Rabu, 26 September 2012


SUMBER – SUMBER DAN LINGKUNGAN ANTROPOLOGI KESEHATAN[1]

A.           Bidang Lama dan Baru Antropologi Kesehatan
Pada masa kini, para ahli antropologi yang mempunyai minat tersebut bekerja di fakultas-fakultas kedoketeran, sekolah perawat, dan di bidang kesehatan masyarakat, di rumah-rumah sakit dan depatemen-departemen kesehatan, serta di jurusan-jurusan antropologi pada universitas umum. Mereka melakukan penelitian dalam topik–topik seperti manusia, anatomi, pediatri, epidemologi, kesehatan jiwa, penyalahgunaan obat, definisi mengenai sehat dan penyakit, latihan petugas kesehatan, birokrasi medis, pengaturan dan pelaksanaan rumah sakit, hubungan dokter pasien dan proses memperkenalkan sistem kesehatan ilmiah kepada masyarakat-masyarakat yang semula hanya mengenal sistem kesehatan tradisional. Para ahli antropologi tersebut umumnya disebut sebagai ahli antropologi kesehatan dan lapangan yang di wakilinya adalah sub disiplin baru antropologi, yakni “antropologi kesehatan”[2]
   Dari jenis aktifitas yang mereka lakukan, nampak bahwa bidang tersebut meliputi sejumlah perspektif dan pusat perhatian. Secara konseptual, semuanya itu dapat di ajarkan dalam satu kontinuum, dengan ujung yang satu di sebut kutub biologi sedangkan ujung lainnya di sebut kutub sosial budaya kearah kutub biologi terdapat ahli-ahli antropologi yang pokok perhatianya adalah tentang pertumbuhan dan perkembangan manusia, peranan penyakit dalam evolusi manusia dan paleopatologi (studi mengenai penyakit-penyakit purba). Ahli-ahli antropologi yang memiliki minat tersbut memiliki kesamaan perhatian dengan ahli-ahli genetika, anatomi, serologi, biokimia dan sejenisnya.
Kearah kutub sosial budaya terdapat ahli-ahli antropologi dengan pokok perhatian pada sistem medis tradisional (etnosmedisin) masalah petugas-petugas kesehatan dan persiapan profesional mereka, tingkahlaku sakit, hubungan antara dokter pasien serta dinamika dari usaha meperkenalkan pelayanan kesehatan Barat kepada masyarakat-masyarakat tradisional. Dengan demikian ahli-ahli antropologi tersebut nampak mempunyai perhatian yang tupang tindih dengan ahli-ahli sosiologi, para pendidik kesehatan, pada perawatan spesialis-spesialis ahli kesehatan masyarakat dalam pendidikan dan administrasi kesehatan, serta sarjana-sarjana ilmu perilaku lain yang bekerja dalam bidang “modernisasi” di pertengaahan kontinum yang berminat pada epidemiologi dan ekologi budaya. Mereka mungkin mempunyai minat yang hampir sama dengan semua ahli tersebut di atas, namun hubungan mereka terutama lebih dekat dengan ahli-ahli epidemiologi kesehatan, ahli-ahli ekologi serta kelompok baru yang di kenal sebagai ahli geografi kesehatan.[3]
Secara singkat antropologi kesehatan dipandang oleh para dokter sebagai disiplin biobudaya yang memberi perhatian pada aspek-aspek biologis dan sosiobudaya dari tigkahlaku manusia, terutama tentang cara-cara interaksi keduanya di sepanjang sejarah kehidupan manusia, yang mempengaruhi kesehatan dan penyakit. Kesulitan para ahli antropologi kesehatan adalah menemukan akar dari disiplin ilmu modern ini. Pada akhirnya membuat para ahli menyimpulkan bahwa akar dari antropologi kesehatan adalah sebagai berikut.
1.             Antropologi fisik
Lama sebelum ada ahli-ahli antropologi kesehatan “Budaya”, ahli-ahli antropologi fisik belajar dan melakukan penelitian di sekolah-sekolah kedokteran, biasanya pada jurusan anatomi. Dapat di pastikan bahwa ahli-ahli antropologi fisik adalah ahli antropologi kesehatan, karena perhatian mereka pada biologi manusia sejajar dan tumpang tindih dengan banyak lapangan perhatian para dokter. Nyatanya sejumlah besar antropologi fisik adalah dokter. Baik dalam hal lapangan perhatian maupun dalam hubungan-hubunganya, ahli-ahli antropologi fisik dimasa lalu seperti halnya di masa kini juga memberikan banyak perhatian pada topik-topik yang mempunyai kepentingan medis. Hasan dan Prasad (1959) menyusun daftar lapangan studi tersebut, yang meliputi nutrisi dan pertumbuhan, serta korelasi antara bentuk tubuh dengan variasi yang luas dari penyakit-penyakit, misalnya radang pada persendian tulang (arthiritis) tukak lambung (ulcer) kurang darah (anemia) dan penyakit diabetes.
Selama beberapa dasawarsa, ahli antropologi fisik disibukkan dengan kedokteran forensik. Dalam pengembangan usaha pencegahan penyakit, para ahli antropologi fisik telah memberi sumbangan dalam penelitian mengenai penemuan kelompok-kelompok penduduk yang memiliki resiko tinggi, yakni orang-orang yang tubuhnya mengandung sel sabit dan pembawa penyakit kuning (hepatitis).[4]
2.             Etnomedisin
Sub bagian antropologi kesehatan yang kini di sebut sebgai “etnomedisin “ yakni kepercayaan dan  praktek-praktek yang berkenaan dengan penyakit, yang merupakan hasil dari perkembangan kebudayaan asli dan yang eksplisit tidak berasal dari kerangka konseptual kedokteran modern (Hughes 1968:99) tetapi merupakan urutan langsung dari awal perhatian ahli-ahli antropologi mengenai sistem medis non-Barat. Sejak awal penelitian mereka para ahli antropologi secara rutin mengumpulkan data mengenai kepercayaan dalam pengobatan pada penduduk yang mereka teliti. [5]
Dalam buku Rivers yang berjudul Medicine, Magic, and Religion (Rifers 1942) tertangkap pesan bahwa ide mengenai pengobatan asli adalah pranata0pranata sosial yang harus dipelajari dengan cara yang sama seperti mempelajari pranata-pranata umumnya, dan bahwa praktek-praktek pengobatan asli adalah rasional bila dilihat dari sudut kepercayaan yang berlaku mengenai sebab akibat (Lihat Wellin 1977: 49). Dengan demikian akhirnya para ahli antropologi menangkap bahwa etnomedisin  menjadi bagian spesialisasi bagi antropologi kesehatan.[6]
3.             Studi-studi tentang kebudayaan dan kepribadian.
Kecuali berbagai studi tentang etnomedisin yang terutama dilakukan sebagai bagian dari penelitian mengenai kelompok (tribe) sebagian besar publikasi antropologi yang menyangkut kesehatan sebelum tahun 1950 berkenaan dengan gejala psikologi dan psikiatri. Sejak pertengahan tahun 1930-an para ahli antropologi, psikiater dan ahli-ahli ilmu tingkah laku lainnya mulai mempertanyakan tentang kepribadian orang dewasa, atau sifat-sifat, dan lingkungan sosial budaya dimana tingkahlaku  itu terjadi.[7]
4.             Kesehatan masyarakat international
Meskipun Rokefeller Foundation telah sibuk dengan pekerjaan kesehatan masyarakat international sejak awal abad ini baru pada tahun 1942 pemerintah Amerika Serikat memprakarsai kerjasama program-program kesehatan dengan sejumlah pemerintah di negara Amerika latin, sebagai bagian dari program bantuan teknik yang lebih luas. Dengan berakhirnya perang dan dengan perpanjangan program-program bantuan teknik Amerika Serikat bagi afrika dan asia, maupun dengan tebentuknya World Helath Organization, maka program-program kesehatan masyakat utama yang bersifat bilateral dan multilateral di negara-negara sedang berkembang merupakan sebagian dari gambaran dunia.[8]
Petugas-petugas kesehatan yang bekerja dilingkungan yang bersifat lintas-budaya lebih cepat menemukan masalah daripada mereka yang bekerja dalam kebudayaan sendiri, dan khususnya mereka yang terlibat dalam klinik-klinik pengobatan melihat bahwa kesehatan dan penyakit bukan hanya merupakan gejala biologis, melainkan juga gejala sosial-budaya. Mereka segera manyadari bahwa kebutuhan kesehatan dari negara-negara berkembang tidaklah dapat dipenuhi sekedar memindahkan pelayanan kesehatan dari negara-negara industri.[9]
Dimensi teoritis dan terapan
Perkembangan perhatian antropologi terhadap masalah-masalah kesehatan dan penyakit sebagian bermotivasi teoritis karena kepercayaan dan praktek-praktek pengobatan merupakan kateogori utama dalam semua kebudayaan, suatu keterangan yang lengkap dari setiap kebudayaan menutut agar perhatian yang sama juga diberikan pada pranara-pranata kesehatan seperti halnya dengan pranata-pranata politik, ekonomi, sosial, religi dan sebagainya. Namun dalam pertumbuhanya perhatian para ahli antropologi dalam lapangan kesehatan dan penyakit, memiliki dimensi-dimensi praktis  juga banyak hasil penelitian telah “diterapkan”, dilaksanakan dalam kerjasama dengan petugas-petugas di berbagai program dan proyek kesehatan dengan tujuan akhir meningkatkan pelayanan kesehatan atau dalam rangka pemahaman terhadap komponen-komponennya sehubungan dengan timbulnya penyakit.[10]
Berdasarkan pemaparan ini, Menurut Foster dapat disimpulkan bahwa antropologi kesehatan adalah istilah yang digunakan oleh ahli-ahli antropologi untuk mendeskripsikan penelitian mereka yang tujuannya adalah definisi komprehensif dan interpretasi mengenai hubungan timbal balik biobudaya, antara tingkah laku manusia di masa lalu dan masa kini dengan derajat kesehatan dan penyakit, tanpa mengutamakan perhatian pada penggunaan praktis dari pengetahuan tersebut. Dan partisipasi profesional mereka dalam program-program yang bertujuan memperbaiki derajat kesehatan melalui pemahaman yang lebih besar tentang hubungan antara gejala bio-sosial-budaya dengan kesehatan, serta melalui perubahan tingkah laku sehat ke arah yang diyakini akan meningkatkan kesehatan yang lebih baik.[11]

B.            Antropologi Kesehatan dan Ekologi
1.             Ekosistem dan Sistem Sosial Budaya
Selama tahun–tahun terakhir, makin banyak ahli antropologi yang menaruh perhatian pada masalah–masalah kesehatan lingkungan biobudaya, yang paling baik dipelajari melalui apa yang disebut Bates sebagai “pandangan ekologis”. Tidak mengherankan bahwa pandangan ekologis ternyata cocok bagi ahli antropologi, karena dalam kenyataannya, pandangan itu merupakan lanjutan dari lingkungan dan komuniti biotiknya dalam pendekatan antropologi yang fundamental: yakni perhatian kepada sistemnya.
Suatu “sistem” menurut definisi kamus Webster edisi kedua, adalah “agregasi atau pengelompokan objek–objek yang dipersatukan oleh beberapa bentuk interaksi yang tetap atau saling tergantung, sekelompok unit yang berbeda, yang dikombinasikan sedemikian rupa oleh alam atau oleh seni sehingga membentuk suatu keseluruhan yang integral, dan berfungsi, beroperasi atau bergerak dalam kesatuan. Dalam antropologi, sudah tentu yang dimaksud sebagai “keseluruhan integral” adalah suatu sistem sosial–budaya, atau dengan kata yang lebih umum, suatu kebudayaan. Dalam ekologi keseluruhan integral adalah suatu ekosistem “ suatu interaksi antara kelompok tanaman dan satwa dengan lingkungan non hidup mereka”.[12]
2.             Perhatian Ekologis dari Para Ahli Antropologi Kesehatan
Para ahli antropologi kesehatan, yang dari definisinya dapat disebutkan berorientasi ke ekologi, menaruh perhatian pada hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan alamnya, tingkah lakunya, penyakit-penyakitya, dan cara–cara dimana tingkah laku dan penyakitnya mempengaruhi evolusi dan kebudayaan melalui proses umpan–balik. Dalam dunia masa kini, pendekatan ekologis adalah dasar bagi studi tentang masalah–masalah epidemiologi, cara–cara dimana tingkah laku individu dan kelompok menentukan derajat kesehatan dan timbulnya penyakit yang berbeda–beda dalam populasi yang berbeda–beda pula. Dalam studi ekologi, kita harus memulainya dengan lingkungan. Lingkungan dapat bersifat alamiah dan sosio-budaya. Dari lingkungan inilah tercipta penyakit dan nutrisi yang mempengaruhi hidup manusia.
3.             Paleopatologi
Ahli–ahli patologi, anatomi dan ahli–ahli antropologi fisik telah banyak belajar mengenai penyakit–penyakit dan luka–luka pada sesuatu yang dianggap manusia purba. Namun ada keterbatasan yang mungkin tidak akan pernah terkembatani, yang menghambatnya untuk mengetahui semua yang ingin diketahui. Pada umumnya, hanya penyakit–penyakit yang menunjukkan bukti–bukti yang nyata pada tulang saja yang dapat diidentifikasi. Berdasarkan hasil penelitian para ahli ini, dinyatakan bahwa manusia modern memiliki fisik lebih lemah daripada manusia yang dianggap purba. Anehnya pula ditemukan bahwa pada masa pertanianlah yang telah menambah jenis-jenis dan frekuensi penyakit pada manusia. Hal ini disebabkan sanitasi yang buruk dan kontak fisik dengan hewan ternak mereka.
4.             Penyakit dan Evolusi
Penyakit–penyakit infeksi telah merupakan faktor penting dalam evolusi manusia selama 2 juta tahun atau lebih, melalui mekanisme evolusi dari “proteksi genetik” maka nenek moyang kita dapat mengatasi ancaman–ancaman penyakit dalam kehidupan individu dan kelompok. Munculnya gen yang memberikan resistensi terhadap malaria dalam suatu populasi di Afrika barat adalah salah satu contoh yang dramatis dari proses evolusi tersebut. Gen tersebut disebut dengan sickle-cell anemia yang menurut livingstone disebabkan dengan perkembangan pertanian.[13]
5.             Makanan dan Evolusi
Dalam buku Foster disebutkan bahwa pada masa lampau manusia adalah herbivorus. Setelah tidak lagi memakan tumbuhan dan mulai mengenai pakan hewani, tubuh manusia mengalami perkembangan. Namun setelah terjadi ketergantungan terus-menerus terhadap nutrien sayuran, ketidakseimbangan nutrisi dapat mengarah kepada kekurangan asam amino yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangan jaringan. Kebiasaan makan dan tradisi juga juga dapat menghasilkan tekanan selektif yang memberi kesempatan baik lebih banyak bagi lebih satu tipe gen dari satu tipe gen yang lain. [14]
6.             Epidemiologi
Bila kita mempelajari studi–studi epidemiologi pada masa kini maupun di masa lalu, patut kita catat karya ahli–ahli sosiologi kodokteran yang lebih banyak menjadikan bidang ini sebagai lapangan perhatian khusus mereka daripada ahli–ahli ilmu perilaku lainnya. Secara singkat epidemiologi berkenaan dengan distribusi dalam tempat dan prevalensi atau terjadinya penyakit, sebagaimana lingkungan alam atau lingkungan ciptaan manusia serta tingkah laku manusia.
Para ahli epidemiologi mempunyai tugas membuat korelasi-korelasi dalam hal insiden penyakit dalam hal menetapkan petunjuk tentang pola-pola penyebab penyakit yang kompleks, atau tentang kemungkinan-kemungkinan dalam pengawasan penyakit. Epidemiologi berorientasi pada usaha mncapai suatu tujuan, dalam arti tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan derajat kesehatan, mengurangi timbulnya semua ancaman kesehatan. Dalam sejarahnya keberhasilan epidemiologi patut dicatat dalam berbagai pencegahan penyakit, misalnya penyakit gondok perlu ditangani dengan pemberian yodium. Akhir praktis dari studi-studi epidemiologi dibuktikan dengan kenyataan bahwa ilmu ini merupakan landasan ilmiah bagi sebagian besar profesi kesehatan masyarakat.[15] 
7.             Misteri Kuru
Kuru, merupakan nama penyakit yang ditemukan pada penduduk Fore Selatan, di Dataran Tinggi Timur Papua Nugini. Penyakit furu menunjukkan karakteristik epidemiologis yang tidak lazim. Ditemukan bahwa penderitanya berpengaruh kuat pada garis keturunan. Dengan penyakit misterius ini, pada tahun 1957 Carleton Gajdusek meneliti masyarakat ini selama 10 bulan. Dalam penelitiannya dia menyatakan bahwa “...dibutuhkan mutasi yang dominan atau setengah dominan yang pasti telah timbul pada seorang individu, berabad-abad sebelum kelompok itu memiliki kemajuan yang demikian selektif, sehingga gen itu dapat menyebar pada ribuan keturunan dari sel pembawa pertamanya.
Dengan demikian kuru mempunyai ciri sebagai penyakit makhluk manusia pertama yang disebabkan oleh virus yang bekerja lamban. Furu sering didentikkan dengan praktek kanibalisme yang membudaya. Fraktek kanibalisme tersebut dipraktekkan dengan memasak otak wanita yang telah meninggal untuk dimakan oleh wanita lain yang merupakan keluarganya, dan sisanya dibagikan kepada anak-anaknya. Praktek kanibalisme ini kemudian dilarang keras, dan pada akhirnya penyebaran penyakit kuru mulai berkurang. Tetapi yang masih menjadi pertanyaan adalah bagaimana awal mula penyakit ini dapat menjangkiti warga Furu selatan dan bagaimana virus tersebut tersembunyi menjelang tahun 1910.[16]
8.             Ekologi dan Pembangunan
Kebalikan dengan gerakan ekologi Amerika akhir–akhir ini, bagi sebagian terbesar penduduk dunia, istilah “pembangunan” mempunyai konotasi yang positif. Mereka yakin bahwa melalui “pembangunanlah” maka pemanfaatan yang rasional atas sumber daya manusia dan fisik dapat diperoleh, kemiskinan dapat diberantas, pendidikan menjadi universal, penyakit dapat diatasi, dan standar kehidupan menjadi dapat diterima.
Pembangunan memang harus ada karena tidak ada alternatif lain bagi dunia yang semakin padat. Namun ada pembangunan yang baik, dan pembangunan yang buruk. Kebudayaan adalah sistem kkeseimbangan yang rumit yang tidak akan berubah begitu saja, sehingga inovasi yang dianggap baik oleh suatu bidang (misalnya pertanian) kemudian menimbulkan perubahan-perubahan kedua dan ketiga dibidang lain (misalnya kesehatan) yang dampaknya melebihi keuntungan yang diharapkan. Hampir selalu terdapat “konsekuensi-konsekuensi yang tak terduga pada inovasi yang terencana” beberapa diantaranya ada yang baik, namun banyak yang kemudian menjadi tidak diinginkan. DuBos menyatakan model “konsekuensi yang tak terduga” yang berorientasi budaya ini dengan istilah ekologi.
Hughes dan Hunter berpendapat bahwa setiap program yang merubah hubungan yang telah ada antara manusia dan lingkungannya, haruslah dilihat dari kerangka ekologi. Pembangunan yang sukses juga sering secara berarti menimbulkan penyakit-penyakit tertentu, menimbulkan masalah-masalah kesehatan yang sebelumnya tidak ada atau yang relatif lebih sedikit. Penyakit penghambat pembangunan; sehingga penyakit merupakan daya pendorong bagi timbulnya perkembangan layanan-layanan kesehatan.[17]
9.             Penyakit–penyakit Pembangunan
Tidak semua penyakit secara sama dipengaruhi oleh pembangunan, walaupun tampaknya semua keseimbangan penyakit, pada tingkatan tertentu, dipengaruhi oleh perubahan–perubahan akibat pembangunan. Memang ada beberapa penyakit yang prevalensinya telah amat luas tersebar melalui kegiatan–kegiatan pembangunan, sehingga Hughes dan Hunter menganjurkan penggunaan istilah “penyakit–penyakit pembangunan” atau dengan istilah lain yang serupa, penyakit–penyakit “iatrogenik” yang terjadi akibat pengobatan medis dan penyakit – penyakit “developo – genik”.
Penyebab-penyebab lahirnya “penyakit Pembangunan” adalah sebagai berikut.
a.              Pembangunan lembah sungai,
b.             Pembudidayaan tanah,
c.              Pembangunan jalan raya,
d.             Urbanisasi, dan
e.              Program-program kesehatan masyarakat.[18]

C.           Sistem Medis
1.             Sistem medis sebagai strategi adaptasi sosial-budaya
Dalam subbab ini, pemakalah akan memaparkan mengenai kerangka berfikir pranata sosio-budaya. Selain itu, penulis juga akan strategi adaptasi biologis yang dianggap melahirkan evolusi manusia, dan strategi adaptasi sosial-budaya yang melahirkan sistem medis, tingkah laku dan bentuk-bentuk kepercayaan yang berlandaskan budaya, yang timbul secara respon terhadap ancaman-ancaman yang disebabkan oleh penyakit.
Penyakit merupakan kondisi manusia yang dapat diramalkan; dan merupakan gejala biologis maupun kebudayaan yang bersifat universal. Dalam ketiadaan keterampilan untuk menyembuhkan, maka menghindar atau meninggalkan adalah perilaku adaptif, yang merupakan sejenis obat preventif, dimana “karantina” primitif mengurangi bahaya terkenanya individu-individu yang sehat oleh kuman-kuman atau virus yang menular. Seperti halnya pada hewan, individu yang mengidap penyakit infeksi menghadapkan rekan-rekannya pada epidemi penyakit.
Namun pada dasarnya manusia lebih sering berusaha menyembuhkan si sakit, daripada mengkarantinanya. Bentuk perhatian ini bukan semata-mata manusiawi, walaupun ada pada sebagian masyarakat merawat yang sakit, melainkan suatu bentuk tingkah laku adaptif baru yang didasari logika dan juga rasa kasih. Setiap individu memiliki perannya masing-masing dalam kehidupan. Ketika penyakit menyerang, peran tersebut akan tidak dapat dilakoninya. Oleh karena itulah diperlukan adanya perawatan pada penderita sakit. Hal ini dimaksudkan agar penderita dapat kembali pada perannya ketika telah sembuh.
Upaya penyembuhan ini akan menghasilkan waktu yang cukup banyak dan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu masyarakat pada akhirnya menciptakan suatu strategi adaptasi baru dalam menghadapi penyakit. Strategi ini memaksa manusia untuk menaruh perhatian utama pada pencegahan dan pengobatan penyakit. Dalam usahanya untuk menanggulangi penyakit, manusia telah mengembangkan suatu kompleks luas dari pengetahuan, kepecayaan, teknik, peran, norma-norma nilai-nilai, ideologi, sikap, adat-istiadat, upacara-upacara dan lambang-lambang yang saling berkaitan dan membentuk satu sistem yang saling menguatkan dan saling membantu.(Saunders 1954:7) kompleks yang luas tersebut dan hal–hal lainnya yang kita anggap dapat dittambahkan pada daftar tersebut, membentuk suatu “sistem medis”.
Istilah tersebut mencangkup keseluruhan dari pengetahuan kesehatan, kepercayaan, keterampilan, dan praktek-praktek dari para anggota dari tiap kelompok. Istilah tersebut harus digunakan dalam artian komperehensif yang mencangkup seluruh aktivitas klinik, pranata-pranata formal dan informal serta segala aktivitas lain, yang betapapun menyimpangnya, berpengaruh terhadap derajat kesehatan kelompok tersebut dan meningkatkan berfungsinya mesyarakata secara optimal.[19]
2.             Teori penyakit dan sistem perawatan kesehatan
Untuk merumuskan satu konsep yang mengikuti seluruh sistem medis adalah suatu masalah tersendiri, sedangkan menganalisis dan mengkajinya adalah masalah lain. Maka dalam pelaksanaan, Foster mencari subsistem atau pranata-pranata ganda di dalam suatu sistem medis agar dapat menanganinya secara sistematis. Sistem medis dari semua kelompok setidaknya terpecah dalam dua kategori dasar, yaitu; suatu sistem “teori penyakit”dan “sistem perawatan kesehatan”.
Suatu sistem teori penyakit meliputi mengenai kepercayaan-kepercayaan mengenai ciri-citi sehat, sebab-sebab sakit, serta pengobatan dan teknik-teknik penyembuhan lain yang digunakan oleh para dokter. Sistem-sistem teori penyakit berkenaan dengan kausalitas, penjelasan yang diberikan oleh penduduk mengenai hilangnya kesehatan, dan penjelasan mengenai pelanggaran tabu mengenai pencurian jiwa orang mengenai keseimbangan antara unsur panas-dingin dalam tubuh atau kegagalan pertahanan immunologi organ manusia terhadap agen-agen patogen seperti kuman-kuman dan virus. Dengan demikian, suatu sistem teori bagian dari orientasi kognitif anggota-anggota kelompok tersebut.
Suatu sistem perawatan kesehatan adalah suatu pranata sosial yang melibatkan interaksi antara sejumlah orang, setidaknya pasien dan penyembuh. Fugsi yang terwujudkan dari suatu sistem perawatan kesehatan adalah untuk memobilisasi sumber-sumber daya si pasien, yakni keluarganya dan masyarakatnya, untuk menyertakan mereka untuk mengatasi masalah tersebut.












[1] Makalah ini disusun oleh, Anita (1110015000015), pada tanggal 25 Desember 2012                                        
[2] George M. Foster dan Barbara Gallatin Anderson, Terj. Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swarsono, Antropologi Kesehatan, (Jakarta: UI-Press1986), Hlm. 1.
[3] George M. Foster dan Barbara Gallatin Anderson, Terj. Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swarsono, Antropologi Kesehatan, (Jakarta: UI-Press1986), Hlm. 2.
[4] George M. Foster dan Barbara Gallatin Anderson, Terj. Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swarsono, Antropologi Kesehatan, (Jakarta: UI-Press1986), Hlm. 5.
[5] George M. Foster dan Barbara Gallatin Anderson, Terj. Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swarsono, Antropologi Kesehatan, (Jakarta: UI-Press1986), Hlm. 6.
[6] George M. Foster dan Barbara Gallatin Anderson, Terj. Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swarsono, Antropologi Kesehatan, (Jakarta: UI-Press1986), Hlm. 7.
[7] George M. Foster dan Barbara Gallatin Anderson, Terj. Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swarsono, Antropologi Kesehatan, (Jakarta: UI-Press1986), Hlm. 7.
[8] George M. Foster dan Barbara Gallatin Anderson, Terj. Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swarsono, Antropologi Kesehatan, (Jakarta: UI-Press1986), Hlm. 8.
[9] George M. Foster dan Barbara Gallatin Anderson, Terj. Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swarsono, Antropologi Kesehatan, (Jakarta: UI-Press1986), Hlm. 8.
[10] George M. Foster dan Barbara Gallatin Anderson, Terj. Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swarsono, Antropologi Kesehatan, (Jakarta: UI-Press1986), Hlm. 10.
[11] George M. Foster dan Barbara Gallatin Anderson, Terj. Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swarsono, Antropologi Kesehatan, (Jakarta: UI-Press1986), Hlm. 11.
[12] George M. Foster dan Barbara Gallatin Anderson, Terj. Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swarsono, Antropologi Kesehatan, (Jakarta: UI-Press1986), Hlm. 13.
[13]  Lihat: George M. Foster dan Barbara Gallatin Anderson, Terj. Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swarsono, Antropologi Kesehatan, (Jakarta: UI-Press1986), Hlm. 21-23.
[14] Lihat: George M. Foster dan Barbara Gallatin Anderson, Terj. Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swarsono, Antropologi Kesehatan, (Jakarta: UI-Press1986), Hlm. 23-25.
[15] Lihat: George M. Foster dan Barbara Gallatin Anderson, Terj. Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swarsono, Antropologi Kesehatan, (Jakarta: UI-Press1986), Hlm. 25-27.
[16] Lihat: George M. Foster dan Barbara Gallatin Anderson, Terj. Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swarsono, Antropologi Kesehatan, (Jakarta: UI-Press1986), Hlm. 27-29.
[17] Lihat: George M. Foster dan Barbara Gallatin Anderson, Terj. Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swarsono, Antropologi Kesehatan, (Jakarta: UI-Press1986), Hlm. 29-32.
[18] Penjelasan lengkap dapat lihat: Lihat: George M. Foster dan Barbara Gallatin Anderson, Terj. Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swarsono, Antropologi Kesehatan, (Jakarta: UI-Press1986), Hlm. 32-38.
[19] Lihat: George M. Foster dan Barbara Gallatin Anderson, Terj. Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swarsono, Antropologi Kesehatan, (Jakarta: UI-Press1986), Hlm. 41-45.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar