Astagfirullah, saya benar-benar merasa malu, Mengapa di usia ini baru membaca buku ini? Sejak lama saya mengetahui berbagai kekosongan makna dalam diri. Beberapa tahun mulai mencoba memahami diin dengan baik, tapi tetap saja ada yang kurang. Kekosongan batin dalam melaksanakan berbagai ibadah. Ya, ibadah memang bukan hanya ibadah maghdhah saja, tapi bagaimana mungkin kita dapat melaksanakan ibadah lainnya jika dalam melaksanakan ibadah maghdhah saja kita masih keteteran? Ibadah ini merupakan wujud penyembahan langsung kepada Yang Maha Agung, Sang Raja diRaja, Penguasa Alam Raya, Pencipta Segala yang terindra maupun tidak. Bagaimana mungkin saya dapat meremehkan jenis ibadah ini? Seraya mengangkat kepala dan berusaha membenahi orang lain, padahal diri ini tiada selamat sebelumnya.
Dua tahun berada dalam harakah benar-benar sangat saya syukuri. Saya dapat belajar Islam mulai dari nol, tapi sesungguhnya bukan dari nol saya harus belajar mengenai Diin ini, tetapi dari taraf minus. Saya memahami ada kekosongan jiwa karena beberapa langkah telah melompati tahapan yang seharusnya didahulukan. Saya melompat terlalu jauh, menyombongkan diri dengan berbagai perkara dakwah. Niat untuk berdakwah memang perkara yang mulia. Bahkan dakwah merupakan ibadah yang sangat agung. Tapi bagaimana mungkin saya dapat berdakwah, sedangkan batin ini tiada tersentuh dakwah?
Selama hampir dua puluh satu tahun saya hadir di dunia. Beberapa kali saya merasa lahir kembali. Merangkak keluar dari jurang kenistaan. Tapi tak ada guna lahirnya diri ini kembali. Diri ini begitu bodoh, layaknya keledai yang tergelincir ke dalam lubang yang sama. Setidaknya keledai adalah haiwan seperti haiwan lainnya. Berbeda dengan manusia yang memiliki kesempurnaan akal. Manusialah yang diamanahkan untuk menjadi Pemimpin di Bumi (Khalifah fiil Ard). Sebagai khalifah di bumi yang mendayagunakan potensi bumi, sebelumnya dia harus mampu bertindak sebagai pemimpin dalam dirinya. Setiap manusia harus dapat menundukkan jiwa haiwani, dan meneguhkan kedudukan jiwa natiqah.
=) Tak ada maksud dari diri yang bodoh ini untuk mengecilkan karya agung Imam Muhammad Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin ke dalam berbagai ringkasan. Seperti yang telah dikemukakan Sa'id Hawwa dalam BAB Pengantar Tazkiyatun-Nafs, tulisan beliaupun juga tidak bermaksud demikian. Beliau hanya berupaya meringkas kitab ini dan menyesuaikannya dengan problem umat saat itu.
Sesungguhnya amat jahil saya tidak mendahulukan kitab ini dalam perjalanan mencari makna. Bagaimana mungkin ilmu pengenalan dapat diperoleh jika saya sendiripun tiada mengetahui maqam yang harus dilalui untuk mencapainya. Sebagai manusia yang lemah sangat sombong jika saya mendahulukan kitab lain dibandingkan kitab ini. Sekali lagi tak ada maksud dari saya untuk meninggalkan khabbar shaddiq karna itu pastinya perkara utama. Tapi kitab ini memang salah satu kitab utama yang berkedudukan sebagai pembimbing menuju ilmu pengenalan.
Dalam catatan ini, saya tidak mengganti tulisan sama sekali, hanya meringkas dan menyusunnya ke dalam beberapa bahasan. Sebenarnya yang terbaik adalah saya tidak meringkasnya lagi, karna Sa'id Hawwa telah melakukannya dengan sangat hati-hati. Tapi anggap saja tulisan dalam catatan ini sebagai pengantar bagi yang kurang waktu untuk membaca kitab secara keseluruhan. Meski saya sangat menganjurkan setidaknya kita dapat mencicil dan membagi waktu dari kesibukan untuk benar-benar memaknai isi kitab ini. Oya, perlu ditekankan pula, sebagai seorang yang tiada mampu berbahasa Arab dengan baik, saya tidak melakukan penerjemahan atau penukilan dari kitab aslinya. Saya hanya mencoba memulai belajar dari kitab terjemahan terbitan tahun 1997 oleh Rabbani Press. Sedih juga menyatakan ini, tetapi sekali lagi jangan menyerah atau mundur dari pertarungan disebabkan segala keterbatasan. Semoga dengan mulai difahaminya kitab ini dari bahasa Indonesia menjadikan saya semakin semangat lagi belajar dan mendalami bahasa Arab. Aamiin Allahumma aamiin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar