia akan merasa lebih
takjub lagi. Untuk pertama kalinya dia melihat bentuk-bentuk dan warna secara
jelas.
Penghuni gua yang
kegirangan ini dapat pergi keluar dengan kebebasan yang telah diraihnya. Namun
dia memikirkan rekan-rekannya yang masih tertinggal dalam gua. Begitu tiba
disana, dia berusaha memberi tahu keadaan yang disaksikannya. Dia menyatakan
bahwa yang dilihat mereka selama ini hanyalah refleksi dari benda-benda yang
sebenarnya. Tapi penghuni gua tidak mempercayai dan akhirnya mereka
membunuhnya.
Yang diceritakan Plato
dalam mitos gua adalah jalan yang ditempuh filsuf untuk keluar dari bayang-bayang
menuju gagasan sejati di balik semua fenomena alam. Mitos gua digambarkannya
seperti Socrates yang berani mendidik sesama dengan tanggung jawabnya. Yang
dimaksudkan Plato adalah hubungan antara kegelapan gua dan dunia di luar
berkaitan dengan bentuk-bentuk di dunia alamiah dan dunia ide. Menurut Plato
dunia indra lebih gelap dan suram jika dibandingkan dunia ide yang terang
benderang.
Mitos gua Plato
terdapat dalam buku Republic. Dalam Dialog ini Plato juga memberi gambaran
mengenai Negara ideal yang dinamakan Negara utopis. Plato mengatakan bahwa
Negara hendaknya diperintah oleh seorang filsuf. Menurut Plato tubuh manusia
terdiri atas tiga bagian: kepala, dada, dan perut. Akal terletak di kepala,
kehendak terletak di dada, dan nafsu terletak di perut. Masing-masing dari
bagian jiwa ini juga memiliki cita-cita atau kebajikan. Akal mencita-citakan
kebijaksanaan, kehendak mencita-citakan keberanian, dan nafsu harus dikekang
sehingga kesopanan dapat ditegakkan. Hanya ketika tiga hal tersebut dijalankan
bersamaan, manusia dapat dikatakan berbudi luhur.
Plato membayangkan
Negara yang dibangun dengan cara persis seperti tubuh manusia. Negara mempunyai
pemimpin, pembantu, dan pekerja. Plato menggunakan ilmu pengobatan Yunani
sebagai model. Sebagaimana manusia yang sehat dan selaras mempertahankan
keseimbangan dan kesederhanaan, begitu pula Negara yang baik ditandai dengan
adanya kesadaran setiap orang akan tempat mereka dalam keseluruhan gambar itu.
Plato seorang
rasionalis, diapun menyatakan bahwa Negara yang baik diperintah oleh akal
sebagaimana kepala mengatur tubuh, maka filsuflah yang harus mengatur
masyarakat. Negara Plato adalah Negara yang totaliter. Plato juga percaya bahwa
wanita bisa memerintah sama baiknya dengan laki-laki karena sama-sama memiliki
akal. Wanita dapat memiliki penalaran yang sama dengan laki-laki asalkan
memperoleh pelatihan yang sama dan dibebaskan dari kewajiban membesarkan anak
dan mengurusi rumah tangga. Dalam Negara ideal Plato, seorang pemimpin kesatria
juga tidak boleh menjalankan kehidupan keluarga dan memiliki kekayaan pribadi.
Dalam kitab hukum,
Plato menulis bahwa Negara konstutional adalah Negara terbaik kedua di dunia.
Dalam hal ini, kebebasan wanita lebih dibatasi. Sebuah Negara yang tidak
mendidik dan melatih kaum wanita seperti orang yang hanya melatih tangan
kanannya. Dalam dialog Simposium, dia menceritakan seorang pendeta wanita yang legendaries.
Wanita ini bernama Diotima, seorang wanita yang telah memberi wawasan filsafat
kepada Socrates.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar