SUMBER
– SUMBER DAN LINGKUNGAN ANTROPOLOGI KESEHATAN[1]
A.
Bidang
Lama dan Baru Antropologi Kesehatan
Pada
masa kini, para ahli antropologi yang mempunyai minat tersebut bekerja di
fakultas-fakultas kedoketeran, sekolah perawat, dan di bidang kesehatan masyarakat,
di rumah-rumah sakit dan depatemen-departemen kesehatan, serta di
jurusan-jurusan antropologi pada universitas umum. Mereka melakukan penelitian
dalam topik–topik seperti manusia, anatomi, pediatri, epidemologi, kesehatan
jiwa, penyalahgunaan obat, definisi mengenai sehat dan penyakit, latihan
petugas kesehatan, birokrasi medis, pengaturan dan pelaksanaan rumah sakit,
hubungan dokter pasien dan proses memperkenalkan sistem kesehatan ilmiah kepada
masyarakat-masyarakat yang semula hanya mengenal sistem kesehatan tradisional.
Para ahli antropologi tersebut umumnya disebut sebagai ahli antropologi
kesehatan dan lapangan yang di wakilinya adalah sub disiplin baru antropologi,
yakni “antropologi kesehatan”[2]
Dari jenis aktifitas yang mereka lakukan, nampak
bahwa bidang tersebut meliputi sejumlah perspektif dan pusat perhatian. Secara
konseptual, semuanya itu dapat di ajarkan dalam satu kontinuum, dengan ujung
yang satu di sebut kutub biologi sedangkan ujung lainnya di sebut kutub sosial
budaya kearah kutub biologi terdapat ahli-ahli antropologi yang pokok
perhatianya adalah tentang pertumbuhan dan perkembangan manusia, peranan
penyakit dalam evolusi manusia dan paleopatologi (studi mengenai
penyakit-penyakit purba). Ahli-ahli antropologi yang memiliki minat tersbut
memiliki kesamaan perhatian dengan ahli-ahli genetika, anatomi, serologi,
biokimia dan sejenisnya.
Kearah
kutub sosial budaya terdapat ahli-ahli antropologi dengan pokok perhatian pada
sistem medis tradisional (etnosmedisin) masalah petugas-petugas kesehatan dan
persiapan profesional mereka, tingkahlaku sakit, hubungan antara dokter pasien
serta dinamika dari usaha meperkenalkan pelayanan kesehatan Barat kepada
masyarakat-masyarakat tradisional. Dengan demikian ahli-ahli antropologi
tersebut nampak mempunyai perhatian yang tupang tindih dengan ahli-ahli
sosiologi, para pendidik kesehatan, pada perawatan spesialis-spesialis ahli
kesehatan masyarakat dalam pendidikan dan administrasi kesehatan, serta
sarjana-sarjana ilmu perilaku lain yang bekerja dalam bidang “modernisasi” di
pertengaahan kontinum yang berminat pada epidemiologi dan ekologi budaya.
Mereka mungkin mempunyai minat yang hampir sama dengan semua ahli tersebut di
atas, namun hubungan mereka terutama lebih dekat dengan ahli-ahli epidemiologi
kesehatan, ahli-ahli ekologi serta kelompok baru yang di kenal sebagai ahli
geografi kesehatan.[3]
Secara singkat antropologi kesehatan
dipandang oleh para dokter sebagai disiplin biobudaya yang memberi perhatian
pada aspek-aspek biologis dan sosiobudaya dari tigkahlaku manusia, terutama
tentang cara-cara interaksi keduanya di sepanjang sejarah kehidupan manusia,
yang mempengaruhi kesehatan dan penyakit. Kesulitan para ahli antropologi
kesehatan adalah menemukan akar dari disiplin ilmu modern ini. Pada akhirnya
membuat para ahli menyimpulkan bahwa akar dari antropologi kesehatan adalah
sebagai berikut.
1.
Antropologi fisik
Lama sebelum ada
ahli-ahli antropologi kesehatan “Budaya”, ahli-ahli antropologi fisik belajar
dan melakukan penelitian di sekolah-sekolah kedokteran, biasanya pada jurusan
anatomi. Dapat di pastikan bahwa ahli-ahli antropologi fisik adalah ahli
antropologi kesehatan, karena perhatian mereka pada biologi manusia sejajar dan
tumpang tindih dengan banyak lapangan perhatian para dokter. Nyatanya sejumlah
besar antropologi fisik adalah dokter. Baik dalam hal lapangan perhatian maupun
dalam hubungan-hubunganya, ahli-ahli antropologi fisik dimasa lalu seperti
halnya di masa kini juga memberikan banyak perhatian pada topik-topik yang
mempunyai kepentingan medis. Hasan dan Prasad (1959) menyusun daftar lapangan
studi tersebut, yang meliputi nutrisi dan pertumbuhan, serta korelasi antara
bentuk tubuh dengan variasi yang luas dari penyakit-penyakit, misalnya radang
pada persendian tulang (arthiritis) tukak lambung (ulcer) kurang darah (anemia)
dan penyakit diabetes.
Selama beberapa
dasawarsa, ahli antropologi fisik disibukkan dengan kedokteran forensik. Dalam
pengembangan usaha pencegahan penyakit, para ahli antropologi fisik telah
memberi sumbangan dalam penelitian mengenai penemuan kelompok-kelompok penduduk
yang memiliki resiko tinggi, yakni orang-orang yang tubuhnya mengandung sel
sabit dan pembawa penyakit kuning (hepatitis).[4]
2.
Etnomedisin
Sub
bagian antropologi kesehatan yang kini di sebut sebgai “etnomedisin “ yakni
kepercayaan dan praktek-praktek yang
berkenaan dengan penyakit, yang merupakan hasil dari perkembangan kebudayaan
asli dan yang eksplisit tidak berasal dari kerangka konseptual kedokteran
modern (Hughes 1968:99) tetapi merupakan urutan langsung dari awal perhatian
ahli-ahli antropologi mengenai sistem medis non-Barat. Sejak awal penelitian
mereka para ahli antropologi secara rutin mengumpulkan data mengenai
kepercayaan dalam pengobatan pada penduduk yang mereka teliti. [5]
Dalam
buku Rivers yang berjudul Medicine, Magic, and Religion (Rifers 1942)
tertangkap pesan bahwa ide mengenai pengobatan asli adalah pranata0pranata
sosial yang harus dipelajari dengan cara yang sama seperti mempelajari
pranata-pranata umumnya, dan bahwa praktek-praktek pengobatan asli adalah
rasional bila dilihat dari sudut kepercayaan yang berlaku mengenai sebab akibat
(Lihat Wellin 1977: 49). Dengan demikian akhirnya para ahli antropologi
menangkap bahwa etnomedisin menjadi
bagian spesialisasi bagi antropologi kesehatan.[6]
3.
Studi-studi tentang
kebudayaan dan kepribadian.
Kecuali berbagai studi
tentang etnomedisin yang terutama dilakukan sebagai bagian dari penelitian
mengenai kelompok (tribe) sebagian besar publikasi antropologi yang menyangkut
kesehatan sebelum tahun 1950 berkenaan dengan gejala psikologi dan psikiatri.
Sejak pertengahan tahun 1930-an para ahli antropologi, psikiater dan ahli-ahli
ilmu tingkah laku lainnya mulai mempertanyakan tentang kepribadian orang
dewasa, atau sifat-sifat, dan lingkungan sosial budaya dimana tingkahlaku itu terjadi.[7]
4.
Kesehatan masyarakat
international
Meskipun
Rokefeller Foundation telah sibuk dengan pekerjaan kesehatan masyarakat
international sejak awal abad ini baru pada tahun 1942 pemerintah Amerika
Serikat memprakarsai kerjasama program-program kesehatan dengan sejumlah
pemerintah di negara Amerika latin, sebagai bagian dari program bantuan teknik
yang lebih luas. Dengan berakhirnya perang dan dengan perpanjangan program-program
bantuan teknik Amerika Serikat bagi afrika dan asia, maupun dengan tebentuknya
World Helath Organization, maka program-program kesehatan masyakat utama yang
bersifat bilateral dan multilateral di negara-negara sedang berkembang
merupakan sebagian dari gambaran dunia.[8]
Petugas-petugas
kesehatan yang bekerja dilingkungan yang bersifat lintas-budaya lebih cepat
menemukan masalah daripada mereka yang bekerja dalam kebudayaan sendiri, dan
khususnya mereka yang terlibat dalam klinik-klinik pengobatan melihat bahwa
kesehatan dan penyakit bukan hanya merupakan gejala biologis, melainkan juga
gejala sosial-budaya. Mereka segera manyadari bahwa kebutuhan kesehatan dari
negara-negara berkembang tidaklah dapat dipenuhi sekedar memindahkan pelayanan
kesehatan dari negara-negara industri.[9]
Dimensi teoritis dan terapan
Perkembangan
perhatian antropologi terhadap masalah-masalah kesehatan dan penyakit sebagian
bermotivasi teoritis karena kepercayaan dan praktek-praktek pengobatan
merupakan kateogori utama dalam semua kebudayaan, suatu keterangan yang lengkap
dari setiap kebudayaan menutut agar perhatian yang sama juga diberikan pada
pranara-pranata kesehatan seperti halnya dengan pranata-pranata politik,
ekonomi, sosial, religi dan sebagainya. Namun dalam pertumbuhanya perhatian
para ahli antropologi dalam lapangan kesehatan dan penyakit, memiliki
dimensi-dimensi praktis juga banyak
hasil penelitian telah “diterapkan”, dilaksanakan dalam kerjasama dengan
petugas-petugas di berbagai program dan proyek kesehatan dengan tujuan akhir
meningkatkan pelayanan kesehatan atau dalam rangka pemahaman terhadap
komponen-komponennya sehubungan dengan timbulnya penyakit.[10]
Berdasarkan
pemaparan ini, Menurut Foster dapat disimpulkan bahwa antropologi kesehatan
adalah istilah yang digunakan oleh ahli-ahli antropologi untuk mendeskripsikan
penelitian mereka yang tujuannya adalah definisi komprehensif dan interpretasi
mengenai hubungan timbal balik biobudaya, antara tingkah laku manusia di masa
lalu dan masa kini dengan derajat kesehatan dan penyakit, tanpa mengutamakan
perhatian pada penggunaan praktis dari pengetahuan tersebut. Dan partisipasi
profesional mereka dalam program-program yang bertujuan memperbaiki derajat
kesehatan melalui pemahaman yang lebih besar tentang hubungan antara gejala
bio-sosial-budaya dengan kesehatan, serta melalui perubahan tingkah laku sehat
ke arah yang diyakini akan meningkatkan kesehatan yang lebih baik.[11]
B.
Antropologi
Kesehatan dan Ekologi
1.
Ekosistem dan Sistem
Sosial Budaya
Selama tahun–tahun
terakhir, makin banyak ahli antropologi yang menaruh perhatian pada
masalah–masalah kesehatan lingkungan biobudaya, yang paling baik dipelajari
melalui apa yang disebut Bates sebagai “pandangan ekologis”. Tidak mengherankan
bahwa pandangan ekologis ternyata cocok bagi ahli antropologi, karena dalam
kenyataannya, pandangan itu merupakan lanjutan dari lingkungan dan komuniti
biotiknya dalam pendekatan antropologi yang fundamental: yakni perhatian kepada
sistemnya.
Suatu “sistem” menurut
definisi kamus Webster edisi kedua, adalah “agregasi atau pengelompokan
objek–objek yang dipersatukan oleh beberapa bentuk interaksi yang tetap atau
saling tergantung, sekelompok unit yang berbeda, yang dikombinasikan sedemikian
rupa oleh alam atau oleh seni sehingga membentuk suatu keseluruhan yang
integral, dan berfungsi, beroperasi atau bergerak dalam kesatuan. Dalam
antropologi, sudah tentu yang dimaksud sebagai “keseluruhan integral” adalah
suatu sistem sosial–budaya, atau dengan kata yang lebih umum, suatu kebudayaan.
Dalam ekologi keseluruhan integral adalah suatu ekosistem “ suatu interaksi
antara kelompok tanaman dan satwa dengan lingkungan non hidup mereka”.[12]
2.
Perhatian Ekologis dari
Para Ahli Antropologi Kesehatan
Para ahli antropologi
kesehatan, yang dari definisinya dapat disebutkan berorientasi ke ekologi,
menaruh perhatian pada hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan
alamnya, tingkah lakunya, penyakit-penyakitya, dan cara–cara dimana tingkah
laku dan penyakitnya mempengaruhi evolusi dan kebudayaan melalui proses
umpan–balik. Dalam dunia masa kini, pendekatan ekologis adalah dasar bagi studi
tentang masalah–masalah epidemiologi, cara–cara dimana tingkah laku individu
dan kelompok menentukan derajat kesehatan dan timbulnya penyakit yang berbeda–beda
dalam populasi yang berbeda–beda pula. Dalam studi ekologi, kita harus
memulainya dengan lingkungan. Lingkungan dapat bersifat alamiah dan
sosio-budaya. Dari lingkungan inilah tercipta penyakit dan nutrisi yang
mempengaruhi hidup manusia.
3.
Paleopatologi
Ahli–ahli patologi,
anatomi dan ahli–ahli antropologi fisik telah banyak belajar mengenai
penyakit–penyakit dan luka–luka pada sesuatu yang dianggap manusia purba. Namun
ada keterbatasan yang mungkin tidak akan pernah terkembatani, yang menghambatnya
untuk mengetahui semua yang ingin diketahui. Pada umumnya, hanya
penyakit–penyakit yang menunjukkan bukti–bukti yang nyata pada tulang saja yang
dapat diidentifikasi. Berdasarkan hasil penelitian para ahli ini, dinyatakan
bahwa manusia modern memiliki fisik lebih lemah daripada manusia yang dianggap
purba. Anehnya pula ditemukan bahwa pada masa pertanianlah yang telah menambah
jenis-jenis dan frekuensi penyakit pada manusia. Hal ini disebabkan sanitasi
yang buruk dan kontak fisik dengan hewan ternak mereka.
4.
Penyakit dan Evolusi
Penyakit–penyakit
infeksi telah merupakan faktor penting dalam evolusi manusia selama 2 juta
tahun atau lebih, melalui mekanisme evolusi dari “proteksi genetik” maka nenek
moyang kita dapat mengatasi ancaman–ancaman penyakit dalam kehidupan individu
dan kelompok. Munculnya gen yang memberikan resistensi terhadap malaria dalam
suatu populasi di Afrika barat adalah salah satu contoh yang dramatis dari
proses evolusi tersebut. Gen tersebut disebut dengan sickle-cell anemia yang
menurut livingstone disebabkan dengan perkembangan pertanian.[13]
5.
Makanan dan Evolusi
Dalam buku Foster
disebutkan bahwa pada masa lampau manusia adalah herbivorus. Setelah tidak lagi
memakan tumbuhan dan mulai mengenai pakan hewani, tubuh manusia mengalami
perkembangan. Namun setelah terjadi ketergantungan terus-menerus terhadap
nutrien sayuran, ketidakseimbangan nutrisi dapat mengarah kepada kekurangan
asam amino yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangan jaringan. Kebiasaan
makan dan tradisi juga juga dapat menghasilkan tekanan selektif yang memberi
kesempatan baik lebih banyak bagi lebih satu tipe gen dari satu tipe gen yang
lain. [14]
6.
Epidemiologi
Bila kita mempelajari
studi–studi epidemiologi pada masa kini maupun di masa lalu, patut kita catat
karya ahli–ahli sosiologi kodokteran yang lebih banyak menjadikan bidang ini
sebagai lapangan perhatian khusus mereka daripada ahli–ahli ilmu perilaku
lainnya. Secara singkat epidemiologi berkenaan dengan distribusi dalam tempat
dan prevalensi atau terjadinya penyakit, sebagaimana lingkungan alam atau
lingkungan ciptaan manusia serta tingkah laku manusia.
Para ahli epidemiologi
mempunyai tugas membuat korelasi-korelasi dalam hal insiden penyakit dalam hal
menetapkan petunjuk tentang pola-pola penyebab penyakit yang kompleks, atau
tentang kemungkinan-kemungkinan dalam pengawasan penyakit. Epidemiologi
berorientasi pada usaha mncapai suatu tujuan, dalam arti tujuan utamanya adalah
untuk meningkatkan derajat kesehatan, mengurangi timbulnya semua ancaman
kesehatan. Dalam sejarahnya keberhasilan epidemiologi patut dicatat dalam
berbagai pencegahan penyakit, misalnya penyakit gondok perlu ditangani dengan
pemberian yodium. Akhir praktis dari studi-studi epidemiologi dibuktikan dengan
kenyataan bahwa ilmu ini merupakan landasan ilmiah bagi sebagian besar profesi
kesehatan masyarakat.[15]
7.
Misteri Kuru
Kuru,
merupakan nama penyakit yang ditemukan pada penduduk Fore Selatan, di Dataran
Tinggi Timur Papua Nugini. Penyakit furu menunjukkan karakteristik
epidemiologis yang tidak lazim. Ditemukan bahwa penderitanya berpengaruh kuat
pada garis keturunan. Dengan penyakit misterius ini, pada tahun 1957 Carleton
Gajdusek meneliti masyarakat ini selama 10 bulan. Dalam penelitiannya dia
menyatakan bahwa “...dibutuhkan mutasi yang dominan atau setengah dominan yang
pasti telah timbul pada seorang individu, berabad-abad sebelum kelompok itu
memiliki kemajuan yang demikian selektif, sehingga gen itu dapat menyebar pada
ribuan keturunan dari sel pembawa pertamanya.
Dengan
demikian kuru mempunyai ciri sebagai penyakit makhluk manusia pertama yang
disebabkan oleh virus yang bekerja lamban. Furu sering didentikkan dengan
praktek kanibalisme yang membudaya. Fraktek kanibalisme tersebut dipraktekkan
dengan memasak otak wanita yang telah meninggal untuk dimakan oleh wanita lain
yang merupakan keluarganya, dan sisanya dibagikan kepada anak-anaknya. Praktek
kanibalisme ini kemudian dilarang keras, dan pada akhirnya penyebaran penyakit
kuru mulai berkurang. Tetapi yang masih menjadi pertanyaan adalah bagaimana
awal mula penyakit ini dapat menjangkiti warga Furu selatan dan bagaimana virus
tersebut tersembunyi menjelang tahun 1910.[16]
8.
Ekologi dan Pembangunan
Kebalikan dengan
gerakan ekologi Amerika akhir–akhir ini, bagi sebagian terbesar penduduk dunia,
istilah “pembangunan” mempunyai konotasi yang positif. Mereka yakin bahwa
melalui “pembangunanlah” maka pemanfaatan yang rasional atas sumber daya
manusia dan fisik dapat diperoleh, kemiskinan dapat diberantas, pendidikan
menjadi universal, penyakit dapat diatasi, dan standar kehidupan menjadi dapat
diterima.
Pembangunan memang
harus ada karena tidak ada alternatif lain bagi dunia yang semakin padat. Namun
ada pembangunan yang baik, dan pembangunan yang buruk. Kebudayaan adalah sistem
kkeseimbangan yang rumit yang tidak akan berubah begitu saja, sehingga inovasi
yang dianggap baik oleh suatu bidang (misalnya pertanian) kemudian menimbulkan
perubahan-perubahan kedua dan ketiga dibidang lain (misalnya kesehatan) yang
dampaknya melebihi keuntungan yang diharapkan. Hampir selalu terdapat
“konsekuensi-konsekuensi yang tak terduga pada inovasi yang terencana” beberapa
diantaranya ada yang baik, namun banyak yang kemudian menjadi tidak diinginkan.
DuBos menyatakan model “konsekuensi yang tak terduga” yang berorientasi budaya
ini dengan istilah ekologi.
Hughes dan Hunter
berpendapat bahwa setiap program yang merubah hubungan yang telah ada antara
manusia dan lingkungannya, haruslah dilihat dari kerangka ekologi. Pembangunan
yang sukses juga sering secara berarti menimbulkan penyakit-penyakit tertentu,
menimbulkan masalah-masalah kesehatan yang sebelumnya tidak ada atau yang
relatif lebih sedikit. Penyakit penghambat pembangunan; sehingga penyakit
merupakan daya pendorong bagi timbulnya perkembangan layanan-layanan kesehatan.[17]
9.
Penyakit–penyakit
Pembangunan
Tidak semua penyakit
secara sama dipengaruhi oleh pembangunan, walaupun tampaknya semua keseimbangan
penyakit, pada tingkatan tertentu, dipengaruhi oleh perubahan–perubahan akibat
pembangunan. Memang ada beberapa penyakit yang prevalensinya telah amat luas
tersebar melalui kegiatan–kegiatan pembangunan, sehingga Hughes dan Hunter
menganjurkan penggunaan istilah “penyakit–penyakit pembangunan” atau dengan
istilah lain yang serupa, penyakit–penyakit “iatrogenik” yang terjadi akibat
pengobatan medis dan penyakit – penyakit “developo – genik”.
Penyebab-penyebab
lahirnya “penyakit Pembangunan” adalah sebagai berikut.
a.
Pembangunan lembah
sungai,
b.
Pembudidayaan tanah,
c.
Pembangunan jalan raya,
d.
Urbanisasi, dan
e.
Program-program
kesehatan masyarakat.[18]
C.
Sistem
Medis
1.
Sistem medis sebagai
strategi adaptasi sosial-budaya
Dalam subbab ini,
pemakalah akan memaparkan mengenai kerangka berfikir pranata sosio-budaya.
Selain itu, penulis juga akan strategi adaptasi biologis yang dianggap
melahirkan evolusi manusia, dan strategi adaptasi sosial-budaya yang melahirkan
sistem medis, tingkah laku dan bentuk-bentuk kepercayaan yang berlandaskan
budaya, yang timbul secara respon terhadap ancaman-ancaman yang disebabkan oleh
penyakit.
Penyakit merupakan kondisi
manusia yang dapat diramalkan; dan merupakan gejala biologis maupun kebudayaan
yang bersifat universal. Dalam ketiadaan keterampilan untuk menyembuhkan, maka
menghindar atau meninggalkan adalah perilaku adaptif, yang merupakan sejenis
obat preventif, dimana “karantina” primitif mengurangi bahaya terkenanya
individu-individu yang sehat oleh kuman-kuman atau virus yang menular. Seperti
halnya pada hewan, individu yang mengidap penyakit infeksi menghadapkan
rekan-rekannya pada epidemi penyakit.
Namun pada dasarnya
manusia lebih sering berusaha menyembuhkan si sakit, daripada mengkarantinanya.
Bentuk perhatian ini bukan semata-mata manusiawi, walaupun ada pada sebagian
masyarakat merawat yang sakit, melainkan suatu bentuk tingkah laku adaptif baru
yang didasari logika dan juga rasa kasih. Setiap individu memiliki perannya
masing-masing dalam kehidupan. Ketika penyakit menyerang, peran tersebut akan
tidak dapat dilakoninya. Oleh karena itulah diperlukan adanya perawatan pada
penderita sakit. Hal ini dimaksudkan agar penderita dapat kembali pada perannya
ketika telah sembuh.
Upaya penyembuhan ini
akan menghasilkan waktu yang cukup banyak dan biaya yang tidak sedikit. Oleh
karena itu masyarakat pada akhirnya menciptakan suatu strategi adaptasi baru
dalam menghadapi penyakit. Strategi ini memaksa manusia untuk menaruh perhatian
utama pada pencegahan dan pengobatan penyakit. Dalam usahanya untuk
menanggulangi penyakit, manusia telah mengembangkan suatu kompleks luas dari
pengetahuan, kepecayaan, teknik, peran, norma-norma nilai-nilai, ideologi,
sikap, adat-istiadat, upacara-upacara dan lambang-lambang yang saling berkaitan
dan membentuk satu sistem yang saling menguatkan dan saling membantu.(Saunders
1954:7) kompleks yang luas tersebut dan hal–hal lainnya yang kita anggap dapat
dittambahkan pada daftar tersebut, membentuk suatu “sistem medis”.
Istilah tersebut
mencangkup keseluruhan dari pengetahuan kesehatan, kepercayaan, keterampilan,
dan praktek-praktek dari para anggota dari tiap kelompok. Istilah tersebut
harus digunakan dalam artian komperehensif yang mencangkup seluruh aktivitas
klinik, pranata-pranata formal dan informal serta segala aktivitas lain, yang
betapapun menyimpangnya, berpengaruh terhadap derajat kesehatan kelompok
tersebut dan meningkatkan berfungsinya mesyarakata secara optimal.[19]
2.
Teori penyakit dan
sistem perawatan kesehatan
Untuk merumuskan satu
konsep yang mengikuti seluruh sistem medis adalah suatu masalah tersendiri,
sedangkan menganalisis dan mengkajinya adalah masalah lain. Maka dalam pelaksanaan,
Foster mencari subsistem atau pranata-pranata ganda di dalam suatu sistem medis
agar dapat menanganinya secara sistematis. Sistem medis dari semua kelompok
setidaknya terpecah dalam dua kategori dasar, yaitu; suatu sistem “teori
penyakit”dan “sistem perawatan kesehatan”.
Suatu sistem teori
penyakit meliputi mengenai kepercayaan-kepercayaan mengenai ciri-citi sehat,
sebab-sebab sakit, serta pengobatan dan teknik-teknik penyembuhan lain yang
digunakan oleh para dokter. Sistem-sistem teori penyakit berkenaan dengan
kausalitas, penjelasan yang diberikan oleh penduduk mengenai hilangnya
kesehatan, dan penjelasan mengenai pelanggaran tabu mengenai pencurian jiwa
orang mengenai keseimbangan antara unsur panas-dingin dalam tubuh atau
kegagalan pertahanan immunologi organ manusia terhadap agen-agen patogen
seperti kuman-kuman dan virus. Dengan demikian, suatu sistem teori bagian dari
orientasi kognitif anggota-anggota kelompok tersebut.
Suatu sistem perawatan
kesehatan adalah suatu pranata sosial yang melibatkan interaksi antara sejumlah
orang, setidaknya pasien dan penyembuh. Fugsi yang terwujudkan dari suatu
sistem perawatan kesehatan adalah untuk memobilisasi sumber-sumber daya si
pasien, yakni keluarganya dan masyarakatnya, untuk menyertakan mereka untuk mengatasi
masalah tersebut.
[2] George M. Foster dan
Barbara Gallatin Anderson, Terj. Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta
Swarsono, Antropologi Kesehatan, (Jakarta: UI-Press1986), Hlm. 1.
[3] George M. Foster dan
Barbara Gallatin Anderson, Terj. Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta
Swarsono, Antropologi Kesehatan, (Jakarta: UI-Press1986), Hlm. 2.
[4] George M. Foster dan
Barbara Gallatin Anderson, Terj. Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta
Swarsono, Antropologi Kesehatan, (Jakarta: UI-Press1986), Hlm. 5.
[5] George M. Foster dan
Barbara Gallatin Anderson, Terj. Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta
Swarsono, Antropologi Kesehatan, (Jakarta: UI-Press1986), Hlm. 6.
[6] George M. Foster dan
Barbara Gallatin Anderson, Terj. Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta
Swarsono, Antropologi Kesehatan, (Jakarta: UI-Press1986), Hlm. 7.
[7] George M. Foster dan
Barbara Gallatin Anderson, Terj. Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta
Swarsono, Antropologi Kesehatan, (Jakarta: UI-Press1986), Hlm. 7.
[8] George M. Foster dan
Barbara Gallatin Anderson, Terj. Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta
Swarsono, Antropologi Kesehatan, (Jakarta: UI-Press1986), Hlm. 8.
[9] George M. Foster dan
Barbara Gallatin Anderson, Terj. Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta
Swarsono, Antropologi Kesehatan, (Jakarta: UI-Press1986), Hlm. 8.
[10] George M. Foster dan
Barbara Gallatin Anderson, Terj. Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta
Swarsono, Antropologi Kesehatan, (Jakarta: UI-Press1986), Hlm. 10.
[11] George M. Foster dan
Barbara Gallatin Anderson, Terj. Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta
Swarsono, Antropologi Kesehatan, (Jakarta: UI-Press1986), Hlm. 11.
[12] George M. Foster dan
Barbara Gallatin Anderson, Terj. Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta
Swarsono, Antropologi Kesehatan, (Jakarta: UI-Press1986), Hlm. 13.
[13] Lihat: George M. Foster dan Barbara Gallatin
Anderson, Terj. Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swarsono,
Antropologi Kesehatan, (Jakarta: UI-Press1986), Hlm. 21-23.
[14] Lihat: George M. Foster
dan Barbara Gallatin Anderson, Terj. Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F.
Hatta Swarsono, Antropologi Kesehatan, (Jakarta: UI-Press1986), Hlm. 23-25.
[15] Lihat: George M. Foster
dan Barbara Gallatin Anderson, Terj. Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F.
Hatta Swarsono, Antropologi Kesehatan, (Jakarta: UI-Press1986), Hlm. 25-27.
[16] Lihat: George M. Foster
dan Barbara Gallatin Anderson, Terj. Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F.
Hatta Swarsono, Antropologi Kesehatan, (Jakarta: UI-Press1986), Hlm. 27-29.
[17] Lihat: George M. Foster
dan Barbara Gallatin Anderson, Terj. Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F.
Hatta Swarsono, Antropologi Kesehatan, (Jakarta: UI-Press1986), Hlm. 29-32.
[18] Penjelasan lengkap dapat
lihat: Lihat: George M. Foster dan Barbara Gallatin Anderson, Terj. Priyanti
Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swarsono, Antropologi Kesehatan, (Jakarta:
UI-Press1986), Hlm. 32-38.
[19] Lihat: George M. Foster
dan Barbara Gallatin Anderson, Terj. Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F.
Hatta Swarsono, Antropologi Kesehatan, (Jakarta: UI-Press1986), Hlm. 41-45.