PEMAHAMAN BERAGAMA
oleh, Anita Rachmat Putri
Usia agama telah mencapai ribuan tahun,
setua usia manusia itu sendiri. Meski
demikian saat ini agama masih dipersoalkan oleh manusia. Pada masyarakat
modern, terutama di kalangan intelektual Barat, muncul sebuah pertanyaan yang
menggelitik tentang agama, yaitu; “Apakah agama masih relevan dengan kehidupan
manusia dewasa ini?” Kenyataan yang menunjukkan bahwa fenomena
agama justru semakin kuat pada era globalisasi dunia, memunculkan pertanyaan
lain; “Apakah
manusia bisa melepaskan diri dari agama?”
atau, “adakah alternatif lain yang dapat menggantikan peran agama?”[1]
Pertanyaan–pertanyaan tersebut muncul dikarenakan pemahaman yang salah mengenai agama. Hal ini
dilatar
belakangi oleh perkembangan
peradaban Barat setelah Era Renaissance.
Sebagaimana
diketahui, Renaissance menjadi tonggak awal berdirinya pemahaman baru dalam
ilmu pengetahuan Barat. Selama berpuluh abad setelah keruntuhan
Yunani dan Romawi, peradaban Barat di kendalikan oleh gereja. Pada masa
dominasi gereja, ilmu pengetahuan tidak dapat berkembang pesat. Ilmu pengetahuan hanya akan disebut ilmu
ketika tidak menentang doktrin agama kristen yang menjadi agama resmi negara.
Ketika ilmu pengetahuan dianggap bertentangan, tidak segan gereja mengeksekusi
mati para ilmuwan dengan cara dibakar hidup-hidup karena dianggap melakukan
Heresy (penyimpangan).[2]
Berdasarkan latar belakang ini, para
imuwan Barat mencoba keluar dari hegemoni yang dilakukan gereja. Diawali dengan
pemberontakan Marthin Luther King untuk mereformasi ajaran inti agama Kristen. Luther
menganggap bahwa berbagai penyimpangan terjadi karena penafsiran yang salah
terhadap ajaran kristus. Akibat
pemberontakan ini akhirnya Kristen terpecah menjadi dua bagian
besar, Katholik dan Protestan. Latar belakang penindasan Brutal terhadap Kaum
non-kristen dan kelompok yang dianggap kafir lainnya, yang lantas melahirkan
trauma terhadap agama.[3]
Konflik kedua agama ini tidak kunjung
berakhir hingga akhirnya melahirkan reformasi besar-besaran dalam berbagai
bidang kehidupan. Salah satunya adalah persepsi kolektif tentang perlunya
sekularisasi. Teks Bible juga dianggap bermasalah, sehingga diperlukan tafsiran
ulang dengan menggunakan metode hermeneutika.
Dengan hal ini, akan sangat membahayakan
ketika metode hermeneutika diterapkan dalam penafsiran Al Qur’an. Penafsiran
yang telah baku selama berpuluh abad dalam tradisi keilmuwan Islam menjadi
tidak dianggap relevan. Al Qur’an diposisikan sebagai sebuah teks biasa seperti
hal lainnya. Padahal hal ini tidak dapat dijadikan pijakan. Sebagaimana diketahui, Al Qur’an
tidak pernah mengalami problema sebagaimana problema teks Bible. Ketika Al
Qur’an ditafsirkan bukan dengan metode yang benar, pemahaman terhadap agama ini-pun
akan bermasalah.
A.
Definisi
Agama, Religion, dan Konsep Islam Tentang Diin
Agama berasal
dari bahasa Sansekerta yang merupakan gabungan dari kata a = tidak, dan gama =
kacau. Ketika disatukan agama bermakna tidak kacau, tidak lari atau ugama
(aturan). Dalam bahasa Inggris, agama dinyatakan dengan
istilah Religion yang berasal dari bahasa latin, religio atau religare
yang berarti mengikat. Sedangkan dalam
Islam, agama diberi istilah Din yang merupakan bahasa Arab dari huruf dyn
atau
Dana-yadinu.
Diin memiliki banyak arti yang terlihat
kontradiktif satu sama lainnya, namun ketika ditelisik lebih dalam, kesemua
makna ini saling berkaitan dan membentuk konsep yang jelas. Diin dapat didefinisikan
kedalam 4 makna, yaitu keberhutangan, penyerahan diri, kekuatan peradilan, dan
fitrah (kecenderungan alami).
Makna pertama din adalah suatu kondisi keberhutangan antara yang memiliki
hutang dan memberikan hutang. Makna keberhutangan ini sesuai dengan surat Al
A’raf ayat 72. Ketika manusia berada di alam ruh, Allah SWT bertanya. “Alastu bi rabbikum (Apakah saya Tuhan
kalian?)”, dan ruh manusia serempak menjawab, “bala (tentu saja Engkau Tuhan
kami)”, “syahidna (kami menyaksikannya).” Ketika ruh telah diambil
kesaksiannya, maka ruh tersebut dimasukkan ke dalam jasad ke dunia. Jasad dan
seluruh potensi didalamnya merupakan pinjaman dari Allah SWT. Inilah yang disebut hutang manusia, yaitu
mengenai eksistensi (keberadaan) manusia di dunia dari ketiadaan menjadi ada.
Lebih jauh Al Attas menggambarkannya sebagai berikut.
Kata kerja dana yang
berasal dari din memberikan arti berhutang, termasuk berbagai arti lainnya yang
sehubungan dengan hutang, beberapa diantaranya berlawanan. Dalam keadaan
seseorang mendapatkan dirinya dalam keadaan hutang - yang dikatakan seorang
da’in – kesimpulannya adalah orang itu menundukkan dirinya dalam artian
menyerah dan patuh kepada hukum dan peraturan yang mengatur hutang, adapun pula
dalam artian yang terbatas kepada yang berpiutang, yang juga ditunjukkan
sebagai da’in. dalam keadaan tersebut diatas, terbawakan juga fakta bahwa orang
yang berada dalam hutang berarti berada dalam kewajiban atau dayn. Berada dalam
hutang dan dibawah kewajiban sudah tentu melibatkan pertimbangan: daynunah dan
keputusan: idanah bagaimana keadaannya saja.[4]
Hutang keberadaan ada agar manusia dapat
melakukan perniagaan. Tidak
mengherankan bahwa dalam Al Qur’an terdapat banyak terminologi ibadah yang
diartikan perniagaan.[5]
Allah memberikan terminologi ini karena manusia telah diberikan modal untuk
mencari keuntungan. Keuntungan yang dimaksud adalah dalam hal amal ibadah.
Manusia diturunkan kedunia dalam keadaan
berhutang atas penciptaannya. Oleh karena itulah manusia disebut merugi “innal
insaana lafi husrin.[6]
Ketika manusia tidak melakukan ibadah, ataupun diam saja tidak melakukan
maksiat maupun amal kebajikan, tetap dikatakan merugi. Hal ini juga disebabkan
manusia telah diberikan modal, namun tidak menggunakannya dengan baik. Modal
ini haruslah dikembalikan kepada yang menghutangi dalam keadaan untung, ketika
rugi, maka manusia memperoleh hukuman.
Perhitungan modal secara matematis ini akan
dilaksanakan secara adil pada hari audit (yaumiddin). Inilah definisi din yang kedua, yaitu kekuatan peradilan. Kesemua
hutang yang dipinjamkan oleh Allah SWT kepada manusia dikembalikan pada hari
ini. Modal yang untung maupun rugi akan dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT.
Dalam perniagaan ini, manusia diwajibkan memperoleh keuntungan untuk memperoleh
balasan terbaik atas keuntungannya
tersebut bahkan dengan balasan yang berlipat ganda.[7]
Makna ketiga dari din adalah fitrah. Manusia yang memiliki hutang kepada
Allah SWT akan mengalami kegelisahan ketika tidak mampu membayar maupun menolak
pembayaran. Sama halnya dengan kehidupan yang dialami manusia ketika menolak
pembayaran terhadap kewajibannya. Dia akan merasakan kegelisahan karena merasa
dikejar-kejar oleh pemberi hutang.
Makna keempat adalah aslama yang berarti pasrah (tunduk). Konsep
kepasrahan ini harus terbina dalam diri setiap Muslim. Kepasrahan ini tercermin
dengan pelaksanaan syariat dalam hubungan dengan Allah SWT, dirinya sendiri,
maupun masyarakat. Karen menjelaskan
lebih lanjut bahwa; agama yang dibawa oleh Muhammad dinamai Islam (ketundukan);
Muslim adalah pria dan wanita yang telah melakukan penyerahan kehidupan mereka
kepada Tuhan (Allah).[8]
Yang terpenting
dalam semua konsep ini adalah ketika manusia menyebutkan istilah din, yang
terbayang adalah Islam dengan segala konsepnya. Karena hanya Islam yang
menyerahkan diri secara total terhadap Penciptanya. Dinyatakan pula secara
tegas dalam Al-Qur’an bahwa “innaddiina
indallahil Islam (Sesungguhnya din yang diridhai Allah hanyalah Islam).”[9] Dan
ketika ada pertanyaan mengenai dalil “lakum
diinukum waliyadiin (untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku)”[10],
bukanlah untuk menyamakan atau memperluas definisi din itu sendiri. Karena yang
dimaksudkan dalam dalil ini adalah penegasan bahwa tidak ada din yang benar
selain Islam. Yang lainnya merupakan din palsu seperti perumpamaan uang palsu
yang bukan merupakan uang asli yang dapat dibelanjakan.
B.
Agama
sebagai Fitrah
Sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya, makna din merupakan satu kesatuan utuh yang saling
berkaitan. Salah satu dari keempat makna tersebut adalah fitrah (kecenderungan
alami). Dalam pandangan Islam,
beragama adalah fitrah manusia. Artinya, semua manusia menyadari atau
tidak mereka sebenarnya secara fitri membutuhkan agama.[11] Menurut
Abraham Maslow[12],
beragama merupakan salah satu kebutuhan manusia. Hanya saja kebutuhan tersebut
tidak terkait dengan Basic Need,
sehingga dapat dikesampingkan dan ditunda pemenuhannya.
Sejarah
Barat telah menunjukan bagaimana konflik antara ilmuwan dengan gereja. Al-Attas
menguraikannya dalam bab terakhir buku Risalah untuk Kaum Muslimin.
Justeru
pada abad kelimabelas dan abad keenambelas, pada zaman dalam sejarah Barat yang
digelar zaman Renaissance, orang barat sudah mulai hilang minat terhadap agama
Kristian. Mereka telah menumpukkan segala usahanya terhadap mengejar ilmu
pengetahaun Yunani dan Rumawi purba, yang telah lama mereka lupakan dan pada
masa itu sedang mereka ingati dan kenali semula…
Dengan
terdapatnya semula sumber-sumber purba yang begitu disanjung keutamaannya, maka
penerimaan segala nilai ukuran serta cara-gaya dan gaya-fikir falsafah Kristian
Abad Pertengahan telah ditolak, dan kewibawaannya telah dipersoalkan. Pandangan
alam yang ditayangkan dihadapan-dihadapan
renungannya oleh sumber-sumber purba itu sangat mengharukan cita dan rasa
seolah-olah dunia dan insan yang tertanggap pada akalnya semata-mata yang
baharu belaka; dan teoogi serta metafizika Kristian tiada lain baginya untuk
menafsirkan hakikat semesta, dan hanyalah ilmu yang baharu itu, yang modern,
yang diterima baik sebagai ganti mentafsirkan hakikat semesta dengan cara dan
gaya sains.[13]
Dalam
peradaban Barat, ilmu menjadi diatas segalanya.
Ilmu atau sains dijadikan sebagai penentu kebenaran. Dengan demikian ketika
doktrin agama bertentangan dengan ilmu, maka doktrin tersebut dinyatakan salah.
Namun nyatanya ilmuwan yang meninggalkan agama dan berusaha mencari
penggantinya, tetapi lagi–lagi, mereka tidak bisa meninggalkan agama.[14]
Pada dasarnya manusia memiliki perasaan takut dan harapan. Jika hal ini tidak
terpenuhi, maka akan terjadi sebuah kegoncangan dalam jiwanya. Manusia harus
tetap mencari perlindungan kepada Yang Maha Kuat, yaitu Tuhan.
Achmad
Mubarak menggambarkannya dengan kisah seorang jenderal atheis ketika melepas
pasukannya ke medan perang tidak bisa menghindari ucapan; semoga kalian sukses. Kalimat semoga
adalah ungkapan kurang percaya diri dan mengharap campur tangan kekuatan
dari Yang Maha Kuat.[15] Kejadian
lainnya adalah ketika Gorbachev, seorang pemimpin Negara adidaya pada masanya
(Uni Soviet) mengalami gangguan dalam penerbangan. Gorbachev merasa cemas dan
secara tidak disadari menyebut kalimat “oh My God”. Namun setelah penerbangan
telah kembali normal, Gorbachev kembali mendustai keberadaan Tuhan.
Pendustaan
terhadap Tuhan ini merupakan pelanggaran terhadap fitrah. Setiap manusia telah
berjanji mengesakan Allah SWT pada hari alastu. Lebih jauh al-Attas
menggambarkannya sebagai berikut.
Semua
jiwa mempunyai kedudukan yang sama dalam hubungannya dengan Tuhan mereka:
semuanya tunduk, dimiliki, dipunyai, diperintah, diatur, dikuasai, diciptakan,
dan dikasihi oleh Tuhan.[16]
Ketika manusia
terbimbing secara wahyu, mereka akan mengingat perjanjian tersebut. Disamping
syarat lain yang mengharuskan manusia membersihkan ruhnya dari berbagai
penyakit hati. Ingatan dalam hal ini
berupa kesadaran yang harus dipandu dengan ilmu, bukan dengan perasaan semata. Kejadian
tersebut akan teringat dengan sendirinya ketika manusia kembali pada fitrahnya
untuk beriman kepada Allah SWT.
Kecenderungan alami pada manusia untuk berbakti dan
menyembah Allah juga ditunjukkan sebagai din, seperti kita telah tinjau pada
permulaan dalam hubungannya dengan konotasi-konotasinya seperti adat, kebiasaan
dan pembawaan. Namun dalam konteks religious di sini, itu mempunyai arti yang
lebih khusus dari keadaan berada yang alami disebut fitrah, sesungguhnya din
juga disebut fitrah.[17]
Disisi
lain, Mutadla Mutthahari dalam bukunya Allah fi Hayat al-Insan menggambarkan
hubungan ilmu dengan agama dalam kehidupan manusia, dengan ungkapan:
Ilmu
mempercepat anda sampai ke tujuan, Agama menentukan arah yang dituju
Ilmu
menyesuaikan manusia dengan lingkungannya, Agama menyesuaikan dengan jati dirinya
Ilmu
hiasan lahir, sedang agama hiasan batin
Ilmu
memberikan kekuatan dan menerangi jalan, Agama memberi harapan dan dorongan
bagi jiwa
Ilmu
menjawab pertanyaan yang dimulai dengan “bagaimana“, Agama menjawab, yang
dimulai dengan “mengapa “
Ilmu
tidak jarang mengaruhkan pikiran pemiliknya, sedang Agama selalu menenangkan
jiwa pemeluknya yang tulus.
Ungkapan
tersebut diatas secara jelas menggambarkan pembagian tugas antara ilmu dengan
agama, dimana peran agama dalam kehidupan tidak bisa digantikan oleh ilmu dan
teknologi.[18]
Dapat dikatakan pula, ilmu dan teknologi yang berlepas dari wahyu merupakan
suatu kesalahan.
Manusia
adalah makhluk yang sempurna. Secara konseptual terdiri atas ruh dan fisik.
Jiwa manusia mengatur raganya seperti Allah mengatur alam semesta. Manusia juga
memiliki dua jiwa sejalan dengan sifatnya yang ganda: yang tinggi jiwa
rasional, al nafs al-natiqah dan yang rendah, jiwa hewani atau badani, al nafs
al-hayawaniyyah.
Potensi yang diberikan Allah SWT kepada
manusia harus dapat dipergunakan sebaik mungkin. Hal tersebut merupakan
pinjaman dari Allah SWT. Suatu saat ketika tiba masanya, semua potensi yang
dipinjamkan tersebut haruslah dikembalikan. Ketika dikembalikan manusia telah
terlepas dari fitrahnya, secara otomatis peminjam akan marah dan memberikan
hukuman. Karena telah nyata yang hak dan bathil dengan petunjuk wahyu.
Kesemuanya hanya menuntut manusia dapat mengendalikan al nafs al-hayawaniyah
dibawah kendali al nafs al-natiqoh.
C.
Makna
Agama dalam Kehidupan
Dalam
kehidupan, manusia dipandu oleh empat petunjuk secara bertingkat; khabbar shoddiq
(kabar yang benar) yang terdiri dari pertama
Al Qur’an dan kedua; Al Hadits, ketiga; akal, dan keempat; intuisi. Manusia akan memperoleh keselamatan ketika
berjalan diatas jalan yang benar. Jalan yang benar tersebut bersumber dari khabbar
soddiq berupa Al Qur’an dan Al Hadits. Setelah terbimbing dengan khobbar
soddiq, manusia dapat menggunakan akalnya. Sebagaimana telah kita ketahui,
pembeda manusia dengan hewan adalah akal. Dengan akal manusia dapat mengelola
alam dan memecahkan masalah, dapat pula membedakan baik dan buruk, yang patut
dan yang tidak. Oleh karena itu, dengan tegas Al Qur’an menyatakan bahwa
seseorang yang tidak menggunakan akalnya lebih sesat dari binatang ternak.
Akan
tetapi kehidupan juga yang menunjukan bahwa dengan akal saja, manusia tidak
sanggup menemukan kebenaran, kebaikan dan keindahan. Kehancuran sumberdaya alam,
runtuhnya martabat manusia dan penderitaan yang dialami oleh sebagian penduduk
bumi, adalah produk dari kekeliruan pendapat akal. Akal tidak menjamin manusia
untuk memperoleh kebahagiaan yang sebenarnya. Allah SWT memberikan petunjuk
tertinggi bagi umat manusia berupa wahyu. Al Qur’an disebut sebagai petunjuk
bagi orang–orang yang betakwa, hudan lil
muttaqin (QS 2:2).[19]
D.
Agama
dan Penganutnya
Setiap manusia baik yang beriman maupun yang tidak
tetap berkewajiban melaksanakan syariat Allah. Dalam surat Adzzariyat ayat 56 telah
nyata tujuan penciptaan manusia yaitu; “wa
maa khalaktul jinna wal insaani illa liya’buduun (Aku hanya menciptakan jin
dan manusia kecuali agar mereka menyembah-Ku).” Tidak ada pengecualian pada manusia untuk tidak beribadah kepada
Allah. Sebagaimana perjanjian manusia saat masih berupa ruh pada hari alastu.[20]
Menurut kitab suci Al Qur’an manusia tidak dapat
terlepas dari keberadaannya dalam keadaan kehidupan din karena semuanya patuh (aslama)
kepada kehendak Tuhan. Sekalipun demikian istilah din dipakai juga untuk
menunjuk agama-agama lain selain daripada Islam. Namun apa yang membuat Islam
berbeda dari agama-agama lain itu ialah bahwa kepatuhan menurut Islam ialah
kepatuhan yang total kepada kehendak Tuhan, dan ini dilaksanakan dengan
berkemauan sebagai ketaatan mutlak terhadap hukum yang diwahyukan oleh-Nya.[21]
Perlu
ditekankan bahwa ketika seorang Muslim telah memaknai din dengan baik tidak akan
ada kecacatan dalam jiwanya. Kepribadiannya mencerminkan akhlak yang luhur
sebagaimana Rasulullah yang menjadi “uswatun
hasanah (teladan yang baik). Didalam diri Rasulullah tidak ada penyakit
hati seperti ummatnya. Namun ketika ummatnya mampu menjaga jiwa hewani untuk
selalu tunduk pada jiwa rasional, kepribadiannya akan dapat mencerminkan seluruh
ajaran Islam.
E.
Siapa
Saya di “Mata” Tuhan
Setiap Muslim adalah seorang khalifah Allah di bumi, demikian pula dia
adalah hamba-Nya, ‘abdi-Nya, yang berusaha dengan dirinya untuk menyempurnakan
pelayanan dan ibadahnya dengan cara yang diridhai Allah, penguasa mutlaknya. Ia
tidak hanya sekedar seekor binatang yang makan, minum, tidur, dan
bersenang-senang sesudah kenikmatan hawa nafsunya[23]-bukanlah seorang biadab
atau seorang jalang ia yang melampaui dirinya dalam realisasi
pertanggungjawabannya yang berat dan kesadarannya akan kebebasan guna memenuhi
dan membebaskan dirinya dari beban kehidupan.[24]
Satu di antara 99 nama Allah
al-Asma al-Husna adalah al-Alim dan al-Bashir, artinya Allah Maha Mengetahui.
Ilmu Allah luas tak terbatas dan Allah mampu melihat sesuatu secara total, yang
nampak maupun yang tidak nampak tanpa memerlukan alat. Allah tidak akan salah
paham terhadap manusia.[25]
Kesadaran akan posisi itu
berhubungan dengan psikologi hubungan manusia dengan Tuhannya. Ada empat model
hubungan manusia dengan Tuhannya.
1.
Model hubungan budak dengan tuannya.
Budak selalu takut kepada tuannya karena biasanya sering menjadi sasaran kemarahan
tuannya atau sering dikambing hitamkan setiap kali ada kesalahan.
2.
Model hubungan kuli dan majikan.
Psikologi kuli itu sederhana, berpikir mingguan.
3.
Model hubungan pedagang dan pembeli.
Pedagang dengan senang hati memperlakukan pembeli sebagai raja, karena dari
pembeli itulah ia memperoleh keuntungan.
4.
Model hubungan orang yang berhutang budi
dengan orang yang berjasa, hubungan antara syakir dan masykur. Psikologi orang
yang berhutang budi adalah ingi membalas budi. Budi baik orang berjasa itu
rasanya sangat besar, sehingga dengan apapun ia tidak mampu membalasnya.
5.
Model hubungan pecinta dengan
kekasihnya. Logika orang yang sedang dimabuk cinta biasanya sangat berbeda
dengan orang lain.
Kesimpulan
Usia agama telah mencapai ribuan tahun,
setua usia manusia itu sendiri. Meski
demikian saat ini agama masih dipersoalkan oleh manusia. Pada masyarakat
modern, terutama di kalangan intelektual Barat, muncul sebuah pertanyaan yang
menggelitik tentang agama, yaitu; “Apakah agama masih relevan dengan kehidupan
manusia dewasa ini?” Kenyataan yang menunjukkan bahwa fenomena
agama justru semakin kuat pada era globalisasi dunia, memunculkan pertanyaan
lain; “Apakah
manusia bisa melepaskan diri dari agama?”
atau, “adakah alternatif lain yang dapat menggantikan peran agama?” Pertanyaan–pertanyaan tersebut muncul dikarenakan pemahaman yang salah mengenai agama.
Agama berasal
dari bahasa Sansekerta yang merupakan gabungan dari kata a = tidak, dan gama =
kacau. Ketika disatukan agama bermakna tidak kacau, tidak lari atau ugama
(aturan). Dalam bahasa Inggris, agama dinyatakan dengan
istilah Religion yang berasal dari bahasa latin, religio atau religare
yang berarti mengikat. Sedangkan dalam
Islam, agama diberi istilah Din yang merupakan bahasa Arab dari huruf dyn
atau Dana-yadinu. Din memiliki banyak arti yang
terlihat kontradiktif satu sama lainnya, namun ketika ditelisik lebih dalam,
kesemua makna ini saling berkaitan dan membentuk konsep yang jelas. Diin dapat
didefinisikan kedalam 4 makna, yaitu keberhutangan, penyerahan diri, kekuatan
peradilan, dan fitrah (kecenderungan alami).
Menurut kitab suci Al Qur’an manusia tidak dapat terlepas dari
keberadaannya dalam keadaan kehidupan din karena semuanya patuh (aslama) kepada
kehendak Tuhan. Sekalipun demikian istilah din dipakai juga untuk menunjuk
agama-agama lain selain daripada Islam. Namun apa yang membuat Islam berbeda
dari agama-agama lain itu ialah bahwa kepatuhan menurut Islam ialah kepatuhan
yang total kepada kehendak Tuhan, dan ini dilaksanakan dengan berkemauan
sebagai ketaatan mutlak terhadap hukum yang diwahyukan oleh-Nya.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib.
1981. Islam dan Sekularisme, Terj.
Karsidjo Djojosuwarno. Bandung: Salman ITB
_____________________________.
1996. Prolegomena to The Methaphisic of
Islam. Kuala Lumpur:??.
_____________________________. 2001.
Risalah untuk Kaum Muslimin. Kuala Lumpur: Institut Antarbangsa Pemikiran
dan Tamaddun Islam (ISTAC).
Armstrong, Karen. 2004. Perang Suci (dari Perang Salib hingga Perang
Teluk). Bandung: Mizan.
______________.
2007. Awal Sejarah Tuhan, Terj. Yuliani
Liputo. Bandung: Mizan.
Daud, Wan Mohd Nor Wan Daud. 2012. Rihlah Ilmiah (dari Neomodernisme ke
Islamisasi Ilmu Kontemporer). Jakarta: UTM-CASIS dan INSISTS.
Husaini, Adian. 2005. Wajah Peradaban Barat (dari Hegemoni Kristen
ke Dominasi Sekular-Liberal). Jakarta: Gema Insani.
Mubarok, Achmad. 2005. Meraih Kebahagiaan dengan Bertasawuf.
Jakarta: Paramadina.
Zarkasy, Hamid Fahmi, dkk. 2010. Membangun Peradaban dengan Ilmu. Depok:
Kalam Ilmu Indonesia.
[1] Achmad Mubarak, Meraih
Kebahagiaan dengan Bertasawuf, (Jakarta: Paramadina, 2005), Hlm.1.
[2] Banyak buku yang dapat dijadikan
rujukan mengenai sejarah kelam peradaban Barat. Salah satunya buku “Holy War: The Crusades and Their Impact on
Today’s World” karya Karen Armstrong seorang mantan biarawati. Dalam buku
yang diterjemahkan oleh berjudul Perang Suci, Karen menggambarkan berbagai
kekejaman yang dilakukan gereja selama beratus tahun. Pada masa itu, paus
dianggap sebagai wakil Tuhan dan mempunyai sifat tidak pernah salah. Ketika
dianggap terjadi sebuah heresy (penyimpangan), dengan semangat Kristusnya Paus
memerintahkan pembakaran hidup-hidup kepada para pelaku bid’ah. Tindakan keji ini
nyatanya bukanlah ajaran Yesus Kristus namun dilegalisasi gereja bahkan dianggap
sebagai hal yang mulia. Oleh karena itu, istilah The Dark Ages dianggap yang paling sesuai untuk menggambarkan keadaan
masa itu. Lihat “Perang Suci; Dari perang Salib hingga Perang Teluk, Mizan
2004.”
[3] Adian husaini, Wajah Peradaban
Barat dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular Liberal, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2005), Hlm.31.
[4] Syed Muhammad Naquib Al Attas,
Islam dan Sekularisme, (Bandung: Salman ITB, 1981), Hlm. 73.
[5] Lihat Q.S At taubah ayat 111
yang diterjemahkan menjadi, “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang
mukmin.” Makna membeli disini dapat diartikan sebagai proses jual beli atau
perniagaan yang sesungguhnya menguntungkan manusia. Allah memberikan hutang
keberadaan pada manusia, dan diperlukan keimanan agar hutang tersebut dapat
dikembalikan dalam keadaan untung. Keuntungan tersebut akan diperolehnya
seperti memperoleh rabah (Q.S 3:167). Dengan demikian seseorang yang cerdas
akan berusaha dengan sebaik mungkin menghambakan diri (dana nafsahu) dan
bekerja untuk apa yang ada setelah kematian. Lih. Syed Muhammad naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme,
(Bandung: Salman ITB, 1981), Hlm.79-82.
[7] “Siapakah
yang mau memberi pinjaman (yuqridhu) kepada Allah, pinjaman yang baik (qardan
hasanan; menafkahkan hartanya dijalan Allah), maka Allah akan melipat-gandakan
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Q.S Al Baqarah ayat 245.
[8] Karen Armstrong, The Great
Transformation. Terj. Yuliani Liputo, (Bandung: Mizan, 2007), Hlm. 417.
[11] Achmad Mubarak, Meraih
Kebahagiaan dengan Bertasawuf, (Jakarta: Paramadina, 2005), Hlm.2
[12] Abraham Maslow (lahir 1 April 1908 – meninggal 8 Juni 1970 pada umur
62 tahun) adalah teoretikus yang banyak memberi inspirasi dalam teori
kepribadian. Ia juga seorang psikolog yang berasal dari Amerika dan
menjadi seorang pelopor aliran psikologi humanistik. Ia terkenal dengan teorinya tentang hirarki kebutuhan
manusia.
[13] Syed Muhammad Naquib al-Attas,
Risalah untuk Kaum Muslimin, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), Hlm. 203.
[14] Achmad Mubarak, Meraih
Kebahagiaan dengan Bertasawuf, (Jakarta: Paramadina, 2005), Hlm.2.
[15] Achmad Mubarak, Meraih
Kebahagiaan dengan Bertasawuf, (Jakarta: Paramadina, 2005), Hlm.2.
[16] Syed Muhammad Naquib Al-Attas,
Islam dan Sekularisme, (Bandung: Salman ITB, 1981), Hlm. 99-100.
[18] Achmad Mubarak, Meraih
Kebahagiaan dengan Bertasawuf, (Jakarta: Paramadina, 2005), Hlm. 2-3.
[19] Achmad Mubarak, Meraih
Kebahagiaan dengan Bertasawuf, (Jakarta: Paramadina, 2005), Hlm. 5.
[22] Achmad Mubarak, Meraih
Kebahagiaan dengan Bertasawuf, (Jakarta: Paramadina, 2005), Hlm. 6-7.
[25] Achmad Mubarak, Meraih
Kebahagiaan dengan Bertasawuf, (Jakarta: Paramadina, 2005), Hlm. 7-8.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar