Kamis, 21 Juni 2012

Contoh proposal antropologi


PERAN MASYARAKAT SETU BABAKAN DALAM PELESTARIAN SOSIO-KULTURAL BUDAYA JAKARTA PADA ERA GLOBALISASI

 PROPOSAL PENELITIAN



Proposal penelitian ini diajukan sebagai syarat mengikuti UAS mata kuliah Teori Antropologi



oleh,

      Anita Rachmat Putri    (1110015000015)      




PRODI SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI JURUSAN PENDIDIKAN IPS

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2012 


BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang
Arif adalah suatu istilah bahasa Arab yang diserap ke dalam bahasa Indonesia melalui bahasa Melayu. Biasanya secara kontekstual istilah Arif disepadankan maknanya dengan istilah-istilah tahu, mengetahui, cerdik-pandai, bijaksana, berilmu, dan pandai dalam banyak hal (Purwadarminto, 1984). Karena itu kearifan (wisdom) dapat disepadankan pula maknanya dengan pengetahuan, kecerdikan, kepandaian, keberilmuan, dan kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan yang berkenaan dengan penyelesaian atau penanggulangan suatu masalah atau serangkaian masalah yang relatif pelik dan rumit. Kearifan biasanya baru dipahami dan atau diakui ketepatannya setelah suatu keputusan dapat diterima dan dilaksanakan secara taat azas dan berkesinambungan oleh sejumlah pihak yang bersangkut paut dengan penyelesaian suatu masalah yang muskil karena mereka berkeyakinan bahwa keputusan itu baik dan benar, baik ditinjau dari kepentingan mereka masing-masing maupun ditinjau dari sudut tujuan bersama yang akan dicapai.

Pengambilan keputusan yang arif biasanya dianggap atau diyakini telah mengambil suatu keputusan yang bijaksana, benar, tepat, adil, serasi dan harmonis, setelah memperhatikan dan menelusuri berbagai informasi, pengetahuan, pengalaman, serta mengindahkan kepentingan berbagai pihak. Kearifan adalah seperangkat pengetahuan yang dikembangkan oleh suatu kelompok masyarakat setempat (komunitas) yang terhimpun dari pengalaman panjang menggeluti alam dalam ikatan hubungan yang saling menguntungkan kedua belah pihak (manusia dan lingkungan) secara berkelanjutan dan dengan ritme yang harmonis.

Perjalanan sejarah, baik menyangkut soal sistem keyakinan (theology), kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik dan lainnya tentu tidak bisa lepas dari kondisi dimana suatu tatanan geografis dan sosial budaya yang mengitarinya ikut membentuk. Tidak berbeda dengan apa yang terjadi pada perkembangan pandangan kosmologis manusia di dalam konteks tertentu, juga telah dibentuk oleh suatu proses sejarah panjang dan kultur dominan yang pada periode tertentu juga akan membentuk akar ideologis masyarakatnya. Komunitas Betawi setu Babakan merupakan salah satu contoh masyarakat yang membentuk sebuah kultur dominan. Disini penulis mencoba menganalisis bagaimana pandangan masyarakat Betawi setu Babakan terhadap warisan khasanah kebudayaan Betawi yang hampir hilang ditelan perkembangan zaman.

Setu Babakan adalah sebuah kawasan perkampungan yang ditetapkan Pemerintah Jakarta sebagai tempat pelestarian dan pengembangan budaya Betawi secara berkesinambungan.Perkampungan yang terletak di selatan Kota Jakarta ini merupakan salah satu objek wisata yang menarik bagi wisatawan yang ingin menikmati suasana khas pedesaan atau menyaksikan budaya Betawi asli secara langsung.Setu Babakan berlokasi di Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, Propinsi DKI Jakarta, Indonesia.

Di perkampungan ini, masyarakat Setu Babakan masih mempertahankan budaya dan cara hidup khas Betawi, seperti membudidayakan ikan dalam keramba, memancing, bercocok tanam, berdagang, membuat kerajinan tangan, dan membuat makanan khas Betawi. Perkampungan ini diapit oleh dua danau (setu/situ) dan mempunyai luas wilayah sekitar 165 hektar dan didiami setidaknya 3.000 kepala keluarga. Sebagian besar penduduknya adalah orang asli Betawi yang sudah turun temurun tinggal di daerah tersebut. Sedangkan sebagian kecil lainnya adalah para pendatang yang sudah tinggal lebih dari 30 tahun di daerah ini.

Setu Babakan sebagai sebuah kawasan Cagar Budaya Betawi sebenarnya merupakan objek wisata yang terbilang baru. Peresmiannya sebagai kawasan cagar budaya dilakukan pada tahun 2004, yakni bersamaan dengan peringatan HUT DKI Jakarta ke-474. Perkampungan ini dianggap masih mempertahankan dan melestarikan budaya khas Betawi, seperti bangunan, dialek bahasa, seni tari, seni musik, dan seni drama.

B.           Perumusan Masalah Penelitian
Dengan realitas semacam itu, sebuah pandangan, kepercayaan, bahkan ideologi telah menjadi penting dalam melihat kebertahanan komunitas Betawi Setu Babakan dalam pesatnya arus globalisasi. Pengamatan awal studi ini memperlihatkan bahwa Masyarakat Betawi Setu Babakan benar-benar berupaya semaksimal mungkin dalam melestarikan budaya Betawi agar tidak tergerus pesatnya perkembangan zaman. Jakarta, sebagai ibukota Negara memang menjadi laju perubahan sosial yang sangat pesat di Indonesia. Sebagai daerah metropolitan, Jakarta menjadi sasaran utama kaum imigran untuk mencari pundi-pundi uang. Kedatangan mereka secara berbondong-bondong ke Jakarta secara tidak langsung membawa efek positif dan negatif bagi rakyat Jakarta. Salah satunya adalah membawa unsur-unsur kebudayaannya yang akan mengakibatkan Betawi, sebagai kebudayaan asli Jakarta mengalami pertarungan kultural. Karena itu, pembahasan penelitian ini akan fokus pada tiga masalah mendasar, yakni:

1.            Pandangan masyarakat Betawi setu Babakan terhadap degradasi kultural dalam dinamika sosial politik global saat ini.

2.            Cara masyarakat Betawi setu Babakan dalam upaya melestarikan kebudayaannya.

3.            Kearifan lokal (Local wisdom) masyarakat Betawi Setu Babakan dalam mempertahankan dan mengelola alam serta lingkungan hidup.

C.          Hipotesis
Hipotesa pengarah yang hendak diajukan dalam penelitian ini ialah upaya pelestarian sosio kultural Betawi masyarakat setu Babakan mempunyai arti signifikan.Masyarakat Betawi setu Babakan telah berhasil dalam membangun nilai-nilai kebersamaan dan menjaga tradisi mereka di tengah pesatnya arus globalisasi.

D.          Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan penelitian ini ialah sebagai upaya menginventarisasi dan mendokumentasi kearifan lingkungan dan pengetahuan tradisional. Kearifan lingkungan dan pengetahuan tradisional ini berkembang pada berbagai kelompok masyarakat yang tersebar di Kepulauan Nusantara, khususnya pada masyarakat setu Babakan, di tengah-tengah pesatnya persebaran nilai-nilai dan pranata sosial baru yang terbawa oleh kegiatan pembangunan di segala sektor kehidupan, hendaknya ditindaklanjuti dengan upaya revitalisasi. Setidak-tidaknya data yang diinventaris dapat menjadi acuan (guide book) dalam proses sosial, pengembangan kebijakan serta program pembangunan ekonomi dan lingkungan hidup.

E.           Manfaat dan Kegunaan Penelitian

Beberapa manfaat praktis dari perspektif kearifan lokal (local wisdom), diantaranya adalah:Pertama, dalam pemikiran tradisional Jakarta, antara masyarakat dan lingkungan alam ternyata senantiasa ada rasa saling ketergantungan di mana keselarasan diantara manusia juga terdapat keselarasan terhadap lingkungan. Kedua, dalam suasana ketergantungan tersebut mengharuskan sebuah masyarakat Betawi setu Babakan untuk bersikap tidak menguasai, tetapi bersikap lebih menyesuaikan terhadap lingkungan alam sehingga mereka menjadi arif dan ramah lingkungan. Ketiga, dalam upaya menekan pesatnya arus globalisasi, masyarakat Betawi setu Babakan selalu mempertahankan nilai-nilai luhur dalam khasanah kebudayaannya sebagai pembanding dari degradasi kultural yang menimpa masyarakat Betawi lainnya di propinsi DKI Jakarta.

F.           Landasan Teori dan Kerangka Konseptual

Perbedaan karakteristik lingkungan (alam, sosial, binaan) akan menunjukkan perbedaan strategi adaptasi yang dikembangkan oleh masyarakat. Strategi adaptasi itu didasarkan pada pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman adaptasi terhadap lingkungannya yang khas. Karena itu, setiap komunitas mengembangkan modal sosial yang adaptif terhadap lingkungannya. Kearifan lingkungan itu terwujud ke dalam bentuk ide, aktivitas dan material. Terkait dengan itu, Sanderson (1993) menyebutkan bahwa sistem sosio-kultural terdiri dari tiga unsur, yakni infrastruktur material, struktur sosial, dan super struktur ideologis. Sistem sosio-kultural mengacu kepada sekumpulan orang yang memakai berbagai cara untuk beradaptasi dengan lingkungan mereka, yang bertindak menurut bentuk-bentuk perilaku sosial yang sudah terpolakan, dan menciptakan kepercayaan dan nilai-nilai bersama yang dirancang untuk memberi makna atau berbagai pola bagi tindakan kolektif mereka.

Struktur sosial pada dasarnya adalah perilaku aktual yang diperlihatkan oleh manusia baik yang timbul karena hubungan di antara sesama mereka, maupun karena hubungan mereka dengan lingkungan biofisik mereka. Struktur sosial terdiri dari beberapa unsur yakni keluarga sebagai unit sosial ekonomi terkecil dan kekerabatan sebagai unit sosial yang lebih besar. Kekerabatan bisa merupakan wadah bagi suatu keluarga untuk melakukan resiprositas dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka, atau melakukan pengelolaan secara kolektif terhadap sumber daya alam tertentu, seperti tanah atau hutan. Selain itu, struktur sosial dapat pula berbentuk lembaga swadaya kolektif, yakni perkumpulan yang dibentuk oleh sejumlah orang yang memiliki kepentingan sama, dimana mereka bertukar jasa, misalnya untuk mengolah tanah, memetik hasil-hasil tanaman dan lain-lain (Mubyarto et. al., 1994; Bunch, 1992). Kemudian yang tidak kalah pentingnya, setiap masyarakat tidak bisa lepas dari unsur kepolitikan, yakni merujuk pada cara-cara terorganisasi sebuah masyarakat dalam memelihara hukum, aturan internal, maupun hubungan antar individu dalam masyarakat termasuk didalamnya pengendalian terhadap konflik-konflik sosial (Sanderson, 1993: 62).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar