Selasa, 26 Juni 2012

Masa Remajaku akan dibawa kemana?


"Sayang, aku hamil." ujar seorang gadis remaja kepada kekasihnya. "Apa? pasti itu bukan anakku!" bantah kekasihnya tersebut. "Sayang,, Aku gak bohong, aku gak pernah ngelakuin hubungan ini selain dengan kamu! kamu harus bertanggung jawab." tambah sang gadis sambil menengis tersedu-sedu. Selanjutnya sang kekasih menjawab "Gak mungkin aku bertanggung jawab. Kita masih sekolah dan belum memiliki pekerjaan. Begini aja, kamu harus gugurkan kandungan ini agar permasalahan selesai! Nanti aku carikan tempat aborsi yang aman. Oke sayang!"

Mungkin saja kita sering mendengar percakapan ini dari sebuah sinema televisi. Tetapi kalimat demi kalimat dalam percakapan ini menggambarkan kondisi sebenarnya yang dialami remaja Indonesia.

Sebut saja Mawar, seorang gadis remaja berusia 17 tahun dikeluarkan dari sekolah bersama kekasihnya karena dipergoki melakukan tindakan asusila. Mawar, seorang remaja yang sedang duduk pada kelas 2 SMA terbukti melakukan hubungan suami istri diluar jam sekolah. Sedikit miris, sang kekasih merupakan seorang murid berprestasi. Tetapi akibat perbuatannya bersama Mawar diapun ikut terganjal masalah dan dikeluarkan dari sekolah tersebut. 
Ini merupakan sedikit kisah mengenai fenomena seks bebas yang dilakukan remaja. Berdasarkan penelitian BKKBN, 51 persen remaja pernah melakukan hubungan seksual pranikah. Penelitian lain dari Komnas Pendidikan anak menunjukkan sebanyak 62 persen remaja. Beberapa kalangan mungkin saja tidak khawatir dengan keadaan ini, bahkan cenderung membiarkan kondisi yang dianggap lumrah. Mereka beralasan bahwa globalisasi akan selalu membawa efek negatif yang mau tidak mau harus diakui sebagai  realitas sosial.
Remaja, sebagai sebuah era kehidupan manusia dimana semua sikap-sikap naluriah mengalami perkembangan. Perkembangan ini merupakan tahapan atau proses transisi dari masa kanak-kanak menuju kedewasaan. Seorang remaja akan cenderung memperlihatkan berbagai nalurinya hanya untuk menunjukkan eksistensi diri. Sebagaimana diketahui, masa remaja adalah masa pencarian identitas hidup. Pada masa ini kepribadiannya yang kompleks mulai terbentuk. Bahkan pada masa pencarian identitas ini remaja cenderung mencoba berbagai macam hal tanpa memperhitungkan efek baik maupun buruknya. 

Sebuah Konsekuensi
Beberapa waktu lalu kita sempat kecolongan dengan membiarkan sebuah boyband asal Korea Selatan melaksanakan konser di Jakarta. Fenomena Budaya Populer semacam ini juga berperan membentuk pola kehidupan mereka. Infiltrasi budaya sebagai konsekuensi sosio global sulit kita bendung efek negatifnya. Pesatnya arus teknologi informasi jugalah yang berperan membentuk kepribadian mereka. Biar bagaimanapun media memegang peran penting dan utama dalam mengarahkan gaya hidup remaja. Sikap hedonis sebagai konsekuensinya seakan menjadi label baru yang terbaik yang wajib mereka junjung tinggi.
Fenomena sosial ini pastinya memberikan efek yang sangat serius. Seperti biasanya, dalam konser  tersebut para remaja rela mengantri selama berjam-jam demi menyaksikan sebuah hiburan semu. Padahal di tempat lain masih banyak orang miskin yang mengantri demi memperoleh 2 liter beras. Tetapi fenomena remaja ini sudah seperti sebuah fenomena kerasukan masal. Sebagaimana diketahui, orang yang kerasukan tidak dapat membedakan hal yang baik dan buruk. Mereka dikendalikan oleh suatu kekuatan yang tidak disadari.

Efek Modernisasi seperti Juggernaut
Menurut Anthony giddens, modernisasi yang menghinggapi seluruh negara di dunia seperti sebuah juggernaut (panser raksasa) yang sulit dikendalikan. Modernisasi yang mendasari terjadinya globalisasi seperti sebuah “juggernaut” (panser raksasa) yang telah melaju hingga tahap tertentu bisa dikendalikan, tetapi juga terancam akan lepas kendali hingga menyebabkan dirinya hancur-lebur. Panser raksasa ini akan menghancurkan orang yang menentangnya dan meski kadang-kadang menempuh jalur yang teratur, namun ia juga sewaktu-waktu dapat berbelok ke arah yang tak terbayangkan sebelumnya.
Efek dari modernisasi dianggap sebagai sebuah kenyataan yang tidak dapat dihindari. Padahal jika kita telisik lebih dalam, kesulitan untuk menghindari hal ini karena kita tidak mampu memfilterisasi dampak buruk yang disebabkannya. Modernisasi merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Tapi berbagai efek negatif dari modernisasi ini dapat diminimalisir jika semua pihak bahu-membahu menganalisis sesuatu hal yang layak diambil maupun ditolak dari modernisasi.

Solusi dari Pemerintah
Gaya hidup hedonisme yang diadopsi mentah-mentah remaja Indonesia adalah penyebab  permasalahan asusila ini. Seperti yang telah saya paparkan diatas, remaja tidak dapat disalahkan 100 persen. Semua pihak harus bertanggung jawab secara penuh dalam mengatasi hal buruk tersebut. Terlebih, pemerintah sebagai pemegang kebijakan tertinggi harus mampu bersikap proaktif dan membentuk regulasi untuk mencegah hal ini bertambah parah.
Salah satu penyebab para remaja tidak mampu bertahan atas serangan budaya ini adalah sistem pendidikan yang buruk. Keluarga, sebagai sebuah media pendidik yang utama tidak mampu menanamkan sebuah adab kepada seorang anak. Sedangkan ketiga media sosialisasi lainnya sebaliknya memberikan pembenaran atas fenomena ini. Sekolah yang diharapkan mampu menekan fenomena inipun kewalahan. Bahkan sekolahpun dijadikan alat untuk melegalisasi konsep seks bebas secara aman.
Berbicara mengenai pemerintah, belum lama ini terjadi sebuah peristiwa memilukan dengan meninggalnya seorang menteri kesehatan akibat kangker. Menteri kesehatan yang seharusnya menjadi teladan rakyat dalam melaksanakan hidup sehat ternyata tidak mampu menjaga kesehatannya sendiri. Setelah kematian menkes ibu Endang, Kursi kosong sebagai menkes akhirnya diberikan kepada seorang perempuan yang sudah cukup tua dan dianggap mapan.
Yang tua yang berpengalaman, mungkin hal ini adalah pertimbangan utama presiden Susilo Bambang Yudhoyono melantik Nafsiah sebagai menteri kesehatan yang baru. Pengalaman hidup selama 72 tahun menjadikan menteri ini diharapkan mampu memberikan kebijakan-kebijakan terbaik dalam bidang kesehatan. Namun sangat disayangkan, disaat  baru beberapa hari memimpin Departemen kesehatan, sang menkes baru ini membuat kebijakan yang sangat kontroversial. Menkes Nafsiah memberikan penyuluhan seks aman bagi remaja dengan sebuah jargon "kondomisasi". Kondomisasi merupakan istilah halus untuk pemberian kondom secara cuma-cuma alias gratis. Bahkan untuk mendukung tersukseskannya kondomisasi ini, Departemen kesehatan menyediakan anggaran yang sangat besar sejumlah 25,2 milyar rupiah.
Berbagai fakta sesungguhnya telah sangat jelas menyatakan bahwa setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah hanya akan memperparah keadaan. Kespro (sosialisasi kesehatan reproduksi) pada remaja usia sekolah hanya menambah minat remaja terhadap hubungan seksual. Bahkan lebih ekstrim lagi, para remaja yang penasaran akan mencoba mempraktekkan apa yang telah dipelajarinya tersebut dengan kekasihnya seperti dalam kasus Mawar. Hal ini disebabkan sosialisasi Kespro hanya menjelaskan sebuah proses reproduksi tanpa penjelasan cara pemenuhan yang benar. Bahkan konsep ABCDE yang dikembangkan menjadi pembuktian pelegalan seks bebas. 
ABCDE merupakan sebuah konsep singkatan dari; Abstinence (A) yaitu menghindari seks bebas, namun dalam solusi  ABCDE ini dapat dimaklumi jika ada yang tidak sanggup untuk menghindarinya, hingga alternatif solusi lainnya adalah Be faithful (B) yaitu setialah pada satu pasangan saja, namun kita tahu dalam era globalisasi ini, media sangat mudah masuk dan berbagai rangsangan pun hadir, sehingga dalam solusi ABCDE ini pun diberikan pilihan terakhir, maka jika tidak sanggup untuk setia, gunakanlah 'pengaman', Condom (C) agar virus HIV dan KTD (kehamilan tidak direncanakan) tidak terjadi, no Drugs (D) yaitu menghindari penggunaan narkoba secara bergantian, dan Education (E) adalah solusinya.

Solusi Komprehensif
Berbagai solusi yang dikeluarkan pemerintah dalam mengatasi hal ini sangat tidak masuk akal. Jargon ABCDE yang dicanangkan telah membuktikan bahwa fenomena seks bebas dikalangan remaja semakin merajalela. Kondomisasi yang dianggap sebagai solusi tuntas malah menimbulkan permasalahan lain yang lebih besar. Apa yang dicanangkan menteri kesehatan yang baru dalam mengurangi efek seks bebas berupa penyakit mematikan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Berbagai penelitian bahkan menunjukkan bahwa ukuran pori-pori kondom lebih besar dari ukuran tubuh virus HIV. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa upaya kondomisasi adalah sebuah kampanye terselubung untuk menjadikan remaja Indonesia mengidap penyakit HIV AIDS dan penyakit kelamin lainnya.
Pemerintah Indonesia telah terbukti tidak mampu mengatasi permasalahan ini. Hal ini disebabkan negara tidak mendasarkan konstusinya kepada Islam. Padahal sesungguhnya sebagai negeri Muslim terbesar  di dunia menjadikan Indonesia sebagai contoh negara Muslim yang menetapkan Islam sebagai ideologi atau dasar negaranya.
Dalam Islam telah jelas cara mengatasi permasalahan ini. Islam secara tegas mengharamkan seks bebas (perzinahan). Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. QS. 17:32. Pengharaman ini disertai dengan sebuah solusi penyaluran naluri yang benar, yaitu melalui jalur pernikahan. Jika seseorang tidak mampu menahan naluri seksualnya tetapi belum sanggup untuk menikah, maka Rasulullah menyuruh untuk berpuasa.
Di dalam Islam, zina termasuk perbuatan dosa besar. Hal ini dapat dapat dilihat dari urutan penyebutannya setelah dosa musyrik dan membunuh tanpa alasan yang haq, Allah berfirman: “Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar dan tidak berzina.” (QS. Al-Furqaan: 68). Imam Al-Qurthubi mengomentari, “Ayat ini menunjukkan bahwa tidak ada dosa yang lebih besar setelah kufur selain membunuh tanpa alasan yang dibenarkan dan zina.” (lihat Ahkaamul Quran, 3/200). Dan menurut Imam Ahmad, perbuatan dosa besar setelah membunuh adalah zina.
Perzinahan adalah suatu hal yang tidak dapat ditoleransi apapun alasannya. Upaya kondomisasi yang dilakukan Menkes yang merupakan penganut Katholik jelas-jelas tidak sesuai dengan hukum Islam. Selain bertentangan dengan hukum Islam, solusi ini juga hanya menambah pelik permasalahan yang telah ada. Masa depan remaja Indonesia akan semakin hancur jika kondomisasi ini dilaksanakan. Mungkin saja beberapa tahun lagi fenomena seks bebas di Negara-negara liberal akan sepenuhnya terjadi di Indonesia. Padahal sangat jelaslah fenomena seks bebas pada Negara-negara liberal menghancurkan etika dan moral yang berlaku di negaranya.
Saat ini ketika ditanya apakah yang harus diperbuat untuk menyelesaikan permasalahan seks bebas ini sudah sangat jelas. Apakah masih dengan solusi ABCDE dengan sosialisasi kondom sebagai pencegah kehamilan yang dicanangkan pemerintah? Jelaslah, bahwa hanya dengan kembali kepada hukum Islam permasalahan ini terselesaikan. Hukum Islam yang diterapkan akan menghasilkan sebuah kemaslahatan bagi seluruh manusia. Sekarang dengan mudah kita menjawab pertanyaan “Akan dibawa kemana remaja negeri ini?” dengan jawaban remaja negeri ini akan kita bawa menuju peradaban.
Wallahu ‘alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar