Kamis, 31 Mei 2012

Istana haruslah memiliki benteng pelindung

Wanita saya ibaratkan seperti sebuah istana yang sangat indah dan megah pada abad pertengahan. Sebagai sebuah istana, dia harus mengelilingi dirinya dengan Benteng yang sangat tinggi. Mengapa?? agar istana ini tetaplah eksklusif dan hanya orang-orang tertentu yang dapat masuk. Selain tinggi, benteng ini juga haruslah kuat. Memiliki ketebalan minimal 5 meter untuk menangkal serangan senjata. Prajurit pun silih berganti menjaga pintu utama dan menjaga keamanan benteng ini.

Alkisah, ada sebuah serangan dari kerajaan lain yang ingin merebut benteng beserta Istana didalamnya. Jika benteng ini tidak kuat, tidak tinggi, serangan batu dan panah berapipun dengan mudah menghancurkan benteng ini. Tidak perlu menunggu lama, Istana yang ada didalamnya akan mudah diacak-acak oleh siapapun dari kerajaan itu. Istana yang awalnya sangat eksklusif ini hanya menjadi Istana kotor dan berantakan karena dijarah oleh pihak yang tidah bertanggung jawab.

Menyedihkan, karena kenyataannya banyak istana yang tidak memiliki benteng penjaga dan dengan mudahnya dikuasai pihak-pihak yang ingin berbuat jahat. Istana-istana ini tidak ada artinya lagi, karena jika ada orang yang ingin memilikinyapun, dia tidak akan mendapatkan apa-apa karena barang-barang dan perabot telah habis dijarah. Tetapi meskipun demikian masih banyak Istana yang tetap eksklusif dan menjadi impian semua kerajaan untuk menaklukannya bukan dengan jalan perang namun dengan jalan damai.

Suatu hari ada seorang Al Fatih (pembuka). Dia berniat memiliki istana tersebut. Dia tidaklah datang dengan membawa pedang. Dia datang dengan sangat berani dan mengetuk pintu benteng. Para prajurit di benteng tersebut tidak dengan mudah menerima Al Fatih masuk, berkeliling dan berjalan-jalan disekitar istana. Para prajurit itu melaporkan hal ini kepada Raja untuk ditindaklanjuti. Jika raja tidak menemukan suatu hal yang buruk, pada akhirnya dia mengizinkan Al Fatih berkeliling kerajaan. Dan jika ternyata semua pihak telah setuju, pada akhirnya Al Fatih diizinkan masuk dan memiliki istana ini,..


hehehe,, ini analogi yang saya jelaskan ke santriyah rabu lalu,..

Minggu, 27 Mei 2012

Keluar atau bertahan?

pada saat ini saya lebih bersikap pasif. menghindari semua yang berkaitan dengan Harokah dan mempelajari ulang kemudharatan dan kebaikan saya disana. Mungkin jika saya sudah menyatakan diri keluar dari jama'ah, saya akan dicap sebagai orang yang berguguran. Allahu a'lam,, tiada yang lebih mengetahui. Sesungguhnya jika saya keluarpun tidak akan berpengaruh besar tehadap yang lain. Saya selalu mengisi kajian mengenai Ihsanul Amal, namun rasanya saya sendiri tidak menerapkan itu. Setiap amanah yang saya lakukan tidak semata-mata ditujukan kepada Allah, namun hanya ditujukan kepada Musyrifah, AJM, maupun PJ. Bukankah itu seperti sebuah borok yang suatu hari akan membusuk? Daripada saya terus menjadi duri dalam daging yang dapat membuat daging tersebut infeksi terus menerus, lebih baik saya menyatakan diri agar keluar dari Harokah yang selama ini telah saya jalani selama hampir 2 tahun. Saya tidak menyalahkan harokah ini, yang saya salahkan adalah saya memang sudah tidak kerasan lagi bergerak disana. Saya seperti orang asing yang terpaksa melakukan amanah-amanah dakwah. Ya Allah,, saya lebih baik memperbaiki diri terlebih dahulu baru berkoar-koar diluar untuk menerapkan syariat Islam. Toh jika saya keluarpun saya tetaplah berdakwah. tapi dengan cara saya. karena saya tidak ingin terikat dengan aturan. Saya ingin kembali berterbangan seperti kupu-kupu yang mencari sebuah bunga untuk diambil manfaatnya. Selama saya masih di pondok, mustahil saya tidak melalaikan amanah. terlebih saya bukanlah seseorang yang dapat membagi waktu dengan bijak. Allahu 'alam semoga keputusan saya untuk keluar tidak akan membawa efek yang buruk untuk hubungan silaturahim saya dengan saudari-saudari yang lainnya. Jangan sampai ukhuwah kita terputus hanya karena kita tidak berada dalam golongan. Saya mohon dengan sangat untuk tidak mengucilkan saya dalam pergaulan.
Jiwa saya seperti terpanggil saat menemukan sejuta permasalahan di pondok ini,.. Ah,, saya pusing untuk memutuskannya. Saya ingin lari ke planet sebelah untuk beruzlah. Siapa tahu disana saya menemukan sesuatu yang lebih baik..

Sabtu, 26 Mei 2012

Original; Review Perang Suci (Holy War)



REVIEW BOOK
“PERANG SUCI (DARI PERANG SALIB HINGGA PERANG TELUK)”
oleh,
Karen Armstrong

PENGANTAR DAN PENDAHULUAN

Karen Armstrong membuka pengantar buku ini dengan sebuah peristiwa mutakhir yaitu “Black September”. Menurut Karen, Peristiwa “Black September” merupakan era baru Perang Suci dalam dunia modern. Dengan peristiwa ini, Amerika sebagai Negara adidaya menyatakan perang terhadap terorisme yang diidentikkan dengan para ekstrimis Islam. Amerika mulai menginvasi Negara-negara Muslim di Timur tengah dengan alasan mencari pelaku terorisme internasional. Jika kita runut lagi pada peristiwa abad pertengahan, infasi Amerika terhadap Negara-negara Timur tengah ini seperti sebuah Perang Salib era modern. Terlebih dengan zionisme Israel atas bangsa Palestina yang semakin menjadi-jadi saat ini.
Konflik penjang antara Amerika dengan Negara-negara dunia Arab adalah kelanjutan perang Salib abad pertengahan antara Kristen dan pihak Muslim. Sedangkan kolonisasi bangsa Israel terhadap bangsa Palestina sebagai kelanjutan perang suci antara Yahudi dan Islam. Karen menjelaskan, agama seperti sebuah candu yang dapat mengobarkan semangat perang. Gong perdamaian dunia yang telah dipukulkan seakan tidak berguna lagi jika terompet jihad melawan kaum kafir telah dikumandangkan oleh pemuka agama.
Karen menjelaskan, sebelum tentara Salib tiba di Yerussalem pada Juli 1099 dan membantai 40.000 orang Yahudi dan Islam secara biadab, para pemeluk ketiga agama tersebut telah hidup damai dibawah naungan hukum Islam selama 460 tahun. Sejak peristiwa penyerangan tentara Salib ini, ketiga agama tidak lagi dapat hidup tenang dan selalu waspada akan adanya kemungkinan perang berikutnya. Dan benar saja, serangan tentara Salib kepada umat Yahudi dan Muslim merupakan sebuah awal yang berakhir hingga Mehmed II menaklukkan kekaisaran Byzantium timur. Setelah kekalahan pada abad pertengahan atas kaum Muslim ini, peradaban Kristen mulai membentuk sebuah identitas baru sebagai bangsa Barat yang lebih sekuler.
Pada pendahuluan buku ini, Karen memaparkan sekilas mengenai perjalanan semasa kecilnya yang selalu dihiasi dongeng-dongeng seputar perang Salib. Sebagai seorang yang hidup dalam dunia katholik, kita dapat ketahui bahwa yang digambarkan mengenai perang Salib pada masa Karen kecil adalah sebuah kisah pembelaan tentara Tuhan terhadap kaum kafir yang terdiri dari pasukan Muslim. Karen menyatakan, gambaran berlebih-lebihan ini selalu membuatnya merenung dan mencari tahu kebenaran dibalik peristiwa perang Salib abad pertengahan. Pada akhirnya Karen meneliti mengenai peristiwa abad pertengahan ini di sebuah Negara yang menjadi konflik panjang antara ketiga agama, yaitu di Israel.
Setelah meneliti umat beragama yang ada di Israel, Karen menyaksikan ketiga umat beragama dengan khusuknya menjalankan ibadahnya masing-masing. Yerussalem, sebagai kota suci ketiga agama besar di dunia menjadi begitu menentramkan hati. Israel dengan tembok ratapannya sebagai titik terakhir kuil kuno orang Yahudi. Kota ini dianggap memiliki peninggalan bersejarah dari Haikal Sulaiman, seorang raja keturunan Israel yang termahsyur. Selain itu, bagi umat Kristen, kota ini dianggap suci karena pada kota inilah Yesus Kristus, anak tuhan yang menebuskan dosa seluruh umat manusia dilahirkan dan disalib. Selain itu, Karen juga tidak melupakan sebuah umat yang khusuk menjalankan ibadah di sebuah masjid berkubah batu diatas tembok ratapan. Inilah umat Islam yang menganggap bahwa Yerussalem merupakan kota suci ketiga, karena pada kota ini terjadi sebuah peristiwa Isra mi’raj Nabi Muhammad.
Dalam buku ini, Karen tidak akan mendalami aspek-aspek persenjataan dan ekonomis atau militer dari perang suci baik di abad pertengahan maupun modern. Sebagai seseorang yang terdidik dalam ruang lingkup sastra dan teologi, buku ini menjadi berbeda dari buku-buku sejarah lainnya. Dengan didikan kuat pada persoalan teologi Kristen, Karen merasa kesulitan menerjemahkan karyanya ini ke dalam umat agama Yahudi dan Islam. Karen berusaha seobjektif mungkin dan mencari kebenaran atau fakta dibalik peristiwa perang Salib dengan sebuah visi tiga misi yang akan dijelaskan pada bab terakhir buku ini.



BAGIAN PERTAMA
PENGEMBARAAN MENUJU JATI DIRI BARU

I
Pada Mulanya Mengapa Ada Perang Suci?

Pada tanggal 25 November 1095, di Konsili Clermont, Paus Urban II menyatakan Perang Salib pertama di depan kerumunan para pendeta, ksatria, dan orang-orang miskin. Perang Salib ini ditujukan untuk menyerang sebuah bangsa yang dianggap terkutuk dan antikristus yaitu bangsa Saldjuk Turki. Paus menggambarkan bangsa Turki sebagai bangsa barbar yang baru masuk Islam namun telah mencaplok negeri-negeri kekuasaan Kristen di Anatolia. Pemusnahan terhadap bangsa Saldjuk Turki ini dianggap sebagai sebuah kewajiban besar untuk menyelamatkan agama Tuhan.
Perang suci muncul dari dorongan yang mendalam dan bersifat inheren dalam tradisi monotheisme. Sebagaimana telah diketahui, tradisi monotheisme berawal dari agama Yahudi. Palestina (Al Quds) sebagai daerah yang sangat penting bagi umat ini. Daerah ini merupakan sebuah daerah bersejarah yang konon dijanjikan Tuhan kepada bangsa ini melalui Musa. Palestina dianggap sebagai tanah suci yang dijanjikan Tuhan setelah mereka mengalami penyiksaan besar oleh Firaun di Mesir. Musa menyelamatkan mereka dari kekejaman raja Mesir ini dan menyebrangi Reed Sea (Bukan Red sea seperti persangkaan kita selama ini). Atas pertolongan Tuhan, umat ini berhasil selamat dari kejaran Firaun untuk menuju sebuah daerah yang dijanjikan Tuhan. Tuhan menjanjikan tanah ini dengan syarat mereka tetap berpegang teguh pada ajaran agama dan mengesakan Tuhan selalu.
Setelah mereka berhasil menyebrangi Reed sea dengan selamat dan menenggelamkan Fir’aun beserta bala tentaranya, Musa sebagai pemimpin rombongan para budak yang dibebaskan ini berusaha mengantarkan mereka pada tanah yang dijanjikan. Namun, sebelum sampai di Tanah yang dijanjikan tersebut, Musa telah meninggal dunia dan perjalanan tetap dilanjutkan dengan dipimpin oleh Yoshua. Ternyata selama perjalanan sebelum Musa meninggal dunia, bangsa Yahudi mengingkari janjiinya untuk mengesakan Tuhan. Mereka mulai kembali pada agama nenek moyangnya yaitu tradisi pagan. Mereka kembali menyembah berbagai Dewa yang terwujud dalam berbagai benda-benda keramat. Dengan mereka kembali menyembah berhala dan mengingkari janjinya pada Tuhan, pada akhirnya mereka tersesat dalam perjalanan selama 40 tahun.
Dikala eksodus besar-besaran bangsa Israel ke tanah yang dijanjikan Tuhan tersebut, terselip sebuah doktrin agama yang mengharuskan melawan orang dan kaum yang berusaha menghalangi jalan mereka. Sebagai umat yang terpilih dihadapan Tuhan, kaum Yahudi diharuskan menghabisi umat lain yang bertentangan dengan umat terpilih itu. Berdasarkan doktrin Yahudi, Musa mendapat sepuluh perintah Tuhan yang salah satu ayatnya menjelaskan perintah untuk melenyapkan mereka (umat selain umat terpilih yang menghalangi jalan Yahudi menuju Kanaan atau Palestina). Selain itu, doktrin lainnya menyatakan “Yahweh, Tuhan kalian, telah menyerahkan mereka kepadamu, sehingga mereka memukul mereka kalah, maka haruslah kamu menumpas mereka sama sekali. Janganlah engkau mengadakan perjanjian dengan mereka, dan janganlah engkau mengasihani mereka” (Keluaran).
Doktrin ini sangat mempengaruhi watak Yahudi hingga saat ini, yaitu berusaha menumpas setiap orang maupun kelompok yang manghalangi perjalanan mereka menuju Kana’an. Selama merebut dan mempertahankan wilayah Kanaan, Yahudi membantai tanpa ampun Suku Het, Suku Girgasi, suku Amori, suku Kanaan, suku Feris, suku Hewi, dan suku Yebus. Pada masa Daud, suku Yebus dikalahkan dan Yerussalem berhasil direbut oleh orang-orang Israel.  Namun pada masa Daud, Kuil tidak dibangun. Dan baru dibangun pada masa raja Sulaiman, anak Daud kuil ini dibangun. Kuil ini pada awalnya dibangun sebagai tempat penyembahan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Tetapi seperti pada saat Musa masih hidup, kaum Yahudi mengkhianati Tuhan yang Esa dan kembali kepada ajaran paganisme
Akibat upaya penggabungan ajaran Yahudi dengan tradisi pagan ini, pada akhirnya Tuhanpun marah dan kerajaan Israel menjadi terpecah belah. Pada masa itu, terjadi peristiwa yang cukup besar kerena suku-suku utara memisahkan diri dari raja-raja di Selatan Yerussalem. Akhirnya, pada tahun 722 SM, terjadi sebuah bencana besar. Kerajaan Israel yang berada di selatan Yerussalem berhasil ditakhlukan oleh Raja Tiglath-Pileser III dari Assyria. Sepuluh suku dibagian utara diusir, dipaksa untuk bergabung, dan dengan dasar agama dimusnahkan. Kesepuluh suku itu selamanya lenyap dari sejarah.
Kerajaan Yehuda yang terkejut akan peristiwa ini dan mereka yang ketakutan pada akhirnya berusaha mencari jalan lain untuk mendapat keselamatan dengan mencampurkan ajaran sentral Yahudi dengan suku penyerangnya. Hal ini sekali lagi membawa kepada kemarahan Tuhan. Akhirnya beberapa sekte yang tidak setuju dengan upaya sinkretisme ini melakukan sebuah Reformasi kembali kepada agama Ibrahim yaitu Reformasi Yosiah. Doktrin sentral agama Yahudi lebih menjurus ke arah batiniah. Kaum Yahudi harus menebus dosanya kepada Tuhan menjadi orang miskin bukan hanya sekedar berziarah ke kuil. Umat terpilih Tuhan ini kembali terasing dan diramalkan akan dapat terus bertahan dalam pengasingan jika mereka tetap setia kepada Taurat. Bencana besar yang telah diramalkan pun terjadi, pada tahun 589 SM Babilonia berhasil menaklukkan kerajaan Israel Raya dan bangsa Yahudi diusir secara paksa dari tanah yang dijanjikan Tuhan.
Bangsa Yahudi yang hidup dalam pengasingan selalu mempercayai bahwa mereka akan kembali pada tanah yang dijanjikan Tuhan tersebut. Mereka beranggapan akan kembali ke Sion, Babilonia (Yerussalem). Pada suatu saat nanti, aka nada sebuah kemenangan besar yang membawa mereka kembali kesana. Lalu, pada tahun 538 SM, Raja Persia berhasil menaklukan Babilonia, dan member izin agar bangsa Yahudi kembali ke Sion. Pada masa ini, seorang raja yang bernama Y\unus memerintahkan agar umat Yahudi bertaubat kepad aTuhan. Namun bukan orang Yahudi namanya jika tidak mengingkari janji. Akhirnya mereka kembali mengkhianati Tuhan, dan pada abad ke 70 M, Romawi berhasil menaklukan Yerussalem kembali.
Romawi berhasil menjadikan Yerussalem sebagai sebuah kota pagan. Mereka membakar kuil peninggalan Sulaiman dan membentuk sebuah kota yang disebut Aelia. Para Rabi Yahudi kemudian menyusun kembali Talmud. Golongan lain yang tidak mau menyerah pada Romawi akhirnya memaksa 960 lelaki, perempuan, dan anak-anak untuk bunuh diri pada tahun 73 M. Sebelum peristiwa ini terjadi, Yesus Kristus telah mengajak mereka bertaubat. Tetapi mereka mengelak dan menolaknya dan menganggap Yesus Kristus bukanlah seorang Messiah yang mereka yakini akan membawa mereka pada tanah yang dijanjikan Tuhan.
Keyakinan bahwa seorang Messiah telah lahir pertama kali diyakini oleh seorang Yahudi yang bernama Paulus. Paulus menerjemahkan sebuah agama baru diluar agama Yahudi yaitu agama Kristen. Agama Kristen yang dibawa oleh Paulus adalah sebuah agama damai yang dicontohkan oleh Yesus Kristus. Meskipun begitu, Paulus tetap menggabungkan ajaran sentral Yahudi dengan ajaran Yesus Kristus. Dalam doktrin Kristen digambarkan akan ada seorang anti-Kristus yang akan mengancam eksistensi umat manusia didunia. Dan hingga saat ini, umat Kristen menganggap anti-Kristus tersebut berasal dari kaum Muslim atau Yahudi.

BAGIAN KEDUA
PERANG SUCI

1096 -1146
Perang Salib Menjadi Perang Suci dan Mengilhami Jihad Baru

Pada bulan September 1096, Pangeran Bohemund dari Taranto menyaksikan pasukan tentara Salib Normandia berbaris menuju pelabuhan Brindisi untuk berlayar ke timur.  Beberapa minggu kemudian Bohemund dan keponakannya, Tancred, belayar menuju konstantinopel dengan sepasukan bersenjata lengkap dan terlatih. Perang salib adalah sebuah jalan yang nyata bagi Bohemund untuk mendapatkan sebuah kerajaan timur. Bagi Bohemund, sebagaimana bagi kebanyakan tentara salib pertama, motif–motif sekuler dan religius bisa hidup berdampingan dengan mudah, dan memang perang salib pertama, dapat berhasil hanya karena gabungan dari kesalehan yang kuat dan akal sehat praktis yang baik.
Pandangan Bohemund tentang perang suci bukan seperto visi reformasi Cluny seperti paus urban, tapi mengacu pada The Song of Roland. Dalam perang salib, kaum Frank menemukan jalan terbaik untuk menggabungkan cinta mereka pada Tuhan dengan cinta mereka kepada perang. Ribuan dari mereka akan dengan rela bertempur demi masuk surga dan mencapai kesyahidan. Yang  jelas Tancred memandang perang salib sebagai jawaban bagi kegelisahannya yang panjang. Penulis biografi Tancred menuturkan bahwa begitu Tancred mendengar tentang perang salib, seluruh energi terlepas dan semua keraguan terjawab dalam sesuatu yang memuncak sebagai peralihan religius dari hidupnya.
Para tentara salib yang kaya merasakan bahwa kewajiban merekalah untuk menolong para ksatria yang lebih miskin, dan semua orang merasa wajib bersedekah bagi para peziarah yang miskin. Dalam hal ini, perang salib memang mengekspresikan visi reformasi Cluny mengenai ziarah, dimana si kaya dan si miskin hidup dalam sebuah komunitas bersama dan tempat para ksatria–kristen yang telah menjadi lebih baik memerhatikan kaum miskin dan kaum lemah.
Godfrey dari Bouillon, yang pasukannya merupakan rombongan pertama yang meninggalkan Eropa pada bulan Agustus 1096, telah menjual perkebunannya untuk Rosay dan stenay di Meuse. Ia kemudian menjadi pemimpin pertama orang–orang kristen di Yerusalem dan merasa bahwa ia merupakan perwujudan dari cita–cita perang salib pertama. Godfrey memiliki alasan praktis untuk ikut dalam perang salib, dia tidak memiliki masa depan di barat. Namun, ia juga orang yang sangat saleh dan hidup sangat hemat dan sederhana yang menunjukkan bahwa ia memang telah menyerap nilai yang disusun Cluny mengenai kemiskinan suci. Pada Godfrey, sang pahlawan perang salib, kita juga melihat campuran antara motif ekonomi dan ideologi.
Saudaranya, Baldwin, amat berbeda dan jelas–jelas berpandangan sekuler. Baldwin sebetulnya diarahkan untuk mengabdi pada gereja dan karena itu tidak mewarisi satu pun perkebunan keluarganya. Tapi ia kemudian terbukti tidak cocok hidup sebagai seorang gerejawan dan kembali ketempat tinggalnya.  Selama perang salib, Baldwin terbukti amat terampil dan lihai sebagai prajurit maupun politisi. Dialah yang terutama bertanggung jawab mengantarkan kerajaan kristen Yerusalem menjadi diakui di Timur Tengah. Robert dari normandia, anak tertua dari william sang penakluk, adalah seorang yang amat saleh dan benar–benar  termotivasi oleh seruan Urban. Ia seorang tentara salib yang pasti akan menyerahkan semua yang ia punya untuk mengikuti kristus dalam perang salib.
Raymund dari St. Gilles juga seorang pendukung reformasi Cluny. Raymund adalah bangsawan pertama yang menawarkan diri untuk ikut ekspedisi. Raymund betul–betul terilhami oleh motif–motif religius. Para tentara salib amat bersemangat, tetapi mereka belum menciptakan sebuah ideologi  perang salib yang jelas dan dapat dianut oleh seluruh pasukan. Di Konstatinopel, para tentara salib memasuki dunia yang berbeda. Mereka menatap takjub pada istana–istana, gereja–gereja dan taman–taman, karena waktu itu belum ada hal – hal yang secanggih dan semaju itu di Eropa.
Kaum Frank yang suka berperang tidak dapat memahami suatu masyarakat yang berpikir bahwa perang amatlah tidak sesuai dengan ajaran kristen, dan memilih untuk membuat berbagai perjanjian dengan kaum Muslim serta mencari penyelesaian diplomatik ketimbang menumpahkan darah yang dirasa tidak perlu.
Sebagian alasan Urban dalam menyerukan perang Salib adalah untuk memulihkan keretakan  yang tumbuh di antara gereja–gereja timur dan menghancurkan setiap harapan bertemunya kembali kedua kelompok itu. Orang–orang Eropa telah lama membenci kaum Yunani dari kejauhan, tetapi ketika para tentara salib itu betul–betul dihadapkan pada kemegahan Konstantinopel dan keagungan budayanya yang maju, mereka merasa inferior dan ini membuat mereka bersikap defensif dan mencari gara–gara. Selama upacara pengambilan sumpah, salah satu ksatria duduk di singgasana Alexius dan menolak untuk pindah ketika sang kaisar  masuk ruangan, sampai Baldwin dengan kasar memarahi ksatria itu. Alexinus kemudian mengajak ksatria kurang ajar itu berbicara dengan santun walau juga angkuh, dan membiarkan ksatria kurang ajar itu menyombongkan kehebatannya dalam sebuah pertempuran. Kaisar kemudian dengan kalem menasehatinya untuk tidak mencoba berbagai taktik yang baru saja disombongkan itu kepada orang Turki jika sang ksatria tidak ingin babak belur. Bagi orang–orang Byzantium, kaum frank itu selalu tampak bodoh dan tak beradab dalam bergaul, sedang kaum Frank sendiri sungguh tidak menyukai ketergantungan mereka pada Alexius dan lebih tidak suka lagi pada penguasannya atas situasi yang membuat mereka sulit bergerak dengan leluasa.
Pada bulan mei 1097, para tentara salib dan tentara Byzantium mengepung ibukota Seldjuk di Nicea. Alexius mungkin sadar bahwa sultan Kilij arslan 1 sedang berada jauh di perbatasan dan itu menjadi saat yang tepat untuk menyerang. Kilij Arslan telah mendengar tentang para tentara Salib, tapi ia tidak menggapnya serius.
Perang salib menjadi kronik teror dan penderitaan. Tentara Turki menghancurkan daerah–daerah pedesaan agar para tentara Salib daerah–daerah pedesaan tak dapat menemukan makanan, sehingga orang–orang dan binatang mulai berjatuhan mati bagaikan lalat. Sebagaimana biasa, para peziarah miskin mengalami penderitaan lebih banyak, dan sepenuhnya bergantung pada sedekah–sedekah para ksatria dan prajurit yang juga mengalami pemiskinan yang dramatis. Dengan matinya kuda–kuda, semakin banyak ksatria yang kemampuan tempurnya menjadi menurun, karena tanpa kuda mereka tidak akan mampu mengerjakan fungsi militer mereka, yang lainnya bertahan dengan menunggang lembu, kamis, dan domba, serta menggunakan anjing sebagai pengangkut.
Pada masa Charlemagne, kaum Frank mulai melihat diri mereka sendiri sebagai orang–orang pilihan Tuhan baru. Saat itu, dengan penyelamatan yang mereka alami di Dorylaeum, perlahan membuat mereka berpandangan bahwa mereka juga bertanggung jawab atas panggilan untuk mengabdi pada Tuhan yang sebelumnya telah gagal diemban oleh kaum yahudi. Perlahan pula para tentara Salib saling menyatu dan bersama memandang diri mereka sendiri sebagai satu umat, bersamaan dengan perjuangan mereka melewati daerah pedesaan yang terpencil itu.
Perang suci kaum Yahudi dan Kristen cenderung mengikuti pola yang amat serupa. Banyak zionis religius yang memandang konflik masa kini sebagai perang suci melawan Islam. Dan berpikir dan berperilaku amat serupa dengan para tentara Salib. Jika perang saling menyumbang andil pada konflik hari ini dengan menghasilkan sikap anti semitisme di Eropa, maka ia juga membantu terbentuknya zionisme religius yang mengemuka kembali secara amat kuat dan agresif di masa kini. Salah satu pelajaran dari perang Salib pertama adalah bahwa agama tampaknya efektif ketika semua yang lainnya telah gagal. Tanpa iman keagamaan, tentara Salib pasti tidak akan dapat bertahan dalam perjalanan traumatis mereka dan juga tidak akan dapat mengalahkan orang–orang Turki. Walaupun kaum Muslim jauh lebih lambat dalam mencari solusi, jihad pada akhirnya terbukti jauh lebih efektif dalam mengusir kaum Frank itu, daripada perang yang murni sekuler. Dalam konflik masa kini, baik kaum yahudi dan kaum Muslim telah berpaling kepada perang suci karena mereka memandang tak ada lagi solusi yang lain. Di masa kita sendiri, agama terbukti menjadi kekuatan yang amat sukses. Tapi agama juga memiliki bahaya besarnya sendiri dan dapat menghasilkan kegagalan yang sama besarnya dengan keberhasilannya yang menakjubkan. Cerita perang Salib Kedua akan memberi kita sebuah indikasi jelas akan kekuatan yang berbeda dan kelemahan dari perang suci kaum kristen (dan dengan itu, nantinya juga kelemahan perang suci kaum yahudi) dan jihad baru kaum Muslim.


1146 – 1148
ST. Bernand dan Perang Salib Paling Religius

Pada tanggal 31 Maret 1146, Bernand, kepala biara dari Cklairvaux, berpidato kepada sejumlah besar baron Prancis di Vezelay dan meyakinkan mereka bahwa kejatuhan Edessa bukanlah suatu bencana, tetapi bagian dari rencana Tuhan. Tuhan bahkan membiarkan atau menyebabkan Zangi dapat menaklukan Edesa untuk memberi kesempatan yang mengejutkan kepada kaum kristen. Tuhan akan bersama umat-Nya dalam perang Salib mereka yang baru, yang akan menjadi pengungkapan cinta ilahiah dan salah satu kejadian yang paling penting dalam sejarah penyelamatan. Bernand mungkin paling berkuasa di Eropa pada masa itu. Raja Perancis berada dibawah pengaruhnya dan Paus sendiri anggota dari ordo religius yang dipimpinnya. Ia memperlihatkan pamor kekuasannya yang kuat karena kefasihannya yang karismatik.
Selama beberapa minggu berikutnya Bernand berkeliling Perancis untuk mengkhotbahkan perang Salib. Seketika itu juga para barin, ksatria, dan peziarah miskin meninggalkan semua kegiatannya dan mengikuti tentara raja yang akan melakukan perang Salib. Seakan seluruh Perancis melakukan mobilisasi untuk perang suci dalam cara yang sama dengan ketergesaan mereka dahulu menyambut seruan Paus Urban di tahun 1095. Tapi ada perbedaan besar antara keduanya. Pandangan Bernand yang rapsodik dan mistis tentang perang Salib amatlah berbeda dengan pandangan paus urban berdasarkan cita–cita reformasi Cluny dan dipenuhi kesadaran tentang pembebasan tanah suci. Bernand diilhami oleh kepercayaan baru dalam perang suci kristen, yang kini disebarkan oleh kaum mapan Eropa, dan membawa keyakinan itu ketitik bagian akhir. Kesalehan mistisnya itu akan membuat perang suci kali ini sebagai perang yang paling religius di antara perang Salib lainnya. Terminologi tradisional yang menyebutkan bahwa ada delapan kali perang suci dalam pengertian tertentu akan menyesatkan, tetapi acuan tersebut masih mengungkapkan kebenaran yang bermakna penting.
Bernard memiliki banyak gagasan ideal tentang tentara Salib pertama. Seperti Urban, ia mendesak para ksatria agar berhenti saling membunuh satu  sama lain dan bergabung untuk melawan Islam. Penolakan Bernard terhadap kaum Muslim bukan berdasarkan pada kebencian apapun atas Islam sebagai agama, tapi lebih pada kaum Muslim sebagai ancaman bagi tanah suci dan karena itu juga ancaman bagi seluruh dunia.
Tentara Salib pertama adalah sebuah organisasi kolektif yang amat besar, tapi Bernard secara khusus mengkhotbahkan perang Salib kedua sebagai sebagai undangan ilahiah dari Tuhan kepada masing–masing individu peserta perang Salib.
Di Inggris, pada saat penaklukan Normandia, seorang pendeta dari biara Sherborne, yang biasa dikenal sebagai Stephen Harding tiba–tiba mencampakkan kehidupannya di biara karena alasan yang tidak jelas dan selama bertahun–tahun mengembara tanpa lelah ke seluruh Eropa. Dia menjalani pencarian spirit dalam  spiritual yang bersifat pribadi. Akhirnya ia bergabung dengan sebuah biara baru di Molesmes sekitar tahun 1091. Dibawah kepemimpinan kepala biaranya yang mengagumkan, Robert Molesmes terlibat dalam sebuah perdebatan sengit di antara kalangan biara. Kebanyakan pendeta ingin bertahan pada tradisi Cluny, dan ini mengganggu para pendeta itu. Sebagian lain ingin mengesampingkan ordo pendukung reformasi Cluny yang telah terelaborasi itu dan ingin kembali keakar–akar tradisi ordo Benediktin serta akar–akar agama kristen.
Perang Salib pertama adalah proyek paling dramatis dari proyek–proyek agresif tersebut. Tapi disitu juga terdapat rasa percaya diri spiritual. Biara–biara tua menjadi benteng benteng, mengusir berbagai kuasa jahat dan menjaga ketertiban lama. Dalam biara–biara pelopor dari ordo biarawan putih, para pendeta terlibat dalam perjuangan dan pencarian spiritual. Perbedaannya, kaum elit ordo biarawan putih bertempur di tataran duniawi, masing–masing saling membutuhkan, sebagai jiwa dan raga dalam sebuah entitas.
Menjelang perang Salib, Bernard telah mendepak akal sehat yang mengejawantah dalam pribadi seorang sarjana dan gerejawan hebat, Peter Abelard. Aberald adalah seorang saingan Bernard untuk kepemimpinan angkatan muda di Eropa. Dia adalah seorang filsuf dan ahli logika.
Pada akhir Mei 1147, Conrad dan pasukan besarnya meninggalkan Jerman dan memulai perjalanan melalui Eropa timur menuju Konstatinopel. Pada tanggal 8 Juni, tentara Perancis berangkat. Tidak seperti Onrad Louis yang mengambil Salib atas inisiatifnya sendiri. Pada tanggal 19 Maret 1148, raja Louis dan tentaranya tiba di pelabuhan St. Simon.


BAGIAN KETIGA
PERANG SALIB DAN IDENTITAS KAUM BARAT

1199-1221
Perang Salib Melawan Orang Kristen Dan Perdamaian Kristen Baru

Tesis utama buku ini adalah bahwa ada keterkaitan erat antara perang Salib di abad pertengahan di tanah suci dengan konflik antara orang-orang Arab dan kaum Yahudi di timur tengah. Mereka memandang Tentara Salib sebagai para imperialis barat dan kaum zionis sebagai Tentara Salib baru atau juga sebagai alat imperialisme Barat. Pertempuran Hittin antara orang Kristen dari kerajaan Yerusalem dan Saladin telah menjadi sesuatu yang amat penting bagi kaum Yahudi maupun orang Arab. Orang Arab tentu saja memandang pertempuran ini sebagai sebuah penyemangat, sebaliknya sebagian orang Israel begitu asyik, bersemangat dan terus tercerai berai, persis seperti kaum Kristen di kerajaan Yerusalem.
Sebelum Paus Urban II menyerukan perang Salib pertama di Konsili Clermont pada tahun 1095, terdapat suasana yang relatif rukun antara umat Yahudi, Kristen dan Islam. Tapi segalanya berubah ketika tentara Salib menanggapi Paus Urban dan berbaris ke arah timur untuk membebaskan makam suci Kristus di Yerussalem. Pada awal perjalanan mereka, tentara Salib pertama membatai komunitas Yahudi. Di akhir perjalanan, mereka membantai para penduduk Muslim di Yerussalem, orang Kristen barat tidak lagi menganggap kaum Yahudi dan Muslim sebagai manusia biasa. Mereka menganggap kedua kaum itu monster kejam dan membangkang, setiap kali sebuah perang Salib di serukan melawan kaum Muslim, selalu pecah kerusuhan anti-semitisme di eropa. Tanpa anti-semitisme barat, tak mungkin ada sebuah Negara Yahudi di timur tengah saat ini.
Kekalahan kaum Kristen di tangan Saladin benar-benar menjadi bencana besar. Kekalahan itu bukan hanya sekedar bencana militer dan politis. Kekalahan itu membangkitkan berbagai keraguan menakutkan dan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab, mengapa Tuhan membiarkan musuh-musuh-Nya menang? Bahkan yang lebih mengerikan adalah hilangnya Yerussalem yang bukan kota biasa, tetapi pusat kesucian dan kekuatan spiritual. Pada tahun 1190, harapan-harapan melambung tinggi kembali ketika perang Salib ketiga di mulai dengan berlayarnya orang-orang Eropa ke timur tengah untuk memerangi Saladin. Tapi mesti di ingat juga bahwa di timur, antusiasme terhadap perang suci telah memudar di kedua belah pihak. Bencana Hittin memberikan pelajaran amat penting kepada kaum Frank di palestina. Mereka menyadari bahwa meskipun terlambat bahwa ekstremisme religius mereka sendiri bertanggung jawab atas kekalahan mereka. Kini mereka amat cemas dan takut membuat kaum Muslimin marah , karena mereka tahu betul bahwa mereka tidak akan mampu bertahan akan serangan baru kaum Muslimin. Di pihak kaum Muslimpun, antusiasme terhadap jihad tidak berlanjut lagi setelah Saladin wafat pada tahun 1193.
Salah satu fantasi yang di ciptakan kaum Kristen tentang Islam pada saat perang Salib adalah bahwa Islam agama penuh kekerasan dan tidak toleran. Ini sungguh keliru. Jihad waktu itu adalah praktik yang telah terlupakan dan hanya bangkit kembali sebagai tanggapan bagi inisiatif praktik perang Salib dari barat.
Pada tahun 1199, sebuah kelompok Baron dari Prancis dan Flanders memutuskan untuk memimpin perang Salib keempat. Mereka merasa bahwa perang Salib ketiga, yang di pimpin oleh tiga penguasa terbesar eropa Richard Si Hati Singa, Philip Augustus dari Prancis, dan kaisar Federick Barbarossa terlalu bersifat duniawi.
Pada bulan juni 1202, tentara Salib berkumpul di Vanesia, tetapi sayangnya jumlah mereka hanya separuh dari yang diharapkan. Lagi pula, hanya dua pertiga saja jumlah uang yang terkumpul dari jumlah hutang mereka kepada Dandolo. Ketika Dandolo mengetahui mereka tidak mampu membayar penuh, ia segera mengambil kekuasaan penuh atas mereka. Dandolo ingin agar tentara Salib merebut Zara untuknya dengan tentara besar mereka. Ternyata sebagian besar dari tentara Salib itu merasa jijik terhadap gagasan untuk menyerang sebuah kota Kristen yang tak bersalah dan mereka yang merasa jijik itu meninggalkan tentara Salib.
Revolusi ini merupakan tantangan nyata kepada tentara Salib. Untuk beberapa waktu, Dandolo mencoba membujuk mereka bahwa satu-satunya cara untuk keluar dari benang kusut ini adalah melancarkan serangan besar ke kota. Perang Salib keempat menjadi perang suci melawan kaum Kristen ortodoks Yunani, yang menjadi “musuh” resmi-barat yang pertama sejak masa Charlemagne sebelumnya.
Tentara Salib menyerang kota itu pada tanggal 6 april. Pada mulanya orang-orang Yunani melawan sekuat-kuatnya. Tapi moral dan semangat mereka merosot akibat bertahun-tahun menghadapi revolusi internal dalam kekaisaran mereka. Kini orang-orang Yunani yang bertekuk lutut dan terhina itu tentu akan mempercepat peralihan iman mereka. Kini akan ada sebuah dunia Kristen baru yang bersatu.
Tentara Salib yang kini ingin membagi wilayah-wilayah baru mereka di antara mereka sendiri menjadi tanah-tanah kaum Feodal yang menguntungkan, mengacu pada model di Eropa. Mereka ingin menikmati semua harta benda yang mereka curi dan membawa pulang relic-relik itu untuk rekan-rekan Kristen mereka yang akan berterima kasih, yang secara spiritual akan di perkaya oleh keberadaan mereka yang kuat. Perang Salib keempat adalah sebuah kepalsuan dan kejahatan, yang sepenuhnya menampik semua idealisme lama. Para pemimpin mereka ingin kembali kepada jiwa dan semangat perang Salib pertama, tetapi nyatanya mereka mengabaikan tujuan paling penting dari Paus Urban ketika ia menyerukan ekspedisi pertama. Pada tahun 1261, orang-orang Yunani berhasil memerangi orang-orang latin, mengusir mereka keluar, dan kembali mengembalikan kaisar Yunani ke tahta Byzantium.
Sejak pertengahan abad ke 27, kaum misionaris telah berkeliling dari Eropa timur dan mendakwahkan agama Kristen dengan format yang berbeda kepada orang barat. Yang mereka klaim sebagai agama sejati Yesus. Segera saja berkembanglah sebuah gereja saingan disana, yang terus menerus menarik banyak pemeluk baru. Kaum Kristen baru itu menyebut diri mereka sendiri sebagai kaum Cathari atau golongan murni. Satu-satunya sumber pengetahuan kita tentang mereka adalah berbagai tulisan Polemis dari musuh Katolik mereka yang mungkin mendistorsi ajaran-ajaran mereka yang sebenarnya.
Kaum Cathari menghabiskan hidup mereka dengan mencoba untuk menyucikan diri dari dunia material dan mencari dunia spiritual. Ada dua tingkatan dalam gereja Cathari. Pertama, ada kaum elit yang menerima sakramen dan disebut kaum sempurna. Tingkatan kedua, para pengikut, yang merupakan mayoritas pemeluk ajaran ini. Mereka bersembahyang bersama kaum sempurna dalam sebuah liturgi pertobatan dan hidup berdasarkan aturan-aturan moral dari greja Cathari, menyiapkan diri menghadapi kematian dan pemurnian terakhir.
Gereja Cathari dan Katolik sebenarnya amatlah mirip. Kaum Katolik juga meyakini adanya perang antara Tuhan dengan roh jahat yang amat kuat, yang mereka sebut setan atau iblis. Keduanya menampik dunia, daging, atau tubuh, sebagaimana kaum Cathari. Gereja katolik mungkin saja mengkhotbahkan bahwa pernikahan itu sesuatu yang suci, tapi kebanyakan kaum Katolik merasa bahwa seks itu jahat, apapun dogmanya. Namun, yang sangat penting untuk di ungkap di sini, kaum Cathari menentang seluruh etos perang Salib agama Kristen, kaum Cathari tidak percaya bahwa Yesus telah meninggal di tiang Salib. Kaum Cathari adalah kaum yang pecinta damai yang tegas dan anti kekerasan, mereka juga masyarakat yang amat toleran.
Kaum Cathari bukanlah satu-satunya kaum bidah di Eropa. Di Prancis utara ada sebuah gerakan serupa yang bertujuan untuk kembali ke prinsip-prinsip dasar Kristen dan menolak gereja Paus Innocent-III yang kaya dan berkuasa. Bahaya khusus dari Catharisme adalah bahwa, tidak seperti “kaum bidah” daerah utara ini, kaum Cathari punya uskup dan pejabat keuskupan mereka sendiri. Agama mereka tak terbatas pada orang-orang miskin dan kalangan masyarakat pinggiran, tetapi telah memasuki banyak keluarga dan rumah kalangan terhormat di daerah selatan dan bahkan diterima dan di hormati oleh para bangsawan Katolik.
Innocent mencoba untuk melawannya dengan mengirimkan jemaat ordo biarawan putih untuk berdakwah melawan kaum bidah. Tetapi jemaat ordo biarawan putih ini telah berubah sejak masa kejayaan mereka pada St. Bernard. Mereka telah meninggalkan kesederhanaan mereka yang dulu, sehingga mereka menjadi amat kaya dan kini menyerupai dengan kaum mapan. Orang-orang si selatan, betul-betul tidak terkesan dengan berpikir bahwa kaum Cathari jauh lebih sesuai dengan Kristus.
Seorang Spanyol muda bernama Dominic Guzman baru saja mendirikan ordo untuk melawan bidah dengan damai, kaum dominikan adalah rahib jenis baru yang menyebut diri mereka sebagai Friar. Pada abad ke-13, kaum Dominika menunjukan sebuah hasrat baru untuk mencontoh kehidupan kristus dengan lebih dekat dan sebenarnya daripada yang telah di lakukan oleh para pendukung reformasi Cluny. Hasrat inilah yang juga telah menarik minat banyak orang saat itu kepada kaum Waldensia, kelompok orang miskin dari lyon, serta kaum Cathari. Hanya saja sedikit kaum Cathari yang mau pindah kembali kepada ortodoksi, dan bidah itu terus saja meluas.
Innocent merasa bahwa kini tak ada solusi lain dari msalah ini kecuali pedang. Pada tanggal 17 November 1207, ia menyurati raja Philip Augustus, mendesaknya untuk membawa sebuah pasukan untuk memerangi kaum bidah di daerah Languedoc, dengan menawarkan imbalan istimewa. Untuk pertama kalinya di Eropa, seorang Paus menyeru kaum Kristen untuk membunuh kaum Kristen lainnya.
Pada tahun 1209, perang Salib telah siap. Philip Augustus, yang sedang mengalami kesulitan tidak dapat memimpin perang Salib. Maka Arnauld Amalric, pemimpin biara dari Citeaux, mengendarai kuda sebagai kepala pasukan besar tentara Salib. Pada tanggal 22 Juli, tentara mengepung kota Beziers dan mempertunjukan tekad maut dari tentara Salib baru ini, yang bersiap untuk memusnahkan bahaya orang selatan ini sekejam saat mereka akan menghancurkan kaum Muslim dan Yahudi. Setiap penduduk kota itu di bantai, terror yang muncul dari pembantaian ini berarti bahwa kemudian tentara Salib tidak menjumpai perlawanan lebih jauh hingga mereka mencapai Carcassonne di bulan Agustus, untuk menyelamatkan rakyatnya, pangeran Raymund-Roger menyerahkan diri kepada tentara Salib. Pada bulan November, Raymund-Roger meninggal di penjara.
Simon kemudian melanjutkan perang Salib, menguasai pusat-pusat kaum Cathari satu demi satu, membakar kaum bidah, dan mengganti aristokrasi selatan dengan kebangsawanan utara. Simon menjadi salah satu tuan tanah terkaya dan paling berkuasa di Prancis selama perang Salib. Tapi sungguh keliru jika kita memandangnya sebagai seorang tentara Salib sekuler, yang memanfaatkan perang Salib untuk meraih ambisi duniawi sendiri.
Selama tahun-tahun ini, sebuah kelas baru muncul. Banyak keluarga yang terdiri atas lelaki, perempuan, dan anak-anak terpaksa hidup berkelana dan meminta-minta di lingkungan pinggiran masyarakat. Sering kali mereka tertarik pada sekte-sekte bidah baru yang menekankan pada nilai kemiskinan suci; merekalah yang benar-benar meniru kristus, bukan para rahib kaya dan kaum rohaniawan dari gereja Innocent. Dari titik ini, berbagai sekte menjamur di seluruh Eropa, yang sering memjadi amat agresif melawan pihak mapan yang mengabaikan segenap penderitaan mereka.
 Gerombolan miskin pengelana ini sering disebut Pueri (anak-anak) dalam semangat yang mirip dengan para budak hitam yang sering disebut “boy” oleh kaum putih Afrika selatan. Pada tahun 1212, kaum Puer Prancis yang masih muda, Stephen, memperoleh penampakan Yesus, yang muncul di hadapannya dengan menyamar sebagai seorang penziarah miskin yang meminta-minta roti. Ia memberi Stephen sepucuk surat untuk Philip Augustus, yang di dalamnya Yesus membela persoalan kaum miskin. Tiba-tiba bangkit semangat dan gairah baru. Pada sekitar waktu yang sama, sebuah gerakan serupa tumbuh secara spontan di Jerman, di pimpin oleh seorang Puer bernama Nicholas. Di masing-masing negeri, sekitar 30.000 Pueri mengadakan sebuah prosesi massif, memanggul Salib kayu yang besar dan menggelandang berjalan kaki melintasi daerah pedalaman dan melalui kota-kota dan desa-desa. Namun, berbagai perjalanan suci ini bukanlah sebuah langkah awal untuk sebuah perang suci. Pada akhir musim panas, kaum Puer bubar secara damai dan tampak lenyap dari sejarah.
Pada bulan September 1211, para bangsawan Jerman, dipimpin oleh Philip Augustus, mencabut posisi kaisar yang telah dikucilkan gereja itu serta memilih Frederick untuk menggantikannya. Pada bulan Desember 1212, ia di nobatkan sebagai Raja Jerman di Mainz. Rakyat Jerman meyakini dirinya sebagai seorang pilihan Tuhan. Segera setelah ia menerima tanda kebesaran kekaisaran dari uskup agung, kaisar Frederick II tiba-tiba dan secara mengejutkan mengambil Salib. Namun, nyatanya lebih sulit mengumpulkan kekuatan untuk perang Salib kelima daripada yang di duga setiap orang. Tapi ia cukup percaya diri bahwa ia akan sukses. Ia bahkan menulis surat kepada al-Adil untuk mengingatkan serangannya yang akan tiba dan menasihati al-Adil untuk menyerahkan Yerussalem secara damai.
Kaum Frank tidak menginginkan perang Salib, katanya pada Paus. Mereka telah jemu membahayakan keamanan Negara kecil mereka dan takut bahwa perang suci itu akan menghancurkan kesepakatan-kesepakatan dagang yang baik dengan kaum Muslim saat itu. Kaum Muslim juga sedang menikmati perdagangan baru dengan kaum barat. Gairah mereka terhadap jihad telah mati dengan wajar setelah kematian Saladin pada tahun 1193. Al-Adil tidak punya hasrat untuk menyerukan perang suci, walaupun ia dipanas-panasi oleh sebagian kecil pejabat militernya.
Pada tahun 1218, ada tiga armada dari Fisia, Prancis dan Inggris, yang tiba di Acre dan mengutuskan untuk membangkitkan kembali rencana lama untuk menaklukan Mesir. Pada bulan Mei, mereka berlayar ke Damietta ini cukup mengejutkan kaum Muslim disana. Bahkan pada bulan Agustus mereka berhasil merebut kota itu. Rasa terkejut akibat kehilangan kota Damietta itu terlalu berat bagi sultan yang telah tua itu, yang kemudian wafat beberapa jam sesudahnya karena serangan jantung. Untuk mencegah pertikaian mengenai pewarisan tahta, sultan telah mengatur bahwa kekaisaran Ayyubiyah yang didirikan Saladin akan dibagi-bagi di antara tiga putranya yang tertua: al-Kamil mengambil Mesir, al-Asyraf mengambil jazirah dan al-Mu’azam akan mengambil Damaskus dan Yerusalem.
Pada bulan Februari tentara Salib berhasil menduduki kota al-Adilya. Kaum Muslimin kini semakin putus asa. Al-Mu’azam mulai membongkar benteng Yerusalem dan benteng-benteng lain di Palestina, kalau-kalau ia di paksa untuk menyerahkan kota itu kepada kaum Kristen. Tapi dalam kenyataanya, semangat tempur di kamp-kamp Kristen telah amat rendah.
Perang Salib kelima terus berlanjut dan al-Kamil bersiap untuk membuat perjanjian damai. Pada tahun itu, Mesir di ancam oleh kelaparan. Pada Oktober, sultan mengirimkan dua tawanan perang oleh Frank kepada Pelagius dengan membawa sebuah tawaran yang luar biasa murah hati: jika tentara Salib mau meninggalkan Mesir, ia akan mengembalikan Yerusalem, semua Palestina tengah dan Galilea. Al-Kamil memandang Yerusalem sepenuhnya dalam kerangka politik, bukan sebagai buah kota suci. Tentu saja Raja John dari Acre mendesak Pelagius untuk menerima perjanjian ini. Tetapi sama wajarnya juga bila Pelagius menolak. Tidak mungkin terjadi kaum Kristen berdamai dengan kaum sesat. Ordo-ordo militer saat itu juga setuju dengan Pelagius demi alasan strategis: benteng-benteng di Yerusalem dan Galilea telah di bongkar dan akan mustahil bagi kaum Kristen untuk menjaga kedua kota itu begitu tentara Salib pergi. Perang suci terus berlanjut dan Pelagius menanti kedatangan kaisar Federick dengan penuh percaya diri.
Tapi sang kaisar tidak pernah datang. Para tentara Salib yang jemu mulai kembali pulang. Pada bulan Februari 1220, John dan tentaranya kembali ke Acre dan hingga akhir tahun itu menahan serangan sultan al-Mu’azam ke kerajaan Kristen: perang Salib baru telah mengakhiri kehidupan bersama penuh kedamaian antara kaum Muslim dan kaum Kristen di timur tengah. Pada bulan Juli 1221, Pelagius tidak dapat menunggu kedatangan Federick lebih lama lagi dan merencanakan sebuah serangan ke Kairo. Raja John tiba dengan pasukan dari Acre dengan penuh ketidakyakinan, tetapi tidak ingin di anggap pengecut. Pada tanggal 12 Juli, tentara Salib berangkat dengan 630 kapal, 5.000 ksatria, 4000 pemanah, dan 40.000 tentara infantry. Tapi kini al-Kamil amat percaya diri. Kedua saudaranya telah mengirimkan tentara untuk membantunya, dan mereka menghadang jalur mundur tentara Salib ke Damietta ketika ia menyaksikan tentara Salib semakin mendekati Kairo, sultan al-Kamil tersenyum sendiri, nyaris tidak percaya pada keberuntungannya. Orang-orang barat itu tidak menyadari bahwa air sungai nil sedang pasang. Pada pertengahan bulan Agustus, tanah di sekitar nil begitu lembab dan licin sehingga tentara Salib harus menunda serangan maju mereka dan akhirnya mundur. Segera setelah langkah mundur itu dimulai, para prajurit Muslim menghancurkan dan pasukan-pasukan mereka bergerak memotong jalan keluar dan hanya dalam beberapa jam tentara Kristen secara memalukan telah terpenjara di sebuah pulau lumpur. Pelagius harus mengajukan tawaran perdamaian untuk menyelamatkan tentaranya dari pemusnahan, dan tentu saja pada saat itu persyaratan al-Kamil tidak cukup untuk bermurah hati daripada sebelumnya. Tentara Salib harus menandatangani gencatan senjata salama delapan tahun dan segera meninggalkan Mesir. Sebagai imbalannya, mereka di perbolehkan berlayar pulang tanpa di ganggu.
Perang Salib kelima telah menjadi sebuah kegagalan yang amat hina dan kemungkinan untuk menaklukan Yerusalem tampak lebih jauh lagi dari jangkauan mereka daripada tiga puluh tahun sebelumnya.
Tapi lepas dari model baru perang Salib ini, gagasan lama tentang operasi perang Salib sama sekalli tidak mati. Tiga perang Salib terakhir di abad ke-13 kembali ke cita-cita lama pemulihan gereja suci. Namun, kita juga melihat bahwa karena perubahan besar di timur tengah, perang Salib jenis lama tidak dapat lagi terlaksana. Perang Salib terakhir ke tanah suci ini sebenarnya memberi tahu kita lebih banyak tentang Eropa dan juga tentang moralitas perang Salib. Apakah dunia Kristen akan mengabdikan diri pada semangat perang Salib atau akan mengadopsi sikap yang lebih terbuka dan merangkuh kaum Muslim dan kaum Yahudi?

1220-1291
Akhir Perang Salib?

Ketika pasukan perang Salib ke enam mulai berkumpul di Italia selatan pada bulan Agustus 1227, ada seseorang lelaki di Eropa, seorang Kristen yang penuh komitmen tetapi juga fasih berbicara dalam bahasa Arab, bersurat-suratan dengan sarjana Muslim. Ia berbicara dalam Sembilan bahas dan menulis dalam tujuh bahasa. Orang awam yang satu ini amat tertarik mempelajari bidang matematika, ilmu hukum, filsafat, dan sejarah alam. Ketika kebanyakan kaum Kristen di dorong untuk menerima “kebenaran” secara buta, ia tidak pernah berhenti mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sulit dan mengganggu. Namun, orang ini bukanlah seorang intelektual eksentrik yang tidak jelas. Ia adalah Federick II, bocah dari Apulia, yang menjadi kaisar romawi suci dari barat dan penguasa Silsilia dan Jerman. Orang-orang sezamannya, yang di cengangkan oleh orang ini segera setelah ia muncul di panggung internasional, Stupor Mundi, keajaiban dunia. Pada Federick seluruh harapan Eropa di pusatkan pada tahun 1227. Ketika akhirnya ia memenuhi sumpahnya untuk bergabung dalam perang Salib dan berangkat ke timur untuk memenangkan kembali Yerusalem dari sahabatnya, sultan al-Kamil.
Beberapa orang memandang bakat bahasanya yang luar biasa sebagai tanda dari ilham roh kudus, tapi yang lain memandang bahwa bakat ini seperti tanda setan yang menimbulkan kekacauan bahasa pada menara babel. Berbagai kisah tidak menyenangkan beredar mengenai prilaku Federick yang tidak hanya tidak sesuai dengan ajaran Kristen, tetapi juga terlihat tidak manusiawi. Konon pernah dalam suatu peristiwa ia berdebat dengan seorang pendeta mengenai keabadian jiwa. Untuk membuktikan argumennya, ia memasukan salah seorang murid sang pendeta kedalam sebuah tong dan memaku tong itu, ketika si murid malang itu mati, Federick menunjukan bahwa jiwanya juga pasti mati, karena tidak mungkin jiwanya lari dari tong itu. Beberapa hal penting tentang Federick. Pertama, ia lelaki yang dapat memunculkan kisah-kisah semacam ini karena ia membuyarkan asumsi-asumsi mendasar orang kebanyakan dan terlihat berperilaku begitu lepas dan tidak peduli pada aturan-aturan umum. Kedua, walaupun Federick sering di puji, tentu atas dasar alasan yang cukup tepat, tapi kenyataanya ia begitu ceroboh dan sarjana amatir. Ketiga, Federick siap mengeksploitasi siapapun.
Selama lima puluh tahun terakhir, kaum Kristen Eropa telah diperintahkan oleh gereja untuk tidak melakukan hubungan apapun dengan kaum Muslimin atau Yahudi, dua korban perang Salib. Tetapi Federick di besarkan di dunia Medeterania, tempat berkembangnya sikap yang amat berlainan dengan eropa Kristen. Federick di besarkan di Sisilia, di tempat kaum orang Muslim, orang Normandia, dan orang Jerman hidup damai berdampingan. Federick tumbuh dewasa dalam atmosfer cosmopolitan, yang menjadikanya mustahil untuk percaya hanya pada satu sudut pandang saja. Kebanyakan anak-anak bangsawan di Eropa akan mendapatkan pendidikan monastic yang ketat, tapi Federick di biarkan belajar sendiri. Federick selalu meyakini bahwa pada akhirnya Kristen adalah agama yang benar, tapi itu tidak berarti Federick membenci orang Muslim atau orang-orang Byzantium atau menganggap mereka sebagai kaum kafir atau bid’ah.
Federick telah membuat berbagai persiapan untuk perang Salibnya selama beberapa waktu. Perang Salib Federick yang dilakukan oleh para kesatria Teutonis, akan menjadi perang Salib kaisar dan bukan perang Salib ke pausan. Tahun sebelumya Federick membuat sebuah langkah lain yang tentu saja menggetarkan Eropa yang sedang diliputi gairah untuk bergabung dalam perang Salib. Ia menikahi putri Yolanda, pewaris tahta Acre dan Yerusalem. Nasib gadis enam belas tahun yang malang ini memperlihatkan kekejaman Federick yang dingin. Pada malam penikahan, Federick meniduri sepupu Yolanda dan pada akhirnya mengirimkan Yolanda ke Palerno, tempat ia menghabiskan hidupnya yang merana jauh rumahnya di timur, hingga pada 25 November 1228 ia melahirkan seorang putra, Conrad, yang menjadi pewaris sah tahta Yerusalem dan menjadi cahaya kehidupan bagi ayahnya. Setelah menunaikan tugasnya, Yolanda wafat enam hari setelah melahirkan.
Selama perang Salib ke lima, sultan al-Kamil mendengar banyak pembicaraan mengenai seorang kaisar kuat dari barat yang dalam waktu singkat akan tiba di Mesir. Ia mulai bersurat-suratan dengan Federick. Pada tahun 1227, sang sultan mengusulkan agar Federick berangkat ke timur. Ia baru saja bertengkar dengan saudaranya, al-Muazam, penguasa Damaskus dan Yerusalem, dan berkata pada Federick bahwa ia akan amat senang membantu Federick menaklukan Yerusalem dan merebutnya dari saudaranya. Ini kabar baik bagi Federick, yang baru saja di ancam oleh Georgy untuk di kucilkan jika gagal memenuhi sumpahnya untuk bergabung dalam perang Salib. Penaklukan Yerusalem akan murni sebagai formalitas, pikirnya, penobatan tahta sebagai raja Yerusalem akan memberinya gengsi di barat dan akan meningkatkan posisinya dalam melawan Paus.
Tentara Salib berlayar dengan 3.000 ksatria dan 10.000 peziarah. Tapi cuaca panas dan jumlah peserta rombongan Salib yang begitu banyak menyebabkan menyebarnya penyakit malaria. Federick sendiri menjadi sakit dan di paksa untuk berhenti di Otranto, sementara tentara Salib lainnya berlayar ke Acre tanpa dirinya.
Ketika Federick sakit, al-Muazam wafat, meninggalkan Damaskus kepada putranya yang masih amat muda dan tidak berpengalaman, al-Nashir. Kini tampaknya al-Kamil mampu menaklukan seluruh Palestina dan Suriah tanpa membuat perjanjian yang tidak popular dengan mengembalikan al-Qudus kepada kaum Kristen. Tetapi al-Kamil seorang lelaki terhormat dan terus merasa berkewajiban untuk menepati janjinya pada Federick jika ia memang mampu.
Perjanjian itu pastilah merupakan salah satu pencapaian diplomatis yang luar biasa sepanjang waktu. Tanpa sekalipun memerangi kaum Muslimin, Federick berhasil merebut kembali Yerusalem. Dengan cara bekerja sama dalam kesepakatan damai, ia berhasil mencapai sebuah hasil yang tidak dapat di capai oleh tentara Salib barat ketika mereka berkekuatan luar biasa.
Al-Kamil mengalami kesulitan yang lebih besar. Segera setelah perjanjian itu diumumkan, kata ibn Washil, “negeri-negeri Islam tersapu oleh sebuah badai yang luar biasa.” Orang-orang membanjiri jalanan di Baghdad, Mosul, dan Aleppo, dan pada berbagai pertemuan di masjid-masjid, al-Kamil dikutuk sebagai penghianat Islam. Tetapi Federick tidak merasa terganggu oleh ratapan-ratapan ini, Federick bergerak ke Yerusalem untuk penobatannya, ia langsung naik ke altar, mengambil mahkota dan memasangkannya ke kepalannya sendiri. Setelah penobatan, Federick pergi ke bukit kuil untuk mengunjungi tempat-tempat suci kaum Muslimin. Ketika ia melihat pendeta memasuki masjid dengan memegang perjanjian baru, Federick memukulinnya:” demi Tuhan, jika salah satu dari kalian berani masuk kesini lagi tanpa izin, aku akan mencungkil matanya!”.
Perjanjian-perjanjian damai yang ia buat membangkitkan sauvinisme-religius-lama yang telah membantu kehancuran kerajaan Yerusalem pada tahun 1187. Namun demikian, Federick tidak di tolak oleh semua orang di Eropa, meskipun ia tetaplah seoerang yang controversial hingga ia wafat pada tahun 1250 pada usia 57 tahun. Gairah yang di ilhamkan oleh Federicck berarti bahwa walaupun ia tidak dapat memenuhi satupun harapan ini, segera setelah kematiannya pada tahun 1250, timbul sebuah kepercayaan bahwa ia akan kembali dan menyelamatkan dunia. Ia akan menjadi seorang messiah Kristen, yang akan bertempur atas nama kaum miskin, menjugkalkan orang-orang berkuasa dari tahta mereka dan menumbangkan Paus serta para gerejawan kaya yang akan menjadi aib dunia Kristen, karena mereka menindas kaum miskin Kristen. Ia menunjukan bahwa mungkin saja untuk hidup dan menghormati kaum Muslim. Harus di akui bahwa ia bersedia mengeksploitasi kaum Muslim jika memang menguntungkan baginya. Tapi pada waktu itu kebanyakan orang telah kukuh berkomitmen untuk membenci kaum Muslim maupun kaum Yahudi.
Pada tahun-tahun sesudah kematian Federick, para pendukungnya menjadi kaum bid’ah dan pemberontak. Sementara itu, para musuh Federick menjadi kaum mapan. Sikap tidak toleran terhadap kaum Muslim menjadi sebuah kebiasaan yang mustahil di tiadakan di Eropa. Lebih banyak lagi sarjana yang menulis tentang Islam dan Nabi Muhammad selama abad ke -13 yang membawa kebencian ini ke Eropa. Para sarjana Kristen tidak dapat memahami bagaimana Muhammad dapat mendorong ketaatan yang setia di dunia Arab begitu rupa, dan arena itu para sarjana menampilkannya sebagai seorang penipu atau tukang sihir yang mahir, yang menampilkan “mukjizat” palsu sehingga memukau orang-orang Arab yang berpikiran sederhana. Para sarjana abad ke -13 betul-betul tidak mampu memandang Islam diluar konteks Kristen barat. Mereka masih meyakini, misalnya, bahwa Muhammad itu seorang bid’ah Kristen yang membentuk sebuah sekte-Kristen baru.
Pada saat yang bersamaan, kebencian orang-orang Eropa terhadap kaum Yahudi selama abad ke-13 mengalami perkembangan baru. Pada tahun 1243, di dekat Berlin, kaum Yahudi untuk pertama kalinya di tuduh mencuri ekaristi dari gereja-gereja dan meremukan biscuit hingga hancur. Tak ada yang mampu berfikir rasional bahwa, karena kaum Yahudi jelas tidak mempercayai bahwa Yesus hadir dalam ekaristi, tentu mereka tidak terlalu tertarik untuk mendobrak masuk ke dalam gereja dan menodai roti perjamuan kudus yang telah di berkati.
Raja Louis IX tidak lebih berbeda dari Federick. Oleh kebanyakan orang Eropa ia di angggap sebagai model sempurna raja Kristen dan sebuah contoh mengenai teladan kaum Kristen pada abad ke -13. Louis di anggap sebagai seorang santo oleh anggapan masyarakat umum dan di kanonisasi oleh greja mapan yang resmi. Walaupun ia sering berperilaku kejam, berpikiran sempit, dan kerdil, ia masih di sebut sebagai “St. Louis “. Jika Federick menampilkan dirinya sebagai seorang penguasa yang kaya dan eksotis, Louis menampilkan kehidupan yang jauh lebih sederhana. Yang paling spektakuler dari pencapaian seni bangunanya adalah La Sainte Chapelle di istana kerajaanya yang megah, yang mulai ia bangun di awal tahun 1240-an. Bahwa kuil itu dibangun untuk mengagungkan kesucian Tuhan. Tapi kita harus ingat bahwa itu merupakan salah satu karya dari perang Salib. Tanpa pertumpahan darah, kekerasan dan penghancuran, yang terjadi dalam perang Salib, kapel itu tidak akan pernah di bangun.
Pada tahun 1244, dunia Kristen mendengar kabar menakutkan bahwa kaum Kristen telah kehilangan kerajaan Yerusalem sekali lagi. Dinasti Turki Khwarazmi telah di usir dari Asia tengah oleh gerombolan tentara Mongol, dan tiba-tiba berperilaku kejam dan tak terkendali, kabur ke arah barat untuk pergi sejauh mungkin dari kaum Mongol yang sangat mengerikan, sambil menghancurkan kota-kota dalam kepanikan mereka. Hilangnya Yerusalem adalah sebuah trauma dan ancaman yang lazim bagi keutuhan dunia Kristen. Pada tahun itu, Louis jatuh sakit di Paris.
Harapan menyingsing kembali dan tiga saudara Louis serta kebanyakan kaum bangsawan juga mengambil Salib. Dengan seorang santo yang telah disahkan gereja sebagai kepala tentara Tuhan, terasa bahwa perang Salib ketujuh tidak mungkin gagal. Louis ingin menjadikan perang Salib kembali pada prinsip-prinsip fundamentalnya. Pastinya tidak ada perjanjian dengan kaum kafir dan tentaranya akan sesaleh perang salib pertama.Louis kembali ke semangat perang Salib pertama, yang berdoa seakan semua persoalan tergantung pada Tuhan, tapi bertempur dan berencana dengan seluruh keahlian-manusiawi yang dapat mereka kerahkan.
Pada bulan Mei, tentara Louis yang modern dan terbekalli dengan baik berlayar dari Siprus ke Demiette di Mesir. Ia tiba di Mesir dengan momen yang sangat menguntungkan. Sultan sedang di ambang kematian dan putranya serta pewarisnya, Turanshah, sedang berada jauh dari jazirah. Karena itu, ada peluang yang amat baik bagi terjadinya sebuah revolusi di istana. Kaum Muslim kekurangan rasa percaya diri dalam periode yang buruk ini, sehingga para warga dan pasukan langsung kabur dari Damietta. Dengan demikian, tentara Salib dapat menduduki kota itu tanpa pertempuran sedikitpun. Sultan yang sedang diambang kematian memberi tawaran yang sama seperti tawaran ayahnya, Al-Kamil, tiga puluh tahun sebelumnya: ia akan mengembalikan Yerusalem kepada kaum Kristen jika Louis mau meninggalkan Mesir. Tentu saja Louis menolak perjanjian dengan kaum kafir dan dengan penuh percaya diri menunggu air sungai Nil surut untuk melanjutkan oprasi perangnya.
Situasi terjepit yang baru dirasakan ini menumbuhkan tekad yang kuat, cara berfikir yang realistis, dan keliahaian politis dikalangan kaum Muslim, yang pada akhirnya akan terbukti unggul melampaui tindakan kepahlawanan perang Salib yang lumayan ketinggalan zaman. Kaum Muslim menyiapkan diri untuk pertempuran yang akan menjelang. Ketika sultan akhirnya meninggal tiga hari kemudian, sultan Shazar al-Dur bertindak dengan tangkas dan efisien dengan merahasiakan kematian sultan. Pada malam tanggal 8 Februari 1250, tentara Salib berhasil menyebrangi kanal yang memisahkan mereka dari perkemahan Mesir, melakukan serangan mendadak dan membuat musuh kocar-kacir. Louis dan tentara utama berhasil menahan kaum Muslim dan bertahan dibekas perkemahan tentara Mesir. Namun, mereka tidak cukup kuat untuk merebut kota yang telah dilengkapi dengan mesin perang yang jauh lebih baik dari yang mereka miliki. Tentara Salib menetap hingga delapan minggu di luar Mansurah. Pada tanggal 11 Februari, kaum Muslim menyerang perkemahan itu dan menjatuhkan banyak korban. Turanshah tiba dan tidak terjadi refolusi di istana. Armada Mesir memotong suplai makanan dan kelaparan menghantui perkemahan yang dengan segera disusul dengan wabah penyakit. Ekspedisi yang begitu megah itu kemudian menjelma menjadi sebuah mimpi buruk.
Setelah Louis menghadapi kenyataan yang sedemikian rupa, ia akhirnya menawarkan perundingan dengan sultan Turanshah. Tapi terlambat, karna orang Mesir sangat tahu bahwa posisi Louis sedang berada diujung tanduk. Keadaan menjadi tanpa harapan. Pada awal April, Louis dan para pejabatnya memutuskan untuk mundur. Dimata John dari Joinville, kaum Muslim terlihat menjadi manusia biasa. Ia mengenang kebaikan seorang prajurit Muslim tua yang biasa menggendong tentara Salib yang sakit ke kakus di punggungnya setiap hari.
Pada akhirnya, syarat-syarat pun disepakati: istri Louis, ratu Margareth dan para ksatria kuil berhasil mengumpulkan jutaan besant untuk pembebasan raja dan sebagian besar tawanan. Pada tanggal 6 Mei, Damietta diserahkan kembali kepada kaum Muslim dan tentara Salib yang sakit dan kelelahan dilayarkan kembali ke Acre. Selama dua tahun kemudian, Louis dan sejumlah Baron dari Prancis bertahan ditanah suci, membangun dan memperbaiki benteng-benteng. Perang Salib para insinyur berakhir sebagai sebuah proyek pembangunan. Kekalahan mutlak pada perang Salib ketujuh memperjelas bagi banyak orang betapa mustahil menaklukan Yerusalem dari Islam dan perang Salib semestinya ditinggalkan: setelah tahun 1250, perang Salib baginya terlihat sebagai sebuah tindakan yang tidak berguna dan hanya seperti melakukan keasyikan yang tak bermanfaat.
Setelah kaum Mongol menaklukan Gaza, mereka tentu saja mengincar Mesir. Seorang  utusan menghadap sultan Mamluk untuk membawa perintah agar menyerah. Setelah utusan itu selesai berbicara, sultan begitu saja memenggal kepada utusan tersebut. Kini muncul sebuah sikap kasar baru pada jiwa kaum Muslim pada bulan Juli 1260, Qutuz menyerbu Palestina, karena menyadaari bahwa inilah kesempatan terakhir bagi Islam. Pada saat itu beberapa baron di Acre, mekiupun tidak demikaian dengan para baron di Antiokhia, menjadi sadar sepenuhnya akan kebrutalan-kaum Mongol yang biadab. Walaupun mereka tidak mau bertempur bersama tentara Muslim, mereka setuju untuk tidak menyerang kaum Mamluk. Ketika sebuah revolusi pecah di Damaskus pada akhir bulan Agustus, Qutuz punya waktu untuk menempatkan pasukannya dengan amat hati-hati di Ain jalut di Galilea. Pada tanggal 3 September, kedua tentara itu betemu. Dengan sebuah taktik jebakan yang brilian, kaum Mamluk mengalahkan dan membantai seluruh tentara Mongol. Pertempuran ini, yang sebenarnya telah mengubah sejarah, menandai berakhirnya supermasi kaum Mongol. Sungguh kekalahan yang ironis bagi harapan Louis. Bukannya kaum Mongol yang menyelamatkan kaum Kristen dari ancaman Islam, justru kaum Muslimlah yang menyelamatkan dunia Kristen dari kaum Mongol. Bukannya kaum Mongol beralih menjadi agama Kristen, mereka akhirnya menetap di Persia dan Palestina serta menjadi pemeluk Islam.   
Hanya dua bulan setelah kemenangan besar di Ain Jalut, Baibars, pahlawan pertempuran Mansurah, membunuh qutuz dan menjadi sultan Malmuk. Ini benar-benar Islam yang baru. Trauma pada tahun-tahun terakhir sebelum kejadian itu telah menghasilkan sebuah kekejaman yang dingin dan tekad yang nekat untuk bertahan hidup. Itulah perang Salib terakhir. Kegagalan kaum Kristen ini kemudian mengantarkan munculnya pertanyaan tentang integritas iman Kristiani. Apakah Tuhan telah meninggalkna umat pilihan-Nya? Apa makna keberhasilan baru kaum Muslim itu? Namun, pada akhirnya kaum Kristen ditimur lah yang terbukti menjadi musuh terburuk mereka di Suriah. Tapi, ketika Baibars wafat, sultan Qalaur, penerusnya, terlihat ingin menjalankan kemauannya sendiri dengan bersahabat dengan kaum Frank. Pada tahun 1183, ia mamperbaharui perjanjian yang telah ia buat anatara Baibars dan kaum Frank, Acre, Athlit, dan Sidon hidup damai dengan para tetangga kaum Muslim mereka.
Sultan mendesak kaum Muslim memanfaatkan Acre sebagai pelabuhan dagang. Kota itu tak pernah begitu sibuknya dan bahkan begitu makmurnya tapi ada sebuah partai agresif yang berfaham Sauvinisme religius. Mereka mendesak raja Hendry agar meminta Paus untuk sekali lagi melakukan perang Salib. Pada tahun 1290, sebuah armada perang Salib dari Italia berlayar menuju pelabuhan Acre. Tentara Salib itu dibekali perbekalan yang dipenuhi minuman beralkohol. Pada saat itu Acre telah dikuasai oleh kegilaan perang Salib dan menolak untuk melakukan perdamaian apapun. Tentara Muslim meninggalkan Kairo pada tanggal 4 November 1290. Namun, keesokan harinya Qalaun yang telah berusia 77 tahun wafat dan digantikan oleh anaknya Al-Asyraf Khalil. Pada bulan Maret 1291, tentara itu berangkat kembali dan kali ini mencapai Acre. Akhirnya pada tanggal 17 Juni kaum Muslimin menerobos kota. Sekali lagi kaum Kristen berjumpa dengan sikap permusuhan kaum Muslim yang tak kenal kompromi. Para tawanan yang menyerah dengan niat baik dengan tanpa ampun dipenggal. Para lelaki semuanya dibunuh, membunuh bayi-bayi yang digendong ibu mereka dan membantai perempuan hamil. Para sejarahwan Muslim kontemporer memandang adanya sebuah lingkaran setan dari semua kejadian ini. Kaum Muslim menaklukan Acre dari kaum Kristen pada 17 Djumadil akhir.
Inilah mungkin akibat paling tragis dari perang Salib. Kekerasan tentara Salib pada tahun 1099 telah membuat negeri dunia Muslim di timur dekat. Kini di Acre, kaum Kristen mengalami kekejaman kaum Muslim yang baru yang telah mereka tanamkan diwilayah itu. Dalam pandangan ini, serbuan kaum Muslim ke Palestina bukianlah sebuah lingkaran mekanis, tetapi hanya masalah sebab akibat. Kaum Frank itu ingin mengusir kaum Muslim dari kota-kota mereka dan menaklukkan negeri mereka. Karena itu, kaum Muslim harus menyerang kembali hingga keadaan yang membahayakan itu lenyap.
Petualangan perang Salib yang dahsyat telah usai. Impian tersebut memakan waktu amat lama untuk menemui kematiannya. Selama hampir dua ratus tahun, saat barat menemukan jiwanya, perang Salib tetap menjadi gairah utama. Jutaan kaum Yahudi, Kristen, dan Muslim tewas dalam berbagai perang suci biadab ini. Tentara Salib telah membantai dan mengusir kaum Yahudi dan kaum Muslim dari rumah mereka, tapi pada akhirnya meraka terusir akibat fanatisme mereka sendiri. Kaum Muslim kini menguasai seluruh timur dekat dan wilayah penting Anatolia.





1300 Hingga Kini
Tentara Salib Baru di Barat


 Pada tahun 1483, Ferdinand dan Isabella memproklamasikan Inkuisisi Nasional Spanyol untuk memburu kaum Yahudi bawah tanah. Para inkuisitor dari kaum Dominikan dan Fransiskan mengumpulkan para tersangka di antara para marrano, menyiksa mereka dan memaksa mereka untuk mengakui kesetiaan mereka pada agama Yahudi dan untuk melaporkan kaum Yahudi bawah tanah yang lain. Tahun 1492 sering dianggap sebagai titik peralihan simbolis sebagai awal mula zaman modern. Pada tahun itu, di Spanyol terjadi peristiwa yang sangat penting. Pada bulan Januari Raja Ferdinand dan Ratu Isabela akhirnya memenangkan perang-penaklukan-kembali kaum Kristen, ketika mereka menaklukan kerajaan Muslim di Granada, benteng kuat terakhir Islam di Eropa. 
Hari ini orang-orang Arab merasakan penyesalan ganda atas periode Utsmani, yang mereka pandang sebagai masa kegelapan. Pertama, Imperium Utsmani adalah sebuah otokrasi-militer yang memiliki sistem-sosial-feodal yang membusuk. Kekuatan awalnya secara tak terhindarkan membuka jalan bagi sebuah keruntuhan yang lama dan menyakitkan, dan orang-orang Arab juga ikut runtuh di dalamnya. Kedua, ketika Imperium itu akhirnya tumbang pada tahun 1918, orang-orang Arab lantas berada di bawah kekuasaan barat non-Islam. Ini bukan perebutan kekuasaan yang tiba-tiba.
Pengucilan dan pengusiran kaum Yahudi Spanyol tentu saja mendorong tumbuhnya semangat separatis di kalangan mereka. Kita telah melihat bahwa penderitaan dan tekanan yang harus ditanggung kaum Yahudi selama periode perang Salib telah mengantarkan sebagian mereka pada bagian cara penyelesaian kaum zionis. Selama abad ke-13 ratusan orang melakukan aliyah ke Palestina. Tapi lenyapnya Spanyol telah membawa pada perkembangan yang berbeda yang sangat penting dalam kisah kita: muncul suatu antusiasme baru dan popular tehadap mistisisme dan ideologi Kabala.
Selama abad ke-16, kaum Yahudi dan orang-orang Arab dalam cara yang amat berbeda sama-sama menolak rasionalisme intelektual yang sebelumnya telah menjadi ciri kaum Yahudi dan tradisi Islam. Pada abad ke-17 kita menemukan seorang misionaris Katolik, M. Febvre, yang menggambarkan kaum Muslim sebagai kaum “Protestan umat Muhammad” yang memercayai justifikasi hal ini berdasarkan kepercayaan yang ia percayai.
Zaman akal di abad ke-18 memberi jalan bagi sebuah kebangkitan kembali agama Kristen yang kuat dan fundamentalis di abad ke-19. Secara serupa, sekularis abad ke-20 telah memberi jalan bagi semangat-semangat yang terbaru sekali.
Kenyataan bahwa tempat tersuci di dunia Kristen itu menjadi tempat ketegangan sengit antara Kristen barat dan timur adalah sebuah indikasi bahwa irasionalitas dan kebencian perang Salib betul-betul belum lenyap.
Ketika presiden Jimmy Carter, perdana menteri Menachem Begin, dan Presiden Anwar Sadat menandatangani perjanjian Camp David pada tahun 1979, banyak dari kita berpikir dengan lega bahwa masalah Arab-Israel mungkin dapat diatasi. Kini kita menyadari betapa salahnya kita. Presiden Carter kehilangan jabatannya karena ia tak dapat memaksa rezim Ayatulloh Khomeini untuk mengembalikan parasandera Amerika. Presiden Anwar Sadat dibunuh oleh para ekstrimis Muslim di negerinya sendiri, terutama karena perjanjian Camp David. Menachem Begin, yang seorang religius, dikutuk oleh kaum Yahudi religius dan sekuler di Israel karena menyerahkan kembali semenanjung Sinai ke Mesir. Masalah ini tidak dapat diselesaikan dengan perjanjian-perjanjian territorial biasa. Terlalu banyak perasaan-religius-mendalam dan terlibat dan emosi-emosi ini membuat gagasan mengenai kehidupan bersama dalam sebuah negeri menjadi mustahil.
Agama Kristen yang berperang Salib berkembang sebagai sebuah tanggapan atas sebuah periode-panjang abad-kegelapan yang penuh kehinaan dan ketikberdayaan. Perang Salib adalah sebuah langkah-penyimpanan-baru, sama sekali tak ada hubungannya dengan agama Yesus yang cinta damai. Tapi perang Salib bagi orang-orang Eropa telah memberikan sebuah ideologi yang dapat memulihkan kehormatan diri diri mereka serta mengantarkan Barat menjadi Adidaya di dunia. Revolusi Iran dengan kebenciannya terhadap dunia barat, lahir dari kehinaan dan ketakberdayaan selama periode kolonial, ketika Inggris dan Amerika dirasa telah memeras rakyat Iran dan mendukung rezim tiran Syah.
Kaum Yahudi dan orang-orang Arab memiliki masalah-masalah sendiri diantara mereka masing-masing. Keduanya harus melintasi jalan panjang sebelum solusi damai menjadi sebuah kemungkinan.