Senin, 15 Juli 2013

Intisari pemikiran Plato

Kota Athena Kuno dan Intisari Pemikiran Plato
oleh, Anita

Gambaran Tentang Athena
Kota tersebut bernama Acropolis yang berarti Benteng atau Kota di atas bukit. Manusia diperkirakan telah ada di kota ini sejak zaman batu. Acropolis digunakan sebagai kubu dan kuil suci. Pada tahun 480 SEB, Raja Persia Xerxes merampas Athena dan membakar seluruh bangunan batu di Acropolis. Satu tahun kemudian Persia berhasil dikalahkan dan setelah itu masa keemasan Athena bermula karena kota Acropolis dibangun kembali dengan lebih megah.
Disinilah tempat Socrates berkelana dan berdiskusi dengan penduduk kota. Disitu terdapat kuil terbesar yang bernama Parthenon, yang berarti “Tempat sang Perawan”. Kuil ini dibangun sebagai penghormatan terhadap Athene, Dewi Pelindung Athena. Di kota ini juga terdapat teater Dionysos kuno, disinilah tragedi-tragedi besar Aeschylus, Sophocles, dan Europidos ditampilkan pada zaman Socrates. Ditampilkan juga tragedi mengenai Raja Oedipus. Kesemua tragedi ini dimainkan dalam bentuk komedi. Penulis komedi terbaik adalah Aristophanes, yang juga menulis komedi balas dendam mengenai Socrates sebagai badut Athena.
Dibelakang semua ini terdapat tembok batu yang digunakan para aktor sebagai latar belakang yang bernama skene atau scene dalam bahasa Inggris. Kata theater juga berasal dari kata kuno Yunani yang berarti melihat. Terdapat pula bukit kecil yang dinamakan Aeropagos, tempat pengadilan Tinggi memberikan putusan terhadap sidang pembunuhan. Didekatnya terdapat lapangan kota tua yang bernama Agora.

Latar Belakang Plato dan Pemikirannya
Plato (428-347 SEB) berusia 29 tahun ketika Socrates meminum racun cemara. Bagi Plato, kematian Socrates merupakan contoh mencolok dari konflik yang dapat timbul antara masyarakat dan individu. Tindakan pertama Plato sebagai filsuf setelah kejadian ini adalah menerbitkan karya Socrates, Apologi yang merupakan suatu gagasan tentang pembelaannya dihadapan para juri. Selain itu Plato juga menulis kumpulan Epistles dan kira-kira 25 Dialog filsafat. Karya ini didapat karena Plato mendirikan sekolah filsafat yang disebut Academus atau Academy. Subjek pertama yang diajarkan dalam Academy adalah filsafat, matematika, dan olahraga.
Plato memikirkan hubungan yang kekal dan abadi, disatu pihak dan “berubah” di pihak lain. Secara ringkas para sophis beranggapan bahwa persepsi mengenai apa yang benar atau salah beragam dari satu Negara kota ke Negara kota lain, dan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Jadi kebenaran dan kesalahan adalah sesuatu yang mengalir. Menurut Socrates dengan menggunakan akal sehat, kita semua dapat sampai pada norma-norma abadi, karena akal manusia sesungguhnya kekal dan abadi.
Kemudian Plato memikirkan apa yang kekal dan abadi di alam dan apa yang kekal dan abadi dalam kaitannya dengan moral dan masyarakat. Plato berusaha menangkap suatu realitas yang kekal dan abadi. Pada dasarnya para filsuf akan berusaha untuk mengabaikan masalah-masalah yang menjadi buah bibir dan justru mencoba untuk menarik perhatian orang-orang pada apa yang selalu “benar”, selalu “indah” dan selalu “baik”. Plato percaya bahwa segala sesuatu yang nyata di alam ini mengalir. Maka tidak ada zat yang tidak hancur. Segala sesuatu yang terkait materi dapat terkikis oleh waktu, namun segala sesuatu yang dibuat sesuai cetakan atau bentuk yang tak kenal waktu, yang kekal dan abadi.
Sebagai contohnya seekor “kuda” tertentu berubah dengan sendirinya. Ia mungkin akan tua dan lumpuh, bahkan pada waktunya akan mati. Namun “bentuk” kuda itu tetap kekal dan abadi. Sesuatu yang kekal dan abadi menurut Plato bukanlah “bahan dasar” benda-benda fisik, melainkan spiritual dan abstrak yang darinya segala sesuatu diciptakan. Pada dasarnya atom-atom Democritus tidak pernah membentuk diri mereka menjadi sesuatu karena berasal dari asal usul yang sama.
Dia heran bagaimana fenomena alam dapat begitu serupa. Dia menyimpulkan bahwa itu pasti karena ada sejumlah terbatas bentuk-bentuk dibalik segala sesuatu yang dilihat disekeliling. Plato menyebut bentuk-bentuk ini adalah “ide”. Plato menyatakan bahwa pasti ada realitas dibalik dunia materi. Dia menyebut realitas ini di dunia ide, disitu tersimpan pola-pola yang kekal dan abadi dibalik berbagai fenomena yang ditemui di alam. Plato menyamakan segala sesuatu di alam ini seperti busa sabun yang cepat menghilang. Cepat atau lambat setiap manusia dan binatang akan mati dan membusuk.
Manusia tidak pernah dapat memiliki pengetahun sejati tentang sesuatu yang terus berubah. Manusia hanya mempunyai pendapat tentang benda-benda yang ada di dunia indrawi, benda-benda nyata. Manusia hanya dapat mempunyai pengetahuan sejati tentang segala sesuatu yang dapat dipahami akal. Manusia tak selalu dapat mempercayai bukti dari indra. Akal merupakan lawan dari “perkiraan” atau “perasaan”. Akal itu kekal dan universal karena ia hanya mengungkapkan keadaan-keadaan yang kekal dan universal. Manusia hanya memiliki konsepsi-konsepsi yang tidak tepat mengenai benda-benda yang kita lihat dengan indra kita. Tapi kita dapat memiliki pengetahuan sejati tentang benda-benda yang kita pahami melalui akal kita.
Plato percaya bahwa realitas itu terbagi menjadi dua wilayah. Yang pertama adalah dunia indra yang mempunyai pengetahuan yang tidak tepat atau tidak sempurna dengan lima indra. Di dunia indra segala sesuatu berubah dan tidak ada yang permanen. Di dunia ini segala sesuatu tidak selalu ada dan selalu datang dan pergi. Wilayah yang kedua adalah dunia ide yang memiliki pengetahuan sejati dengan menggunakan akal. Dunia ide tidak dapat ditangkap oleh indra, karena ide itu kekal dan abadi.
Menurut Plato, manusia adalah makhluk ganda yang memiliki tubuh yang berubah yang tidak dapat dipindahkan dari dunia indra yang tunduk pada takdir. Namun manusia memiliki jiwa yang abadi dan jiwa inilah “dunia akal”. Karena tidak bersifat fisik, jiwa dapat menyelidiki dunia ide. Plato juga percaya bahwa jiwa telah ada sebelum ia mendiami tubuh. Tapi setelah jiwa bangkit dalam tubuh manusia, dia telah melupakan semua ide yang sempurna. Ketika manusia menemukan berbagai berntuk di dunia alamiah ini, suatu ingatan yang samar-samar menggerakkan jiwanya. Jiwa mengalami kerinduan untuk kembali pada wujud yang sempurna sebagai tempatnya yang sejati. Plato menyebut kerinduan ini sebagai “eros” yang berarti cinta.
Jiwa mengalami kerinduan untuk kembali pada asal usulnya yang sejati. Sejak itu tubuh dan seluruh dunia indra dianggap tidak sempurna dan tidak penting. Jiwa rindu untuk terbang pulang dengan sayap ide. Ia ingin dibebaskan dari belenggu tubuh. Namun kebanyakan mannusia bergantung pada “bayangan” ide di dunia indra. Jika melihat bayang-bayang, maka dia akan mengira terdapat hal yang menyebabkan bayang-bayang tersebut. Menurut Plato, fenomena alam hanyalah bayang-bayang dari bentuk ide yang kekal. Tapi kebanyakan manusia telah puas dengan kehidupan di tengah bayang-bayang. Mereka tidak menyadari bahwa sesungguhnya bayang-bayang itu hanyalah bayang-bayang yang tidak mengindahkan keabadian jiwa mereka sendiri.
Plato mengemukakan hal ini dalam Mitos Gua. Ada beberapa orang tinggal di dalam sebuah gua bawah tanah. Mereka duduk membelakangi mulut gua dengan tangan dan kaki terikat sehingga tak dapat melihat dinding belakang gua. Di belakang mereka ada dinding tinggi, dan di belakang dinding itu lewat makhluk-makhluk yang menyerupai manusia, memegang berbagai benda di atas puncak dinding. Karena ada api di belakang benda-benda ini, timbul bayangan yang berkejab-kejab di dinding belakang gua. Maka satu-satunya yang dapat dilihat para penghuni gua adalah permainan bayang-bayang ini.
Ketika ada seseorang yang berusaha membebaskan diri dari ikatan-ikatannya, hal yang pertama kali ingin dilihatnya adalah asal bayangan ini. Ketika dia berbalik, dia akan merasa silau dengan api. Dia kemudian terpesona melihat benda-benda yang menghantarkan bayangan itu secara jelas. Ketika dia memanjat dinding, dia akan merasa lebih takjub lagi. Untuk pertama kalinya dia melihat bentuk-bentuk dan warna secara jelas.
Penghuni gua yang kegirangan ini dapat pergi keluar dengan kebebasan yang telah diraihnya. Namun dia memikirkan rekan-rekannya yang masih tertinggal dalam gua. Begitu tiba disana, dia berusaha memberi tahu keadaan yang disaksikannya. Dia menyatakan bahwa yang dilihat mereka selama ini hanyalah refleksi dari benda-benda yang sebenarnya. Tapi penghuni gua tidak mempercayai dan akhirnya mereka membunuhnya.
Yang diceritakan Plato dalam mitos gua adalah jalan yang ditempuh filsuf untuk keluar dari bayang-bayang menuju gagasan sejati di balik semua fenomena alam. Mitos gua digambarkannya seperti Socrates yang berani mendidik sesama dengan tanggung jawabnya. Yang dimaksudkan Plato adalah hubungan antara kegelapan gua dan dunia di luar berkaitan dengan bentuk-bentuk di dunia alamiah dan dunia ide. Menurut Plato dunia indra lebih gelap dan suram jika dibandingkan dunia ide yang terang benderang.
Mitos gua Plato terdapat dalam buku Republic. Dalam Dialog ini Plato juga memberi gambaran mengenai Negara ideal yang dinamakan Negara utopis. Plato mengatakan bahwa Negara hendaknya diperintah oleh seorang filsuf. Menurut Plato tubuh manusia terdiri atas tiga bagian: kepala, dada, dan perut. Akal terletak di kepala, kehendak terletak di dada, dan nafsu terletak di perut. Masing-masing dari bagian jiwa ini juga memiliki cita-cita atau kebajikan. Akal mencita-citakan kebijaksanaan, kehendak mencita-citakan keberanian, dan nafsu harus dikekang sehingga kesopanan dapat ditegakkan. Hanya ketika tiga hal tersebut dijalankan bersamaan, manusia dapat dikatakan berbudi luhur.
Plato membayangkan Negara yang dibangun dengan cara persis seperti tubuh manusia. Negara mempunyai pemimpin, pembantu, dan pekerja. Plato menggunakan ilmu pengobatan Yunani sebagai model. Sebagaimana manusia yang sehat dan selaras mempertahankan keseimbangan dan kesederhanaan, begitu pula Negara yang baik ditandai dengan adanya kesadaran setiap orang akan tempat mereka dalam keseluruhan gambar itu.
Plato seorang rasionalis, diapun menyatakan bahwa Negara yang baik diperintah oleh akal sebagaimana kepala mengatur tubuh, maka filsuflah yang harus mengatur masyarakat. Negara Plato adalah Negara yang totaliter. Plato juga percaya bahwa wanita bisa memerintah sama baiknya dengan laki-laki karena sama-sama memiliki akal. Wanita dapat memiliki penalaran yang sama dengan laki-laki asalkan memperoleh pelatihan yang sama dan dibebaskan dari kewajiban membesarkan anak dan mengurusi rumah tangga. Dalam Negara ideal Plato, seorang pemimpin kesatria juga tidak boleh menjalankan kehidupan keluarga dan memiliki kekayaan pribadi.

Dalam kitab hukum, Plato menulis bahwa Negara konstutional adalah Negara terbaik kedua di dunia. Dalam hal ini, kebebasan wanita lebih dibatasi. Sebuah Negara yang tidak mendidik dan melatih kaum wanita seperti orang yang hanya melatih tangan kanannya. Dalam dialog Simposium, dia menceritakan seorang pendeta wanita yang legendaries. Wanita ini bernama Diotima, seorang wanita yang telah memberi wawasan filsafat kepada Socrates.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar