Rabu, 12 September 2012

Akidah Akhlak Tasawuf


PEMAHAMAN BERAGAMA
oleh, Anita Rachmat Putri

Usia agama telah mencapai ribuan tahun, setua usia manusia itu sendiri. Meski demikian saat ini agama masih dipersoalkan oleh manusia. Pada masyarakat modern, terutama di kalangan intelektual Barat, muncul sebuah pertanyaan yang menggelitik tentang agama, yaitu; “Apakah agama masih relevan dengan kehidupan manusia dewasa ini?” Kenyataan yang menunjukkan bahwa fenomena agama justru semakin kuat pada era globalisasi dunia, memunculkan pertanyaan lain; “Apakah manusia bisa melepaskan diri dari agama? atau, adakah alternatif lain yang dapat menggantikan peran agama?[1] Pertanyaan–pertanyaan tersebut muncul dikarenakan pemahaman yang salah mengenai agama. Hal ini dilatar belakangi oleh perkembangan peradaban Barat setelah Era Renaissance.
Sebagaimana diketahui, Renaissance menjadi tonggak awal berdirinya pemahaman baru dalam ilmu pengetahuan Barat. Selama berpuluh abad setelah keruntuhan Yunani dan Romawi, peradaban Barat di kendalikan oleh gereja. Pada masa dominasi gereja, ilmu pengetahuan tidak dapat berkembang pesat. Ilmu pengetahuan hanya akan disebut ilmu ketika tidak menentang doktrin agama kristen yang menjadi agama resmi negara. Ketika ilmu pengetahuan dianggap bertentangan, tidak segan gereja mengeksekusi mati para ilmuwan dengan cara dibakar hidup-hidup karena dianggap melakukan Heresy (penyimpangan).[2]
Berdasarkan latar belakang ini, para imuwan Barat mencoba keluar dari hegemoni yang dilakukan gereja. Diawali dengan pemberontakan Marthin Luther King untuk mereformasi ajaran inti agama Kristen. Luther menganggap bahwa berbagai penyimpangan terjadi karena penafsiran yang salah terhadap ajaran kristus. Akibat pemberontakan ini akhirnya Kristen terpecah menjadi dua bagian besar, Katholik dan Protestan. Latar belakang penindasan Brutal terhadap Kaum non-kristen dan kelompok yang dianggap kafir lainnya, yang lantas melahirkan trauma terhadap agama.[3]
Konflik kedua agama ini tidak kunjung berakhir hingga akhirnya melahirkan reformasi besar-besaran dalam berbagai bidang kehidupan. Salah satunya adalah persepsi kolektif tentang perlunya sekularisasi. Teks Bible juga dianggap bermasalah, sehingga diperlukan tafsiran ulang dengan menggunakan metode hermeneutika.
Dengan hal ini, akan sangat membahayakan ketika metode hermeneutika diterapkan dalam penafsiran Al Qur’an. Penafsiran yang telah baku selama berpuluh abad dalam tradisi keilmuwan Islam menjadi tidak dianggap relevan. Al Qur’an diposisikan sebagai sebuah teks biasa seperti hal lainnya. Padahal hal ini tidak dapat dijadikan pijakan. Sebagaimana diketahui, Al Qur’an tidak pernah mengalami problema sebagaimana problema teks Bible. Ketika Al Qur’an ditafsirkan bukan dengan metode yang benar, pemahaman terhadap agama ini-pun akan bermasalah.

A.          Definisi Agama, Religion, dan Konsep Islam Tentang Diin
Agama berasal dari bahasa Sansekerta yang merupakan gabungan dari kata a = tidak, dan gama = kacau. Ketika disatukan agama bermakna tidak kacau, tidak lari atau ugama (aturan). Dalam bahasa Inggris, agama dinyatakan dengan istilah Religion yang berasal dari bahasa latin, religio atau religare yang berarti mengikat. Sedangkan dalam Islam, agama diberi istilah Din yang merupakan bahasa Arab dari huruf dyn atau Dana-yadinu.
Diin memiliki banyak arti yang terlihat kontradiktif satu sama lainnya, namun ketika ditelisik lebih dalam, kesemua makna ini saling berkaitan dan membentuk konsep yang jelas. Diin dapat didefinisikan kedalam 4 makna, yaitu keberhutangan, penyerahan diri, kekuatan peradilan, dan fitrah (kecenderungan alami).
Makna pertama din adalah suatu kondisi keberhutangan antara yang memiliki hutang dan memberikan hutang. Makna keberhutangan ini sesuai dengan surat Al A’raf ayat 72. Ketika manusia berada di alam ruh, Allah SWT bertanya. “Alastu bi rabbikum (Apakah saya Tuhan kalian?)”, dan ruh manusia serempak menjawab, “bala (tentu saja Engkau Tuhan kami)”, “syahidna (kami menyaksikannya).” Ketika ruh telah diambil kesaksiannya, maka ruh tersebut dimasukkan ke dalam jasad ke dunia. Jasad dan seluruh potensi didalamnya merupakan pinjaman dari Allah SWT.  Inilah yang disebut hutang manusia, yaitu mengenai eksistensi (keberadaan) manusia di dunia dari ketiadaan menjadi ada. Lebih jauh Al Attas menggambarkannya sebagai berikut.
Kata kerja dana yang berasal dari din memberikan arti berhutang, termasuk berbagai arti lainnya yang sehubungan dengan hutang, beberapa diantaranya berlawanan. Dalam keadaan seseorang mendapatkan dirinya dalam keadaan hutang - yang dikatakan seorang da’in – kesimpulannya adalah orang itu menundukkan dirinya dalam artian menyerah dan patuh kepada hukum dan peraturan yang mengatur hutang, adapun pula dalam artian yang terbatas kepada yang berpiutang, yang juga ditunjukkan sebagai da’in. dalam keadaan tersebut diatas, terbawakan juga fakta bahwa orang yang berada dalam hutang berarti berada dalam kewajiban atau dayn. Berada dalam hutang dan dibawah kewajiban sudah tentu melibatkan pertimbangan: daynunah dan keputusan: idanah bagaimana keadaannya saja.[4]
Hutang keberadaan ada agar manusia dapat melakukan perniagaan. Tidak mengherankan bahwa dalam Al Qur’an terdapat banyak terminologi ibadah yang diartikan perniagaan.[5] Allah memberikan terminologi ini karena manusia telah diberikan modal untuk mencari keuntungan. Keuntungan yang dimaksud adalah dalam hal amal ibadah.
Manusia diturunkan kedunia dalam keadaan berhutang atas penciptaannya. Oleh karena itulah manusia disebut merugi innal insaana lafi husrin.[6] Ketika manusia tidak melakukan ibadah, ataupun diam saja tidak melakukan maksiat maupun amal kebajikan, tetap dikatakan merugi. Hal ini juga disebabkan manusia telah diberikan modal, namun tidak menggunakannya dengan baik. Modal ini haruslah dikembalikan kepada yang menghutangi dalam keadaan untung, ketika rugi, maka manusia memperoleh hukuman.
Perhitungan modal secara matematis ini akan dilaksanakan secara adil pada hari audit (yaumiddin). Inilah definisi din yang kedua, yaitu kekuatan peradilan. Kesemua hutang yang dipinjamkan oleh Allah SWT kepada manusia dikembalikan pada hari ini. Modal yang untung maupun rugi akan dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT. Dalam perniagaan ini, manusia diwajibkan memperoleh keuntungan untuk memperoleh balasan terbaik atas keuntungannya tersebut bahkan dengan balasan yang berlipat ganda.[7]
Makna ketiga dari din adalah fitrah. Manusia yang memiliki hutang kepada Allah SWT akan mengalami kegelisahan ketika tidak mampu membayar maupun menolak pembayaran. Sama halnya dengan kehidupan yang dialami manusia ketika menolak pembayaran terhadap kewajibannya. Dia akan merasakan kegelisahan karena merasa dikejar-kejar oleh pemberi hutang.
Makna keempat adalah aslama yang berarti pasrah (tunduk). Konsep kepasrahan ini harus terbina dalam diri setiap Muslim. Kepasrahan ini tercermin dengan pelaksanaan syariat dalam hubungan dengan Allah SWT, dirinya sendiri, maupun masyarakat. Karen menjelaskan lebih lanjut bahwa; agama yang dibawa oleh Muhammad dinamai Islam (ketundukan); Muslim adalah pria dan wanita yang telah melakukan penyerahan kehidupan mereka kepada Tuhan (Allah).[8]
Yang terpenting dalam semua konsep ini adalah ketika manusia menyebutkan istilah din, yang terbayang adalah Islam dengan segala konsepnya. Karena hanya Islam yang menyerahkan diri secara total terhadap Penciptanya. Dinyatakan pula secara tegas dalam Al-Qur’an bahwa “innaddiina indallahil Islam (Sesungguhnya din yang diridhai Allah hanyalah Islam).[9] Dan ketika ada pertanyaan mengenai dalil “lakum diinukum waliyadiin (untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku)”[10], bukanlah untuk menyamakan atau memperluas definisi din itu sendiri. Karena yang dimaksudkan dalam dalil ini adalah penegasan bahwa tidak ada din yang benar selain Islam. Yang lainnya merupakan din palsu seperti perumpamaan uang palsu yang bukan merupakan uang asli yang dapat dibelanjakan.

B.           Agama sebagai Fitrah
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, makna din merupakan satu kesatuan utuh yang saling berkaitan. Salah satu dari keempat makna tersebut adalah fitrah (kecenderungan alami). Dalam pandangan Islam, beragama adalah fitrah manusia. Artinya, semua manusia menyadari atau tidak mereka sebenarnya secara fitri membutuhkan agama.[11] Menurut Abraham Maslow[12], beragama merupakan salah satu kebutuhan manusia. Hanya saja kebutuhan tersebut tidak terkait dengan Basic Need, sehingga dapat dikesampingkan dan ditunda pemenuhannya.
Sejarah Barat telah menunjukan bagaimana konflik antara ilmuwan dengan gereja. Al-Attas menguraikannya dalam bab terakhir buku Risalah untuk Kaum Muslimin.
Justeru pada abad kelimabelas dan abad keenambelas, pada zaman dalam sejarah Barat yang digelar zaman Renaissance, orang barat sudah mulai hilang minat terhadap agama Kristian. Mereka telah menumpukkan segala usahanya terhadap mengejar ilmu pengetahaun Yunani dan Rumawi purba, yang telah lama mereka lupakan dan pada masa itu sedang mereka ingati dan kenali semula…
Dengan terdapatnya semula sumber-sumber purba yang begitu disanjung keutamaannya, maka penerimaan segala nilai ukuran serta cara-gaya dan gaya-fikir falsafah Kristian Abad Pertengahan telah ditolak, dan kewibawaannya telah dipersoalkan. Pandangan alam yang ditayangkan dihadapan-dihadapan renungannya oleh sumber-sumber purba itu sangat mengharukan cita dan rasa seolah-olah dunia dan insan yang tertanggap pada akalnya semata-mata yang baharu belaka; dan teoogi serta metafizika Kristian tiada lain baginya untuk menafsirkan hakikat semesta, dan hanyalah ilmu yang baharu itu, yang modern, yang diterima baik sebagai ganti mentafsirkan hakikat semesta dengan cara dan gaya sains.[13]
Dalam peradaban Barat, ilmu menjadi diatas segalanya. Ilmu atau sains dijadikan sebagai penentu kebenaran. Dengan demikian ketika doktrin agama bertentangan dengan ilmu, maka doktrin tersebut dinyatakan salah. Namun nyatanya ilmuwan yang meninggalkan agama dan berusaha mencari penggantinya, tetapi lagi–lagi, mereka tidak bisa meninggalkan agama.[14] Pada dasarnya manusia memiliki perasaan takut dan harapan. Jika hal ini tidak terpenuhi, maka akan terjadi sebuah kegoncangan dalam jiwanya. Manusia harus tetap mencari perlindungan kepada Yang Maha Kuat, yaitu Tuhan.
Achmad Mubarak menggambarkannya dengan kisah seorang jenderal atheis ketika melepas pasukannya ke medan perang tidak bisa menghindari ucapan; semoga kalian sukses. Kalimat semoga adalah ungkapan kurang percaya diri dan mengharap campur tangan kekuatan dari Yang Maha Kuat.[15] Kejadian lainnya adalah ketika Gorbachev, seorang pemimpin Negara adidaya pada masanya (Uni Soviet) mengalami gangguan dalam penerbangan. Gorbachev merasa cemas dan secara tidak disadari menyebut kalimat “oh My God”. Namun setelah penerbangan telah kembali normal, Gorbachev kembali mendustai keberadaan Tuhan.
Pendustaan terhadap Tuhan ini merupakan pelanggaran terhadap fitrah. Setiap manusia telah berjanji mengesakan Allah SWT pada hari alastu. Lebih jauh al-Attas menggambarkannya sebagai berikut.
Semua jiwa mempunyai kedudukan yang sama dalam hubungannya dengan Tuhan mereka: semuanya tunduk, dimiliki, dipunyai, diperintah, diatur, dikuasai, diciptakan, dan dikasihi oleh Tuhan.[16]
Ketika manusia terbimbing secara wahyu, mereka akan mengingat perjanjian tersebut. Disamping syarat lain yang mengharuskan manusia membersihkan ruhnya dari berbagai penyakit hati.  Ingatan dalam hal ini berupa kesadaran yang harus dipandu dengan ilmu, bukan dengan perasaan semata. Kejadian tersebut akan teringat dengan sendirinya ketika manusia kembali pada fitrahnya untuk beriman kepada Allah SWT.
Kecenderungan alami pada manusia untuk berbakti dan menyembah Allah juga ditunjukkan sebagai din, seperti kita telah tinjau pada permulaan dalam hubungannya dengan konotasi-konotasinya seperti adat, kebiasaan dan pembawaan. Namun dalam konteks religious di sini, itu mempunyai arti yang lebih khusus dari keadaan berada yang alami disebut fitrah, sesungguhnya din juga disebut fitrah.[17]
Disisi lain, Mutadla Mutthahari dalam bukunya Allah fi Hayat al-Insan menggambarkan hubungan ilmu dengan agama dalam kehidupan manusia, dengan ungkapan:
Ilmu mempercepat anda sampai ke tujuan, Agama menentukan arah yang dituju
Ilmu menyesuaikan manusia dengan lingkungannya, Agama menyesuaikan dengan jati dirinya
Ilmu hiasan lahir, sedang agama hiasan batin
Ilmu memberikan kekuatan dan menerangi jalan, Agama memberi harapan dan dorongan bagi jiwa
Ilmu menjawab pertanyaan yang dimulai dengan “bagaimana“, Agama menjawab, yang dimulai dengan “mengapa “
Ilmu tidak jarang mengaruhkan pikiran pemiliknya, sedang Agama selalu menenangkan jiwa pemeluknya yang tulus.
Ungkapan tersebut diatas secara jelas menggambarkan pembagian tugas antara ilmu dengan agama, dimana peran agama dalam kehidupan tidak bisa digantikan oleh ilmu dan teknologi.[18] Dapat dikatakan pula, ilmu dan teknologi yang berlepas dari wahyu merupakan suatu kesalahan.
Manusia adalah makhluk yang sempurna. Secara konseptual terdiri atas ruh dan fisik. Jiwa manusia mengatur raganya seperti Allah mengatur alam semesta. Manusia juga memiliki dua jiwa sejalan dengan sifatnya yang ganda: yang tinggi jiwa rasional, al nafs al-natiqah dan yang rendah, jiwa hewani atau badani, al nafs al-hayawaniyyah.
 Potensi yang diberikan Allah SWT kepada manusia harus dapat dipergunakan sebaik mungkin. Hal tersebut merupakan pinjaman dari Allah SWT. Suatu saat ketika tiba masanya, semua potensi yang dipinjamkan tersebut haruslah dikembalikan. Ketika dikembalikan manusia telah terlepas dari fitrahnya, secara otomatis peminjam akan marah dan memberikan hukuman. Karena telah nyata yang hak dan bathil dengan petunjuk wahyu. Kesemuanya hanya menuntut manusia dapat mengendalikan al nafs al-hayawaniyah dibawah kendali al nafs al-natiqoh.

C.          Makna Agama dalam Kehidupan
Dalam kehidupan, manusia dipandu oleh empat petunjuk secara bertingkat; khabbar shoddiq (kabar yang benar) yang terdiri dari pertama Al Qur’an dan kedua; Al Hadits, ketiga; akal, dan keempat; intuisi. Manusia akan memperoleh keselamatan ketika berjalan diatas jalan yang benar. Jalan yang benar tersebut bersumber dari khabbar soddiq berupa Al Qur’an dan Al Hadits. Setelah terbimbing dengan khobbar soddiq, manusia dapat menggunakan akalnya. Sebagaimana telah kita ketahui, pembeda manusia dengan hewan adalah akal. Dengan akal manusia dapat mengelola alam dan memecahkan masalah, dapat pula membedakan baik dan buruk, yang patut dan yang tidak. Oleh karena itu, dengan tegas Al Qur’an menyatakan bahwa seseorang yang tidak menggunakan akalnya lebih sesat dari binatang ternak.
Akan tetapi kehidupan juga yang menunjukan bahwa dengan akal saja, manusia tidak sanggup menemukan kebenaran, kebaikan dan keindahan. Kehancuran sumberdaya alam, runtuhnya martabat manusia dan penderitaan yang dialami oleh sebagian penduduk bumi, adalah produk dari kekeliruan pendapat akal. Akal tidak menjamin manusia untuk memperoleh kebahagiaan yang sebenarnya. Allah SWT memberikan petunjuk tertinggi bagi umat manusia berupa wahyu. Al Qur’an disebut sebagai petunjuk bagi orang–orang yang betakwa, hudan lil muttaqin (QS 2:2).[19]

D.          Agama dan Penganutnya
Setiap manusia baik yang beriman maupun yang tidak tetap berkewajiban melaksanakan syariat Allah. Dalam surat Adzzariyat ayat 56 telah nyata tujuan penciptaan manusia yaitu; “wa maa khalaktul jinna wal insaani illa liya’buduun (Aku hanya menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembah-Ku).Tidak ada pengecualian pada manusia untuk tidak beribadah kepada Allah. Sebagaimana perjanjian manusia saat masih berupa ruh pada hari alastu.[20]
Menurut kitab suci Al Qur’an manusia tidak dapat terlepas dari keberadaannya dalam keadaan kehidupan din karena semuanya patuh (aslama) kepada kehendak Tuhan. Sekalipun demikian istilah din dipakai juga untuk menunjuk agama-agama lain selain daripada Islam. Namun apa yang membuat Islam berbeda dari agama-agama lain itu ialah bahwa kepatuhan menurut Islam ialah kepatuhan yang total kepada kehendak Tuhan, dan ini dilaksanakan dengan berkemauan sebagai ketaatan mutlak terhadap hukum yang diwahyukan oleh-Nya.[21]  
Perlu ditekankan bahwa ketika seorang Muslim telah memaknai din dengan baik tidak akan ada kecacatan dalam jiwanya. Kepribadiannya mencerminkan akhlak yang luhur sebagaimana Rasulullah yang menjadi “uswatun hasanah (teladan yang baik). Didalam diri Rasulullah tidak ada penyakit hati seperti ummatnya. Namun ketika ummatnya mampu menjaga jiwa hewani untuk selalu tunduk pada jiwa rasional, kepribadiannya akan dapat mencerminkan seluruh ajaran Islam.

E.           Siapa Saya di “Mata” Tuhan
Setiap Muslim adalah seorang khalifah Allah di bumi, demikian pula dia adalah hamba-Nya, ‘abdi-Nya, yang berusaha dengan dirinya untuk menyempurnakan pelayanan dan ibadahnya dengan cara yang diridhai Allah, penguasa mutlaknya. Ia tidak hanya sekedar seekor binatang yang makan, minum, tidur, dan bersenang-senang sesudah kenikmatan hawa nafsunya[23]-bukanlah seorang biadab atau seorang jalang ia yang melampaui dirinya dalam realisasi pertanggungjawabannya yang berat dan kesadarannya akan kebebasan guna memenuhi dan membebaskan dirinya dari beban kehidupan.[24]
Satu di antara 99 nama Allah al-Asma al-Husna adalah al-Alim dan al-Bashir, artinya Allah Maha Mengetahui. Ilmu Allah luas tak terbatas dan Allah mampu melihat sesuatu secara total, yang nampak maupun yang tidak nampak tanpa memerlukan alat. Allah tidak akan salah paham terhadap manusia.[25]
            Kesadaran akan posisi itu berhubungan dengan psikologi hubungan manusia dengan Tuhannya. Ada empat model hubungan manusia dengan Tuhannya.
1.            Model hubungan budak dengan tuannya. Budak selalu takut kepada tuannya karena biasanya sering menjadi sasaran kemarahan tuannya atau sering dikambing hitamkan setiap kali ada kesalahan.
2.            Model hubungan kuli dan majikan. Psikologi kuli itu sederhana, berpikir mingguan.
3.            Model hubungan pedagang dan pembeli. Pedagang dengan senang hati memperlakukan pembeli sebagai raja, karena dari pembeli itulah ia memperoleh keuntungan.
4.            Model hubungan orang yang berhutang budi dengan orang yang berjasa, hubungan antara syakir dan masykur. Psikologi orang yang berhutang budi adalah ingi membalas budi. Budi baik orang berjasa itu rasanya sangat besar, sehingga dengan apapun ia tidak mampu membalasnya.
5.            Model hubungan pecinta dengan kekasihnya. Logika orang yang sedang dimabuk cinta biasanya sangat berbeda dengan orang lain.

Kesimpulan
Usia agama telah mencapai ribuan tahun, setua usia manusia itu sendiri. Meski demikian saat ini agama masih dipersoalkan oleh manusia. Pada masyarakat modern, terutama di kalangan intelektual Barat, muncul sebuah pertanyaan yang menggelitik tentang agama, yaitu; “Apakah agama masih relevan dengan kehidupan manusia dewasa ini?” Kenyataan yang menunjukkan bahwa fenomena agama justru semakin kuat pada era globalisasi dunia, memunculkan pertanyaan lain; “Apakah manusia bisa melepaskan diri dari agama? atau, adakah alternatif lain yang dapat menggantikan peran agama? Pertanyaan–pertanyaan tersebut muncul dikarenakan pemahaman yang salah mengenai agama.
Agama berasal dari bahasa Sansekerta yang merupakan gabungan dari kata a = tidak, dan gama = kacau. Ketika disatukan agama bermakna tidak kacau, tidak lari atau ugama (aturan). Dalam bahasa Inggris, agama dinyatakan dengan istilah Religion yang berasal dari bahasa latin, religio atau religare yang berarti mengikat. Sedangkan dalam Islam, agama diberi istilah Din yang merupakan bahasa Arab dari huruf dyn atau Dana-yadinu. Din memiliki banyak arti yang terlihat kontradiktif satu sama lainnya, namun ketika ditelisik lebih dalam, kesemua makna ini saling berkaitan dan membentuk konsep yang jelas. Diin dapat didefinisikan kedalam 4 makna, yaitu keberhutangan, penyerahan diri, kekuatan peradilan, dan fitrah (kecenderungan alami).
Menurut kitab suci Al Qur’an manusia tidak dapat terlepas dari keberadaannya dalam keadaan kehidupan din karena semuanya patuh (aslama) kepada kehendak Tuhan. Sekalipun demikian istilah din dipakai juga untuk menunjuk agama-agama lain selain daripada Islam. Namun apa yang membuat Islam berbeda dari agama-agama lain itu ialah bahwa kepatuhan menurut Islam ialah kepatuhan yang total kepada kehendak Tuhan, dan ini dilaksanakan dengan berkemauan sebagai ketaatan mutlak terhadap hukum yang diwahyukan oleh-Nya.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1981. Islam dan Sekularisme, Terj. Karsidjo Djojosuwarno. Bandung: Salman ITB
_____________________________. 1996. Prolegomena to The Methaphisic of Islam. Kuala Lumpur:??.
_____________________________. 2001. Risalah untuk Kaum Muslimin.  Kuala Lumpur: Institut Antarbangsa Pemikiran dan Tamaddun Islam (ISTAC).
Armstrong, Karen. 2004. Perang Suci (dari Perang Salib hingga Perang Teluk). Bandung: Mizan.
______________. 2007. Awal Sejarah Tuhan, Terj. Yuliani Liputo. Bandung: Mizan.
Daud, Wan Mohd Nor Wan Daud. 2012. Rihlah Ilmiah (dari Neomodernisme ke Islamisasi Ilmu Kontemporer). Jakarta: UTM-CASIS dan INSISTS.
Husaini, Adian. 2005. Wajah Peradaban Barat (dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal). Jakarta: Gema Insani.
Mubarok, Achmad. 2005. Meraih Kebahagiaan dengan Bertasawuf. Jakarta: Paramadina.
Zarkasy, Hamid Fahmi, dkk. 2010. Membangun Peradaban dengan Ilmu. Depok: Kalam Ilmu Indonesia.



[1] Achmad Mubarak, Meraih Kebahagiaan dengan Bertasawuf, (Jakarta: Paramadina, 2005), Hlm.1.
[2] Banyak buku yang dapat dijadikan rujukan mengenai sejarah kelam peradaban Barat. Salah satunya buku “Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World” karya Karen Armstrong seorang mantan biarawati. Dalam buku yang diterjemahkan oleh berjudul Perang Suci, Karen menggambarkan berbagai kekejaman yang dilakukan gereja selama beratus tahun. Pada masa itu, paus dianggap sebagai wakil Tuhan dan mempunyai sifat tidak pernah salah. Ketika dianggap terjadi sebuah heresy (penyimpangan), dengan semangat Kristusnya Paus memerintahkan pembakaran hidup-hidup kepada para pelaku bid’ah. Tindakan keji ini nyatanya bukanlah ajaran Yesus Kristus namun dilegalisasi gereja bahkan dianggap sebagai hal yang mulia. Oleh karena itu, istilah The Dark Ages dianggap yang paling sesuai untuk menggambarkan keadaan masa itu. Lihat “Perang Suci; Dari perang Salib hingga Perang Teluk, Mizan 2004.”
[3] Adian husaini, Wajah Peradaban Barat dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular Liberal, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), Hlm.31.
[4] Syed Muhammad Naquib Al Attas, Islam dan Sekularisme, (Bandung: Salman ITB, 1981), Hlm. 73.
[5] Lihat Q.S At taubah ayat 111 yang diterjemahkan menjadi, “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin.” Makna membeli disini dapat diartikan sebagai proses jual beli atau perniagaan yang sesungguhnya menguntungkan manusia. Allah memberikan hutang keberadaan pada manusia, dan diperlukan keimanan agar hutang tersebut dapat dikembalikan dalam keadaan untung. Keuntungan tersebut akan diperolehnya seperti memperoleh rabah (Q.S 3:167). Dengan demikian seseorang yang cerdas akan berusaha dengan sebaik mungkin menghambakan diri (dana nafsahu) dan bekerja untuk apa yang ada setelah kematian. Lih. Syed Muhammad naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, (Bandung: Salman ITB, 1981), Hlm.79-82.
[6] Q.S Al Asr ayat 2.
[7] “Siapakah yang mau memberi pinjaman (yuqridhu) kepada Allah, pinjaman yang baik (qardan hasanan; menafkahkan hartanya dijalan Allah), maka Allah akan melipat-gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Q.S Al Baqarah ayat 245.
[8] Karen Armstrong, The Great Transformation. Terj. Yuliani Liputo, (Bandung: Mizan, 2007), Hlm. 417.
[9][9] Q.S Al Imran ayat 19.
[10] QS Al Kafirun ayat 6.
[11] Achmad Mubarak, Meraih Kebahagiaan dengan Bertasawuf, (Jakarta: Paramadina, 2005), Hlm.2
[12] Abraham Maslow (lahir 1 April 1908 – meninggal 8 Juni 1970 pada umur 62 tahun) adalah teoretikus yang banyak memberi inspirasi dalam teori kepribadian. Ia juga seorang psikolog yang berasal dari Amerika dan menjadi seorang pelopor aliran psikologi humanistik. Ia terkenal dengan teorinya tentang hirarki kebutuhan manusia.
[13] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), Hlm. 203.
[14] Achmad Mubarak, Meraih Kebahagiaan dengan Bertasawuf, (Jakarta: Paramadina, 2005), Hlm.2.
[15] Achmad Mubarak, Meraih Kebahagiaan dengan Bertasawuf, (Jakarta: Paramadina, 2005), Hlm.2.
[16] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, (Bandung: Salman ITB, 1981), Hlm. 99-100.
[17] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, (Bandung: Salman ITB, 1981), Hlm. 85.
[18] Achmad Mubarak, Meraih Kebahagiaan dengan Bertasawuf, (Jakarta: Paramadina, 2005), Hlm. 2-3.
[19] Achmad Mubarak, Meraih Kebahagiaan dengan Bertasawuf, (Jakarta: Paramadina, 2005), Hlm. 5.
[20] Lihat kembali surat Al A’raf ayat 72.
[21] Syed Muhammad naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, (Bandung: Salman ITB, 1981), Hlm. 88.
[22] Achmad Mubarak, Meraih Kebahagiaan dengan Bertasawuf, (Jakarta: Paramadina, 2005), Hlm. 6-7.
[23]  QS 33:72.
[24]  Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, (Bandung: Salman ITB, 1981), Hlm. 93.
[25] Achmad Mubarak, Meraih Kebahagiaan dengan Bertasawuf, (Jakarta: Paramadina, 2005), Hlm. 7-8.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar